Fenomena Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan di Eks-Karesidenan Banyumas.

Fenomena Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan di Eks-Karesidenan Banyumas. 
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) meningkat dengan sangat tajam, hal ini terlihat dari jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang meningkat dengan pesat, dari sekitar 7.000 pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001 dan meningkat lagi menjadi 49,840 juta pada tahun 2007.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dibandingkan dengan total perusahaan pada tahun 2007 adalah sebanyak 49,840 juta perusahaan atau sebesar 99,9 persen, sedangkan perusahaan besar hanya sebanyak 4,52 ribu atau hanya sebesar 0,01 persen. Pada tahun yang sama jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor ini mencapai 91.752.318 atau sebesar 99,5 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB) pada perekonomian Indonesia mencapai Rp. 2.121,3 trilyun atau sebesar 53,6 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). 

Pada tahun 2007 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mampu memberikan kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar 19,1 persen. Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,3 persen pada tahun 2007, usaha mikro kecil mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 2,4 persen dan 1,2 persen yang berasal dari usaha menengah, sedangkan usaha besar hanya menyumbang 2,7 persen. Sebagian besar hasil produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang diekspor yaitu 89 persen, berupa komoditi yang dihasilkan sektor industri, diikuti oleh sektor pertanian sebesar 9,8 persen, dan pertambangan sebesar 1,2 persen, sedangkan usaha besar peranan komoditi sektor industri sebesar 82,3 persen, diikuti sektor pertambangan sebesar 17,5 persen dan sektor pertanian 0,2 persen. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia adalah sangat penting dalam menyediakan lapangan kerja dan menghasilkan output. Melihat sumbangan yang semakin penting, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) seharusnya mendapatkan perhatian yang semakin besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia (Adiningsih, 2002).

Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang semakin meningkat dari segi kuantitas ternyata belum diimbangi dengan peningkatan kualitas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memadai. Penguasaan asset Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga sangat kecil dibandingkan dengan penguasaan asset perusahaan besar dimana penguasaan asset Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hanya sebesar 8 persen padahal jumlah perusahaan mencapai 49,840 juta, sedangkan penguasaan asset perusahaan besar mencapai 58 persen meskipun jumlah perusahaan hanya sebanyak 4,52 ribu. Masalah yang masih dihadapi adalah rendahnya produktifitas sehingga menimbulkan kesenjangan antara usaha ekonomi kecil menengah dan besar. Berdasarkan harga konstan tahun 1993, produktivitas per unit usaha selama 2000-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, yaitu usaha kecil dan mikro masih berkisar Rp. 4,3 juta dan usaha menengah berkisar Rp. 1,2 miliar. Rendahnya produktivitas ini berkaitan dengan: 1). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia khususnya dalam hal manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran, 2). Lemahnya rata-rata kompetensi kewirausahaan. 3). Terbatasnya kapasitas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk mengakses permodalan, teknologi informasi, pasar dan faktor produksi lainnya. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga masih menghadapi berbagai permasalahan yang terkaitan dengan iklim usaha seperti: (1). Besarnya biaya transaksi, perpanjangan proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan (2). Praktek usaha yang tidak sehat. Disamping itu otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Bahkan beberapa daerah memandang bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sehingga biaya usaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi meningkat.

Meskipun peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia memegang peranan yang sangat sentral, namun kebijakan pemerintah maupun peraturan pendukungnya sampai sekarang dipandang belum optimal. Sehingga dalam pelaksanaannya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih menghadapi berbagai permasalahan. Menurut Urata (2000) masalah yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat dikelompokan menjadi dua yaitu masalah finansial dan masalah non finansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial adalah diantaranya adalah: (1). Kurangnya kesesuaian (terjadinya mismatch) antara dana yang tersedia dan dana yang dapat diakses oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). (2). Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). (3). Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan sangat kecil. (4). Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank dipelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai. (5). Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang tinggi. (6). Banyaknya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang belum bankable, baik disebabkan karena belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial. 

Sedangkan masalah yang termasuk dalam masalah non-finansial (organisasi manajemen) diantaranya adalah: (1) Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan. (2) Kurangnya pengetahuan akan pemasaran, yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengenai pasar, serta karena terbatasnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk menyediakan produk/jasa yang sesuai dengan keinginan pasar. (3). Keterbatasan sumberdaya manusia (SDM) serta kurangnya sumberdaya manusia untuk mengembangkan sumberdaya manusia (SDM). (4). Kurangnya pemahaman Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengenai akuntansi dan keuangan. 

Kuncoro (2006) menyatakan bahwa permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat dikelompokan menjadi dua yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Masalah internal yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah: Rendahnya kualitas sumberdaya manusia seperti kurang terampilnya sumberdaya manusia dan kurangnya jiwa kewirausahaan, rendahnya penguasaan teknologi serta manajemen dan informasi pasar. Masalah SDM ini akan berdampak kepada rendahnya tingkat produktivitas dan kualitas pengelolaan manajemen, sedangkan masalah eksternal yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada umumnya adalah: (1). Belum tuntasnya masalah penanganan aspek legalitas badan usaha dan kelancaran prosedur perizinan, pelaksanaan persaingan usaha yang sehat, penataan lokasi usaha dan otonomi daerah, khususnya kemauan daerah untuk melaksanakan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (2). Kecapatan pulihnya kondisi ekonomi secara makro akibat kenaikan BBM dan energi lainnya yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (3). Masih terbatasanya penyediaan produk jasa lembaga keuangan khususnya kredit investasi, (4). Terbatasnya ketersediaan dan kualitas jasa pengembangan usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (5). Terbatasnya sumberdaya finansial untuk usaha mikro.

Sedangkan menurut Kuncoro (1997) yang mengutip hasil penelitian Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah: (1) Masalah belum dimilikinya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dengan dan pengelolaan perusahaan, (2). Masalah pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan pengusaha kecil mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga tidak terlalu tinggi, (3). Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan merebut pasar semakin ketat, (4). Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/group bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, (6). Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selara konsumen berubah cepat, pasar dikuasi perusahaan tertentu dan banyak barang pengganti, (7). Masalah tenaga kerja yang sulit karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa Tengah menghadapi permasalahan yang relatif sama dengan masalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) secara nasional, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa-Tengah menurut Munir (2008) memiliki enam masalah yaitu permodalan, akses pasar, keterampilan dan teknologi, manajemen usaha, akses untuk bahan baku dan iklim usaha yang belum kondusif, sedangkan menurut Sulhadi (2008) masalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa-Tengah di kelompokan menjadi empat, yaitu akses pasar, modal, kualitas sumber daya manusia dan regulasi. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Wilayah Eks-Karesidenan Banyumas masih mempunyai banyak permasalahan yang relatif sama dengan permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Propinsi Jawa-Tengah maupun permasaahan secara nasional yaitu masalah manajerial keterbatasan sumber daya manusia, masalah permodalan terbatasnya kemampuan untuk mengakses permodalan dari perbankan, masalah produksi yaitu lemahnya kurangnya pengetahuan akan teknologi dan proses produksi, masalah administrasi keuangan yaitu kurangnya pemahaman mengenai akuntansi dan keuangan, serta masalah pemasaran hal ini terlihat dari sempitnya jangkauan pemasaran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang ada di Wilayah Eks-Karesdienan Banyumas (Bank Indonesia, Purwokerto, 2006).


BAGIAN ARTIKEL INI ADA DI BAWAH INI: KLIK AJAAAA......

  1. Research gap hubungan orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.
  2. Research gap hubungan orientasi pasar dengan inovasi.
  3. Research Gap hubungan inovasi dengan kinerja pemasaran.
  4. Research Gap peranan pembelajaran organisasional dalam hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.
  5. Research Gap penelitian empiris anteseden orientasi pasar.
  6. Research Gap penelitian empiris orientasi pasar pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang negara berkembang.

 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson