Peran Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dalam Mewujudkan Budaya Mutu Pada Satuan Pendidikan
Pada Pasal 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dapat dicapai jika Kepala sekolah melakonkan kepemimpinannya secara efektif. Oleh sebab itu maka kepemimpinan yang menjadi perhatian utama, oleh para praktisi dan akademisi. Hal ini disebabkan karena para pemimpin organisasi termasuk di sekolah memiliki posisi sentral dalam menggerakkan seluruh komponen atau sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Pandangan yang lebih tegas mengenai pentingnya peran kepemimpinan dalam rangka pencapaian kinerja organisasi, berbicara tentang kinerja organisasi dalam hal ini sekolah tidak lain sesungguhnya adalah pencapaian visi organisasi tersebut, pencapaian visi sekolah sesungguhnya adalah kinerja sekolah tersebut. Mulyasa (2005:97) menegaskan bahwa ”Kepala sekolah dalam mewujudkan visi sekolahnya perlu ditunjang oleh kemampuan kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya.”
Data UNDP dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 tentang HDI yang salah satu indikatornya adalah pendidikan sangat memprihatinkan, bahkan tahun 2005 Vietnam telah berada pada posisi lebih baik dari pada Indonesia sehingga mau tidak mau praktisi pendidikan harus memiliki kepedulian untuk memperbaiki kinerja pendidikan persekolahan, berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja pendidikan tersebut, antara lain : peningkatan kualifikasi guru melalui program penyetaran D-II untuk guru SD dan D-III untuk guru SMP, namun program inipun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan,
Mutu pendidikan di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Di luar berbagai prestasi akademis yang dicapai siswa-siswa Indonesia di berbagai lomba ilmiah tingkat dunia, kita masih harus mengakui bahwa masih sangat banyak sekolah yang kondisi sarana prasarana dan proses pembelajarannya masih jauh dari memuaskan. Untuk itu, peningkatan mutu pendidikan masih merupakan salah satu program utama yang menjadi fokus perhatian Kementerian Pendidikan Nasional dan menjadi ‘pekerjaan rumah’ Pemerintah. Sesungguhnya sudah cukup banyak yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, khususnya pendidikan tingkat dasar dan menengah. Salah satu upaya adalah mengimplementasikan desentralisasi pendidikan secara bertahap.
Desentralisasi, atau juga sering disebut otonomi, pendidikan ini awalnya (sekitar akhir tahun 1990-an) dimulai dengan sektor pendanaan sekolah/madrasah melalui pemberian matching-grant atau hibah bersyarat, di mana sekolah/madrasah (satuan pendidikan) menyediakan dana peningkatan mutunya sebesar 10% dan pemerintah (melalui pinjaman Bank Dunia) memberikan hibah dana 90% dari kebutuhan yang yang diperlukan, misalnya untuk menambah ruang kelas baru. Kemudian, pola matching-grant ditingkatkan menjadi block-grant (hibah murni/penuh) dan sudah dilaksanakan sampai saat ini dalam berbagai bentuk, misalnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan BOS Buku.
Dalam otonomi bidang organisasi, sekolah kemudian diminta untuk mengganti asosiasi orang tua murid, yang dulu dikenal dengan nama BP3 (Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan) dengan tugas utamanya sebagai pengumpul dana sumbangan dari orang tua murid untuk sekolah, menjadi Komite Sekolah/Madrasah dengan berbagai tugas yang tidak sekedar menjadi ‘kasir’, tapi juga ikut memikirkan, merancang, mengawasi, dan bila perlu ikut melaksanakan, serta mengevaluasi berbagai program peningkatan mutu sekolah. Haryadi, Y. (dkk) (2006) menyatakan bahwa peran Komite Sekolah/Madrasah adalah sebagai berikut (1) sebagai advisory agency, (2) supporting agency, (3) controlling agency, dan (4) mediator agency.
Di tingkat kota/kabupaten dan provinsi dibentuk Dewan Pendidikan tingkat Kota/Kabupaten dan Dewan Pendidikan tingkat Provinsi yang tugas utamanya adalah untuk mendorong terjadinya percepatan peningkatan mutu pendidikan. Jadi, secara organisatoris, peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat menjadi suatu proses yang bottom-up, yang berbasis pada akuntabilitas publik, BUKAN akuntabilitas yang hanya kepada pejabat birokrat atasan sekolah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa bila akuntabilitas sekolah kepada publik/masyarakat baik, maka akuntabilitas kepada atasan juga akan baik, namun tidak sebaliknya.
Dalam implementasi otonomi manajemen, sejak akhir 1990-an, sekolah diminta untuk melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), suatu pola manajemen yang memberikan ruang gerak dan otonomi yang cukup bagi sekolah untuk dapat menentukan dan melaksanakan sendiri program-program peningkatan mutu dengan dasar akuntabilitas publik. Pola manajemen ini diharapkan menjadi suatu budaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Selanjutnya, budaya peningkatan mutu pendidikan akan dapat dilaksanakan dengan baik bila sekolah terbiasa melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) dalam implementasi MBSnya. Dan, instrumen utama dalam pelaksanaan SPMP adalah Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Dalam implementasinya, EDS akan ditindaklanjuti dengan program Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) yang dilaksanakan oleh para Pengawas Pendidikan. MSPD merupakan instrumen utama Evaluasi Diri Kota/Kabupaten (EDK) sebagai dasar penyusunan program peningkatan mutu pendidikan di wilayah tersebut. Dengan demikian, SPMP, yang diimplementasikan dalam kegiatan EDS, akan menjadi komponen utama dalam lingkup implementasi MBS sebagai upaya pembudayaan peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Terlaksananya MBS sangat ditentukan oleh 3 (tiga) pilar utama, yaitu (1) transparansi dan akuntabilitas publik, (2) peran serta masyarakat, dan (3) PAKEM, pembelajaran yang berorientasi pada upaya bagaimana siswa aktif sebagai subyek (bukan objek) pembelajaran dan senang belajar. Yang menjadi pertanyaan krusial saat ini adalah bagaimana upaya sekolah agar terjadi akuntabilitas publik yang sehat sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat membudaya di dalam aktivitas keseharian sekolah. Untuk menjawab pertanyaan di atas, artikel ini ditulis untuk mendiskusikan implementasi pilar utama implementasi MBS yaitu pilar ke 1 dan 2 yang terkait dengan transparansi/akuntabilitas publik dan peran serta masyarakat dalam bentuk implementasi SPMP melalui EDS dan MSPD.
I. MBS sebagai Implementasi Otonomi Pengelolaan Satuan Pendidikan
MBS pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan sekolah secara langsung, khususnya Komite Sekolah/Madrasah, dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Dahulu, dalam era sentralisasi pendidikan (yang mungkin karakternya juga masih berlangsung di banyak tempat sampai saat ini?) pertanggungjawaban (akuntabilitas) sekolah utamanya ditujukan kepada pejabat birokrasi yang merupakan atasan langsung (kepala) sekolah, yaitu Kepala Dinas Pendidikan bagi satuan pendidikan negeri, dan Ketua Yayasan bagi satuan pendidikan swasta. Dalam praktiknya, pola manajemen yang menafikan peran penting masyarakat, dan bersifat top-down ini, ternyata hanya memberikan akuntabilitas ‘asal bapak senang (ABS)’. Kepemimpinan otoriter kepala sekolah menjadi ciri utama pola manajemen sekolah. Sehingga, biasanya apa yang sesungguhnya terjadi di sekolah/madrasah sangat berbeda dengan apa yang dilaporkan. Sekolah/madrasah seolah-olah hanya dianggap milik pemerintah atau yayasan semata, bukan milik masyarakat. Pemangku kepentingan utama pendidikan, yaitu siswa, guru, orang tua murid, dan masyarakat kurang/tidak diberi tempat yang layak dalam implementasi program pendidikan di sekolah/madrasah. Pola manajemen seperti ini ternyata tidak mampu membawa budaya peningkatan mutu yang berkelanjutan di sekolah/madrasah.
Pola sentralistik pendidikan ini sudah seharusnya ditinggalkan dengan cara lebih memberdayakan dan melibatkan berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) utama sekolah atau madrasah, yaitu siswa, guru, orang tua siswa, dan anggota masyarakat yang peduli pada peningkatan mutu sekolah (bukan hanya pejabat atasan sekolah saja) dalam berbagai kegiatan pengambilan keputusan yang partisipatif, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan pertanggungjawaban (akuntabilitas) berbagai program peningkatan mutu pendidikan pada setiap tahun ajaran. Pelibatan dan pemberdayaan berbagai pemangku kepentingan di atas, yang kemudian diwadahi dalam Komite Sekolah/Madrasah, adalah ciri utama otonomi sekolah/madrasah.
Kepala Sekolah seharusnya tidak perlu lagi merasa ‘alergi’ bila Komite Sekolah/Madrasah ikut serta merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan tentu saja mempertanggungjawabkan segala program sekolah; yang juga meliputi pertanggungjawaban keuangan sekolah. Justru dalam nuansa otonomi seperti ini, Kepala Sekolah akan sangat terbantu karena bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas segala prestasi sekolah, meskipun mungkin prestasi tersebut tidak terlalu menggembirakan.
Hanya dengan melaksanakan MBS, sebagai bentuk otonomi pendidikan secara murni, peningkatan mutu sekolah akan secara akseleratif dapat dilaksanakan. Para pejabat birokrasi yang merupakan atasan langsung sekolah harus menyadari pentingnya otonomi pendidikan di sekolah dengan memberi keleluasaan sekolah melaksanakan MBS. Justru, para pejabat atasan sekolah harus bisa mendorong terjadinya pelaksanaan MBS yang sehat di sekolah. Tidak boleh ada lagi berita di media massa yang berisi pertikaian Kepala Sekolah/Madrasah dengan para pengurus Komite Sekolah/Madrasah hanya karena masalah pengelolaan dana operasional dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah/madrasah tersebut. MBS, sebagi implementasi otonomi pendidikan tingkat sekolah, harus juga dapat diterjemahkan sebagai pendelegasian penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan sekolah. Ini adalah area yang sangat sensitif dalam pelaksanaan MBS. Sesungguhnya MBS harus diimplementasikan dalam bentuk pengambilan keputusan yang partisipatif oleh semua stakeholders sekolah, bukan hanya individual kepala sekolah, sehingga pemanfaatan dana operasional sekolah benar-benar dapat dipergunakan secara efektif dan efisien oleh berbagai pihak terkait di tingkat sekolah, dan semata-mata ditujukan demi peningkatan mutu proses dan hasil belajar siswa, sebagai stakeholders utama sekolah.
II. SPMP dalam Konteks Implementasi MBS
Pengambilan keputusan secara partispatif oleh semua stakeholders sekolah adalah inti dari pelaksanaan MBS atau otonomi pendidikan di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, pelibatan dan pemberdayaan berbagai stakeholders sekolah dalam berbagai tingkat pelaksanaan manajemen sekolah adalah menjadi keniscayaan; mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan pertanggungjawabannya hasil pendidikan di sekolah. Tujuan dari pola manajemen ini semata-mata adalah demi peningkatan mutu pendidikan di tingkat sekolah/madrasah secara terukur dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini wajib hukumnya bagi sekolah, dalam konteks implementasi MBS, untuk melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) (Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 dalam program Peningkatan Kualitas Pengelolaan Dan Layanan Pendidikan, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Pasal 40 s.d. 42). Hanya dengan mengimplementasikan SPMP secara konsisten dan berkelanjutan dalam program MBS, budaya peningkatan mutu pendidikan di tingkat sekolah dapat dicapai secara. Sesungguhnya keberhasilan implementasi SPMP sangat bergantung pada motivasi intrinsik/internal sekolah, bukan karena segala peraturan yang ditentukan oleh pihak luar, i.e. pemerintah.
“Quality assurance should be internally driven, institutionalized within each organization’s standard procedure, and could also involve external parties. However, since quality is also a concern of all stakeholders, quality improvement should aim at producing quality outputs and outcomes as part of public accountability”, (Pranata, S. 2010)
Secara singkat, implementasi SPMP terdiri dari rangkaian proses/tahapan yang secara siklik dimulai dari (1) pengumpulan data, (2) analisis data, (3) pelaporan/pemetaan, (4) penyusunan rekomendasi, dan (5) upaya pelaksanaan rekomendasi dalam bentuk program peningkatan mutu pendidikan. Tahapan-tahapan proses SPMP ini merupakan suatu siklus yang saling terkait dan berlangsung secara sustainable (berkelanjutan) (Short, 2009). Pelaksanaan tahapan-tahapan di atas perlu dilaksanakan secara kolaboratif oleh berbagai stakeholders sekolah sesuai dengan amanat MBS (PP No. 19 Tahun 2005).
Sekolah perlu membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri dari berbagai unsur stakeholders yaitu perwakilan guru, komite sekolah, orang tua, dan perwakilan lain dari kelompok masyarakat yang memang dipandang layak untuk diikutsertakan karena kepedulian yang tinggi pada sekolah. Dalam melaksanakan SPMP, Pengawas Pendidikan yang bertugas sebagai pembina sekolah juga harus dilibatkan dalam TPS, sebagai wakil dari pemerintah. SPMP tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa pelibatan dan pemberdayaan berbagai stakeholders sekolah, termasuk wakil pemerintah.
Melalui SPMP, sekolah dapat melaksanakan program manajemen yang berbasis data. Pola manajemen ini pada kenyataannya masih belum dilakukan olehbanyak sekolah sebagai suatu budaya kerja. Data yang valid, secara empirik dan akurat, akan selalu menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan dan penyusunan berbagai rencana peningkatan mutu pendidikan di sekolah/madrasah. Dengan demikian, 5 (lima) rangkaian tahapan SPMP yang berbasis data ini akan menjadi bagian vital dan utama dalam proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Implementasi tahapan-tahapan SPMP ini kemudian diharapkan menjadi budaya peningkatan mutu di sekolah/madrasah. Dari berbagai data valid yang dapat dikumpulkan sekolah (data dari hasil akreditasi sekolah, sertifikasi guru, ujian nasional, profil sekolah, dan lain-lain), Evaluasi Diri Sekolah (EDS) merupakan salah satu instrumen implementasi SPMP yang wajib dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan sebagai salah satu program akseleratif dalam peningkatan kualitas pengelolaan dan layanan pendidikan (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010; Prioritas Nomor 2. Pendidikan)
III. Peran EDS/MSPD dalam Mewujudkan Budaya Mutu Pendidikan
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) sebenarnya sudah beberapa tahun ini kita kenal, sejak pelaksanaan program Akreditasi Sekolah. Namun yang kita diskusikan di artikel ini adalah EDS sebagai instrumen utama dalam implementasi SPMP. EDS yang bersifat developmental ini secara khusus ditujukan untuk membantu unit pendidikan dalam memotret dan memetakan kondisi objektif dirinya secara berkala (tahunan) sebagai dasar penyusunan program peningkatan mutu. Peta hasil EDS akan dapat memberikan data yang valid tentang tingkat capaian sekolah/madrasah terhadap Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan atau Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam pendidikan, yang sudah dituangkan dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.
Di beberapa negara maju, misalnya Inggris, EDS, yang disana disebut dengan SSSE (Supported School Self-Evaluation), sudah cukup lama dilaksanakan sebagai instrumen utama untuk dasar penyusunan program peningkatan mutu pendidikan. Pengisian instrumen ini dilaksanakan secara berkala oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah dengan diverifikasi oleh Pengawas Sekolah yang bertugas membina sekolah tersebut. SSSE ini benar-benar dapat mendorong peningkatan capaian standar pendidikan di sekolah tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Rudd, P dan Davies, Deborah (peneliti pada National Association for Educational Research, Inggris) (2000): ‘School self-evaluation now sits alongside, and has been embraced by, external inspection as a major mechanism for monitoring and raising standards of achievement in schools’. (versi Bahasa Indonesia secara bebas: ‘EDS yang sekarang dilaksanakan dan telah dikolaborasikan dengan pengawas(an) eksternal telah menjadi mekanisme utama dalam monitoring dan peningkatan capaian standar pendidikan di sekolah’).
Dalam praktiknya di Indonesia, Evaluasi Diri Sekolah (EDS) sesungguhnya tidak semata-mata dilaksanakan oleh sekolah bersama Komite Sekolahnya saja dalam Tim Pengembang Sekolah (TPS), namun juga didukung oleh kehadiran Pengawas Sekolah yang lebih berfungsi sebagai verifikator dan validator terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh sekolah bersama komitenya. Pengawas juga merupakan salah satu anggota TPS. Dengan keikutsertaan Pengawas Sekolah, diharapkan hasil pengumpulan data EDS dapat benar-benar secara valid memotret/memetakan kondisi capaian sekolah terhadap SNP atau SPM seobjektif mungkin, yang kemudian menjadi landasan pengembangan prgram satuan pendidikan dalam bentuk sebuah dokumen perencanaan di satuan pendidikan yaitu rencana kerja sekolah (RKS).
Keterlibatan Pengawas tidak dimaksudkan sebagai inspektur yang hanya mencari kesalahan sekolah saja, namun lebih difungsikan sebagai pembina yang juga ikut bertanggung jawab untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut melalui pengisian instrumen EDS. Jadi, sama halnya dengan implementasi SSSE di Inggris, EDS di Indonesia juga sesungguhnya merupakan ‘supported-EDS’. Dengan pola ‘supported-EDS’, hubungan kerja sama antara sekolah dengan Pengawas Sekolah menjadi benar-benar bermakna yang semata-mata ditujukan demi peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rudd, P dan Davies, Deborah (2000), ‘School self-evaluation processes help to facilitate the development of positive working relationships between LEAs and their schools’. (catatan: LEA=Local Education Authority, sama dengan dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten di Indonesia, di mana Pengawas Sekolah bekerja). Kerja sama dan kolaborasi yang kuat antara sekolah, Komite Sekolah, dan Pengawas Sekolah dalam melaksanakan EDS merupakan fondasi yang kuat bagi program peningkatan mutu pendidikan di sekolah dalam konteks implementasi Manajemen Berbasis sekolah (MBS).
Implementasi Evaluasi Diri Sekolah (EDS)
Seperti yang sudah di jelaskan dalam Bagian II di atas, EDS adalah instrumen utama dalam implementasi tahapan SPMP. Dalam implementasi Tahap 1 SPMP, EDS menjadi alat untuk pengumpulan data tentang capaian 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) oleh sekolah. Jadi, secara garis besar, EDS terdiri dari 8 (delapan) bagian sesuai dengan masing-masing SNP, oleh sebab itu maka hasil EDS secara obyektif ditindaklajuti dengan program pengembangan satuan pendidikan.
Program pengembangan satuan pendidikan yang bersumber dari hasil analisis EDS sesungguhnya tidak hanya ditindaklanjuti oleh satuan pendidikan tetapi ditindaklajuti juga oleh pemerintah Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/kota, bahkan sampai ke pemerintah sehingga setiap program pengembangan pendidikan bersumber dari kebutuhan satuan pendidikan yang diperoleh dari hasil analisis EDS.
Program yang dikembangkan disetiap satuan pendidikan dan pejabat praktisi pendidikan wujudnya menjadi 2 (dua) yaitu, program peningkatan dan program pengembanga, peningkatan atas komponen yang belum mencapai standar nasional pendidikan dan pengembangan bagi komponen yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan.
Program yang bersumber dari data ril kondisi satuan pendidikan akan lebih realistis menjadikan mutu disetiap satuan pendidikan menjadi sebuah kebutuhan, yang pada akhirnya mutu disetiap satuan pendidikan akan menjadi budaya (budaya mutu)
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen peningkatan mutu pendidikan dan program penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan mulai dari satuan pendidikan sampai tingkat pusat, akan dapat dilaksanakan dengan baik jika EDS sebagai bagian utama implementasi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) dilaksanakan secara konsekwen.
Program pengembagan satuan pendidikan dalam bentuk rencana pengembangan sekolah berbasis pada hasil analisis EDS sehingga petunjuk teknis penggunaan dana yang diblokgrankan ke satuan pendidikan harus lebih fleksibel sesuai dengan kondisi masing masing satuan pendidikan.
Bacaan:
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Paket Pelatihan 1. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar Melalui Manajemen Berbasis Sekolah, Peran Serta masyarakat, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Haryadi, Yadi. (dkk). 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Modul 2: Peningkatan kemampuan Organisasional Komite Sekolah. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.
Presiden Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Presiden Republik Indonesia. 2010. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Rudd, Peter and Deborah Davies. (2000). Evaluating School Self-Evaluation. Paper presented at the British Educational Research Association Conference, Cardiff University, 7-10 September 2000.
Short, John. 2009. Paparan Powerpoint tentang SPMP dalam berbagai kegiatan ICB dan workshop sosialisai SPMP di beberapa LPMP/BDK di Indonesia.
Surapranata, Sumarna. 2010. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Paparan powerpoint Direktur Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan (Dit. Bindiklat) dalam berbagai kegiatan pembinaan di lingkungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik