Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Yang Dinamis

Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Yang Dinamis 
Merebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung kesalah pahaman karena ‘pengetahuan” tidak diartikan sebagai benda mati, sebagaimana kalimat berikut ini tentang “pengetahuan”:

“ the potentiality of values as it exists in various components or flows of overall “capital” in a firm, the relationships and synergistic modulations that can augment the value of that capital, and the application of its potential to real business tasks…(it) in cludes an organization’s unrefined knowledge assets as well as wealth generating assets whose main component is knowledge”
(Society of Management Accountants of Canada,1999).

Potensi nilai yang ada pada berbagi komponen atau proses (aliran) keseluruhan “modal” dalam sebuah perusahaan, antar hubungan dan penyesuian-penyesuian sinergis yang bisa meningkatkan nilai modal tersebut, dan penerapan potensi tersebut pada tugas-tugas bisnis yang sesungguhnya… (ini) mencakup pula modal pengetahuan organisasi yang belum diolah, dan modal yang mendatangkan keuntungan dan yang komponen utamanya adalah pengetahuan.

Definisi di atas mengandung aktifitas dan dinamika serta penerapan pengetahuan kepada tugas-tugas yang sesungguhnya, bukan sesuatu yang diam. Beberapa penulis, misalnya Malhotra (2000) mengingatkan bahwa dinamika penerapan pengetahuan saat ini merupakan konsekuensi logis dari kehidupan organisasi yang harus selalu menyiapkan respon terhadap lingkungan yang bercirikan dua hal yaitu:
• Kerumitan atau kompleksitas, disebabkan oleh peningkatan jumlah, keragaman dan saling ketergantungan antara berbagai entitas di dalam lingkungan sebuah organisasi.
• Gejolak lingkungan atau turbulensi, ditentukan oleh semakin cepatnya siklus (cycle-time) dari setiap kejadian atau peristiwa.

Kompleksitas dan gejolak lingkungan, serta tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan sangat meningkat dimasa mendatang. Dalam keadaan seperti ini, menurut Malhotra, banyak organisasi memiliki sistem informasi yang pada umumnya memakai model manajemen informasi untuk keperluan :
• mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan para pemiliknya secara terus menerus disesuaikan dengan perubahan lingkungan eksternal.
• memberitahu para pegawai atau anggota organisasi tentang perubahan-perubahan terakhir, baik dalam produk maupun prosedur untuk menghasilkan sebuah produk. 

Namun, didalam lingkungan yang kompleks dan bergejolak ada beberapa persoalan yang muncul dari model seperti ini, yaitu:
• manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi kalau ia memiliki pengetahuan, tetapi dalam lingkungan yang serba bergejolak dan perubahannya berita tidak sinambung (discontinuous), maka seringkali manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak punya pengetahuan yang memadai. Sistem informasi cenderung menyimpan pengetahuan yang tidak selalu sesuai dengan perubahan dilingkungan eksternal.

• Dalam lingkungan yang bergejolak, lebih baik jika organisasi menyebarkan pengetahuan dan otoritas secara lebih merata. Model manjemen informasi justru cenderung memusatkan pengetahuan di sebuah pangkalan data yang cenderung statis pula.

• Di masa yang penuh persaingan dan gejolak, diperlukan kemampuan mengantisipasi masa depan yang didasarkan kepada multi interpretasi, sementara sistem informasi cenderung mendukung kegiatan kemampuan menduga berdasarkan satu interpretasi tentang bagaimana mengantisipasi masalah.

Pada artikel Malhotra itu semata-mata menegaskan perlunya profesi informasi menghadapi tugas yang dinamik, kompleks dan bergejolak, bukan sesuatu yang sudah selesai, dan terlebih-lebih bukan “menyimpan” atau “mengelola simpanan”. Cara kita mengartikan “mengelola informasi” memerlukan perubahan fundamental agar sejalan dengan perubahan fundamental dalam kehidupan berorganisasi, terutama dalam cara organisasi menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. 

Pemikiran tentang perubahan fundamental dalam cara berorganisasi telah melahirkan pemikiran tentang manajemen perubahan. Menurut Worren,Ruddle dan Moore (1999) istilah manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup teori dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi (organizational development), sumber daya manusia, majemen proyek (project management), dan perubahan strategi organisasi. Manajemen perubahan menjadi upaya perubahan organisasional yang lebih besar, bersama dengan komponen lain, yaitu pengembangan strategi, penyempurnaan proses bisnis, dan penerapan teknologi. Tujuan utamanya seringkali adalah mengintegrasikan komponen-komponen ini, misalnya dengan menciptakan kesetaraan antara penetapan tujuan-tujuan strategis dengan kebijakan SDM, atau membangun infrastuktur teknologi informasi baru untuk mendukung terciptanya kerjasama antar kelompok. Manajemen peubahan sebenarnya juga merupakan penerapan teori yang menyatakan bahwa berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai dengan masa depan memerlukan perubahan komprehensif dalam berbagai komponen, termasuk perilaku, kultur, struktur organisasi, proses kerja dan infrastuktur teknologi informasi. Prinsip pengembangan organisasi sebelumnya memusatkan perhatian kepada keterampilan dan sikap individual, kurang memperhatikan peran struktur dan sistem. Dalam pandangan klasik, organisasi yang ingin berubah harus mengupayakan perubahan dalam sikap dan pandangan orang sebelum mengubah struktur organisasi atau teknologi yang digunakan sebuah organisasi.

Dengan kata lain, pertama-tama harus ada perubahan dalam perilaku pegawai, sebelum sikap, norma dan keterampilan terbentuk secara sempurna, lalu perubahan dalam struktur formal dan sistem dapat berlangsung sebuah komitmen dan kompetensi berkembang melalui keterlibatan semua anggota organisasi dalam proses perubahan. Jadi organisasi- organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya perhatian kepada apa yang selama ini dikenal sebagai “modal sosial” yaitu: 
• Jaringan hubungan pribadi antar lintas, yang berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari sebuah komunitas;
• Merupakan jaringan saling mengenal dan saling menghargai;
• Mengandung kewajiban pada diri anggota yang timbul karena rasa terima kasih, respek, dan persahabatan, atau adanya hak yang dijamin secara institusional;
• Anggota jaringan memiliki akses ke informasi dan kesempatan;
• Status sosial atau reputasi sosial bagi anggota jaringan, terutama kalau keanggotaannya terbatas.

Social Capital dengan demikian adalah keseluruhan sumberdaya aktual maupun potensial yang tertanam di dalam, tersedia melalui, diambil dari, jaringan hubungan yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah unit sosial. SC dengan demikian terdiri dari jaringan maupun asset yang bisa dimobilisasi melalui jaringan tersebut. 

Model Skandia juga memberikan penekanan kepada pentingnya “human capital” dalam konteks organisasi atau komunitas, istilah ini bisa dipakai dalam pengertiannya sebagai “intellectual capital” yang mengacu kepada pengetahuan dan kemampuan mengetahui (knowing capability) dari sebuah kolektifitas sosial, misalnya organisasi, komunitas intelektual, atau praktisi professional. IC ini pararel dengan konsep HC yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kapabilitas yang memungkinkan seseorang bertindak dengan cara yang baru. IC dengan demikian, merupakan sebuah sumberdaya penting dan sebuah kapabilitas untuk bertindak berdasarkan pengetahuan dan kemampuan mengetahui.

Dalam bidang perpustakaan, Abell dan Oxbrow (2001) mengidentifikasi lima hambatan yang menyebabkan kurangnya keterlibatan profesional informasi dalam manajemen pengetahuan. Pertama, adalah kenyataan bahwa manajemen pengetahuan hampir selalu digerakkan oleh sebuah tim perencanaan strategis yang beranggotakan anggota-anggota senior, sementara pustakawan tidak dilibatkan karena kedudukan mereka dianggap tidak langsung behubungan dengan strategi organisasi. Kedua, konsep manajemen pengetahuan

kultur kerja dan lewat pembelajaran organisasi sesuatu yang oleh pustakawan sendiri dianggap berada di luar bidangnya. Ketiga, manajer senior dalam sebuah organisasi cenderung menganggap bahwa pustakawan hanya bisa dikaitkan dengan perpustakaan dalam pengertian “tradisional”. Keempat, pustakawan sendiri tidak merasa perlu mengubah persepsi ini dan menganggap bahwa manajemen pengetahuan adalah semata-mata buzzword yang akan hilang dengan sendirinya. Kelima, ada pola pikir yang sudah baku (mindset) di kalangan pustakawan yang sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan lingkungan kerja organisasi. Salah satu pola pikir itu adalah bahwa pustakawan menyediakan jasa, sementara lingkungan kerja yang baru membutuhkan mitra kerja, bukan penyedia jasa saja.

Dari sisi pandang yang lebih kritis lagi, Birkinsaw (2001) bahkan mengidentifikasi 3 hal dalam manajemen pengetahuan yang merupakan “kegiatan lama dalam bungkus baru” yaitu:
• Pengelolaan pengetahuan sudah berlangsung sejak awal berdirinya sebuah organisasi. Cara sebuah organisasi menentukan struktur dan hirarki anggota sudah merupakan upaya mengelola pengetahuan dan menempatkan orang-orang yang berpengetahuan sama di satu tempat. Kelompok-kelompok informal sudah sejak lama ada di berbagai organisasi, dan menjadi tempat bagi petukaran informasi dan pengetahuan yang efektif, persoalannya sekarang adalah mengidentifikasi hal-hal tersebut dan membuatnya lebih efektif lagi.

• Manajemen pengetahuan merupakan proses panjang dan lama, yang mencakup perubahan perilaku semua anggota sebuah organisasi. Upaya mengubah peilaku ini bukanlah kegiatan masa kini saja, persoalannya sekarang adalah mensinkronkan upaya perubahan ini dengan keseluruhan strategi pelaksanaan organisasi.

• Beberapa teknik manajemen pengetahuan sudah dilakukan sejak dulu, misalnya pengaktifan komunitas praktisi sudah sejak lama menjadi perhatian dari hubungan masyarakat internal (internal public relations), dan pangkalan data pengetahuan memperlihatkan cirri-ciri yang sama dengan pangkalan data dalam sebuah system informasi, persoalannya sekarang adalah bagaimana teknik-teknik manajemen pengetahuan ini yang mirip dengan teknik-teknik “tradisional” terus relevan dengan perubahan organisasi.

Selain tiga hal diatas, Birkinsaw juga menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat mempengaruhi berhasil-tidaknya manajemen pengetahuan. Pertama, penerapannya tidak hanya menghasilkan pengetahuan baru tetapi juga mendaur-ulang pengetahuan yang sudah ada. Kedua, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsi-fungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. Ketiga, sebagian besar organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak pengetahuan penting yang harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal pengetahuan itu sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson