Bisakah Kebijakan Fiskal Dan Moneter Menjadi Instrumen Yang Efektif Untuk Stabilisasi Ekonomi Pertanian?

Bisakah Kebijakan Fiskal Dan Moneter Menjadi Instrumen Yang Efektif Untuk Stabilisasi Ekonomi Pertanian? 
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan dua instrumen negara yang diharapkan berperan dalam melakukan stabilisasi ekonomi nasional. Kedua instrumen itu dibawa kendali dua otoriter yang saling independen, fiskal dikendalikan pemerintah, moneter dikendalikan oleh Bank Indonesai (BI).  

Secara teori, kedua instrumen itu bisa mempengaruhi indikator indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi dan ekspor netto. Seperti diketahui, banyaknya asumsi yang digunakan dalam aplikasi teori berpotensi besar untuk menyebabkan teori itu menjadi utopis. 

Perdebatan antara majhab yang menginginkan agar asumsi diperiksa dalam penggunaan model dan mazhab yang menerima asumsi itu apa adanya, masih terus berlanjut. Yang setuju memeriksa asumsi beralasan bahwa jika asumsi tidak dipenuhi maka keseluruhan model menjadi tidak aplikatif, sebaliknya kelompok yang menggunakan asumsi apa adanya beralasan bahwa kepentingan menggunakan asumsi adalah untuk menyederhanakan kajian terlepas dari asumsinya berlaku atau tidak. Ada yang memandang ilmu untuk ilmu, yang lainnya memandang ilmu untuk kemaslahatan. Bagaimana dengan kebijakan moneter dan fiskal? Begitu utopi kah asumsinya sehingga tidak nampak dalam empirisnya?

Pertumbuhan Ekonomi 2008 Diproyeksikan 6,8 Persen. Pemerintah memperkirakan defisit RAPBN 2008 mencapai Rp75 triliun, atau 1,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah merencanakan peningkatan penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2008 mencapai Rp583,7 triliun, naik sebesar Rp93,8 triliun, atau 19,1 persen dibanding sasaran penerimaan perpajakan pada RAPBN-P 2007 sebesar Rp489,9 triliun Sementara itu, perekonomian Indonesia di tahun 2008 diprediksi akan menemui beberapa tantangan baik dari kondisi global/regional maupun kondisi dalam negeri sendiri. Tantangan tersebut antara lain yaitu perlambatan ekonomi regional maupun global, ketidakpastian harga minyak dan komoditi internasional serta ketidakstabilan pasar uang global. Dari dalam negeri, Indonesia menghadapi tantangan untuk dapat mengimplementasikan pembangunan infrastruktur dan memperbaiki iklim investasi untuk menarik modal ke dalam negeri. 

Dengan berbagai tantangan tersebut, maka Pemerintah dan DPR menyepakati asumsi makro ekonomi tahun 2008. Asumsi itu meliputi pertumbuhan ekonomi 6,5-6,9%, inflasi 5,5-6,5%, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan 7-8%, dan nilai tukar rupiah Rp9.100 hingga Rp9.400 per dolar AS. Berdasarkan sasaran asumsi dasar ekonomi makro dalam kerangka ekonomi makro, maka orientasi kebijakan fiskal diarahkan dari fase konsolidasi menuju kepada fase stimulus fiskal. Hal ini terlihat dari perkembangan defisit APBN yang menuju trend kenaikan, namun defisit tetap dikonsolidasikan dalam batas-batas aman sesuai amanat Undang-undang yaitu tidak melebihi angka 3 persen. Hal terpenting dari fase stimulus yaitu kualitas dalam membelanjakan uang (quality of spending) sehingga tepat guna. Defisit pada akhir tahun 2007 dan 2008 diperkirakan akan mencapai lebih dari 1,5 persen dari PDB. Defisit APBN dipengaruhi dari kebijakan penerimaan dan kebijakan belanja negara. Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan yang akan ditempuh dalam tahun 2008 adalah mengupayakan peningkatan rasio perpajakan dari 13,4% di tahun 2007 menjadi 13,5% dari PDB di tahun 2008, serta mengoptimalkan penerimaan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Upaya-upaya yang dilakukan untuk itu antara lain yaitu: (1) perbaikaan administrasi, (2) penerapan pelaksanaan UU perpajakan yang baru, dan (3) ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Di sisi belanja negara, pada tahun 2008 arah kebijakan belanja pemerintah pusat difokuskan untuk meningkatkan kualitas belanja negara meliputi : perencanaan yang tepat, eksekusi anggaran yang prudent, penggunaan pada kebutuhan yang prioritas dan emergency,dan pencatatan dan pelaporan yang rapi dan disiplin.

Dalam pelaksanaan kebijakan fiskal, pemerintah akan dihadapkan pada risiko fiskal. Resiko tersebut antara lain yaitu: resiko perubahan asumsi, risiko belanja negara akibat adanya tekanan terhadap belanja negara khususnya terhadap risiko bencana alam, risiko akibat dari dukungan pemeritah untuk pembangunan infrastruktur, dan risiko utang. Indikator makro 2008 yang akan diupayakan yaitu antara lain pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diproyeksikan berkisar pada angka 6,6% s/d 7,0% dan indikator ekonomi lainnya diharapkan dalam keadaan stabil, sedangkan sasaran sektoral antar lain yaitu pengangguran pada tahun 2008 diperkirakan dapat ditekan menjadi 8,0%-9,0% dan jumlah tingkat kemiskinan turun menjadi sekitar 15%-16,8%.

Kondisi Indonesia berada dalam ketidak pastian, hal ini diakibatkan meningkatnya harga minyak dunia pada level yang cukup fantastis pada tahun-tahun terakhir ini. Pada hal APBN 2008 didesain hanya mampu menanggulangi kenaikan harga minyak dunia hingga level USD 90 per barel dalam satu tahun. Namun demikian, pemerintah masih tetap optimis dalam pencapaian perekonomian karena pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2007 sebesar 6,5%. Yang cukup sulit pada 2008 adalah kombinasi antara perekonomian lesu, tapi inflasinya tinggi karena kenaikan harga minyak dunia. 

Situasi itu membuat stabilitas makroekonomi Indonesia akan menghadapi tekanan yang cukup besar. Meski dibayangi ketidakjelasan perekonomian dunia akibat harga minyak, kondisi Indonesia tetap berada dalam kepastian, karena pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal III 2007 menjadi modal perekonomian Indonesia tahun 2008.

Menurut Miranda, meski kenaikan harga minyak dan komoditi masih membayangi, Bank Indonesia sudah menyiapkan berbagai langkah antisipasi, misalnya stimulus fiskal maupun insentif agar menarik bagi investor dan menjaga agar daya beli masyarakat tidak melemah akibat tren inflasi global. 

Semua hal itu dapat dilakukan dengan menggali prospek investasi dan potensi yang ada di Indonesia. Pertanyaan sekitar krisis ekonomi sempat mencuat, kenapa Malaysia lekas recovery (pulih), sedang indonesia belum? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan: Krisis ekonomi Malaysia terjadi awal 1997 termasuk Thailand dan Korea sedangkan Indonesia krisis ekonominya terjadi sekitar Juli 1997. Tidak seperti Malaysia yang hanya mengalami krisi ekonomi saja, Indonesai menderita multi krisis: krisis ekonomi, krisis politik ditandai oleh tumbangnya regim orde baru, juga krisis pangan dimana produksi pangan (beras) menurun akibat dari kemarau yang berkepanjangan (el nino). Dengan kata lain jatuhnya Indonesia digambarkan sebagai keadaan sudah jatuh ditimpa tangga, dihimpit lagi oleh tembok; Depresiasi kurs Malaysia tidak mencapai 100% sementara di Indonesai Depresiasi kurs mencapai angka lebih dari 500% dari Rp2400/USdolar tahun 1996 menjadi Rp16.000/USdolar tahun 1997; perbedaan lainnya adalah bahwa Impor content Malaysia tidak setinggi Indonesia yang mencapai 70% sementara Malaysia tidak lebih dari 30%; yang tidak kalah besar pengaruhnya pada perekonomian Indonesia adalah keadaan dalam negeri yang tidak aman, berawal dari gejolak politik yang tidak terkendali berbarengan dengan gejolak ekonomi. Sejumlah investor hengkang meninggalkan Indonesai menyelamatkan asetnya, karena Indonesia dinilai bukan lagi merupakan tempat yang aman untuk investasi dan menyelenggarakan usaha. Tercatat beberapa perusahan multi nasional, Sony, Maspion dan lain lain meninggalkan Indonesia. Praktis, Investasi stagnan diperkeruh lagi oleh kebakaran besar besaran yang melanda Jakarta dan Surabaya tahun 1998. Efektifkah kebijakan fiskal dan moneter digunakan untuk menstabilkan dan memulihkan kembali ekonomi nasional?

Perumusan Masalah. Lembaga riset ekonomi Econit Advisory Group menilai pelaksanaan kebijakan fiskal oleh pemerintah dalam beberapa tahun ini gagal menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas. Sepanjang tahun 2006-2007 pengeluaran anggaran sangat lamban dan menumpuk di akhir tahun. Penumpukan tahun 2007 sebesar 40% dari total anggaran merupakan penumpukan yang terbesar sepanjang 40 tahun terakhir. Akibatnya efektivitas fungsi redistribusi anggaran menjadi sangat rendah. Dan juga penerbitan obligasi global sebesar 2 miliar dolar AS pada awal 2008 untuk pembiayaan APBN 2008, terlalu mahal bebannya dibandingkan dengan obligasi serupa yang diterbitkan Thailand, Philipina, dan Malaysia. Tingkat yield yang ditawarkan Indonesia sangat tinggi yaitu 6,95 persen untuk yang jangka waktu 10 tahun. Padahal Philipina hanya 6,51 persen, Thailand 4,8 persen, dan Malaysia hanya 3,86 persen. (Econit 2008) Demikian juga halnya dengan fakta sejarah perkembangan ekonomi dunia menunjukkan pentingnya pengaruh bahan bakar minyak (BBM) dalam perekonomian, khususnya formulasi kebijakan makroekonomi secara umum. 

Bagi perekonomian terbuka skala kecil seperti Indonesia, fluktuasi harga minyak dunia telah berakibat langsung bagi efektivitas kebijakan fiscal kebijakan pembiayaan dan pembelanjaan Negara yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kenaikan harga minyak dunia memberikan tekanan khususnya pada anggaran subsidi BBM (INDENI, 2006).

Menyangkut kebijakan moneter, pemerintah telah menurunkan suku bunga di BI agar pelaku bisnis bisa leluasa melakukan usahanya. Selain itu pemerintah dengan DPR berusaha menyelesaikan UU Penanaman Modal Asing (PMA) dimana didalamnya menyangkut kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta paket UU Investasi yang terdiri dari revisi UU Perpajakan, revisi UU Ketenagakerjaan, RUU Investasi.

Semua kebijakan tahun 2007 tersebut ternyata belum menunjukkan perubahan optimal terhadap perekonomian nasional. Nilai inflasi tetap tinggi sebesar 6,29 persen, perkembangan investasi belum terlihat berubah dan gagasan KEK masih berputar diwilayah kepentingan politik. Kalau dilihat lebih jauh ke belakang, yaitu sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesa, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan baik moneter maupun fiskal ternyata belum mampu menstabilkan keadaan perekonomian Indonesia. Sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesai, sejumlah kebijakan moneter dan fiskal sudah dikeluarkan, namun keadaan perekonomian masih belum normal seperti sedia kala, terutama menyangkut nilai tukar rupiah, pengangguran, neraca perdagangan international. 

Keadaan ini terus diupayakan untuk lebih stabil agar dunia usaha punya acuan yang jelas dalam menyusun rencana kegiatannya. Masalah yang akan dikaji dalam paper ini adalah „bisakah kebijakan fiskal dan moneter menjadi instrumen yang efektif untuk menstabilkan ekonomi nasional?‟

Tujuan Penulisan. Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan paper ini adalah ingin mengetahui fenomena ekonomi makro yang berhubungan dengan kebijakan fiskal dan moneter untuk kemudian dikaji sejauh mana kebijakan tersebut dapat menstabilkan perekonomian nasional.

Secara rinci, tujuan tulisan ini meliputi (1) Inventarisasi kasus fenomena makro yang mencuat ke permukaan yang menggambarkan peranan kebijakan fiskal dan moneter (2) Mendiskusikan peranan kebijakan fiskal dan moneter dalam stabilisasi perekonomian nasional, ditinjau dari segi teori dan memeriksanya dengan membandingkan dengan tren (fenomena) umum yang terjadi. 

Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah penggunaan pajak dan pembelanjaan pemerintah untuk mengendalikan kegiatan ekonomi suatu negara. Maksud tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan (Employment of Act) tahun 1946 dan dinyatakan ulang dalam Undang-undang Humphrey-Hawkins tahun 1978. Dalam analisis kebocoran-suntikan (leakage-injection analysis), pembelanjaan pemerintah merupakan suntikan dan membantu dalam memindahkan ekonomi ke tingkat ekuilibrium yang lebih tinggi. Keynes menyarankan untuk menggunakan kebijakan fiskal diperluas. Dalam suatu kasus resesi disarankan untuk mengurangi pajak dan meningkatkan pembelanjaan, sebaliknya untuk kasus inflasi.

Pajak dan belanja pemerintah. Apabila kenaikan dalam pembelanjaan pemerintah adalah persis sama dengan kenaikan pajak, maka anggaran menjadi seimbang. Suatu anggaran seimbang dengan peningkatan yang serempak dalam pembelanjaan dan pajak adalah tidak netral tetapi berkembang. Alasan peningkatan dalam produksi adalah bahwa pajak mengurangi baik konsumsi maupun tabungan, dan pengurangan dari pajak adalah lebih kecil daripada peningkatan dari pengeluaran tambahan. Nilai pengali anggaran seimbang adalah satu. Kenaikan apapun dalam pembelanjaan harus dicocokkan dengan kenaikan penerimaan pajak. 

Efektivitas Kebijakan Fiskal. Kebijakan fiskal yang diperluas bisa menjadi kurang efektif dari yang diperlukan jika suatu efek peniadaan penuh (crowding-out effect) mengambil alih dimana pemerintah lebih suka untuk membiayai pembelanjaan melalui pinjaman daripada pajak atau uang baru. 

Melawan inflasi juga dapat tidak efektif dengan pembelanjaan yang menurun dan pajak yang meningkat apabila kelebihan anggaran digunakan untuk membayar kembali hutang. Untuk mengkaji pengaruh kebijakan fiskal dan moneter bisa dengan menggunakan analisa IS-LM, pengaruh goncangan pasar barang bisa dikaji menggunakan analisa AS-AD, pengaruh kebijakan moneter bisa dikaji dengan analisa pasar uang dan pasar modal. Sebagai contoh, An adverse shock (goncangan yang tidak disukai) misal kenaikan harga minyak, berdampak pada kenaikan harga (inflasi) seperti diilustrasikan oleh Gambar.

Gambar kenaikan harga minyak menyebabkan terjadinya inflasi.

Gambar menunjukan bahwa kenaikan harga minyak, meningkatkan pendapatan pemerintah sehingga dimungkinkan untuk meningkatkan belanja pemerintah (G). Jika G meningkat akan menggeser kurva Agregate Demand (AD) ke atas dari AD ke AD‟ Karena AS bentuknya vertikal dalam jangka pendek, (artinya kenaikan permintaan tidak bisa segera dipasok, melainkan dibutuhkan waktu untuk adjustment), maka akibatnya adalah terjadinya inflasi.

Sebaliknya, goncangan (stimulan) yang favorable (yang disukai) menggeser kurva Agregate supply (AS) ke kanan. Output Q meningkat tanpa diikuti oleh terjadinya inflasi, malah yang terjadi adalah deflasi dengan anggapan bahwa AD berslope negatif. Hal ini terjadi karena (1) ditemukan teknologi baru sehingga dicapai efisiensi yang tinggi, terjadi peningkatan produksi dengan menggunakan jumlah input yang sama, (2) pengaruh musim yang kondusive untuk produksi sehingga diperoleh hasil yang berlipat. 

Goncangan yang favorable lebih disukai sebagai sumber pertumbuhan karena tidak meningkatkan inlasi, namun goncangan vaforabel ini membutuhkan waktu lebih lama yaitu untuk menemukan teknology (invention dan innovation), tidak secepat kebijakan moneter atau fiskal yang bisa dikeluarkan kapan saja. Jadi goncangan yang adverse menyebabkan perubahan AD, sedangkan yang favorable menyebabkan perubahan AS. Jadi selama negara masih merupakan negara produsen minyak, maka kenaikan harga minyak dapat meningkatkan pendapatan pemerintah. Kelebihan dana dari rencana belanja yang disusun akan mendorong pemerintah meningkatkan belanjanya melampaui rencana yang disusun yang berujung pada terjadinya inflasi. Kalau kelebihan dana dampak kenaikan harga minyak itu di saving dan diinvestasi, maka hal itu akan menggeser AS ke kanan, terjadi pertumbuhan ekonomi tanpa inflasi. Jadi selama mental pelaku ekonomi masih konsumtif dan individualistis, ditambah lagi lemahnya instrumen pemerintah untuk mengantisipasi goncangan, maka selama itu sulit diharapkan dicapai pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh infasi.

Jadi, kebijakan fiskal pada dasarnya alat atau instrumen pemerintah yang sangat penting peranannya dalam sistem perekonomian. Instrumen fiskal itu berguna untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas basis kegiatan ekonomi berbagai sektor, dan secara khusus memperluas lapangan usaha untuk menurunkan tingkat pengangguran. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat memanfaatkan sumberdaya ekonomi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang dikehendakinya. Kebijakan fiskal juga sekaligus sebagai kesempatan emas untuk memberikan signal, baik bagi pelaku ekonomi, dunia usaha, investor, maupun yang lainnya (Didik J Rachbini, 2005)

Kebijakan Moneter
Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Dalam jangka panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.

Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes. Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi menawarkan suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan constrained discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules ataupun murni discretion. Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.

Inflasi: pengertian. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Terdapat dua indikator inflasi, yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Perdagangan Besar. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas. Sedangkan Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

Inflasi inti dan non inti. Inflasi dikelompokkan kedalam 2 kelompok yaitu: (1) Inflasi Inti, merupakan inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental, dan (2) Inflasi non Inti, merupakan inflasi yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi inflasi inti meliputi interaksi (permintaan dan penawaran), lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), dan ekspektasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi non inti terdiri dari : (1) Inflasi Volatile Food yaitu inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, gangguan penyakit, (2) Inflasi Administered Prices, yaitu inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang harihari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).

Gambar Determinan Inflasi

Target inflasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakan-kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan konvensional) (http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal).

Inflasi dan rational ekspektasi. Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan. Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat. 

Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan. 

Tujuan dan Tugas BI. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2004 pada pasal 7 ayat 1 dan 2, tujuan dan tugas BI meliputi (1) Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; (2) Untuk mencapai tujuan tersebut, BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian." 

Hasil dan Pembahasan
Fiscal: politics, business cycle dan misery index. Siklus bisnis politik mengacu kepada hubungan antara kebijakan ekonomi dengan pertimbangan politik. Regim yang berkuasa dengan partainya memiliki rencana dan strategis untuk memenangkan voting berikutnya. Untuk itu, ada kecenderungan bahwa di ujung periode pemerintahannya, regim yang berkuasa akan menerapkan kebijakan ‟generous‟ (bermurah hati), agar mendapatkan simpatik dihati masyarakat guna memenangkan voting mendatang. Bila terjadi defisit, ditutup dengan pinjaman karena ‟mencetak uang adalah kewenangan independent Bank Indonesia. Akibatnya, hutang negara menjadi meningkat termasuk kenaikan hutang karena beban bunga. 

Hal ini diatasi dengan menaikan dan menggali potensi pajak setelah memenangkan dan melewati masa voting. Demikian siklus itu terjadi dan berulang terus dari regim ke regim, sampai mencapai puncaknya dimana pemerintah dinilai tidak lagi sanggup membayar hutang. Pada kondisi terjepit demikian, instrumen yang paling bisa diandalkan adalah melakukan devaluasi mata uang (devaluasi rupiah) seperti yang terjadi pada era orde lama. 

Karena sebagian dana dipakai untuk anggaran pemilu termasuk kebijakan ‟generous‟nya maka, anggaran untuk pembangunan ril berkurang sehingga pengangguran naik yang bermuara ke naiknya index kesengsaraan (misery index, MI), yang diukur dengan menjumlahkan angka pengangguran (U) dengan inflasi (P). Misal angka pengangguran U=9,75% dan inflasi P=7% maka Misery indeks MI=16.75%.

Di Negara maju yang sudah mapan demokrasinya, plat form kebijakan pemerintah dapat diprediksi dengan mengetahui regim yang berkuasa. Party demokrat, pro rakyat; partai republik, pro elit, partai buruh pro buruh. Di Indonesia bendera partai yang digunakan regim tidak sepenuhnya mencerminkan arah kebijakannya. Sejumlah partai yang mengklaim dirinya memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, justru berkiprah menambah kesengsaraan rakyat. Kondisi parlemen yang mewakili rakyat juga memberikan warna kemajuan ekonomi nasional. Dengan mengatasnamakan reformasi dan kebebasan yang kebablasan maka filter SDM untuk mengendalikan negara ikut jebol. Sejumlah anggota dewan (parlemen) dengan gagah mengklaim dirinya mewakili rakyat dan berjuang untuk dan atas nama rakyat. Tidak jarang mereka tidak dibekali dengan modal ilmu dan pengalaman yang memadai didalam memecahkan permasalahan nasional. 

Ketetapan-ketetapan kebijakan fiskal yang dikembangkan seperti pemotongan pajak atau pengeluaran pemerintah yang dinaikkan seringkali dilaksanakan sebelum pemilihan supaya menghasilkan indikator-indikator ekonomi yang menguntungkan. Meskipun demikian, ketetapan kebijakan fiskal yang dikembangkan cenderung menghasilkan inflasi, dan segera setelah pemilihan berakhir maka kebijakan fiskal yang dipersingkat harus dilaksanakan. Sebagai tambahan, ketetapan kebijakan fiskal yang dikembangkan mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan defisit anggaran. 

Khususnya di Jakarta, dimana lebih dari 60% uang beredar disana, keadaan masih jauh dari yang diharapkan seperti yang disinyalir oleh Vltchek ( 2008) “... While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately 'pro-market' - profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor‟. 

Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis."

Kebijakan fiskal dibuat oleh pejabat-pejabat yang terpilih. Meskipun stabilitas ekonomi adalah sasaran pemerintah yang penting, namun itu bukan merupakan tujuan satu-satunya. Keamanan nasional, persediaan barangbarang dan jasa umum, serta redistribusi pendapatan adalah hanya beberapa dari pertimbangan-pertimbangan penting lainnya. Bukti yang kuat menunjukkan bahwa pejabat-pejabat yang terpilih seringkali lebih memperhatikan bagaimana caranya terpilih kembali daripada hanya mempertahankan stabilitas ekonomi. 

Pajak: penyimpangan dan kepedulian lingkungan. Instrumen perpajakan yang digunakan sebagai alat utama dalam melakukan redistribusi pendapatan, dipertanyakan efektifitasnya. Wajib pajak menghindari bayar pajak dengan membuat laporan fiktif, petugas (inspeksi) pajak tenaganya terbatas, tidak sanggup mengawasi mekanisme perpajakan nasional, piranti 

pengawasan dan penegak hukum yang lemah menyebabkan terjadinya kebocoran disejumlah tempat. Karena merasa sudah membayar pajak, pengusaha merasa bebas dari tanggung jawab sosial dan lingkungan, yang justeru lebih mahal dari nilai pajak yang dibayar. Dalam hal ini misal, penebangan hutan yang „kurang bijaksana‟ menyebabkan hutan menjadi gundul tanpa diimbangi dengan penanaman kembali yang proportional. 

„budaya takut di depan mata‟ mendorong pelaku berusaha untuk menanam pada area yang mudah diawasi, sedangkan dibagian dalam dan tengah hutan yang sulit dijangkau dibiarkan tidak diurus. Di sisi pengawas (penegak hukum), sebagian besar kasus diketahuinya ada masalah (penyimpangan) dan perlu ditindak, namun kentalnya praktek UUD (ujung ujungnya duit), maka seolah olah mereka tidak menemukan kasus itu, atau kasus penyimpangan itu kesannya tidak terjadi didalam jangkauan tugas mereka. 

Sekitar 600 perusahaan yang bergerak di sektor industri kelapa sawit, hanya 10% yang diduga membayar kewajiban pajaknya dengan benar. Dari hasil pengujian dan penelitian terungkap, sebagian besar Wajib pajak sektor industri kelapa sawit diduga membayar pajak jauh di bawah patokan (Badan Kebijakan Fiskal, 2008).

BPK mengklasifikasi empat jenis sasaran penyimpangan. Pertama, penyimpangan dalam administrasi atau tata usaha, kesalahan dalam perhitungan retribusi pajak PPh, kesalahan dalam perhitungan PPn, dan kesalahan dalam proses pembayaran retribusi. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain banyaknya penyimpangan dalam administrasi, dasar perhitungan yang tidak jelas, akibatnya pembayaran yang tidak sah sehingga menimbulkan kerugian negara. Kesalahan lainnya seperti adanya beberapa komponen yang salah perhitungan, adanya retribusi yang tidak mempunyai dokumen atau faktur yang cacat. 

Ada beberapa pembayaran pajak yang seharusnya ditarik tetapi belum dilakukan. Hal ini masuk kategori pajak yang tertunda. Selain itu ada juga retribusi yang fiktif (Andi lumban gaol website, 2008). Wajib Pajak yang seharusnya membayar pajak, tapi tidak membayarnya. Ada juga penyimpangan pajak yang dilakukan oleh aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak yang melakukan penyimpangan bisa mengurangi pencapaian penerimaan pajak. Tax ratio masih di bawah 14%. DaIam 5 tahun mendatang, tax ratio diupayakan mencapai 19%. (Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, 2008). 

Sementara pada saat yang sama muncul di media berita pembongkaran sindikat pemalsu faktur pajak yang merugikan negara senilai Rp 55 miliar (Sugiyanto Selasa, suara merdeka, 15 Februari 2005 EKONOMI) Berangkat dari pemahaman mental masyarakat Indonesia umumnya, bisa diprediksi bahwa ada kecenderungan masyarakat enggan untuk membayar pajak. Sebagian berdalih bahwa ‟sia sia‟ membayar pajak, tidak digunakan untuk pembangunan, sebagian berdalih ‟tidak fair‟ sebagian dipungut banyak sebagian sedikit, pilih kasih, anak emas, sebagian lagi berdalih bahwa dirinya tidak memenuhi syarat wajib pajak. Secara empirik, prediksi ini terjadi di lapangan. Sebagai contoh adalah kasus pemungutan PBB di Kota Mataram. Walaupun Pemerintah Kota Mataram sudah menyediakan berbagai macam hadiah (door prise) untuk merangsang masyarakat kota membayar PBB, tetap saja realisasi tidak capai target penuh walaupun memang terjadi sedikit peningkatan pencapaian yaitu 78% tahun 2006 dari 75% tahun 2005.

Di sisi lain terdapat pemikiran bahwa walaupun target pajak yang ditetapkan ini terpenuhi, bukan berarti pekerjaan selesai karena penetapan target pajak yang ada terlalu kecil dari potensi sesungguhnya. Hipotesis ini tampak memang benar apabila dilihat pada tax effort Indonesia yang rendah maupun wajib pajak terdaftar yang sedikit.

Pajak diskriminatif. Kebijakan perpajakan dinilai masih diskriminatif dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat. Misalnya, mengenakan PPN terhadap bibit dan makanan tambahan pakan ternak dan pengenaan PPN itu hanya kepada produsen berbadan hukum seperti koperasi, yayasan, sedangkan perorangan tidak dikenakan. Kebijakan perpajakan yang tidak berpihak pada masyarakat akan menambah penderitaan masyarakat dengan naiknya harga.

Ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kapasitas fiskal, yakni kesanggupan untuk membayar (willingness to pay) pajak dan kemampuan untuk membayar (ability to pay) pajak. Aspek willingness to pay terkait dengan efektivitas dan efisiensi administratif serta regulasi. Ada wajib pajak yang sesungguhnya sanggup membayar pajak, tetapi karena kemampuan administrasi perpajakannya lemah sehingga terjadi praktik penghindaran, atau karena ada kepentingan yang bercokol antar wajib pajak dan aparat pajak, penghindaran pajak pun bisa terjadi. Sebetulnya aspek willingness juga terkait dengan kesadaran wajib pajak. Tetapi mengharap kesadaran wajib pajak tanpa ada kekuatan memaksa adalah sesuatu yang sangat sulit kalau tidak boleh dikatakan mustahil. 

Aspek ability to pay berhubungan dengan daya beli dan nilai objek pajak. Mekanisme self assesment dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas aspek ability to pay. Baik willingness to pay maupun ability to pay atau kesadaran membayar pajak sangat dipengaruhi oleh kepercayaan para pembayar pajak kepada pemerintah mengenai untuk apa pajak tersebut dialokasikan. Artinya, pemerintah bukan hanya berhak memungut pajak, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mengalokasikan penerimaan tersebut secara benar dan efisien.

Perekonomian Indonesai yang terbuka lebih sering mengalami krisis. 
Untuk itu dibutuhkan kerjasama yang erat antara ororitas fiiskal dan otoritas Moneter. Didiperlukan kontingensi plan berupa penjabaran aplikasi kebijakan fiskal dan moneter disaat genting, dilengkapi dengan langkah kebijakan yang besifat prefentif dan kuratif untuk menangkal dampak negatif arus modal keluar dalam skala besar yang dapat terjadi secara tiba tiba akibat ekonomi global. Kebijakan prefentif berupa koordinasi moneter dan fiskal, penciptaan iklim yang kondisive untuk PMA serta pengembangan infra struktur. Juga dengan optimalisasi peran forum stabilisasi sektor keuangan (FSSK), mendorong pelaku ekonomi agar melakukan aksi lindung nilai (hedging) atas posisi keuangan mereka yang berisiko atas nilai tukar. Sedangkan kebijakan kuratif mencakup upaya stabilisasi ekonomi untuk jangka sangat pendek, dicirikan oleh larinya modal asing dalam jumlah besar, melemahnya nilai rupiah, melonjaknya inflasi, runtuhnya ekspektasi rasional pelaku ekonomi dan asing.

Perlu pendekatan yang integratif. Sesuai dengan undang undang, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain lain) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. 

Bunga Turun, Sektor Ril Bangkit?. Untuk mempercepat laju pertumbuhan yang berkualitas, kebijakan penurunan BI rate tidak akan kondusif jika tidak dibarengi dengan perbaikan iklim bisnis dan investasi, seperti perbaikan infrastruktur, penegakan hukum dan debirokratisasi investasi (meski ada paket investasi, tapi dalam implementasi belum jalan.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini sebagian besar bertumpu pada kegiatan konsumtif harus segera dikoreksi dengan pola pertumbuhan ekonomi yang secara dominan digerakkan sektor riil produktif serta dikerjakan oleh dan untuk kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyaluran kredit dikatakan berkualitas, bila memiliki multiplier effect baik bagi pelaku usaha, pekerja, dan dalam jangka panjang terhadap kabupaten/kota, di mana pelaku usaha tersebut tinggal, misalnya dengan meningkatnya lapangan kerja. Untuk itu, dibutuhkan instrumen-instrumen untuk mendorong penyaluran kredit yang berkualitas agar sektor riil bergerak dan mendominasi penyaluran kredit di sektor produktif. Tetapi, dalam upaya mendorong sektor riil tumbuh, perbankan tidak dapat bekerja sendiri, harus didukung oleh pemerintahan setempat. 

Pertumbuhan secara nominal tidak banyak artinya jika belum diiringi perbaikan kualitas pertumbuhan. Sektor yang tumbuh relatif lebih tinggi adalah sektor-sektor non-tradable, terutama di sektor-sektor jasa modern di perkotaan yang sangat sedikit menyerap tenaga kerja (TK), seperti subsektor telekomunikasi, keuangan nonperbankan, transportasi udara dan kereta api, serta subsektor listrik, air, dan gas. Keadaan ini menjadi lebih buruk dengan semakin berkembangnya produk pasar modal portofolio sehingga uang yang keluar dari bank bersirkulasi kembali ke lembaga keuangan lain, yang dilakukan para trader di pasar modal. Dengan pola pertumbuhan seperti itu, penyerapan tenaga kerja semakin terbatas karena semuanya padat modal, bukan sektor yang padat karya.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson