Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah Dan Potensi Wilayah : Tuntutan masyarakat dari berbagai kalangan akan arti penting dan segera diwujudkannya otonomi daerah, sebagai bagian dari demokratisasi yang marak sejak Era Reformasi, tidak hanya karena pengaruh kecenderungan Global†, tetapi yang lebih mendasar lagi karena tuntutan perubahan terhadap realitis sistem nasional yang dibangun oleh rezim developmentalis Orde BAru yang bertumpu pada sistem politik, di samping sistem ekonomi dan sistem hukum. Sistem politik Orde Baru tersebut bersifat sentralistis, otoriter, represif, antipartisipasi, tidak aspiratif, mengandalkan dinamikanya pada birokrasi pemerintahan dan bukan pada kekuatan politik yang hidup dalam masyarakat, serta dominasi kekuasaan lembaga eksekutif terhadap lembaga legislatif.‡ Sistem politik Orde Baru yang dibangun oleh rezim Orde Baru tersebut bertujuan untuk menciptakan stabilitas dalam mendukung pembangunan ekonomi. Diilhami oleh semangat persatuan dan kesatuan, dan dilandasi oleh pola kekuasana yang sentralistis, segala sesuatunya termasuk kebudayaan harus diseragamkan, kurang mentolelir keberagaman, tanpa pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk baik kemajemukan yang bersifat horisontal
maupun vertikal, yang pada gilirannya hanya menambah beban stabilitas yang diciptakan oleh rezim Orde Baru yang pada hakekatnya merupakan “stabilitas semu”. Stabilitas nasional yang dibangun oleh rezim developmentalis Orde Baru, yang ternyata hanyalah “stabilitas semu” tersebut pada akhirnya runtuh, yang dimulai dengan krisis moneter tahun 1997, yang berlanjut pada krisis total tahun 1998, bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, yang disusul dengan munculnya Orde Reformasi atau Era Reformasi.
Sebagaimana telah disebutkan pada awal tulisan ini, bahwa tuntutan untuk diwujudkannya otonomi daerah sebagai bagian dari demokratisasi di tanah air, dan permasalahan ini merupakan “permasalahan regional”, sebagai akibat dari sistem politik yang sentralis, otoriter dan represif. Kecenderungan yang demikian, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sebelumnya telah menjadi gejal global. Semenjak dekade terakhir abad 20, panggung geopolitik global diwarnai oleh “permasalahan regional”, yang berakhir dengan terjadinya disintegrasi nasional seperti di bekas negara Uni Soviet, Yugoslavia dan Chekoslovakia.
Munculnya permasalahan regional tersebut, dapat disebabkan oleh “ketidaksetaraan regional” (regional inquality) dan “ketidakseimbangan regional” (regional imbalance) atau karena kedua faktor ini, tetapi dapat juga karena kondisi-kondisi objektif daerah-daerah yang bersangkutan seperti kondisi perwilayahan ekonomi, perwilayahan budaya dan perwilayahan politik, yang memiliki potensi untuk bisa lebih berkembang lagi, jika terbentuk suatu Propinsi. Dengan terbentuknya suatu Propinsi, pemberdayaan daerah atau pemberdayaan potensi daerah akan mempunyai kemungkinan dan peluang yang lebih besar untuk berkembang.
Untuk mengantisipasi kecenderungan baru tersebut Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, telah menyusun peraturan perundang-undangan yaitu:
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
- Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Yang disusul dengan aturan pelaksanaan yang antara lain adalah:
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
- Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
- Keputusan Presiden RI Nomor 67 tahun 1999 tentang Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
- Keputusan Presiden RI Nomor 49 Tahun 2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
- Beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Perlu ditambahkan, ketika studi ini selesai dilaksanakan, pada bulan Oktober 2004 Pemerintah dan DPR telah mensahkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi terhadap Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai revisi terhadap Undang-undang No. 25 Tahun 1999. Studi ini berfokus pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah dalam kaitannya dengan kemungkinan terbentuknya “Propinsi Surakarta”. Jika PP No. 129/2000 tersebut belum digantikan oleh peraturan pemerintah yang baru, maka peraturan yang dimaksud masih tetap berlaku. Seandainya terbit PP baru yang menggantikan PP No. 129/2000 itu, hasil studi ini akan menjadi studi sejarah hukum sesuai dengan fokus dan objek yang dikaji. Bagi studi ini, terbitnya PP No. 32/2004 dan PP No. 33/2004 bermaksud, dapat menambah pengayaan hasil studi terutama dalam perspektif makro.
