Definisi Dan Manfaat Fiqh Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri dari dua kata berbahasa Arab fikih atau fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang pas apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing – masing kata dari segi bahasa dan istilah.
Secara etimologis ( bahasa ) fiqh adalah keterangan-keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan Si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud - maksud perkataan dan perbuatan. Secara terminologis ( istilah ), menurut ulama – ulama syara, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum – hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang diambil dari dasar – dasarnya dan sunah). Jadi fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum agama islam yang bersumber dari al quran dan sunah yang disusun oleh mujtahid dengan jalan penalaran dan ijtihad.
Kata siyasat bersal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus Al Munjid dan Lisan Al – Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memipin, membuat kebijaksanan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam Lisan Al Arab siyasat adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqh dan siyasat dari segi etimologis dan terminologis dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Fiqh Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal – ihwal seluk – beluk pengatur urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar – dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.”
Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah
Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah dalam system hukum islam adalah hukum-hukum islam yang digalih dari sumber yang sama dan ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemudian hubungan keduanya dari sisi lain, Fiqh Siyasah dipandang sebagai bagian dari fiqh atau dalam kategori fiqh. Bedanya terletak pada pembuatanya. Fiqh ditetapkan oleh mujtahid. Sedangkan Siyasah Syar’iyah ditetapkan oleh pemegang kekuasan.
Manfaat Fiqh Siyasah
Manfaat siyasah adalah:
1) mengatur peraturan dan perundang-undangan Negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemashalatan umat,
2) pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan, dan
3) mengatur hubungan antara pengusaha dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan Negara.
Konsep-Konsep yang Berhubungan dengan Pemerintahan Islam :
a. KHILAFAH
Secara umum seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya, menurut istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah dan sebutan seperti khilafah Abu bakar, Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang di amanahkan.
b. KHALIFAH
Secara istilah pemimpin yang mengganti nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang yang mempersamakan seluruh umat islam di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Jadi, khalifah tidak bisa diartikan wakil melainkan pengganti / penguasa.
a. IMAMAH
Secara umum keimanan,kepemimpinan, dan pemerintahan. Menurut istilah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakn wewenag dalam hal mengurus kepentingan masyarakat atau istilah lain kepemimpinan menyeliruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah.
Pendefinisian khilafah dan imamah lebih panjang oleh kepemimpinan Khulafaur Rosyidin. Hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik Negara. Negara didasarkan pada prinsijp yang mengakui “kedaulatan tuhan”. Dan Nabi Muhammad SAW sebagai “wakil tuhan”. Dan menerapkan musyawarah sertra kedaulatan yang sesungguhnya berda pada Tuhan.
b. IMAM
Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah pemerintahan islam, adalah imam. Kata imam berarti ”pemimpin, atau contoh yang harus diikuti atau mendahului, memimpin. Kedudukan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawab urusan umat. Secara istilah imam adalah ” seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agam dan urusan dunia sekaligus.
a. IMARAH
Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah persoalan, urusan atau dapat pula dipahami sebagai kekuasaan. Sementara itu imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fiqh daripada istilah imarah.
b. AMIR
Menurut istilah syara, amir adalah pejabat pemerintahan yang diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah umat islam’ istilah amir di gunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan.
Umar bin khattab pernah berkata: “ Tidak ada arti islam tanpa jamah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin).
Dalam arti lain amir adalah orang yang memerintah orang yang menangani persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.
Konsep amir justru dapat di pahami lebih umum dalam seluruh pola kepemimpinan. Termasuk penguasa politik pemerintahan, pemimmpin organisasi dan perkumpulan dan sebagainya. Dalam proses pemilihannya pun, lebih banyak melibatkan unsur sosial kemasyarakatan, ketimbang doktrin. Dengan kata lain, legalisasi seorang amir ditentukan oleh kepercayaan orang banyak terhadap seseorang.
Ahlul Halli Wal Aqdi
Dapat diartikan bahwa orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat atau sekelompok orang yang memilih imam atau kepala Negara atau orang-orang yang mempunyai wewenang.Biasanya istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah Ahlul Halli Wal aqdi didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yanag mewakili dua golongan yaitu Anshor dan Muhajirin.
Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi merupakan suatu lembaga pilihan. Kecenderungan umat islam generasi pertama dalam sejarah secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
Dengan demikian Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari berbagai kelompok sasial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda namun hal ini bukan hal prinsip, melainkan persoalan tekhnis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat.
a BAI’AT
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yamg berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Secar bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli dan untuk berjanji setia dan taat
Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang di milikinya.
Dengan demikian beberapa konsep yang berhubungan dengan pemerintahan islam diatas, dapatlah ditarik beberapa pengertian, Pertama konsep khilafah lebih bersifat umum, artinya sebagai sebuah konsep, imamah dan imarah tercakup di dalamnya. Kedua masing-masing konsep dapat dipahami dengan pendekayan karakteristik dan berbede-beda khilafah lebih bersifat teologis dan sosiologis sekaligus. Imamah murni bersifat teologis, sementara itu imarah murni bersifat sosiologis .
b. MAJLIS SYURO’
Permusyawaratan, hal yang bermusyawarah atau konsultasi. Majlis Syura berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah syura berasal dari kata kerja syaawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syaawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Pengertian seperti ini terdapat pada tiga tempat di dalam Alquran. Pertama dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya: ‘’Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.’ Menyapih anak sebelum mencapai usia dua tahun boleh apabila didasarkan pada kerelaan dan permusyawaratan antara suami-istri.
Kedua dalam surat Asy-Sura ayat 38: ‘Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan TuhanNya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.’’ Ayat ini mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dengan baik dan benar, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rizki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah.
Ketiga, dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 yang artinya, ‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal kepadaNya. Ayat ini merupakan perintah untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya dan perintah yang mensyariatkan musyawarah. Bermusyawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, sesungguhnya Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan kewajiban musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.