Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah Dan Potensi Wilayah Suatu Kerangka Teoritik

Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah Dan Potensi Wilayah Suatu Kerangka Teoritik 
A. Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah
Hukum mempunyai arti, hakikat dan cakupan yang sangat luas, yang karena itu para ahli memberikan pengertian dan definisi yang berbeda-beda. Aristoteles berpendapat bahwa “Particular Law is that which each community lays down and applies to its own member. Universal law is the of nature”. Di sini Aristoteles membedakan antara hukum yang khusus dengan hukum yang universal adalam hukum alam. Berbeda dengan Aristoteles, Grotius mengartikan hukum sebagai “a rule of moral action abliging to that is right”. Menurut Grotius, hukum adalah aturan moral yang menjadi pedoman dalam bertindak secara benar. Berlainan dengan Aristoteles dan Grotius, Rudolph von Schering mendefinisikan hukum sebagai “the form of the guarantee of the condition of life and society assed by the sates power and contraint”. Sementara itu John Austin memberikan definisi hukum sebagai: “constitusional law is positive moralilty merely”. Kemudian, Paton berpendapat: “Law consist of a body of rules which are seen to operate as binding rules in community by means of rules to be seen as hinding”.  Beberapa definisi yang demikian tentunya tidak dapat memuaskan semua pihak.

Sementara itu, ilmuwan politik mendefinisikan hukum sebagai: “... rule setting forth either relationship between man and the state which expressed, sentioned, and unforced by state”. Pada ahli hukum sosial cenderung mendefinisikan hukum sebagai: “... a set rules or norm, written or unwritten, about right or wrong behaviour, duties and right”. Pengertian hukum yang demikian, merupakan pereduksian makna hukum. Hal demikian, diperkuat oleh pernyataan Norbert Wienner yang mengatakan hukum sebagai:

“... as the ethical applied to communication, and to language as a form of communications, especially when this normative aspec under control of some authority sufficiently strong to give ist decision an afective social
sanction”. Norbert Wienner, seorang ahli komunikasi masa modern, sehingga melihat hukum hanya sepanjang kaitannya dengan etika dan norma komunikasi. Seorang ahli hukum seperti Hans Kelsen juga melakukan pereduksian arti hukum, sebagaimana dikatakannya: “... primary norm which stipulates the sanctions”. Dari sini terlihat, bahwa hukum hanya sekedar formulasi norma, hal ini bisa berlanjut bahwa seolah-olah objek keilmuan dari ilmu hukum hanya terbatas pada norma hukum. Pengertian yang demikian tentunya tidak sesuai dengan hakikat dan kapasitas hukum yang sesungguhnya.

Beberapa pengertian hukum di atas dapat diperbandingkan misalnya dari belajar antropologi hukum, ada yang beranggapan bahwa: “law is a central concept in human society, without it, here would would e no society”. Pengertian hukum, yang cakupannya luas antara lain dikemukakan oleh Dennis Llyodis, seperti halnya definisi umum yang kebanyakan digunakan pada buku pegangan di Amerika, sebagai berikut :

“The law in the broad sense of our whole legal system with is institutions, rules, procedures, remedies, etc., is society attempt, through government to control human behavior andprevent anarchy, violence, oppression and injustice by providing and enforcing orderly, rational, fair and workable alternatives to the discriminate use of force by individuals or groups in the advancing of protecting their interest and resolving their controversies. Law seeks ti achive both social order and individual protection, freedom and justice”.

Melihat hukum sebagai sistem yang disebut sistem hukum yang terdiri dari sejumlah sub sistem yang saling berhubungan, tentunya akan lebih memadai daripada melihat hukum secara parsial dan sepotong-potong. Lawrence Friedman melihat sistem hukum terdiri atas tiga sub sistem yaitu struktur, substansi dan kultur hukum. Hal yang senada juga diketengahkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa “... hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (instituions) dalam proses-proses (processes) yang mewujudkan kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”. Dari rumusan yang demikian, Mochtar Kusumaatmadja melihat sistem hukum yang terdiri atas: 
1. Asas-asas dan kaidah hukum, 
2. Kelembagaan hukum, 
3. Proses-proses perwujudan kaidah dalam kenyataan.

Selain kedua pendapat tersebut, Schuyt melihat sistem hukum ke dalam tiga komponen sub sistem, dengan pandangan yang berbeda sebagai berikut:
1. Unsur ideal yang meliputi keseluruhan aturan, kaidah, pranata dan asas hukum, yang dalam peristilahan teori sistem dapat dicakup dengan istilah Sistem Makna dan Sistem Lambang atau Sistem Referensi. Sistem Makna pada bidang hukum dapat disebut Sistem Makna Yuridis. Aturan bukanlah pencerminan sesuatu yang ada dalam kenyataan, melainkan menyatakan gagasan-gagasan tentang bagaimana idealnya berperilaku. Hukum adalah lambang yang memberikan kesatuan dan makna pada kenyataan majemuk dari perilaku manusia. Dengan lambang-lambang itu maka orang akan mengerti dan memahami kemajemukan dan perilaku manusia, dengan itu akan dapat memberikan arti pada perilaku manusia sehingga semuanya itu memungkinkan terjadinya interaksi antar manusia yang bermakna, yang dalam hal ini disebut komunikasi.

2. Unsur operasional yang mencakup keseluruhan organisasi, lembaga, dan pejabat. Unsur ini meliputi bahan-bahan esekutif, legislatif dan yudikatif dengan aparatnya masing-masing seperti birokrasi pemerintah, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, advokasi, konsultan, notaris dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

3. Unsur aktual yang mencakup keseluruhan keputusan dan tindakan (perilaku), baik para pejabat maupun warga masyarakat, sejauh keputusan dan tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan dalam kerangka Sistem Makna Yuridis sebagaimana terurai pada nomor 1 di atas.