Sebagaimana tertera pada Pasal 2 PP 129/2000, bahwa Pemekaran Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: a. Peningkatan pelayanan pada masyarakat; b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; d. Percepatan pengelolaan potensi daerah; e. Peningkatan keamanan dan ketertiban; f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Seperti yang terlihat pada pasal 13 Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 129 tahun 2000, bahwa pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria/syarat sebagai berikut: a. Kemampuan ekonomi; b. Potensi daerah; c. Sosial budaya; d. Sosial politik; e. Jumlah penduduk; f. Luas daerah; g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Ketujuh kriteria tersebut dilengkapi dengan 19 indikator dan 43 sub indikator (lihat; lampiran (PP) RI No. 129 tahun 2000, 13 Desember 2000). Ketujuh kriteria, indikator dan sub indikator merupakan kerangka acuan (term of reference/TOR) untuk melakukan penelitian awal oleh pemerintah daerah/badan lain yang ditunjuk, sebagai salah satu persyaratan pokok untuk mengajukan usul Pemekaran Daerah.
Karena Bekas Karesidenan Surakarta masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, sesuai dengan pasal 1 ayat 4 No. 129 tahun 2000 yang menyatakan bahwa “Pemekaran daerah pemecahan status sebagai daerah Provinsi... dst”, yang karena itu terbentuknya Provinsi Surakarta merupakan proses Pemekaran Daerah Provinsi Jawa Tengah itu dimekarkan menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah itu sendiri dan Provinsi Surakarta.
Selain itu, sebagaimana tertuang pada penjelasan PP No. 129/200, pada bagian 1. Umum, antara lain disebutkan bahwa: “... ... ... pembentukan daerah juga mengandung arti bahwa daerah tersebut juga harus mampu melaksanakan otonomi daerahnya sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Pembentukan suatu daerah Otonom Baru, tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak mampu lagi melaksanakan Otonomi Daerah. Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan bersama Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta (LPM-UMS), bahwa wilayah Bekas Karesidenan Surakara, yang meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen dan Klaten dilihat dari kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, dan jumlah penduduk, dengan indikator dan sub indikator yang menyertainya, layak menjadi sebuah provinsi yaitu Provinsi Surakarta. Selain itu, jika wilayah Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah Provinsi yaitu Provinsi Surakarta, pada satu sisi provinsi baru (yaitu Provinsi Surakarta) akan mampu melaksanakan otonomi daerahnya dan pada sisi lain provinsi induk yaitu (Provinsi Jawa Tengah) juga akan mampu melaksanakan otonomi daerahnya sendiri.
Dalam proses pemekaran daerah, sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (1) Prosedur Pemekaran Daerah, PP No. 129/2000, antara lain disebutkan bahwa: a. “ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan”. Dalam penjelasan PP No. 129/2000, Pasal 16 ayat (1) huruf a, disebutkan: “yang disebut kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat adalah adanya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi-organisasi politik dan lain-lain, pernyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis, baik melalui Kepala Daerah maupun DPRD yang bersangkutan”. Karena aspek ini merupakan ranah politik praktis tidak termasuk dalam cakupan studi ini.
Pokok-Pokok Permasalahan
Dengan melihat kenyataan yang ada (das sein), bahwa wilayah bekas Karesidenan Surakarta yang terdiri dari 6 daerah Kabupaten dan 1 daerah kota, memiliki potensi wilayah yang relatif besar, baik potensi ekonomi, budaya maupun politik. Tetapi dari berbagai potensi yang ada itu belum terdapat pemberdayaan potensi wilayah yang besifat koordinatif antar daerah Kabupaten/Kota di wilayah tersebut. Dalam pemberdayaan potensi wilayah yang bersifat koordinatif di wilayah bekas Karesidenan Surakarta termaksud, diperlukan perubahan mendasar yang bersifat struktural (das sollen), yaitu dengan mengembangkan kemungkinan untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai sebuah provinsi, melalui pemberdayaan hukum otonomi daerah.
Dengan adanya permasalahan tersebut, dapat dirinci menjadi beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan hukum otonomi daerah dan potensi wilayah sebagai fokus studi ini, serta kaitannya dengan objek yang diteliti yaitu wilayah bekas Karesidenan Surakarta ?
2. Apakah wilayah bekas Karesidenan Surakarta layak untuk menjadi sebuah provinsi, yang secara teknis disebut sebagai “Provinsi Surakarta” menurut kriteria/syarat Pemekaran Daerah ?
3. Bagaimana kemungkinan keberadaan daerah baru (baca: “Provinsi Surakarta”) dan daerah induk (Provinsi Jawa Tengah), jika terjadi Pemekaran Daerah sehingga menjadi dua provinsi ?
4. Manfaat apa saja, jika wilayah bekas Karesidenan Surakarta tersebut menjadi sebuah provinsi ?
5. Manfaat apa saja yang dapat diberikan oleh hasil studi ini, baik bagi pihak-pihak yang berkepentingan terbentuknya “Provinsi Surakarta” maupun untuk keperluan pengayaan hukum otonomi daerah ?
Dasar Pertimbangan, Tujuan dan Kontribusi
Dasar pertimbangan untuk mengembangkan wilayah bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah provinsi, tidak terlepas dari tujuan
Pemekaran Daerah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai cara sebagaimana tertera pada Pasal 2, PP No. 129 tahun 2000, dan telah disebutkan di depan tetapi agar lebih dekat dengan realitas yang ada dan permasalahan yang dihadapi, serta sesuai dengan tujuan dari Pemekaran Daerah tersebut, beberapa dasar pertimbangan timbulnya pemikiran untuk mengembangkan wilayah bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah provinsi adalah sebagai berikut :
1. Memperpendek rentang birokrasi pemerintahan baik dilihat dari segi geografis maupun hirarkis, sehingga pemberdayaan birokrasi pemerintahan lebih dimungkinkan.
2. Koordinasi antar daerah Kabupaten/Kota akan lebih efektif dan intensif.
3. Memperbesar sumber-sumber pembiayaan pembangunan.
4. Peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk dalam proses-proses pengambilan keputusan.
5. Peningkatan kualitas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (good governance).
Sementara penelitian ini bertujuan :
1. Ingin melihat tingkat kelayakan wilayah bekas Karesidenan Surakarta untuk dikembangkan menjadi sebuah provinsi, menurut kriteria/syarat formal.
2. Ingin mengetahui berbagai kemungkinan dalam pengembangan potensi wilayah.
3. Ingin mengetahui permasalahan-permasalahan mendasar dan solusi yang mungkin dapat dilaksanakan, menurut skala prioritas di wilayah tersebut, yang pada tahap awal akan dilihat dari arti kemanfaatan jika bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah provinsi.
Selanjutnya penelitian dapat memberikan kontribusi :
1. Sebagai masukan bagi pihak-pihak yang menginginkan terbentuknya “Provinsi Surakarta”.
2. Masukan bagi pengembangan dan perbaikan “hukum otonomi daerah’ pada tingkat makro.
3. Menambah khasanah pengetahuan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya sosiologi hukum.
Analisis Kerangka Pemikiran
Pendeklatan dan Paradigma
Ilmu hukum terdiri dari tiga ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Ilmu tentang kaidah atau normwissenchaft atau sollenwissenchaft; 2. Ilmu tentang pengertian; dan 3. Ilmu tentang kenyataan atau tatsachenwissenchaft atau seinwissenchaft, yang menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak. Ilmu tentang kenyataan terdiri dari Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Perbandingan Hukum.
Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena hukum dari segi empirik, yaitu bagaimana hukum itu dijalankan bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Studi dengan pendekatan Sosiologi Hukum mempunyai karakteristik yang khusus, berbeda dengan pendekatan yang normatif. Karakteristik pendekatan Sosiologi Hukum adalah sebagai berikut :
1. Sosiologi Hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktek hukum yang demikian itu terjadi, apa sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi, latar belakang, dan lain-lain. Max Weber menamakan pendekatan seperti itu dengan interpretative understanding, yaitu dengan menjelaskan sebab, perkembangan serta efek tingkah laku sosial.
2. Sosiologi Hukum senantiasa menguji kesahihan empirik dari suatu peraturan pernyataan hukum.
3. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku menaati hukum dan menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian utamanya adalah memebrikan penjelasan terhadap objek yang dipelajari.
Dengan demikian, Sosiologi Hukum mendekati secara objektif dan memberikan deskripsi terhadap realita hukum.
George Ritzer menjelaskan, bahwa sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda, yang terdiri dari paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Sosiolog yang bekerja pada paradigma fatka sosial memusatkan perhatiannya pada struktur makro masyarakat, menjadikan karya Durkheim sebagai eksemplar, mempergunakan teori fungsioanlisme struktural dan teori konflik, cenderung mempergunakan metode wawancara dan kuesioner. Sosiolog yang mengikuti paradigma definisi sosial, memusatkan perhatiannya pada aksi dan interaksi sosial sebagai eksemplar memakai beberapa teori (seperti teori aksi (action), interaksionisme simbolik dan fenomenologi) dan cenderung mempergunakan metode observasi dalam kegiatan penelitian. Sosiolog yang menerima paradigma perilaku sosial mencurahkan perhatiannya pada “tingkah laku dan pandangan tingkah laku” sebagai pokok persoalan, menggunakan teori pertukaran, dan cenderung memkai metode eksperimentasi”.
Penelitian ini merupakan studi kasus, yang karena itu teori-teori sosiologi makro akan lebih sesuai sebagai sandaran analisis. Karena teori yang menggunakan teori-teori sosiologi mikro, paradigma yang diikuti cenderung pada paradigma definisi sosial. Namun demikian, karena permasalahan yang dikaji selain berdimensi mikro juga berdimensi makro, walaupun penelitian ini beranjak dari paradigma definisi sosial, dengan teori-teori sosiologi mikro, tidak menutup kemungkinan untuk berkembang ke arah paradigma sosiologi terpadu, dengan teori-teori yang terpadu pula.
Inti dari paradigma sosial terpadu (integrated sosiological paradigm), sebagaimana telah dijelaskan oleh Ritzer, terletak pada hubungan antara tingkatan-tingkatan sosial, yaitu: (1) makro-objektif, misalnya hukum, birokrasi, teknologi dan seterusnya; (2) makro subjektif, seperti kultur, nilai-nilai, norma dan seterusnya; (3) mikro-objektif, misalnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti konflik, kerjasama dan persaingan; (4) mikro subjektif, seperti proses berpikir dan kontruksi sosial.
Pendekatan dalam studi ini mempergunakan pendekatan interdisipliner, dengan tetap beranjak dan berakhir pada pendekatan sosiologi hukum, yang mengacu pada paradigma sosiologi terpadu. Dalam berproses menuju paradigma sosiologi terpadu tersebut, beranjak dari definisi sosial. Karena itu pada sisi lain juga dapat dilihat, bahwa studi ini mengacu pada paradigma konstruktivisme intepretatif dalam ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya dapat dilihat perbandingan antara paradigma konstruktivisme interpretatif dengan paradigma positivisme dan postpositivisme serta paradigma critical theory pada tabel berikut ini.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, walaupun penelitian ini cenderung sebagai studi terpancang, tetapi sifat holistik tetap menyertai proses penelitian itu. Penelitian ini beranjak dari gejala mikro ke makro, yang selanjutnya juga dari makro ke mikro. Dengan demikian pola berpikir dalam penelitian ini bersifat induktif-deduktif, yang selanjutnya juga deduktif-induktif. Adapun proses penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini, meliputi: 1. Pengumpulan data sekunder dan data primer, 2. Klasifikasi dan kategorisasi data, 3. Cek dan cek ulang data, 4. Analisis data berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada, 5. Penyajian data setelah dilakukan analisis, 6. Penyusunan draft awal laporan penelitian, 7. Penyusunan draft akhir penelitian, setelah memperoleh masukan dari tim promotor, dan 8. Penyusunan naskah desertasi berdasarkan laporan hasil penelitian, masukan dari seminar hasil penelitian, dan pengarahan dari tim promotor.
Sistematika Penyajian dan Pertanggungjawaban
Pendahuluan, merupakan dasar berpijak bagi bab-bab berikutnya atau pondasi studi. Bab satu unit ini terdiri dari latar belakang masalah; pokok-pokok permasalahan, dasar pertimbangan, tujuan dan kontribus; diagram atau kerangka pemikiran; pendekatan dan paradigma; metode penelitian; serta sistematika penyajian. Walaupun Bab Pendahuluan ini menjadi dasar berpijak dan induk bagi bab-bab berikutnya, tetapi hanya disampaikan secara singkat, karena hanya menyangkut hal-hal yang pokok saja.
Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Suatu Kerangka Teoretik, yang berisi teorisasi (pengorganisasian teori), sebagai alat penjelasan (analisis) dan sandaran berpikir terhadap pokok-pokok kajian yang telah dirumuskan. Bab dua ini terdiri dari perkembangan hukum otonomi daerah dan potensi wilayah, teori pembangunan khususnya tujuan pembangunan birokrasi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat, teori tindakan manusia dan definisi situasi, dan teori strukturasi. Pengorganisasian secara komprehensif, yang beranjak dari jenjang empirik ke jenjang abstraktif, yang selanjutnya bermuara pada jenjang empirik.
Daerah Vorsterlanden Surakarta: Politik Hukum Kolonial dan Latar Sejarah Sosial, yang mengungkapkan tentang latar belakang historis wilayah bekas Karesidenan Surakarta ini sebagai kewilayahan budaya, ekonomi dan politik. Bab tiga ini berisi proses kelebihan kolonial, politik kontrak di Surakarta, kapitalisme perkebunan dan keresahan agraris sejak dari Tanam Paksa hingga Reorganisasi Tanah, kebangkitan nasional, dan perubahan pola gerakan politik rakyat, serta munculnya Karesidenan Surakarta. Dari sini akan dapat ditarik ‘benang-benang merah’ berkaitan dengan perubahan dan kelangsungan wilayah bekas Karesidenan Surakarta sebagai kewilayahan budaya, ekonomi dan politik, serta berbagai persoalan yang menyertainya.
Profil Wilayah Bekas Karesidenan Surakarta, menggambarkan kondisi wilayah. Bab ini terdiri dari letak, lingkungan fisik dan kependudukan, kewilayan ekonomi dan industri; kewilayah budaya; sumber kebudayaan Jawa; kewilayahan politik; konflik dan rekonsiliasi; serta potensi wilayah yang terdiri dari daerah Kota Surakarta, daerah Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, dan Klaten. Dari deskripsi lokasi ini akan dapat dilihat tentang potensi wilayah dan karakteristik yang ada.
Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Kelayakan dan Kemanfaatan Terbentuknya ‘Provinsi Surakarta’. berisi pembicaraan tentang kelayakan wilayah tersebut sebagai sebuah provinsi menurut syarat/kriteria formal (PP No. 129/2000), tingkat kemanfaatannya bagi daerah yang bersangkutan dan perencanaan strategis bagi pengembangan wilayah ini, aspek kelayakan memuat tujuan, syarat/kriteria, konsekuensi, dan kemauan politik masyarakat tentang terbentuknya “Provinsi Surakarta”, aspek kemanfaatan menyangkut koordinasi wilayah: beranjak dari konsep “subasukowonosraten”, efektivitas birokrasi pemerintah, perolehan APBD, pemberdayaan partisipasi masyarakat; dan aspek perencanaan strategis (transformational approach), suatu perencanaan sosial tentang format masyarakat (komunitas) masa depan, melalui pembelaan sosial yang terencana dengan baik. Perencanaan pembanguann yang baik ini tentunya berdasarkan pemahaman permasalahan-permasalahan mendasar yang ada di wilayah ini, dengan solusi melalui program-program yang efektif yang dilaksanakan menurut skala prioritas.
Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Perspektif Makro, berisi pertama-tama tentang apa yang dapat ditarik sebagai perjalanan dari hasil stud kasus di Surakarta ke dalam perspektif makro; selanjutnya beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah; penyelenggaraan pemerintahan daerah; DPRD, aspirasi dan partisipasi masyarakat, serta Perda dan tujuan pembangunan.
Penutup, terdiri dari simpulan implikasi (teoretis dan praktis), dalil-dalil, yang tentunya tidak hanya memuat implikasi teoretis tetapi juga praktis, yang tentunya dapat dijadikan masukan bagi pengembangan studi lebih lanjut.
Naskah disertasi ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang disebut sebagai ‘hasil penelitian untuk disertasi’, selain karena perkembangan pemikiran juga masukan-masukan yang sangat berharga dari promotor dan para pembahas dalam seminar hasil penelitian. Pengembangan itu menyangkut format, isi (materi), klimaks kajian, dan pemaknaan temuan-temuan.
Disertasi yang merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah ini, baik proses maupun hasilnya merupakan puncak kegiatan dalam menempuh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro ini. Tetapi bukan berarti bahwa disertasi merupakan puncak kegiatan ilmiah setelah seseorang selesai menampuh program S3. Justru sebaliknya, disertasi merupakan awal dari karya tulis ilmiah, dalam arti bahwa setelah seseorang selesai menempuh program doktor masih dituntut untuk berbuat secara lebih produktif lagi dalam menciptakan karya tulis ilmiah. Disertasi ini juga menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban ilmiah pada dunia akademis. Karena itu, tanggung jawab dari seluruh isi disertasi ini terletak pada penulis.