Multikulturalisme : Alat Analisis dan Agenda Aksi
Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika, atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan agama, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.
Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.
Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini. Amerika dan Australia adalah contoh sebuah masyarakat yang setelah mengalami sejarah yang amat kelam dalam mengelola keragaman budaya masyarakatnya, “menemukan” logika multikulturalisme-nya sebagai jawaban atas kemajemukan dan sekaligus demokrasi. Logika ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan ideal, tetapi dibangun dari sebuah keniscayaan sosial. Alhasil, melting-pot—multikulturalisme ala Amerika—adalah sebuah nilai yang melembaga bersama-sama dengan nilai-nilai penting masyarakat Amerika lainnya. Dalam ekspresi mereka, multikulturalisme adalah jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya prinsip the freedom of expression (kebebasan berekspresi). Di Australia, dengan sejarah yang sedikit berbeda, multikulturalisme memperoleh tempat yang penting sebagai institusi sosial yang memperkuat demokrasi dan komitmen warga negara terhadap Australia.
Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang diperjuangkan. Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme. Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang amat majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis, hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.
1. Demokrasi dan Multikulturalisme: Sebuah Tantangan
Negara-negara bekas jajahan yang memperoleh kemerdekaan setelah Perang Dunia II merupakan contoh yang ideal untuk menggambarkan rumitnya pertalian sosial dan budaya dari sebuah masyarakat sebuah keadaan yang kian mendesakkan kebutuhan akan pentingnya pluralisme dan toleransi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Negara-negara ini memiliki ciri yang amat spesifik: mereka dibangun bukan pertama-tama atas kesamaan budaya seperti ras, etnik, atau bahasa, melainkan oleh kesamaan pengalaman sejarah semata-mata. Dalam konteks Indonesia, sesungguhnya hampir tidak ada alasan objektif mengapa orang-orang di Aceh, Kalimantan, Flores, atau Papua, misalnya, untuk menjadi satu bangsa yang disebut Indonesia. Tidak saja mereka berbeda dalam bahasa, adat dan tradisi namun sering juga bahkan ras dan agama sebuah kombinasi perbedaan yang sering melahirkan perpecahan daripada persatuan.
Apabila dalam kenyataannya kemudian ‘masyarakat-masyarakat lokal’ dari Sabang hingga Merauke itu menyatakan diri sebagai anggota dari sebuah ‘nasion’ baru, Indonesia, jelas itu karena didorong oleh kepercayaan dan tekad untuk bersatu. Sebuah nasionalisme spesifik yang menurut asalnya sangat berbeda dengan nasionalisme masyarakat Eropa yang dibangun dua abad sebelumnya. Implikasi terpenting dari keadaan itu adalah, pluralisme sebuah faham dalam demokrasi yang menaruh kepercayaan pada pengakuan terhadap keabsahan perbedaan ide-ide politik dan ideologis menjadi tidak cukup menampung kebutuhan untuk mengelola keragaman sosial dan budaya. Jawaban terhadap masalah keragaman sosial dan budaya ini terdapat pada multikulturalisme.
Walaupun keduanya mensyaratkan hadirnya toleransi, tidak semua elemen dasar dari keduanya sama. Berbeda dengan pluralisme yang menekankan pada perbedaan ide, multikulturalisme berkenaan dengan kebedaan yang bersumber terutama pada identitas etnik dan agama. Sebagai misal, orang bisa berasal dari etnik dan agama yang sama namun memiliki orientasi politik yang berbeda. Namun, sangat jelas bahwa di antara etnik dan penganut agama yang berbeda selalu dapat ditemukan identitas sosial dan budaya yang berbeda, dari yang sangat simbolik hingga yang sangat nyata. Identitas kelompok etnik dan agama, oleh karena itu, adalah sebuah entitas sosial dan budaya yang sering melampaui batas-batas klas, gender, dan ideologi politik.
2. Akar Sejarah
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadaran semacam itu sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.
Pada tempat inilah, penafsiran pada nasionalisme Indonesia semestinya memperhatikan dua elemen dasar itu secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material itu) dan keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak akan mampu menjawab persoalan tentang bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan bersama yang mulia itu. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya.
Bangsa semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu. Nasionalisme Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama, yakni pengikatan diri pada cita-cita bersama akan kemakmuran dan keadilan, senantiasa akan terancam karena mudah dirongrong oleh persepsi tentang kegagalan kolektif kita dalam pencapaian tujuan bersama itu. Di samping itu, nasionalisme yang melulu dibangun pada janji sebuah kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk karena kemajemukan itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren.
Gagasan multikulturalisme berikut penjelasan yang melatarbelakanginya adalah ajaran tentang ‘common culture’ yang memberi ruang bagi pencapaian dua kebutuhan sekaligus. Yakni, terpeliharanya kemajemukan dan integrasi sosial di tingkat masyarakat dan persatuan yang berkelanjutan di tingkat bangsa guna pencapaian cita-cita bersama sebagai sebuah nasion yang memiliki Pancasila sebagai dasar bangunan kebangsaan dan kenegaraan.