Dari ketiga pendapat para ahli tersebut, bahwa hukum sebagai suatu sistem mempunyai cakupan yang luas dan makna yang mendalam. Arti hukum yang sedemikian rupa, akan lebih bisa memainkan peranan dalam masyarakat. Pandangan hukum yang ditokohi oleh Jeremy Bentham beranggapan “law should be determined agent in creation of new norm”. Hal demikian, dapat dikatakan bahwa hukum selain dapat memperbaharui dirinya sendiri, juga dapat mereformasi masyarakat. Bertolak dari kondisi dan situasi sosial-kultural masyarakat Indonesia ketika itu, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan berdasarkan landasan atau kerangka teoritis bagi pembinaan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dalam teori hukum Roscoe Pound dengan filsafah budaya Norhrop dan pendekatan “policy oriented” Laswell-Mcdougal, yang mengolahnya menjadi suatu konsepsi yang memandang hukum sebagai sarnaa pembaharuan, di samping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.

Bertolak dari paham yang dikatakan Mochtar Kusumaatmadja sebagai paham aliran sociological jurisprudence (atau legal realism)?, ia mengetengahkan konsep Roscoe Pound tentang perlunya memfungsikan law as a tool of social engineering. Mochtar beargurmentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara yang sedang berkembang, jauh melebihi kebutuhan yang dirasakan negara-negara industri maju yang telah mapan. Ide law as a tool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tidak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi misalnya tentang pengaturan ihwal pertanahan, penambangan, perpajakan, keuangan dan perbankan dan masih banyak lagi sejenisnya, akan memberikan jaminan-jaminan kepastian yang penting untuk pembangunan ekonomi.

Ide memfungsikan “hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat”, aspek-aspek kehidupan masyarakat secara lebih luas, misalnya dalam proses reformasi sistem sosial. Dalam hal ini terlebih dahulu harus dirumuskan sosok atau “bentuk” akhir masyarakat yang dicita-citakan, baru kemudian dirumuskan strategi dan tahap-tahap yang harus dilalui dengan menempatkan hukum yang secara responsif sebagai pemberi legitimasi, dalam arti setiap proses pengambilan keputusan harus bersifat aspiratif dan partisipatif, memfungsikan hukum secara demikian akan sangat bermanfaat bagi masyarakat dan negara yang sedang berkembang. Tetapi memfungsikan hukum secara demikian, juga dapat berakibat sebaliknya ketika hukum tidak mampu bekerja secara mandiri dan otentik, dan hukum lebih cenderung menghamba kepada kekuasan dan capital.

Dengan mengutip istilah dalam ilmu teknik, penggunaan hukum yang secara sadar untuk mengubah masyaakat itu disebut sebagai social engineering atau lengkapnya society engineering by law. Langkah yang diambil dalam society engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut.
2. Memahami nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal society engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk seperti: tradisional, modern daripada perencanaan tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor yang dipilih.
3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4. Mengikuti jalannya penegakan hukum dan menukur efek-efeknya.

Hukum otonomi daerah yang dimaksud si ini adalah asas-asas semua peraturan dan ketentuan mengenai otonomi daerah yang terdapat dalam UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya diperbaharui menjadi UU No. 32 Trh. 2004 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 25 Th. 
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah; PP No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi; PP No. 129 Th. 2000 tentang Persyaratan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah; dan sebagainya, serta penafsiran yang tidak bertentangan dengan peraturan dan ketentuan yang dimaksud tersebut.

Pemberdayaan hukum otonomi daerah, dalam rangka pemberdayaan potensi wilayah dalam arti luas, adalah menafsirkan, mengembangkan dan menerapkan peraturan dan ketentuan mengenai otonomi daerah, yang dalam konteks ini adalah pemekaran daerah, yaitu pemekaran daerah Propinsi Jawa Tengah untuk dikembangkan menjadi Propinsi Jawa Tengah itu sendiri dan Propinsi Surakarta. Sementara, potensi wilayah dalam arti luas, tidak hanya mencakup “Potensi Daerah” sebagai syarat/kriteria formal dalam proses pemekaran daerah, tetapi seluruh potensi yang ada dan mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.

Seperti diketahui, bahwa konsep pemberdayaan merupakan kata lain dari empowerment. Menurut Webster dan Oxvord English Dictionary kata empowerment mengandung dua arti. Pengertian pertama, adalah to give power or authority to dan yang kedua adalah to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasana, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritasi ke pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua, diartikan upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Sebagai suatu proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, adalah proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses, memberikan atau mengalihkan sebagai kekuasana, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agarindividu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan membangun aset materil guna mendukung pembangunan kemampuan mereka melalui organisasi. Kecenderungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui dialog.

Dengan kata lain, bahwa terbentuknya “Propinsi Surakarta” melalui pemekaran daerah Propinsi Jawa Tengah, berdasarkan peraturan dan ketentuan yang berlaku yang disebut dengan Hukum Otonomi Daerah, agar daerah Bekas Karesidenan Surakarta tersebut dapat lebih berdaya dalam mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya.

B. Tujuan Pembangunana
Kebutuhan dasar manusia dalam rangka memerangi kemiskinan dapat didefinisikan atau dijabarkan yang mencakup komponen-komponen sebagai berikut: (a) Makanan yang cukup untuk hidup layak dan sehat, (b) Perumahan dengan sanitasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara kesehatan; (c) Pelayanan kesehaan dasar yang cukup; (d) Kesempatan luas untuk memperoleh pendidikan yang komprehensif, (e) Pemenuhan hak asasi manusia terutama hak untuk bekerja, mencari nafkah yang bermakna dan mengeluarkan pendapat serta suara; (f) Kebebasan dari ketakutan; (g)Kebebasan dari ketergantungan; (h) Peningkatan harga diri. 

Sementara keadilan sosial meliputi komponen-komponen: (a) Distribusi pendapat dan kekayaan yang adil; (b) Akses yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh informasi, pekerjaan dan kesempataan; (e) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai kehidupan mereka dan hak rakyat untuk mengorganisasikan diri mereka secara bebas dan merdeka dalam upaya mereka untuk mengembangkan dirinya dalam seluruh aspek kehidupan.

Komponen-komponen kebutuhan dasar dan keadilan sosial yang disebutkan di atas merupakan tujuan-tujuan pembangunan dalam strategi kebutuhan dasar dan keadilan sosial. Tujuan-tujuan pembangunan ini diupayakan untuk diraih dan dicapai dengan melaksanakan seperangkat kebijakan sosial ekonomi dan membangun seperangkat kelembagaan sosial yang akan menunjang pelaksanaan perangkat kebijaksanaan ekonomi ini.

Adapun sebagai perangkat kebijaksanaan sosial ekonomi dapat dikemukakan berikut ini :
1. Kebijaksanaan Sosial: (a) Kebijaksanaan Pemilikan/Penguasaan kekayaan; (b) Kebijaksanaan Upah; (c) Kebijaksanaan Pendidikan; (d) Kebijaksanaan Perburuan; (e) Kebijaksanaan Kesejahteraan Sosial; (f) Kebijaksanaan Kebudayaan; (g) Kebijaksanaan Tata Kota dan Ruang.

2. Kebijaksanaan Ekonomi: (a) Kebijaksanaan Investasi; (b) Kebijaksanaan Industrialisasi; (c) Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian; (d) Kebijaksanaan Interaksi antara sektor Pertanian dengan sektor Industri; (e) Kebijaksanaan Pengembangan regional dan kawasan; (f) Kebijaksanaan Fiskal; (g) Kebijaksanaan Moneter; (h) Kebijaksanaan Perdagangan Luar Negeri; (i) Kebijaksanaan Teknologi.

Komponen-komponen kelembagaan masyarakat yang perlu dikembangkan sifat dan kualitasnya agar cocok dengan proses menuju tujuan-tujuan pembangunan nasional yang bercirikan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan keadilan sosial antara lain dapat dikemukakan yang berikut ini: (1) Struktur kekuasaan (Power structure); (2) Representasi politik (Political representation); (3) Administrasi negara (Bureaucracy); (4) Lembaga kontrol sosial (pers, organisasi kemasyarakatan, organisasi kekaryaan, dan lain-lain); (5) Sistem hukum (legal system).

C. Pemberdayaan Birokrasi Pemerintahan dan Masyarakat
Studi mengenai birokrasi khususnya birokrasi modern tidak terlepas dari pandangan Max Weber tentang birokrasi. Dalam karyanya, The theory of Economic and Social Organization, Weber mengetengahkan konsepnya tentang ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Konsep-konsep Weber ini kemudian dirangkum oleh Donal P. Warwick dalam empat ciri utama, yaitu: 1. adanya struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah (a hirarchial structure delegasions of atuhority from the top to the bottom of an organization); adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having precribed duties and responsibilities); 3. adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi tingkah laku para angotanya (formal rules, and standars governing operations of the organization and behavior of its member); 4. adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang diperkejakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan/kinerja (tehnically qualified personel employed an career basic, with promotion based on qualifications and performance).

Sementara itu, La Palombara merangkum ciri-ciri khusus organisasi birokrais yang meliputi lima aspek, yaitu: 1. aturan-aturan administratif yang sangat terdefinisikan terspesialisasi (specialized highly diferentiated administrative rules); 2. rekruitmen atas dasar prestasi (diukur melalui ujian) bukan atas dasar askripsi (recruitmen on the basic of achievement measured by examination rather than asciprtion); 3. Penempatan, mutasi/peralihan dan promosi atas dasar kriteria universalitas bukan atas dasar partikularitis (placement, transfer and promotion on the basic of universalitic rather than particularitis criteria); 4. Administrator-administrator yang merupakan tenaga profesional yang digaji dan yang memandang pekerjaannya sebagai karir (administration who are salaried profesionals whi view their work as a career); dan 5. Pembuatan keputusan administratif dalam konteks hirarki, tanggung jawab, disiplpin yang rasional dan mudah dipahami (administrative decision making within a rational and readly understood context of hirarchy, responsibility and disipline).

Organisasi birokrasi mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan organisasi lainnya dalam masyarakat, sebagaimana dilukiskan oleh Weber:

“Ketetapan, kecepatan, kejelasan dan pengetahuan tentang kearsipan, kontinyuitas, penyimpangan, kesatuan, subordinasi yang ketat, pengurangan prinsip-prinsip optimum yang menjadi pegangan administrasi birokrasi dibandingkan dengan semua bentuk administrasi organisasi kehormatan dan organisasi sukarela, ... birokrasi yang terlatih mempunyai kelebihan berkat prinsip-prinsip tersebut”.

Weber juga membedakan antar organisasi legal rasional dan ciri-cirinya tersebut mendasri terbentuknya organisasi pemerintah yang disebut birokrasi pemerintahan. Birokrasi pemerintahan (govermental bureaucracy) sebuah terminologi yang antara lain dipakai oleh Almond dan Powell, yaitu “Birokrasi pemerintahan adalah sekumpulan jabatan dan tugas yang terorganisasi secara formal, yang berkaitan dengan jenjang yang kompleks yang tunduk pada pembuat pean yang formal” (the formal rule makers) 

Sementara itu, Lance Castles yang mengamati birokrasi di Indonesia memberikan pengertian: “Birokrasi saya maksudkan sebagai orang bergaji yang menjalankan fungsi pemerintahan, tentu saja termasuk di dalamnya para perwira militer dan birokrasi militer. Birorkrasi saya maksudkan tidak selalu sesuai dengan gagasan Weber tentang birokrasi yang rasional”.

Sebagaimana telah disinggung di depan, Max Weber mengemukakan teorinya dalam “kerangka teori” mengenai domination. Menurut Weber, domination merupakan salah satu bentuk hubungan kekuasaan di mana penguasa sadar akan haknya untuk memerintah, sedangkan yang diperintah sadar untuk mentaati perintah penguasa. Weber mengetengahkan tiga tipe domination, yaitu charismatic domination, dimana keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber pada kualitas supranatural pribadi sang pemimpin; tradisional domination, dimana suatu bentuk hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan bersumber pada tradisi; dan legal-rasional domination, yaitu keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber dari ketentuan atau peraturan formal. Dalam charismatic domination penggunaan kekuasaan dilaksanakan melalui suatu aparat yang terdiri dari para pengikut setia (disciplies), dan dalam tradisional charismatic dalam bentuk pejabat feodal, tetapi dalam legal-rational domination perwujudan kekuasaan dilaksanakan melalui birokrasi, yang disebut dengan “birokrasi modern”.

Birokrasi di sini diartikan: “... the existance of a system of control based on rational rules, rules which try to regulate the whole organizational structure and process on the basis of technical knowledge and with the maximum efficiency”.

Seperti telah disebutkandi muka, bahwa Weberian bureaucracy mempunyai ciri-ciri utama: 1. adanya derajat spesialisasi yang tinggi; 2. adanya struktur kewenangan hirarkis; 3. adanya hubungan antara anggota yang bersifat impersonal; 4. cara pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis; 5. pemisahan urusan dinas dari urusan pribadi dipandang akan menjamin pelaksanaan tugas secara efisien. Dari sini terlihat, bahwa efisiensi merupakan nilai yang melekat pada birokrasi.

Tapi dari pendekatan lain, terlihat bahwa efisiensi bukan satu-satunya nilai yang melekat pada birokrasi. Hegelian bureaucracy misalnya, melihat bahwa fungsi birokrasi adalah sebagai penghubung antara negara dengan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum, sedangkan civil society mempresentasikan kepentingan khusus yang ada dalam masyarakat.

Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuannya untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalam masyarakat tersebut dan mengkoordinasikannya dalam kepentingan umum negara. Dari sini terlihat bahwa nilai yang terkait dalam birokrasi menurut konsepsi Hegel bukan efisiensi, tetapi sampai berapa jauh birokrasi dapat menyalurkan kepentingan-kepentingan umum. Sebagaimana dikatakan oleh Mouzelis: “... the state bureaucracy is the medium through which this passage form particular to the general interest become posible”.

Para cendekiawan yang lebih mutakhir, banyak di antaranya yang melihat efisiensi bukan sebagai nilai absolut. Mereka dalam batas-batas tertentu cukup mentolerir inefisiensi, jika hal tersebut harus diterima sebagai alternatif demi tercapainya tujuan dari nilai lain. David Korten, misalnya salah seorang pemikir strategi dan teori-teori pembangunan untuk dunia ketiga, melihat bahwa inefisiensi sebagai suatu tahap yang mungkin harus dilalui dalam learning process approach menuju pembinaan kapasitas birokrasi. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran tersebut, kesalahan dan kekurangan tertentu dari birokrasi dapat ditolerir demi tercapainya tujuan yang lebih besar, yaitu terbentuknya birokrasi dan lembaga kemasyarakatan yang oleh Korten dikatakannya: “... the rural poor are to give meaningful expression to their views, mobilize their own resources in self-hel action, and enforce their demand ont he broader national political and economic system”.

Selain itu, masalah efisiensi seringkali harus dicapai melalui trade off dengan nilai seperti pemerataan. Dengan kata lain, demi efisiensi tidak mungkin nilai yang lebih besar seperti pemerataan harus dikorbankan. Apakah kita sependapat dengan Daniel Bell, yang mengatakan : “balanced consideration between ‘economizing’ mode which is oriented to functional effiency and the management of men and the ‘sociologizing’ mode which esthablished broeder social criteria...”.

Dengan demikian, terlihat bahwa efisiensi bukanlah satu-satunya nilai absolut bagi birokrais, dalam hal ini birokrasi pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan khususnya di negara-negara berkembang. Nilai lain seperti demokratisasi, misalnya demokratisasi melalui artikulasi kepentingan kelompok-kelompok sosial dan mengintegrasikannya ke dalam kepentingan umum; pembinaan kelembagaan; serta pemerataan. Efektivitas, yang aplikasinya adalah efisiensi x nilai-nilai relatif, juga merupakan salah satu nilai yang dapat dikaitkan dengan cara kerja birokrasi.

Tipe ideal organisasi birokrasi Weber tersebut sulit ditemukan dalam dunia nyata, apalagi di dunia ketiga. Di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia terdapat jargon-jargon yang mencerminkan keberadaan birokrasi termasuk cara kerjanya, seperti prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang kurang efektif, sumber penyalahgunaan wewenang; dan untuk makna yang lebih luas juga “pengendali masyarakat”. Simpul-simpul kesan yang demikian timbul karena orang melihat birokrasi sebagai instrumen negara, dan secara lebih khusus adalah instrumen pemerintahan dari dunia realitas. Apa yang tersimpul itu merupakan konsekuensi dari metode dan cara kerja birokrais yang tidak efisien dan kurang efektif, kurang rasional, belum dapat bersikap netral dan obektif, adanya beberapa penyimpangan yang mungkin dapat dirasakan oleh masyarakat; dan efektivitasnya dalam mengendalikan dan memobilisasi kegiatan politik maupun pembangunan.

Berkaitan dengan gejala tersebut, ada baiknya ditengok pendapat Fred W. Riggs tentang birokrasi berdasarkan tingkat perkembangan suatu masyareakat, yang dipengaruhi unsur budaya lokal. Riggs mengemukakan konsep tentang masyarakat prismatik (prismatic society) sebagai suatu model masyarakat. Menurut Riggs, pola birokrasi yang cenderung feodalistik. Pola perilaku birokrasi dalam masyarakat tradisional sudah tetap dan dapat diduga sebelumnya. Dalam masyarakat peralihan, perilaku birokrasi hampir-hampir berubah dan mengikuti suatu pola yang disebut sebagai “model sala” (sala adalah balai rakyat/public room) di negara-negara Eropa Selatan dan Amerika Latin. Dalam masyarakat yang telah maju (defracted sosiety), peranan birokrasi telah terspesialisasi dan fungsi-fungsinya semakin rinci. Perilaku birokrasi dengan pola yang tetap dan dapat diperhitungkan sebelumnya. Menurut Riggs, perilaku yang berbeda dari birokrasi tersebut dapat dikaitkan dengan tingkat perkembangan bidang sosial dan ekonomi yang dipengaruhi oleh perkembangan budaya masyarakat.

Michael Crozier, dalam penelitiannya di Perancis mengenai perilaku pegawai dan birokrasi dua buah organisasi birokrasi yang cukup besar, yaitu Clerical Agency dan Industrial Monopoly (keduanya bukan nama sebenarnya), mengemukakan beberapa kesimpulan penting, yang menyangkut lingkaran setan perilaku birokrasi dan para pegawai umumnya. Crozier mengetengahkan, bahwa perilaku administrasi dan birokrasi di Perancis pada hakekatnya bersumber dan berakar dalam budaya masyarakat Perancis Crozier juga menyoroti kekurangan-kekurangan yang ada dalam tubuh birokrasi seperti di Perancis, yang antara lain dikatakannya: “suatu organisasi birokrasi... adalah organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan”. Dari sinilah terlihat, bahwa kritik dari terhadap keberadaan birokrasi tidak hanya terbatas pada masalah inefisiensi saja, tetapi lebih luas dari itu. Donald Warwick mengemukakan: “kritik-kritik menyatakan bahwa organisasi pemerintah yang menjadi tuan dan bukan pelayan masyarakat mengakibatkan takutnya orang dalam mengambil prakarsa, menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana pemerintah federal.”

Karena perkembangan, birokrasi pemerintah telah memiliki struktur, fungsi dan kultur yang sedemikian rupa, termasuk sikap dan tingkah laku para birokratnya. Siapakah para birokrat itu, Edward Feit menerangkan: “definisi yang digunakan adalah definisi birokrat sebagai orang-orang dalam kepegawaian negara yang dapat disamakan dengan jenjang ‘atas’ atau ‘menengah’ manajemen bisnis. Mereka merupakan bagian hirarki jabatan tersebut yang memiliki wewenang yang berasal dari kepala eksekutif, kepala negara atau jabatan yang sederajat.”

Sementara itu, La Palombara memberikan penjelasan: “birokrat yang paling penting bagi kita adalah mereka yang umumnya melaksanakan peran manajerial, yang memerintah baik di badan-badan sentral maupun di bidang masing-masing, yang umumnya dideskripsikan dalam batas administratif negara sebagai ‘manajemen tingkat menengah’ dan ‘manajemen tingkat atas’ 

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma dan pembangunan, yang bersifat ‘prople-centered, participatory, empowering, and sustainable”. 

Dalam konteks pemikiran tersebut, Ginanjar Kartasasmita mengetengahkan tiga sisi upaya pemberdayaan masyarakat, yang meliputi: pertama, menciptakan sarana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pergerakan bahwa setiap manusia dan masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan sebagai upaya untuk membangun daya, dengan memotivasi dan membangkitkan kesadaran dan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi serta daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan sarana sosial. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat semakin berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat.

Selanjutnya Kartasasmita mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat haruslah segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut: Pertama, peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dirinya dengan misi ini. Dalam rangka ini, ada beberapa upaya yang harus dilakukan: 1) birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat; 2) birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya berilah sebanyak-banyaknya kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri; 3) untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaik-baiknya, baik pengetahuan maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan membangun dengan kemandirian; 4) birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat yang tidak dapat diperoelhnya sendiri; 5) birokrais harus dapat menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.

Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal, LSM dapat berfungsi sebagai pelaksana program pemeritnah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pemantu (konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah. Sebaliknya, LSM sesuai dengan namanya, dapat pula mengembangkan programnya sendiri. Dalam rangka ini aparat setempat harus menjalin kerjasama erat dengan LSM, agar program LSM dapat bersinergi dengan program pemerintah atau sekurang-kurangnya tidak terjadi kesimpangsiuran yang dapat mengakibatkan benturan yang dapat merugikan rakyat. LSM harus diperlakukan sebagai mitra pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu sendiri, atau sering disebut local community organization.

Lembaga ini dapat disebut semi atau kuasiformal seperti LKMD, PKK atau Karang Taruna, atau yang kemungkinan tumbuh dari masyarakat sendiri seperti kelompok arisan, kelompok sinoman, kelompok paketan dan sebagainya.

Keempat, koperasi. Koperasi merupakan wadah ekonomi rakyat yang secara khusus dinyatakan dalam konstitusi sebagai bangun usaha yang paling sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi dapat menjadi wahana yang efektif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, dengan membangun usaha modern namun dengan dasar-dasar kekeluargaan dan kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia.

Kelima, pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan dirinya. Karena itu, diperlukan pendamping untuk membimbing penduduk miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendamping bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator atau dinamisator 

D. Tindakan Sosial Definisi Situasi
Tindakan sosial menurut Weber adalah tindakan individu sepanjang itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain. Tindakan sosial itu juga dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan pada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang menginternal dan bermakna, atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang menurutnya menguntungkan. Selanjutnya Weber mengusulkan lima hal pokok yang harus dikaji dalam studi tentang tindakan sosial:
1. Tiap tindakan manusia yang menurut pelaku mempunyai makna yang subjektif dan bermanfaat.
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin dengan maksud tertentu dari perilaku.
3. Tindakan yang berkaitan dengan pengaruh positif (menurut pelaku) dengan situasi dan kondisi tertentu.
4. Tindakan tersebut diarahkan kepada orang lain dan bukan pada barang mati.
5. Tindakan itu dilakukan dengan memperhatikan tindakan orang lain dan terarah pada orang lain tersebut

Hebert Blumer, selain mengembangkan pemikirannya sendiri, juga mengadopsi dan mengembangkan pemikiran pendahulunya, George Herbert Mead (1863-1931) sebagai perintis dan peletak dasar teori interaksionisme simbolik. Rangkaian konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, tentang konsep diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak karena rangsangan dari luar dan dari dalam, melainkan organisasi yang sadar akan dirinya. Karenanya ia mampu memandang dirinya, pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri. Kedua, adalah konsep perbuatan (action). Perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri, sehingga berbeda gerak makhluk yang bukan manusia. Ketiga, konsep objek. Manusia hidup di tengah-tengah objek yang meliputi hal-hal apa saja yang menjadi sasaran dan perhatian manusia. Keempat, konsep interaksi sosial. Interaksi berarti para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke posisi orang lain. Dengan berbuat demikian mereka mencari tahu maksud yang diberikan oleh pihak lain terhadap aksinya sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan terjadi. Interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerik saja, tetapi terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti artinya. Kelima, konsep aksi bersama (joint-action). Istilah “joint-action” digunakan untuk mengganti konsep “sosial arti” dari Mead. Joint-action berarti aksi yang kolektif yang lahir dimana perbuatan masing-masing dicocokkan dan diserasikan satu sama lain.

William I. Thomas, memberikan sumbangan yang penting bagi perkembangan teori interaksionisme simbolik, karena penekanannya akan arti penting “definisi situasi” yaitu pandangan seseorang yang bersifat subjektif terhadap suatu situasi yang dihadapi. Prinsip dasar ini sering disebut sebagai “teorism Thomas” yang menyatakan “kalau orang mendefinisikan situasi sebagai riil, maka akan riil pula konsekuensinya”. (if man define sitation as real, they are real in their consequences). Stimulus yang sama mungkin menghasilkan respon yang berlainan, kalau pada waktu definisi situasi yang bersifat subjektif atau berbeda-beda, seperti dikatakan Thomas: “Mengawali setiap tindakan atau perilaku yang ditentukan sendiri, selalu ada tahap pertimbangan dan pengujian yang disebut definisi situasi”. Konsep ini dapat diterapkan pada tingkat identitas diri seseorang. Harus dilihat pula, bahwa objektifitas dalam dunia sosial, tidak lain adalah intersubjektifitas. Karena itu, definisi yang tumbuh dari pandangan individual itu dapat berkembang menjadi pandangan kolektif, karena ada kesamaan cara pandang dan ukuran yang dipakai. Definisi-definisi sosial tentang situasi, ketetapan subjektifnya, mempunyai konsekuensi objektif. Misalnya pandangan seseorang pribumi tentang keberadaan orang-orang Tionghoa di Surakarta, tentunya bermula dari pandangan subjektif seseorang yang berkembang menjadi pandangan kolektif, karena ada kesamaan cara pandang dan kategori yang dipakai.

Sementara itu, Blumer memandang bahwa dunia sosial empiris terdiri dari manusia beserta berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari mereka. Pengetahuan perilaku yang intim itu hnya diperoleh melalui tangan pertama dan partisipasi dalam kelompok yang diteliti. Kemudian, Blumer menawarkan dua model pengamatan yang memungkinkan pengkajian fenomena sosial secara langsung yaitu penjelajahan (exploration) dan pengamatan (inspection) Tujuan utama penjelajahan adalah memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai apa yang terjadi di lapangan, dengan selalu waspada dan memperbaiki hasil observasi. Hasil penjelajahan yang seperti itu oleh Blumer disebut dengan “pemekaan konsep” atau sensitizing concept. Blumer melihat bahwa konsep-konsep kebudayaan, lembaga-lembaga moral dan kepribadian sebagai sensitizing concept . Selain penjelajahan, metoda yang ditawarkan oleh Blumer adalah pemeriksaan. Pemeriksaan (inspections), memberikan jalan kepada peneliti untuk memeriksa konsep-konsep tersebut dari sudut pembuktian empiris. Dari kedua metoda yang ditawarkan oleh Blumer tersebut, nampaknya perlu dilengkapi dengan apa yang disebut pemaknaan atau penafsiran/interpretasi. Menurut Berger dan Luckman, interpretasi diperlukan karena masyarakat selalu berada dalam dua dimensi yaitu dimensi kenyataan obektif dan dimensi kenyataan subyektif. Masyarakat sebagai kesatuan objektif dapat diartikan, bahwa orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah “nyata”, terlepas dari pandangan kita terhadap mereka Namun demikian, kesemuanya itu adalah juga kenyataan subjektif masin-masing. Persepsi merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Goffman dan Blumer menekankan tidak menanggapi orang lain tersebut sesuai dengan “bagaimana ia membayangkan (mempersepsikan) orang itu”. Dalam perilaku manusia, “kenyataan” tersebut dibangun dalam alam pikiran manusia pada saat mereka berinteraksi satu sama lainnya. Pembentukan kenyataan sosial ini berlangsung sepanjang orang menetapkan perasaan dan keinginan atas orang lain. Tidak semua fakta mempunyai makna. Makna hanya diberikan oleh manusia dari tindakan dan interaksi manusia itu sendiri

E. Struktur dan Pelaku
Anthony Giddens, kritkus dan pencetus teori strukturalis, antara lain mengetengahkan hubungan pelaku dan struktur. Pelaku berbeda dengan struktur adalah jelas. Akan tetapi perbedaan itu bersifat dualisme atau dualitas? Giddnes melihat bahwa ilmu sosial dijajah gagasan dualisme pelaku vs struktur. Ia memproklamasikan hubungan keduanya sebagai dualitas, “tindakan dan struktur yang saling mengandaikan. Apa yang disebut ‘pelaku’ menunjuk pada orang kongkret dalam “arus kontinyu tindakan dan peristiwa di dunia”. ‘Struktur’ bukanlah nama bagi totalitas, bukan kode tersembunyi dalam strukturalisme, bukan pula yang terbentuk bagian-bagian dari suatu totalitas. Struktur ialah “aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial”. Struktur analog dengan langue (mengatasi waktu-waktu). Berdasarkan prinsip dualistas struktur pelaku ini, Giddens menggagas suatu teori baru: Teori Strukturasi

Pertama dan terutama harus disebut adalah Teori Strukturasi. Seperti sudah disebut, hubungan antara ‘pelaku’ (tindakan) dan struktur berupa relasi dualitas, bukan dualisme. Dualitas ini terjadi ‘praktek sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Dualitas terletak dalam fatwa bahwa skemata mirip aturan yang menjadi prinsip bagi praktik di berbagai tempat dan waktu tersebut merupakan hasil (outcome) keterulangan tindakan kita, dan sekaligus skemata yang mirip “aturan” itu menjadi sarana (medium) bagi berlangsungnya praktek sosial kita. Giddens menyebtu skemata itu ‘struktur’. Struktur mengatasi waktu dan tempat. Karena itu bisa diterapkan pada berbagai situasi. Lain dengan pengertian Durkhemian tentang struktur yang lebih bersifat mengekang (constrarining), strktur dalam gagasan Giddens juga bersifat memberdayakan (enabling). Maksudnya memungkinkan berlangsungnya praktik sosial. Itulah mengapa Giddens melihatnya sebagai ‘sarana’ 

Dari berbagai prinsip struktural, Giddens melihat tiga gugus besar struktur. Pertama, struktur ‘signifikansi’ (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur ‘dominasi’ (domination) yang menyangkut sekemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum Prinsip ‘signifikansi’ pada gilirannya juga mencakup skemata ‘dominasi’ dan ‘legitimasi’, karena signifikansi ‘ orang yang mengajar disebut guru’ pada gilirannya menyangkut skemata dominasi ‘kekuasaan guru atas murid’ dan juga skemata legitimasi ‘pengadaan ujian’. Hal yang sama juga berlaku bagi struktur ‘dominasi’ dan ‘legitimasi’. Ambillah konsepsi struktur sebagai sarana (medium) praktek sosial. Tindakan dan praktek sosial ‘berkomunikasi’ selalu mengandaikan struktur ‘sigtnifikansi’ tertentu, misalnya tata-bahasa, ‘penguasaan’ atas barang (ekonomi) dan orang (politik) melibatkan skemata ‘legitimasi’. Ketiga, arus sebaliknya: struktur sebagai hasil (outcome) dari praktek sosial Reproduksi sosial berlangsung lewat dualitas ‘struktur’ dan ‘praktek sosial’ tersebut. Soalnya ialah apakah kita pada pelaku tahu akan hal itu, ataukah kita hanya seperti wayang di tangan (para) dalang dalam (berbagai) lakon yang telah ditemukan, seperti status pelaku dalam fungsionalisme Parsons atau Marxisme Althusser? Jawaban Giddens lugas: kita tahu. Akan tetapi “tahu” tidak harus diartikan “sadar”, apalagi sebagai kapasitas yang menjelaskan semua proses secara eksplisit. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku; motivasi tidak sadar (practical consciousness), dan kesadaran dirkusif (discursive consciousness) Rutinitas hidup personal dan sosial terjadi melalui gugus strukturasi, betapapun kecilnya perubahan itu. “Batas antara kesadaran pratis dan kesadaran diskursif sangatlah lentur dan tipis, ... tidak seperti antara kesadaran diskursif dan motivasi tak sadar”. 

Teori strukturasi Giddens mengklaim, bahwa tindakan seseoran tidak selalu ditentukan atau disesuaikan dengan struktur (nilai-nilai, norma-norma, kekuasaan yang ada), tetapi mempunyai kebebasan yang menyimpang dari struktur. Keterkaitan dan sekaligus kebebasan terhadap struktur karena adanya kegandaan struktur (duality of structure). Posisi seseorang dalam kegandaan struktur menyebabkan ia berada dan dibentuk oleh tatanan struktur, tetapi sekalius juga sebagai penyumbang terbentuknya struktur melalui interaksi yang dilakukannya Pada titik ini, ia selalu terlibat dalam proses reproduksi struktur, dan pada saat yang bersamaan ia terlibat dalam proses penciptaan struktur-strukturbaru  Agent, dalam teori strukturasi bertugas menerjemahkan peraturan umum menjadi lebih bermakna bagi pergumulan riil sehari-hari. Teori strukturasi menjelaskan, bahwa tindakan seseorang tidak semata-mata terikat pada nilai, norma, dan kekuasaan bersama, tetapi berkaitan dengan tujuan ang diharapkan berdasarkan alasan tertentu. Menurut Giddens, alasan-alasan tertentu tersebut, tidak harus dikaitkan dengan norma-norma atau kebiasaan tertentu sebagaimana teori aksi Parsons, melainkan berkaitan dengan masalah praktis dalam konteks kehidupan sehar-hari Struktur dalam teori strukturasi tidka hanya merupakan kumpulan aturan atau kapabilitas yang terisolasi, tetapi juga merupakan media dan hasil reproduksi sistem sosial Struktur merupakan kondisi yang bersifat membantu terbentuknya suatu tindakan atau sikap, sekaligus memberi peluang terbentuknya aksi dan struktur-struktur baru yang terlahir dari pilihan bekas seseorang  Berkaitan dengan peranan agensi tersebut, Waters secara ringkas mengetengahkan tentang karakteristik utama teori-teori agensi manusia sebagai berikut :
1) Mereka memperlakukan manusia sebagai subjek yang cerdas dan kreatif, yang terutama sekali dalam mengontrol kondisi-kondisi yang mempengaruhi kehidupan sosial mereka.
2) Manusia melengkapi tingkah laku mereka dengan makna. Tugas penting dari sosiologi adalah untuk memasuki dan memahami makna-makna itu. Karena itu sosiologi haruslah menjadi disiplin ilmu yang kemeneutik yang menyelidiki tindakan-tindakan.
3) Tindakan manusia didorong oleh makna yang diberikan pada tindakan itu, berkeaan dengan cara individu yang secara mental memproyeksikan tindakan melalui waktu untuk mencapai tujuan. Motif-motif ini dapat diakses oleh sosiolog dengan memakai perhitungan atau alasan verbal untuk tingkah laku.
4) Substansi dunia sosial adalah interaksi manusia, suatu proses konstan tentang negosiasi makna antar subjek dengan menggunakan kata-kata, gerakan-gerakan dan simbol-simbol lainnya.
5) Pola-pola yang teratur muncul dalam interaksi manusia sehingga tidak semua aspek mekna harus dinegosiasi ulang. Pola-pola yang muncul ini, merupakan susunan kehidupan sosial dengan skala besar yang dianggap pasti.
6) Karena itu, tekanan dalam teori tentang agensi adalah memberikan gambaran dan penjelasan tentang pengalaman sosial sehari-hari dan yang baru, seringkali dari sudut pandang individu tertentu daripada menyusun teori struktural berskala besar.

F. Rangkuman
1) Hukum otonomi daerah yang dimaksud dalam studi ini adalah asas-asas, semua peraturan dan ketentuan mengenai otonomi daerah yang terdapat dalam UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang diperbaharui menjadi UU No. 32 Tg. 2004; No. 25 Th. 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah; PP No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi; PP No. 129 Th. 2000 tentang Persyaratan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah; dan sebagainya, serta penafsiran yang tidak bertentangan dengan peraturan dan ketentuan tersebut. Dengan pengertian yang demikian, hukum otonomi daerah yang dimaksud memiliki kesesuasian yuridis, karena tidak ada pertentangan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain. Hukum otonomi daerah itu juga mempunyai kesesuaian filosofis, karena bertujuan menyejahterakan rakyat melalui penafsiran dan penerapan hukum secara kontekstual, dengan senantiasa mengacu pada doktrin yang mendasar yaitu bahwa hukum untuk manusia. Begitu pula kesesuaian sosiologis yang terkandung dalam hukum otonomi daerah, bahwa hukum dapat dijadikan alat untuk merekayasa masyarakat atau sarana perubahan sosial yang terencanakan, sesuai dengan aspirasi masyarakat.

2) Pemberdayaan hukum otonomi daerah dalam rangka pemberdayaan potensi wilayah dalam arti luas, adalah menafsirkan, mengembangkan dan menerapkan peraturan dan ketentuan mengenai otonomi daerah, yang dalam konteks ini adalah pemekaran daerah, yaitu pemekaran daerah Propinsi Jawa Tengah untuk dikembangkan menjadi Propinsi Jawa Tengah itu sendiri dan Propinsi Surakarta. Sementara, potensi wilayah dalam arti luas, tidak hanya mencakup “Potensi Daerah” sebagai syarat/kriteria formal dalam proses pemekaran daerah, tetapi seluruh potensi yang ada dan mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Pemberdayaan hukum otonomi daerah yang demikian, dalam upaya peningkan intensitas dan efektivitas pembangunan daerah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam arti luas, termasuk pemenuhan kebutuhan pokok dan pengakuan supremasi hukum.

3) Dalam konteks pemberdayaan hukum otonomi daerah dan pemberdayaan potensi wilayah, pada tahap pertama adalah menafsirkan dan menerapkan peraturan dan ketentuan yang terkait dengan otonomi daerah, khususnya studi tentang kelayakan Bekas wilayah Karesidenan Surakarta, jika dikembangkan menjadi sebuah provinsi. Pada tahap berikutnya adalah pemberdayaan seluruh potensi wilayah, yaitu wilayah Bekas Karesidenan Surakarta untuk menjadi sebuah propinsi, tentuna harus dilihat aspek kemanfaatan bagi wilayah yang bersangkutan. Dari sini terlihat, bahwa pemberdayaan yang mengandung dua konsep yaitu kelayakan dan kemanfaatan merupakan pengembangan dari hukum otonomi daerah yang ada agar lebih berdayaguna. Dengan kata lain, telah terjadi dualitas struktur yang berarti mengembangkan, menafsirkan secara lebih spesifik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang ada.

4) Dalam proses pemberdayaan hukum otonomi daerah dan potensi wilayah, pendayagunaan birokrasi pemerintahan daerah salah satu faktor terpenting, melalui peningkatan efektivitas dengan pendekatan pengembangan kultur, struktur dan fungsi birokrasi. Hal demikian juga menjadi kunci terpenting dalam implemetnasi prinsip-prinsip tata pemerintah yang baik (good government), untuk menumbuhkembangkan kekuatan sinergis antara lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan masyarakat.

5) Menafsirkan dan menerapkan hukum sebagai alat analisis, yang pada hakikatnya adalah mengembangkan kegunaan hukum, yang berarti menimbulkan dualitas struktur. Hal demikian, karena hasil penafsiran tersebut tidak bertentangan dengan struktur yang ada di atas dan di sampingnya bahkan menambah kedayaunaan hukum, sesuai dengan tugas agensi.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson