Desentralisasi Pendidikan Di Era Otonomi Daerah
Desentralisasi dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan secara resmi dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Hasbullah (2007:66) bentuk otonomi dalam bidang pendidikan berbeda dengan otonomi dibidang lainnya. Otonomi dibidang pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten/kota tetapi sampai pada tingkat sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya pengalihan kewenangan pada level sekolah, maka sekolah diharapkan mampu menentukan arah pengembangan program yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah yang ada.
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:28) Konsep penyelenggaraan pendidikan yang bersifat desentralisasi dikenal dengan manajemen berbasis sekolah yang merupakan perubahan paradigma pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada pemerintah pusat beralih ke pengelolaan pendidikan pada pola manajemen dimana sekolah tersebut yang mengelolanya.
Menurut Danim (2006: 28), kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia baru dimulai sejak tahun 1999/2000 , yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana tersebut disetor langsung ke rekening sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan di atasnya (Dinas Diknas).
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:81) adapun Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan sumber daya yang ada yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Menurut Umiarso dan Gojali (2010:19) Konsep dasar manajemen berbasis sekolah adalah pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan sekolah secara mandiri dengan melibatkan semua pihak yang terkait dengan pendidikan yang biasa disebut dengan otonomi pendidikan atau sekolah. Sehingga dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutu pendidikan di sekolah mampu melibatkan stakeholder sekolah, karena esensi MBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu pendidikan di sekolah.
Menurut Hasbullah (2007:54-55) dalam bidang pendidikan, otonomi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal sehingga memberikan hasil yang lebih baik. Dibidang pendidikan sendiri otonomi diberikan sampai pada tingkat sekolah. Otonomi persekolahan diharapkan memperbaiki pelayanan, menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan mendayagunakaan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.
Menurut Kemendiknas dalam Sujanto (2007:36) fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah:
1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.
2. Pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Menurut Hasbullah (2007:22) Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat.
3. Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4. Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6. Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7. Pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Umiarso dan Gojali (2010: 98) Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional manajemen berbasis sekolah. Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien.
8. Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Menurut Mulyasa (2009:50) hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah.
9. Pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
Desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan kepada sekolah yang dikenal dengan otonomi pendidikan atau sekolah. Kewenangan tersebut memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia sesuai dengan potensi daerah yang ada.
Kabupaten Lampung Barat mempunyai panjang garis pantai 260 Km, dengan luas laut 912,21 mil, potensi kelautan yang bisa dimanfaatkan seperti perikanan laut, pariwisata, dan pertambangan. Kabupaten Lampung Barat dengan produktivitas penangkapan ikan laut pada tahun 2007 mencapai 8.817,1 ton dengan wilayah tangkapan sepanjang pantai pesisir Lampung Barat. Potensi perikanan laut dengan nilai proyeksi potensi maksimum lestari yang dimiliki mampu mencapai 17.000 ton/tahun. dimuat tanggal 06 November 2009. Diakses tanggal 08 Oktober 2009).
Melihat potensi alam yang ada di Kabupaten Lampung Barat, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 5 yang menyatakan pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan berbasis keunggulan lokal. Dengan melihat potensi Kabupaten Lampung Barat di sektor kelautan, maka didirikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Pelayaran yang berdiri pada tanggal 24 Juni 2003. SMK Pelayaran dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Barat nomor B/98/KPTS/IV.07/2003 dengan pertimbangan untuk menyiapkan sumber daya manusia dibidang kelautan yang terampil dan siap pakai.
Namun faktanya, SMK N 1 Pesisir Tengah belum beroperasional dengan baik. Sarana dan prasarana sekolah yang masih kurang dan tidak memadai (seperti kapal-kapal besar), lokasi sekolah yang kurang strategis, kurangnya kerjasama sekolah dengan masyarakat untuk menyukseskan pendidikan berbasis kelautan (hasil observasi dan wawancara tanggal 18 maret 2010).
Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam bagaimana pelaksanaan manajemen berbasis sekolah pada SMK N 1 Pesisir Tengah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Manajemen berbasis sekolah sebagai suatu pendekatan pengelolaan pendidikan dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan kewenangan lebih luas kepada sekolah untuk mengelola sumber-sumber daya pendidikan dan membuka ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat sesuai dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut: “bagaimana pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di era otonomi pendidikan pada SMK N 1 Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat”.
PEMBAHASAN
Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta perundang-undangan yang berlaku. (Kemendiknas, 2007:12). Berdasarkan hasil penelitian dan data yang didapat dari lapangan mengenai pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di era otonomi pendidikan di SMK N 1 Pesisir Tengah. Di bawah ini adalah pemaparan mengenai pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) tentang fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah.
1. Perencanaan dan Evaluasi Program
Manajemen berbasis sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakan sumber daya yang ada di sekolah. Hal ini tentunya mengharuskan sekolah untuk lebih kreatif lagi menganalisis apa yang menjadi sumber daya dan kondisi lingkungan untuk kemudian menjadi perencanaan suatu program. Perencanaan yang dilakukan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini adalah upaya memperbaiki citra diri sebagai sekolah kejuruan yang memiliki kompetensi yang berkualitas. Hal ini dikarenakan dari tahun berdirinya SMK N 1 Pesisir Tengah pada tahun 2003 masih dianggap sebagai sekolah yang tidak berkualitas. Dalam konteks evaluasi program, SMK N 1 Pesisir Tengah yang dilakukan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah baru sebatas mengatasi kekurangan baik dari gedung, ruang belajar bahkan peralatan praktek yang belum memadai dan juga dikarenakan mulai meningkatkan siswa yang masuk ke SMK N 1 Pesisir Tengah ini.
Berdasarkan pengamatan peneliti, ada beberapa hal yang membuat perencanaan dan evaluasi program belum berjalan dengan baik. Pertama, SMK N 1 Pesisir Tengah masih banyak kekurangan mengingat penyelenggaraan pendidikan yang baru berjalan tujuh tahun. Hal ini tentunya masih terdapat kekurangan yang perlu dibenahi dan menbutuhkan waktu. Kedua, sumber daya yang ada di sekolah (tenaga pendidik dan potensi daerah yang memadai) belum didukung oleh pasilitas penunjang seperti ketersediaan sarana kapal, pelabuhan, dan tempat perbaikan kapal. Untuk menghasilkan output yang berkualitas tentu lembaga pendidik yang bertugas mecetak sumber daya manusia yang berkualitas harus didukung dengan fasilitas di daerahnya agar output yang dihasilkan tidak menjadi sa-sia. Ketiga, belum adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan baik secara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tentang proses pendidikan. Keempat, kurangnya perhatian yang dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sebagai fasilitator pendidikan untuk menyukseskan pendidikan berbasis kelautan sehingga nantinya juga berdampak pada tingkat kesejateraan masyarakat.
2. Pengelolaan Kurikulum
Awal berdiri pengelolaan kurikulum SMK N 1 Pesisir Tengah dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lampung Barat, namun hasilnya belum berjalan dengan optimal dikarenakan fungsi ganda yang dijalani oleh DKP Kabupaten Lampung Barat serta jauhnya jarak tempuh antara SMK N 1 Pesisir Tengah dengan kantor DKP Kab. Lampung Barat.
Saat pengelolaan kurikulum SMK N 1 Pesisir Tengah telah berjalan baik dengan adanya tenaga pengajar yang benar-benar lulusan pelayaran. Kurikulum yang berlaku di SMK N 1 Pesisir Tengah sesuai dengan Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun jika diamati lebih silabus yang ada di SMK N 1 Pesisir Tengah dengan Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan, ada beberapa standar kompetensi yang belum diterapkan di SMK N 1 Pesisir Tengah seperti menerapkan manajemen kapal penangkap ikan, melaksanakan kegiatan di pelabuhan perikanan dan lain-lain. Hal ini terkendala oleh tidak tersedianya fasilitas penunjang di Kecamatan Pesisir Tengah sendiri berupa kapal, pelabuhan dan tempat perbaikan kapal dapat menghambat kemajuan kualitas pendidikan.
3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
MBS memberikan kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengembangkan sumber daya sekolahnya sehingga sekolah mampu menciptakan lulusan yang siap pakai. Jurusan NKPI merupakan jurusan yang memiliki 2 keahlian. Adapun 2 keahlian yang harus dikuasai oleh siswa adalah nautika kapal dan kapal penangkap ikan. Nautika kapal diharapkan agar siswa memiliki keahlian untuk mengoperasikan kapal, sedangkan kapal penangkap ikan agar siswa memahami cara teknik penangkapan ikan dengan kapal besar. Oleh sebab itu, jurusan NKPI dikelola oleh tenaga pengajar yang benar-benar sesuai dengan keahliannya. Proses belajar mengajar juga sangat mempengaruhi tingkat kelulusan siswa yang siap pakai di dunia kerja.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti dalam proses belajar mengajar di SMK N 1 Pesisir Tengah belum berjalan dengan baik. Walaupun penyampaian materi oleh pengajar khususnya jurusan NKPI sudah berjalan sesuai dengan silabus dan dasar kompetensi sekolah menengah kejuruan. Namun untuk meningkatkan mutu pendidikan yang baik tentunya proses belajar mengajar harus didukung dengan sarana yang lain. Sarana yang mendukung seperti gedung untuk praktek dan alat praktek. Dalam hal ini, SMK N 1 Pesisir Tengah masih mengalami kesulitan.
4. Pengelolaan Ketenagaan
Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah kecuali guru Pegawai Negeri Sipil. Untuk kemajuan sekolah, sekolahlah yang memahami kebutuhannya, begitu juga dengan kebutuhan tenaga pendidiknya. Untuk pembiayaannya, sekolah bekerjasama dengan komite sekolah dan masyarakat agar proses penyelenggaraan pendidikan berjalan dengan baik. Dalam pengelolaan ketenagaan, sekolah melibatkan masyarakat terutam yang tergabung dalam komite sekolah untuk memusyawarahkan kenutuhan akan ketenagaan honorer.
5. Pengelolaan Peralatan dan Perlengkapan
Sebagai sekolah yang mengutamakan keahlian, maka sekolah tentunya memerlukan peralatan dan perlengkapan untuk praktek. Jurusan NKPI yang mengajarkan siswanya tentang bagaimana pelayaran, tentu alat praktek yang digunakan juga alat praktek yang khusus. Pengadaan alat-alat praktek sendiri salah satunya masih bersumber pada dana dari APBD yaitu melalui Program Bantuan Dana Penyelenggara Pendidikan (BDPP).
Kualitas pendidikan selain dilihat dari proses belajar mengajar tetapi juga harus didukung dengan sarana penunjang seperti alat praktek yang baik, lengkap dan memadai. Alat praktek untuk jurusan NKPI memang masih kurang dari segi jumlah dan jenis. Jurusan NKPI (nautika kapal penangkap ikan) yang didalam jurusan ini harus memiliki keahlian dalam mengoperasikan kapal dan tehnik penangkapan ikan dengan kapal besar. Idealnya SMK N 1 Pesisir Tengah memiliki peralatan dan perlengkapan berupa kapal.
Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah terdapat peran serta pihak stakeholder untuk kemajuan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan pengamatan peneliti mengenai pengelolaan peralatan dan perlengkapan belum melibatkan pihak stakeholder seperti pihak Mariana Pratama Group yang ikut andil di SMK N 1 Pesisir Tengah dalam praktek kerja industri siswa.
6. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan. Dana juga merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Anggaran SMK N 1 Pesisir Tengah menyatakan SMK N 1 Pesisir Tengah mendapat bantuan dari program Pemerintah Daerah Kebupaten Lampung Barat yaitu BDPP (Bantuan Dana Penyelenggaraan Pendidikan) Kabupaten Lempung Barat dan masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat dipergunakan untuk pembiayaan tenaga honorer baik tenaga pengajar maupun tenaga administrasi. Dalam konteks manajemen berbasis sekolah, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola sumber daya yang ada dan keterampilan yang ada untuk dijadikan salah satu usaha sebagai sumber dana bagi SMK N 1 Pesisir Tengah.
Menurut Sagala dalam Umiarso dan Gojali (2010:103) jika pembiayaan pendidikan tidak terpenuhi maka secara nasional akan ditemukan dampak berupa terjadinya erosi kualitas sehingga kontribusinya terhadap pembangunan rendah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah sendiri yang paling memahami akan kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian pembiayaan sekolah berkewajiban menghimpun, mengelola, dan mengalokasikan dana untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan otonomi pendidikan, SMK N 1 Pesisir Tengah seharusnya lebih jeli melihat peluang bisnis agar anggaran pendidikan tidak hanya berasal dari dana APBD. Keterlibatan masyarakat pun seharusnya bukan hanya sekedar pembiayaan tenaga honorer. Sekolah bisa mengajak masyarakat untuk bekerja sama untuk membuka usaha untuk menghasilkan keuntungan seperti pengelolaan hasil laut.
7. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan.
Pelayanan siswa diberikan sejak penerimaan siswa baru hingga mereka lulus dari SMK N 1 Pesisir Tengah. Selain pelayanan siswa yang diberikan oleh sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler berupa kesamaptaan yang berguna untuk menciptakan sifat kedisiplinan juga pelayanan dari segi dukungan moral berupa motivasi kepada siswa. SMK N 1 Pesisir Tengah juga memberikan pelayanan kepada siswa hingga mereka lulusan dan mengantar lulusan untuk pelatihan di Bali. Sejak berada di bawah kepemimpinan Hatriopar, SMK N 1 Pesisir Tengah cukup banyak prestasi yang diraih siswa. Hal ini membuktikan bahwa dibawah kepemimpinannya, beliau mampu mengelola pelayanan siswa.
Manajemen kesiswaan ini tentunya dilakukan terus menerus agar sekolah mampu menciptakan suasana yang kondusif. Menurut Umiarso dan Gojali (2010: 98) Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional manajemen berbasis sekolah. Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik tersebut dari suatu sekolah, melainkan aspek yang lebih luas yang secara operasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah.
8. Hubungan Sekolah dan Masyarakat
MBS adalah model manajemen yang membuka luas ruang partisipasi masyarakat. Hubungan yang dilakukan SMK N 1 Pesisir Tengah bukan hanya kepada masyarakat (orang tua siswa) saja tetapi SMK N 1 Pesisir Tengah dengan sekolah menengah pertama dalam bentuk sosialisasi. Selain itu juga, hubungan sekolah dengan masyarakat selain pembiayaan tenaga honorer, bentuk partisipasi masyarakat kepada sekolah dengan memberikan kesempatan bagi siswa-siswa SMK N 1 Pesisir Tengah untuk prakerin.
Menurut Mulyasa (2009:50) hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya sekolah harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban untuk memberikan penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan dan tuntutan masyarakat terutama terhadap sekolah. Oleh karena itu, antara sekolah dan masyarakat harus dibina hubungan yang harmonis.
Hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat ini semakin dirasakan pentingnya pada masyarakat yang telah menyadari dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Namun tidak berarti pada masyarakat yang masih kurang menyadari pentingnya pendidikan, hubungan kerjasama ini tidak perlu dibina. Pada masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih aktif dan kreatif untuk menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis. Jika hubungan sekolah dan masyarakat berjalan dengan baik, maka rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan akan baik dan tinggi juga. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang SMK N 1 Pesisir Tengah.
9. Pengelolaan Iklim
Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.
SMK N 1 Pesisir Tengah dalam hal pengelolaan iklim dilakukan secara ketat mengingat SMK N 1 Pesisir Tengah belum dilengkapi dengan fasilitas pagar. Dilihat dari lokasi memang SMK N 1 Pesisir Tengah berada jauh dari keramaian sehingga suasana yang hening mampu menciptakan suasana penyelenggaraan pendidikan yang tenang. Namun ketenangan tersebut tidak didukung oleh prasarana yang lain seperti pagar yang belum ada. Hal tersebut membuat siswa SMK N 1 Pesisir Tengah bisa dengan bebas keluar dari lingkungan sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler berupa kesamaptaan yaitu kegiatan kedisplinan yang di aplikasikan dengan kegiatan baris berbaris dilaksanakan untuk membangun jiwa disiplin siswa. Adapun sanksi yang diberlakukan sekolah untuk siswa yang melanggar adalah sanksi teguran dan pemanggilan orangtua siswa. Sampai saat ini belum ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah akibat kenakalan siswa.
Iklim sekolah yang dikelola oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah sikap kekeluargaan antara guru dan siswa. Selain itu juga, hasil yang diperoleh adalah prestasi belajar siswa yang dapat dilihat pada bulan November 2010 SMK N 1 Pesisir Tengah mengirim siswanya untuk mengikuti Lomba Kompetensi Siswa (LKS) se- Lampung Barat dan SMK N 1 Pesisir Tengah mendapatkan prestasi yang bagus. Dengan prestasi yang baru saja diraih oleh siswa membuktikan bahwa SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengelola iklim sekolah.
10. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pendidikan. Untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan pendidikan di sekolah, sepatutnya manajer pendidikan melalui tokoh–tokoh masyarakat aktif menggugah perhatian masyarakat. Dalam usaha membina hubungan dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat ada badan yang dapat menjadi tempat partisipasi masyarakat untuk kemajuan pendidikan di daerah yaitu komite sekolah. SMK N 1 Pesisir Tengah sebagai lembaga pendidikan.
Partisipasi masyarakat bersama komite SMK N 1 Pesisir Tengah terlihat dalam pembiayaan tenaga honorer. Adanya musyawarah dalam menentukan besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua siswa mengidentifikasikan adanya hubungan yang baik antara SMK N 1 Pesisir Tengah dengan masyarakat. Tugas komite sekolah juga untuk mengawasi siswa yang berkeliaran pada waktu jam sekolah. Masyarakat atau komite sekolah sudah menjadi kewajiban untuk menyampaikan tingkah laku siswa selam siswa tersebut memakai pakaian SMK N 1 Pesisir Tengah.
Menurut Hasbullah (2007:57) menyatakan bahwa sekolah menjadi tanggung jawab masyarakat, sekolah yang bekerja sendirian tanpa melibatkan masyarakat akan sulit untuk maju. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang terus menerus dikembangkan. Adapun pendekatan yang dapat dibangun oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah pendekatan partisipatif, dimana masyarakat khususnya orang tua siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk ikut serta dalam masalah pendidikan. Masyarakat seharusnya dilibatkan untuk menganalisis seluruh infrastruktur yang ada di sekolah, baik menyangkut sumber daya manusia, kurikulum, sarana dan prasarana, sistem informasi dan semua yang dianggap berkaitan. Namun faktanya, baik SMK N 1 Pesisir Tengah maupun masyarakat belum bekerjasama dengan baik.
KESIMPULAN
pelaksanaan MBS di SMK N 1 Pesisir Tengah yang belum berjalan dengan baik adalah pertama, perencanaan dan evaluasi program. Perencanaan dan evaluasi program dalam MBS di SMK N 1 Pesisir Tengah belum sepenuhnya melibatkan masyarakat. Saat ini, SMK N 1 Pesisir Tengah memfokuskan pada perbaikan citra diri, sarana dan prasarana yang masih belum memadai serta kurang peran serta masyarakat dalam proses penrencanaan proses pendidikan. Seharusnya dalam MBS, masyarakat dapat berperan serta baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pendidikan.
Kedua, fungsi pengelolaan kurikulum berdampak pada fungsi pengelolaan proses belajar mengajar. Dalam implementasi pengelolaan kurikulum dan proses belajar mengajar yang diterapkan SMK N 1 Pesisir Tengah belum berjalan cukup baik. Walaupun jika dilihat dari output SMK N 1 Pesisir Tengah yang bisa terserap di dunia kerja. Pengelolaan kurikulum dan proses belajar mengajar tidak sepenuhnya didukung oleh fasilitas seperti peralatan dan perlengkapan yang memadai. Kecamatan Pesisir Tengah merupakan wilayah pesisir yang menyimpan potensi sumber daya alam berupa hasil laut. Untuk peningkatan kualitas pendidikan berbasis keunggulan lokal ini perlu adanya perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat dalam menfasilitasi peralatan dan perlengkapan. Hal ini mengingat bahwa tujuan awal terbentuknya SMK N 1 Pesisir Tengah sendiri untuk menciptakan peserta didik yang memiliki keahlian di bidang kelautan. Namun faktanya, lulusan SMK N 1 Pesisir Tengah yang dibekali keahlian nautika kapal penangkap ikan tidak terserap di daerah Lampung Barat sendiri.
Ketiga, MBS menekankan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan proses pendidikan salah satunya adalah pengelolaan keuangan. Faktanya, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola keuangan secara mandiri. Sumber keuangan SMK N 1 Pesisir Tengah berasal dari APBD dan masyarakat. Seharusnya SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengelola sumber keuangan secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk dijadikan sumber anggaran.
Keempat, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat SMK N 1 Pesisir Tengah dinilai belum berhasil. Hubungan yang dilaksanakan oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini berupa hubungan sekolah dengan lembaga pendidikan lain dan hubungan sekolah dengan masyarakat (untuk prakerin siswa) tetapi untuk jurusan NKPI belum terlihat. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan hubungan sekolah dan masyarakat harusnya bersinergi. Peran serta masyarakat tidak hanya sekedar bantuan finansial tetapi lebih dari itu. Hubungan sekolah yang dibangun oleh SMK N 1 Pesisir Tengah saat ini belum berjalan optimal dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat Krui yang rendah. Jika masyarakat bersikap pasif maka SMK N 1 Pesisir Tengah yang mengugah semangat masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Kelima, Salah satu keberhasilan desentralisasi pendidikan yang berwujud pada MBS adalah kemampuan sekolah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggeraan pendidikan partisipasi masyarakat diwakili melalui komite SMK N 1 Pesisir Tengah. Namun dalam pelaksanaan fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah, SMK N 1 Pesisir Tengah belum mampu mengelola keterlibatan masyarakat secara optimal.
Keberhasilan manajemen berbasis sekolah di SMK N 1 Pesisir Tengah adalah pengelolaan ketenagaan, pengelolaan fungsi pelayanan siswa dan pengelolaan iklim sekolah. SMK N 1 Pesisir Tengah dalam penyelenggaraan proses pendidikan diperlukan pengelolaan tenaga pendidik yang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam pengelolaan ketenagaan di SMK N 1 Pesisir Tengah terlihat adanya peran serta masyarakat dalam pembiayaan tenaga honorer baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Pelayanan siswa yang diberikan SMK N 1 Pesisir Tengah telah mengupayakan kegiatan yang berpusat pada pengembangan diri siswa. Hal ini terbukti dengan kegiatan kesamaptaan yang bertujuan untuk menciptakan sifat kedisplinan siswa.
Selain itu, pengelolaan iklim sekolah, walaupun dengan keterbatasan prasarana yang ada SMK N 1 Pesisir Tengah mampu mengatasinya. Upaya meminimalisir keluar masuknya siswa saat proses belajar mengajar, SMK N 1 Pesisir Tengah memantau secara ketat dengan adanya satpam. Selain itu, iklim sekolah yang dikelola oleh SMK N 1 Pesisir Tengah adalah sikap kekeluargaan antara guru dan siswa. pengelolaan iklim sekolah yang kondusif tentunya menghasilkan suatu prestasi. Pada masa kepemimpinan Drs. Hatriopar prestasi yang telah dicapai oleh SMK N 1 Pesisir Tengah cukup membanggakan.
Sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tentunya perlu menarik perhatian yang lebih baik dari kalangan masyarakat maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat untuk bersama-sama menyukseskan pendidikan yang berbasis kelautan. SMK N 1 Pesisir Tengah menjadi SMK N kejuruan pada umumnya jika tidak mampu mencetak sumber daya manusia yang bermanfaat bagi daerahnya sendiri. Dalam penelitian ini, SMK N 1 Pesisir Tengah tidak lagi menjadi sekolah yang berbasis keunggulan lokal. Hal ini dikarenakan SMK N 1 Pesisir Tengah terdapat jurusan-jurusan yang lain yang tidak lagi mengarah pada keunggulan lokal. Padahal kewenangan berupa manajemen berbasis sekolah yang diterapkan pemerintah dimaksudkan agar sekolah mampu meng-eksplor potensi daerahnya dengan membuka program pendidikan yang sesuai dengan potensi daerah tersebut.
Peran serta yang aktif dari masyarakat dalam proses pendidikan tentu sangat diperlukan. Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan baik bantuan berupa finansial dan pemikiran tentunya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan tentunya harus ada hubungan yang sinergi antara pemerintah daerah selaku fasilitator pendidikan, sekolah dan masyarakat. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten di bidang kelautan tentunya perlu adanya tindak lanjut baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, SMK N 1 Pesisir Tengah dan juga masyarakat.
Selain itu, perlu adanya perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang harus lebih menunjang penyelenggaraan pendidikan berbasis kelautan. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat sebagai fasilitator pendidikan seharusnya memberikan perhatian yang lebih berupa fasilitas penunjang (kapal, pelabuhan, dan tempat perbaikan kapal) kepada sekolah yang berbasis pada keunggulan lokal. Fasilitas penunjang dalam pendidikan berbasis keunggulan lokal tidak hanya berdampak bagi mutu pendidikan, tetapi juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. PT Bumi Aksara: Jakarta.
Dedidwitagama. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Global. Dimuat tanggal 07 November 2007. http://www.dedidwitagama.wordpress.com. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Hasibuan. 2006. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Hermawan, Dedy. 2005. Buku Ajar Manajemen Strategi. Universitas Lampung. Bandar Lampung
http://www.lampungbarat.go.id. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2009.
Lukita, BM Grahadyarini. Menyikapi Kemelut Perikanan. www.targetmdgs.org/index.php. Diakses tanggal 15 mei 2010
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Mulyasa. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. PT Gralia Indonesia: Bogor.
Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Rizal, Achmad. Strategi Kebijakan Untuk Mendorong Kinerja Sektor Kelautan. Dimuat tanggal 13 Desember 2009. http://resources.unpad.ac.id. Diakses tanggal 13 Desember 2009.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masayarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Kencana: Jakarta.
Salam, Dharma Setyawan. 2007. Otonomi Daerah: Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan Sumber Daya. Djambatan: Jakarta.
Siagian, Sondang P. 2007. Manajemen Stratejik. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Sirozi, 2005. Politik Pendidikan. PT Raja Grafindo: Jakarta.
Solihin, Ahmad. 2007. Partisipasi Publik dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi Tentang Peran Komite Sekolah pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Bandar Lampung). (Skripsi). Universitas Lampung: Lampung.
Sujanto, Bedjo. 2007. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaaan Sekolah di Era Otonomi Daerah. CV. Sagung Seto: Jakarta.
Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif , Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. PT Grasindo: Jakarta.
Terry & Rue. 2009. Dasar-Dasar Manajemen. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Tilaar. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta: Jakarta.
Umiarso dan Gojali, Imam. 2010. Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan. IRCiSoD: Jogjakarta.
Zen, Mohammad. Desentralisasi Setengah Hati. http://bataviase.co.id. Dimuat tanggal 13 Desember 2009. Diakses pada tangal 13 Desember 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.