3. Multikulturalisme di Indonesia
Multikulturalisme didefinisikan secara umum oleh banyak kalangan sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain adalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini. Sebagai sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan umumnya dalam kerangka mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini dapat dikembangkan dalam sebuah konsepsi masyarakat “warna-warni” yang tidak saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris.
Jelas, semangat dasar awalnya adalah mencoba menggugat pertanyaan pokok tentang bagaimana kelompok-kelompok etnik (yang lokal itu) dan budaya (yang partikular itu) itu semestinya memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat nasional yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal (seperti demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan) dan, bahkan akhir-akhir ini, dalam sebuah tataran global yang menyelimuti sebuah perubahan besar. Dengan kata lain, bagaimanakah kelompok-kelompok etnik dan budaya yang berbeda denominasinya itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas kelompoknya dan di pihak lain mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan toleransi (mengakui dan menghormati perbedaan).
Lebih jelas lagi, bagaimanakah, misalnya, kelompok-kelompok etnik Pidie, Mandailing, Minang, Betawi, Sunda, Jawa, China, Bali, Manggarai, Ambon, Manado, Serui, yang beragama Islam, Hindu, Khong Hu Cu, Buddha, Kristen, Katolik, atau yang beraliran kepercayaan Pangestu, itu semua, mampu hidup berdampingan dalam sebuah habitat sosial yang di satu pihak memberi tempat bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya masing-masing, dan di pihak lain memberi kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat nasional dan global.
Memang, ihwal itu bukan hal sederhana. Ketidaksederhanaan perkaranya pertama-tama terletak pada masalah bagaimanakah kesadaran bersama itu dibangun dalam sebuah ruang yang di samping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi yang serba-ragam juga mengundang elemen-elemen yang berbeda itu untuk menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi. Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan didistribusikan dalam masyarakat nasional dan internasional. Ketiga, perubahan yang berlangsung di tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang mempersempit kesempatan kita untuk mendefiniskan kembali gagasan-gagasan dasar tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian [multi-) nation-state) tanpa meingindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisme-rasional yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya, sedang mengatakan multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang tidak saja perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas kegagalan kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia. Walaupun begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang kita sedang hadapi dalam mendefiniskan, menyepakati, mempromosikan, dan melembagakan multikulturalisme adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus dipahami sebagai agenda yang asli baru dalam wacana politik-budaya di Indonesia. Dalam pengertian ini, multikulturalisme jelas harus bersaing dengan pendekatan Asimilasi (di negeri ini juga dikenal dengan nama populer Pembauran) dan bahkan mungkin juga dengan pendekatan Integrasi yang pada masa lalu dipromosikan oleh eksponen BAPPERKI.
Dalam pandangan kritis saya, pendekatan Asimiliasi berangkat dari kesadaran tipologis tentang (yang) “asli” dan (yang) “asing”. Asumsi yang dipakai dalam tipologi ini adalah yang “asli” harus dilindungi dari yang “asing” karena kepercayaan bahwa yang disebut terakhir itu memiliki potensi mengancam yang pertama. Itu sebabnya pendekatan Asimilasi mendiktekan sebuah strategi budaya yang mendorong yang “asing” membaur dengan yang “asli”. Harus dikatakan di sini, walaupun secara teoritis yang disebut dengan yang “asing” itu berlaku untuk semua yang “tidak asli”, dalam kenyataannya wacana itu terutama diarahkan pada kelompok etnis China. Tidak heran apabila pendekatan Asimilasi ini dituduh tidak hanya berbau xenophobia tetapi juga rasialis. Di samping itu, sebenarnya terdapat masalah yang rumit dalam definisi tentang “asli” dan “asing” di negeri kepulauan ini yang selama berabad-abad sebelumnya menerima migrasi dari berbagai bangsa.
Sementara itu, pendekatan Integrasi, menurut saya, tidak cukup lengkap menjawab kebutuhan masyarakat majemuk di negeri ini. Salah satu alasan utamanya adalah, pendekatan ini jelas dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi penolakan sebagian kelompok etnis China terhadap gagasan pembauran. Saya tidak menampik pada gagasan dasarnya yang menuntut penerimaan dan perlakuan yang sama terhadap kelompok etnis China di Indonesia sesama seperti yang diterima oleh kelompok-kelompok etnis lainnya (baik yang “asli” maupun yang “asing” lainnya seperti kelompok etnis Arab atau yang setengah “asli” setengah “asing” seperti kaum Indo).
Tidak ada penolakan saya sedikitpun tentang gagasan penerimaan dan perlakuan yang sama itu. Apa yang saya kira tidak memadai dari pendekatan integrasi itu adalah tidak hadirnya konsepsi masyarakat yang dibangun atas ciri kemajemukan yang partisipatoris dan emansipatoris. Selain itu, pendekatan integrasi berkesan membudaya. Jelas, multikulturalisme tidak atau tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan kekhususan (specifity) dari sebuah ciri etnik atau budaya; tidak juga dimaksudkan untuk meleburnya ke dalam sebuah keumuman (generality). Dengan definisi seperti ini, multikulturalisme dalam pandangan saya adalah, sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi.
4. Pendekatan Pro-Eksistensi sebagai Pilar Multikulturalisme di Indonesia
Mempromosikan multikulturalisme, karena itu, bukan sekedar langkah menyuguhkan warna-warni identitas. Tetapi, pertama-tama, membangun kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis dan budaya itu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam ruang bersama. Kata kunci dari pendekatan ini terletak pada usaha yang lebih sistematis untuk menyertakan pendekatan struktural politik dan ekonomi dalam proses itu. Ini berarti bahwa multikulturalisme di negeri ini membutuhkan pengintegrasian pendekatan lainnya selain budaya untuk memungkinkan tema-tema yang relevan di sekitar keadilan dan persamaan dapat menjadi faktor yang ikut memperkuat multikulturalisme. Ini juga berarti, pendekatan yang menekankan prinsip ko-eksistensi (co-existence) sebagai dasar multikulturalisme tidaklah dapat dianggap cukup. Akan gantinya, kita membutuhkan pendekatan yang lebih jauh dari itu, yakni sebuah pendekatan yang menggeser prinsip ko-eksistensi ke arah pro-eksistensi (pro-existence).
Prinsip pro-eksistensi ini ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, tetapi juga oleh kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain. Karena itu, pro-eksistensi menghendaki diakhirinya kebisuan (silence) dan pembiaran (ignorance) atas nasib kelompok lain. Dengan kata lain, pro-eksistensi mensyaratkan juga prinsip inklusi, bukan eksklusi (inclusion not exclusion). Kualitas semacam ini diperlukan untuk memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda itu memiliki kebutuhan untuk menghasilkan integrasi di samping identitas lokal dan partikular yang serba-ragam itu.
Di tingkat global, multikulturalisme menghadapi ancaman yang berbeda. Apabila di tingkat negara-bangsa multikulturalisme diperlukan untuk mengelola identitas etnik dan kultural yang serba-ragam itu, di tingkat global kecenderungan yang sebaliknya justru sedang terjadi. Globalisasi menghasilkan kecenderungan monokulturalisme yang terutama didorong oleh proses-proses dan praktik-praktik material-rasional yang dibawa oleh ekonomi pasar global. Walaupun di atas permukaan teknologi informasi tampak secara ramai mendorong terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange), di antaranya melalui prinsip peminjaman (borrowing) dan sampai batas-batas tertentu sinkretisme, yang sesungguhnya terjadi tidak lebih dari usaha penegasan budaya dominan di atas yang lain.
Konsep “Other” dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik, global-lokal. Jelas, ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan emansipatoris. Struktur hirarki budaya semacam ini hanya ingin mengukuhkan superioritas yang disebut pertama (dominan-modern-global) atas yang terakhir (marjinal-etnik-lokal). Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, mungkin sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Walaupun pembicaraan tentang tema ini merupakan arena yang berbeda dari yang kita bicarakan sebelumnya, dalam pandangan saya, sangat penting untuk memperhatikan apa yang saya sebut sebagai perangkap budaya globalisasi. Multikulturalisme global yang sedang terjadi dapat membuat kita terasing pada dua hal sekaligus: terasing dari habitat kita sendiri dan dari dunia yang mengelilingi kita. Perangkap ini dapat membuat kita terkecoh karena multikulturalisme yang dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan Asimilasi yang kita bicarakan tadi itu justru mengakibatkan terjadinya proses dislokasi, disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi.
Di tengah globalisasi, isolasi memang bukan jawaban atas perkara itu. Dunia sedang berubah dan selalu memang begitu. Perubahan yang saat ini sedang terjadi menjadi lain dari perubahan-perubahan sebelumnya karena konsepsi tentang identitas tidak lagi dapat dikurung dalam ruang hampa. Globalisasi membuat kesadaran etnik dan budaya menjadi serba absurd. Relativitas menjadikan identitas tidak mudah dikonstruksikan oleh proses-proses budaya yang otonom. Karena itu, multikulturalisme, baik di tingkat nasional maupun global, membutuhkan redefinisi atas kehidupan bersama. Juga, reposisi dan renegosiasi atas cara kita memberi makna atas prinsip-prinsi keadilan dan persamaan. Dalam keyakinan multikulturalisme saya, yang kita butuhkan bukan monokulturalisme tetapi multikulturalisme; bukan pembauran tetapi pembaruan; bukan ko-eksistensi tetapi pro-eksistensi; bukan eksklusi tetapi inklusi; bukan separasi tetapi interaksi. Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warna-warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan multikuturalisme yang emansipatorik.