Keadaan Dan Jenis Naskah Jawa
Naskah atau manuskrip Jawa adalah ‘karangan tulisan tangan, baik yang asli ataupun salinannya’ (Poerwadarminta, 1954 : 447; Onions, 1974 : 554), yang menggunakan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun Jawa Baru, yang ditulis dengan aksara Jawa, Arab Pegon atau Arab Gondil, Latin, dan lain-lain, pada bahantulis lontar, daluwang, dan kertas pada umumnya.
Titik pangkal penciptaan karya tulis naskah Jawa telah berawal pada abad ke-9 (Zoetmulder, 1983 : 21). Berapa jumlah naskah Jawa sampai pada waktu sekarang ini tak terbilang banyaknya; betapa aneka ragam isinya pun tak terhingga macamnya. Pendek kata jumlah naskah melimpah, dan isi naskah meliputi lingkupan luas, merupakan curahan pikiran dan perasaan nenek moyang yang dapat memberikan gambaran mengenai hal-ihwal masyarakat jamannya (Haryati Soebadio, 1975). Oleh karena itu dengan mempelajari naskah dapat membantu pemahaman kebudayaan bangsa pada umumnya.
Makalah ini menyajikan uraian tentang keadaan dan jenis naskah Jawa, bertujuan memperoleh gambaran mengenai dunia pernaskahan Jawa pada umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat pengertian dan kesadaran akan warisan budaya bangsa yang berharga lagi berguna bagi kepentingan nasional (Harsya W. Bachtiar, 1973).
I. KEADAAN NASKAH JAWA
Dalam membicarakan keadaan naskah Jawa ini akan lebih memusatkan perhatian kepada dua hal, yaitu penyimpanan naskah dan penanganan naskah. Dua hal itu kiranya cukup dapat memberikan gambaran keadaan naskah Jawa secara menyeluruh, kendatipun hanya sekilas.
1. Penyimpanan Naskah
Berapa jumlah naskah-naskah Jawa hingga kini belum dapat diketahui dengan pasti. Sebagian besar di antaranya telah dihimpun dalam koleksi naskah lembaga-lembaga ilmiah baik milik pemerintah maupun yayasan swasta, baik di Indonesia sendiri ataupun di luarnya. Sebagian naskah yang lain lagi tersimpan dalam koleksi pribadi yang masih tersebar luas di seluruh lapisan masyarakat. Tempat menyimpan sebagian besar naskah-naskah Jawa dapat diketahui dari berbagai kata logus atau daftar naskah, tersebar di antara 21 negara. Kecuali di Indonesia, Austria, Belgia, Britania Raya, Cekoslovakia, Denemarken, Hongaria, Irlandia, Italia, Malaysia, Nederland, Norwegia, Perancis, Republik Demokrasi Jerman, Republik Federasi Jerman, Republik Persatuan Sosialis Uni Soviet, Selandia Baru, Swedia, Switzerland (Hooykaas, 1950 : 193-209; Willem van der Molen, 1984 : 12-49).
Di antara tempat-tempat yang diketahui banyak menyimpan naskah Jawa pada saat ini adalah : Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta (lihat Poerbatjaraka, 1933, 1940, 1950), Gedong Kirtya Singaraja khusus naskah Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan (lihat Goris, 1935, 1937), Bagian Naskah Perpustakaan Universitas Leiden Nederland (lihat Pigeaud, 1968, 1970, 1980), dan beberapa perpustakaan di Britania Raya (lihat Ricklefs & Voorhoeve, 1977, 1982).
Naskah-naskah Jawa di pusat kebudayaan Jawa banyak tersimpan pula di Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan Yogyakarta (lihat Mudjanattistomo, 1971), perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, Museum Sanabudaya Yogyakarta, Sanapustaka Karaton Surakarta, Reksapustaka Pura Mangkuneagaran Surakarta, dan Museum Radyapustaka Surakarta (lihat Girardet, 1983). Namun, belum seluruh naskah yang menjadi koleksi tempat penyimpanan, naskah-naskah tersebut dimasukkan dalam katalogus. Sebagai contoh misalnya di Museum Sanabudaya Yogyakarta masih terdapat beberapa puluh naskah dalam almari yang belum terjamah (Darusuprapta, 1982, 1983, 1984).
Naskah-naskah Jawa koleksi beberapa lembaga yang lain lagi seperti : Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta , Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, Kirti Griya Dewantara, dan Proyek Javanologi, baru dalam tingkat terdaftar. Demikian pula halnya naskah-naskah koleksi perpustakaan Fakultas Sastra UI, UGM, UNS, dan beberapa pemerintah daerah, misalnya Banyuwangi dan Sumerep. Bahkan naskah-naskah koleksipribadi, milik perorangan yang tersebar luas tercatat pun tidak. Naskah-naskah yang telah terhimpun itu berasal dari berbagai daerah lapisan masyarakat serta memuat isi yang bermacam ragam.
Dengan demikian guna mengetahui jumlah dan jenis naskah-naskah Jawa seluruhnya masih diperlukan langkah-langkah pendataan, dengan penelitian dan pencatatan lebih lanjut. Hasil yang dicapai kemudian dapat dikembangkan sehingga merupakan himpunan data naskah, sebagai sumber keterangan tentang dunia pernaskahan Jawa (Cf. Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1980/1981 : 99-104).
2. Penanganan Naskah
Banyak lembaga, baik di pusat maupun di daerah, baik pemerintah maupun swasta, yang mempunyai kegiatan menangani naskah. Hal itu menunjukkan bahwa masalah naskah dipandang penting (Cf. Achadiati Ikram, 1980/1981: 74-79; Mastini Hardjoprakoso, 1980/1981: 84-91).
Penanganan naskah pertama-tama dengan mengadakan penyelamatan. Kegiatan dilakukan dengan membeli naskah milik perorangan untuk dikumpulkan, menyediakan tempat untuk menyimpan naskah-naskah yang telah terkumpul, menyusunnya dalam daftar inventaris dan katalogus, mengadakan perbaikan naskah dengan reparasi dan penjilidan baru,mengadakan perawatan naskah dengan memelihara kebersihannya dari kotoran debu dan menjaga keutuhannya dari serangan serangga, mengusahakan pengawetan naskah dengan pengaturan suhu udara di tempat penyimpanannya.
Guna mengadakan penyelamatan naskah tersebut jelas memerlukan persediaan dana banyak. Di samping itu juga membutuhkan tenaga yang mempunyai pengetahuan dalam perawatan dan pengawetan naskah, serta yang memiliki rasa kasih sayang terhadap naskah. Kenyataan membuktikan bahwa belum semua lembaga yang mempunyai kegiatan menangani naskah itu dapat mengadakan penyelamatan naskah dengan semestinya.
Penanganan naskah yang kedua adalah dengan mengadakan pelestarian. Kegiatan dilakukan dengan membuat salinan atau turunan naskah, baik dengan transkripsi, dari dan ke huruf yang sama, maupun dengan transliterasi, dari dan ke huruf yang lain; dengan membuat reproduksi fotografi, baik dengan mikrofilm, ataupun dengan mikrofis; serta membuat suntingan naskah dengan menerapkan metode kritik teks sesuai dengan sifat tiap-tiap naskah.
Kegiatan dengan pelestarian naskah tersebut beberapa di antaranya telah dilakukan, baik oleh perorangan secara pribadi ataupun oleh karena mengemban tugas instansi. Misalnya penyalinan naskah dengan transliterasi di Museum Radyapustaka dan Pura Mangkunegaran atas kerja sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan di Museum Sanabudaya. Hasil yang dicapai tidak atau kurang menggembirakan. Banyak kesalahan ditemukan di dalamnya, misalnya : salah pengertian yang berakibat salah dalam penyalinan, salah baca yang berakibat salah dalam pemutusan kata, salah ejaan, dan salah dalam pengetikan.
Kesalahan-kesalahan tersebut pada umumnya disebabkan karena tenaga-tenaga yang mengerjakan tidak terdidik atau kurang terlatih dalam masalah transliterasi. Memang benar mereka mempunyai kemampuan membaca huruf naskah, tapi mereka tidak menguasai ejaan bahasa Jawa dengan huruf Latin yang disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Ada kalanya terasa mereka tidak memahami arti kata yang digunakan dalam teks, dan mereka tidak mengetahui pula teknik perbaikan teks dalam transliterasi. Bahkan kesalahan itu mungkin saja bertambah atau terjadi akibat pengetikan yang tidak teliti.
Hasil-hasil transliterasi yang demikian itu sebelum disajikan kepada umum seharusnya telah diperiksa oleh tim yang bertanggungjawab. Berdasarkan pengalaman itu selanjutnya kemudian tenaga-tenaga yang hendak mengerjakan transliterasi seyogyanya telah memiliki atau mendapat bekal dasar-dasar pengetahuan tentang transliterasi yang cukup memadai. Dengan demikian hasil kerjanya dapat diharapkan lebih memuaskan, kesalahan-kesalahan yang semestinya tidak terjadi dapat dihindari.
Kegiatan pelestarian dengan transkripsi dewasa ini rupa-rupanya kurang mendapat perhatian. Padahal penting demi untuk mendapatkan wujud naskah dalam bentuk yang serupa semula, dan demi untuk meneruskan tradisi salin-menyalin naskah yang telah berjalan selama ini. Di samping itu juga selagi pada masa sekarang ini masih ditemukan tenaga-tenaga yang mempunyai kemahiran dalam salin-menyalin naskah sesuai dengan bentuk tulisan aslinya.
Penanganan naskah yang ketiga adalah dengan penelitian. Kegiatan penelitian naskah dapat dilakukan dari segi sastra, baik dengan analisis dan interpretasi yang terlepas dari hal-hal di luarnya, maupun dalam kaitannya dengan lingkungan yang melatarbelakangi di sekitarnya. Di samping itu penelitian naskah dapat dilakukan dalam segi bahasa, baik dengan analisis ketatabahasaan naskah, ataupun masalah umum segala unsur kebahasaan yang dapat memberikan gambaran latar belakang penulisannya. Sebagai contoh misalnya penulisan karya ilmiah dalam jenjang pendidikan tertentu berdasarkan naskah, seperti : paper, skripsi, tesis, dan desertasi.
Kegiatan penelitian naskah Jawa di luar jenjang pendidikan hingga sekarang ini terasa semakin agak baik. Hal itu dapat dibuktikan dengan tawaran dan dana yang disediakan oleh beberapa lembaga penelitian, seperti Balai Penelitian Bahasa, dan juga Proyek Javanologi. Meski jumlah masih terbatas, tak seimbang dengan banyaknya naskah, kiranya cukup menggembirakan, asal setiap tahun anggaran selalu tersedia.
Pada sisi lain seharusnya minat dan perhatian peneliti tumbuh berkembang, namun kenyataannya tidak banyak yang bergairah melakukan. Harus diakui bahwa jumlah peneliti naskah memang kecil, dan jumlah peminat calon peneliti naskah pun sedikit. Barangkali hal itu disebabkan karena kurang adanya kesadaran dalam masyarakat, bahwa penelitian naskah sangat dibutuhkan guna menggali dan mengungkapkan warisan budaya bangsa, baik sebagai sumber inspirasi ataupun sebagai sarana evaluasi dalam pembentukan kebudayaan nasional.
Penanganan naskah yang keempat adalah pendayagunaan naskah. Adakah manfaat naskah pada waktu sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diuraikan lebih dahulu tentang isi naskah, kendatipun secara ringkas.
Naskah-naskah Jawa mengandung isi yang bermacam-macam. Ada naskah yang mengandung unsur kejadian-kejadian pentng dalam sejarah, sikap, dan pikiran serta perasaan masyarakat yang menjalani serta mendukung kejadian, ide kepahlawanan, sikap bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada naskah yang melukiskan pentas pertunjukkan disertai peralatannya, dan lain-lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa naskah cukup berguna, dapat merupakan sumber bagi pengertian terhadapberbagai segi kehidupan dan kebudayaan. Isi naskah tersebut tidak akan diketahui masyarakat jika naskah itu tidak diteliti, tidak diungkapkan isinya. Naskah-naskah yang mengandung isi nilai-nilai, cita-cita, aturan-aturan, pegangan dan pedoman hidup, yang dipandang sebaiknya digunakan dalam kehidupan masyarakat, wajib diteliti dan diungkapkan. Hal itu berguna untuk menunjang usaha-usaha pembinaan jiwa dan pengembangan kepribadian.
Kegiatan pendayagunaan naskah ini dilakukan antara lain dengan macapatan, dengan membaca naskah disertai pembahasan pada kesempatan tertentu, mengangkat isi naskah untuk digubah dalam pentas pertunjukkan, mengangkat isi naskah untuk dibahas dalam ceramah dan sarasehan, membuat terjemahan sehingga dapat dibaca dan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal bahasa naskah. Selain terjemahan dapat pula digarap dengan bentuk saduran, ataupun ringkasan.
Penanganan naskah yang kelima adalah penyebarluasan. Penyebarluasan yang dimaksud adalah dengan mengadakan penerbitan segala hasil kegiatan, terutama yang berupa suntingan naskah dengan terjemahan serta pembahasan, demikian pula hasil-hasil penelitian lainnya yang berdasarkan naskah.
Penyebarluasan penerbitan naskah dewasa ini telah banyak dilakukan oleh badan pemerintah, seperti Balai Pustaka dan yang lain. Hal itu cukup menggembirakan, namun patut disayangkan dengan banyaknya terdapat salah cetak di dalamnya, dan terbatasnya jangkauan penyebarannya.
II. PENJENISAN NASKAH JAWA
Penjenisan naskah dapat dipandang sebagai sesuatu yang membatasi pada dan dibatasi oleh peneliti naskah. Secara teori, penjenisan berdasarkan azas ketertiban : menggolong-golongkan atau mengelompok-kelompokkan sesuatu dalam hal ini naskah menurut tipologi tertentu, bukan menurut waktu dan tempat. Jadi, terlepas dari masalah kapan dan di mana naskah ditulis.
Penjenisan naskah adalah pengelompokkan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu yang menjadi ciri khas sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus dimaklumi, kadang-kadang tidak mudah menentukan sebuah naskaah termasuk jenis mana, karena berbagai ragam yang dikandungnya.
Dengan bertambahnya naskah, kategorinya pun mungkin saja berubah. Kerangka penjenisan dapat dikembangkan lebih lanjut, dan dapat diringkas lebih sederhana, bahkan dapat pula diciptakan bentuk lain.
Sebagai contoh di bawah ini diuraikan secara ringkas penyajian yang telah dikerjakan oleh beberapa penyusun katalogus naskah dengan azas dasarnya masing-masing. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penjenisan naskah Jawa hingga sekarang.
1. Katalogus Naskah Vreede
Vreede, guru besar Jawa di Universitas Leiden, pengganti Roorda. Ia telah menyusun katalogus naskah Jawa bersama naskah Madura koleksi perpustakaan Universitas Leiden, di Nederland (Vreede, 1892).
Dalam katalogus itu Vreede mengelompokkan naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden tersebut dalam sembilan jenis, yaitu :
1) Puisi Epis
2) Mitologi dan Sejarah Legendaris
3) Babad atau Kronik
4) Cerita Sejarah atau Roman
5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon
6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan
7) Karya-karya Hukum, Kitab-kitab, Undang-undang
8) Ilmu dan Pelajaran : Tatabahasa, Perkamusan; Pawukon (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan.
9) Serba-serbi
2. Katalogus Naskah Juynboll
Katalogus Juynboll memuat tambahan-tambahan yang melengkapi katalogus Vreede. Katalogus Juynboll ini terdiri atas dua jilid (Juynboll, 1907, 1911).
Isinya selain menambah naskah-naskah Madura, sebagian besar lagi memuat naskah-naskah Jawa. Pengelompokkannya berbeda dengan katalogus Vreede, terbagi dalam enam jenis dengan perincian sebagai berikut :
1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya
2) Syair Jawa Kuna (Kakawin)
3) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Tengahan
4) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat
5) Syair Jawa Baru dengan Metrum Macapat
6) Prosa :
(1) Jawa Kuna
(2) Jawa Pertengahan
(3) Jawa Baru
Penggolongan di atas jelas mencerminkan landasan bentuk gubahan dan jenis bahasa yang digunakan dalam naskah.
3. Katalogus Brandes
Brandes (1857-1905), adalah murid Vreede dan Kern. Ia bekerja di Jakarta selaku pegawai bahasa dari tahun 1884 sampai meninggal tahun 1905. pada tahun 1885 Brandes berguru kepada Ven der Tuuk di Singaraja. Setelah Van der Tuuk meninggal dnia pada tahun 1894, Brandes ditugaskan menyusun bahan-bahan hasil penelitian yang telah dikerjakan oleh Van der Tuuk. Di antara bahan yang telah terkumpul itu adalah bahan-bahan katalogus Jawa, Bali, dan Sasak.
Katalogus tersebut terbit dalam empat jilid (Brandes, 1901,1903, 1904, 1916). Penyajiannya tidak dengan digolong-golongkan, tetapi dengan disusun berurutan mengikuti abjad naskah. Jelasnya sebagai berikut :
Jilid I (1901) : Adigama sampai Ender.
Jilid II (1903) : Gatotkacarana sampai dengan Putrupasadji.
Jilid III (1904) : Rabut Sakti sampai dengan Yusup.
Jilid IV (1916) : Naskah-naskah tak berjudul.
4. Katalogus/Daftar Naskah Poerbatjaraka
Poerbatjaraka (1884-1964), yang lama bekerja sebagai konservator di Museum Nasional Jakarta, telah menyusun daftar naskah-naskah Jawa koleksi lembaga tersebut. Daftar naskah itu termuat dalam Jaarboek Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1933.
Sebagai daftar maka disusun berdasarkan urutan abjad naskah, dari Aanteekeningen (‘Catatan’) Bratajoeda sampai dengan Zon en Maan (‘Matahari dan Bulan’). Jadi sistem penyusunannya seperti dalam katalogus Brandes, tanpa dengan dikelompok-kelompokkan.
Di samping itu sesungguhnya secara terpisah Poerbatjaraka membuat uraian yang khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa, yaitu mengenai naskah-naskah Panji (Poerbatjaraka, 1940), naskah-naskah Menak (Poerbatjaraka, 1940), dan naskah-naskah Rengganis-Ambiya-Sastra Pesantren-Suluk dan Primbon (Poerbatjaraka dkk, 1950).
Penggolongan berikutnya yang direncanakan namun tidak terwujud sampai sekarang, antara lain adalah : Kakawin, Parwa, Babad, dan Kitab Undang-Undang.
5. Katalogus Pigeaud
Pigeaud, yang hingga tua renta sekarang masih selalu menggeluti naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden, telah berhasil membuat katalogus naskah Jawa yang tersimpan dalam Perpustakaan lembaga tersebut, dan beberapa lembaga lain di Eropa serta di Indonesia. Katalogus Pigeaud itu terdiri atas empat jilid (Pigeaud, 1968, 1970, 1980), dengan sistematika pembagian naskah secara garis besar dalam empat jenis, sebagai berikut :
1) Agama dan Etika
2) Sejarah dan Mitologi
3) Sastra Indah
4) Ilmu Pengetahuan, Kesenian, Ilmu Sastra, Hukum, Folklore, Adat-istiadat, Serbe-serbi.
Pembagian di atas dipandang mencerminkan empat hal yang berkaitan erat dengan konsep dasar alam pikiran Jawa. Demikianlah naskah jenis 1) merupakan kelompok yang dipandang cukup penting dan mendasar, kemudian jenis 2) keduanya saling berjalinan, bahkan ada kalanya berkaitan dengan jenis 1). Naskah jenis 3) banyal pula yang mengandung unsur-unsur jenis 1), 2), dan bahkan 4) yang memancarkan konsep dasar kebudayaan Jawa dalam segala segi kehidupan. Sebaliknya naskah jenis 4) mengandung juga unsur jenis 1), 2), dan 3).
Demikianlah ragam naskah sering bervariasi, sehingga kadang-kadang tidak mudah dimasukkan dalam satu jenis. Sebagai contoh misalnya Serat Centhini.
6. Katalogus Ricklefs-Voorhoeve
Ricklefs, yang sesungguhnya seorang sejarawan, bersama dengan Voorhoeve, telah menyusun katalogus naskah-naskah dari Indonesia—di antaranya naskah-naskah Jawa—yang terdapat di Britania Raya (Ricklefs dan Voorhoeve, 1977, 1982). Naskah-naskah tersebut tersimpan dalam koleksi perpustakaan lembaga-lembaga ilmiah yang tersebar di beberapa tempat di seluruh Britania Raya.
Dalam mengadakan penggolongan naskah-naskah Jawa didasarkan atas bahasa yang digunakan secara kronologis (?) atau dialektologis (?), sehingga terdapat penjenisan sebagai berikut:
1) Naskah-naskah Jawa Baru
2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan
3) Naskah-naskah Jawa Kuna
Kemudian daripada itu dikelompokkan terperinci menurut tempat-tempat penyimpanannya. Tempat-tempat penyimpanan naskah Jawa yang disebutkan antara lain adalah di : Bodleian Library, British Library, British Museum, India Office Library, Royal Asiatic Society, dan di School of Oriental and African Studies.
7. Katalogus Girardet-Soetanto
Girardet yang insinyur itu, ternyata cukup besar perhatiannya dalam dunia pernaskahan Jawa. Ia dengan bantuan Soetanto telah berhasil menyusun katalogus naskah Jawa dan juga yang telah tercetak yang terdapat di Surakarta dan Yogyakarta. Naskah-naskah Jawa tersebut khususnya yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan-perpustakaan : Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Museum Sanabudaya (Girardet-Soetanto, 1983). Kendati belum seluruh naskah terjamah dan tertuang di dalamnya, namun katalogus tersebut besar artinya bagi studi pernaskahan pada umumnya, Jawa khususnya. Kekurangan-kekurangan dapat disusulkan pada waktu yang akan datang.
Girardet dan Soetanto mengadakan penggolongan mula-mula dengan mengelompokkan tempatnya—seperti Ricklefs dan Voorhoeve yaitu di perpustakaan : Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Museum Sanabudaya.
Berbeda dengan Ricklefs dan Voorhoeve, kemudian Girardet dan Soetanto mengelompokkan jenis naskah pada tiap-tiap penyimpanan tersebut sebagai berikut :
1) Kronik, Legende, dan Mite
Di dalamnya termasuk naskah-naskah : babad, pakem, wayang purwa, Menak, Panji, Pustakaraja, dan Silsilah.
2) Agama, Filsafat, dan Etika
Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur ; Hinduisme-Budhisme, Islam, Mistik Jawa, Kristen, Magi, dan Ramalan, sastra wulang.
3) Peristiwa Kraton, Hukum, Risalah, Peraturan-peraturan.
4) Buku Teks dan Penuntun, Kamus dan Ensiklopedi Tentang :