Analisis Kebijakan Moneter Kaitannya Dengan Penanaman Modal Asing
Pertumbuhan ekonomi yang stabil merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama bagi negara berkembang. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui pendapatan nasional sebagai proksi dari pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan tujuan dari perekonomian setiap negara.
Pendapatan Domestik Bruto sering digunakan sebagai salah satu pengukuran tingkat pendapatan nasional suatu negara, dengan menghitung nilai barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara dalam periode satu tahun. Diagram berikut memberikan gambaran PDB riil Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara.
Meskipun besaran PDB nominal selalu mengalami peningkatan, namun krisis pertengahan tahun 1997 membawa dampak negatif terhadap nilai PDB riil. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi sebagai salah satu dampak menurunnya nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, meningkatnya PDB nominal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai ukuran peningkatan ekonomi maupun penyebaran di setiap strata ekonomi, secara nyata utamanya di tahun 1998 oleh karena pengaruh inflasi sangat dominan dalam pembentukan besaran PDB, PNB maupun Pendapatan Nasional. (BPS, 2005).
Sebagian besar negara-negara menggunakan Indeks Harga Konsumen sebagai ukuran tingkat inflasi. Inflasi digunakan sebagai faktor yang membedakan antara PDB nominal dan PDB riil, tingkat nilai tukar nominal dan nilai tukar riil, serta tingkat bunga riil dan tingkat bunga nominal. Perbandingan indeks harga konsumen di Indonesia dan beberapa negara Asia adalah sebagamaina digambarkan dalam diagram.
Diagram Perkembangan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan beberapa negara lain
Perkembangan tingkat inflasi Indonesia menunjukkan fluktuasi yang amat tajam dibandingkan dengan beberapa negara lain. Kenaikan paling besar adalah pada periode 1998, dimana mencapai 60% dari tahun sebelumnya, sebagai akibat dari krisis pada pertengahan 1997. Todaro (1998) mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi pada hampir semua negara dewasa ini. Dari beberapa faktor pertumbuhan ekonomi yang umum dapat dikatakan bahwa salah-satu sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah adanya investasi yang mampu memperbaiki kualitas modal atau sumber daya manusia dan fisik, yang selanjutnya akan berhasil meningkatkan kualitas sumber daya melalui penemuan-penemuan baru, inovasi, dan kemajuan teknologi. Profesor Rostow dalam bukunya yang terkenal The Stages of Economic Growth, sebagaimana yang disebutkan oleh Suryadi (2001) bahwa salah-satu dari sekian banyak taktik pokok pembangunan untuk tinggal landas adalah pengerahan atau mobilisasi dana tabungan (dalam mata uang domestik maupun asing) guna menciptakan investasi dalam jumlah yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam saving-investment correlation puzzle (Froyen, 2002) bahwa dalam sebuah perekonomian tertutup tabungan berkaitan erat dengan investasi, dimana besarnya private domestic saving (S) ditambah government saving (T-G) (atau dissaving jika (T-G) defisit) harus sama dengan besarnya domestic investment (I). Dalam perekonomian terbuka, faktor ekspor dan impor ikut diperhitungkan sehingga domestic saving ditambah defisit perdagangan (ekspor dikuragi impor) harus sama dengan besarnya investasi domestik. Adanya kesenjangan antara tabungan domestik dan kebutuhan investasi (savinginvestment gap) yang diperlukan dalam mencapai satu tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, mengharuskan pemerintah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan lain.
Sebagian besar negara di dunia, mengandalkan utang luar negeri sebagai bagian penting dari sumber pembiayaan pembangunan mereka. Pemerintah dari 29 negara terkaya di dunia yang tergabung dalam kelompok OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) pada tahun 1999 memiliki utang hampir 14 triliun dollar, sementara itu pada tahun yang sama, 131 negara-negara berkembang memiliki utang luar negeri di atas 2 triliun dollar (Harinowo, 2002).
Pada perkembangannya, utang luar negeri menimbulkan permasalahan yang berat bagi perekonomian ketika akumulasi utang sudah demikian besar sehingga pembayaran kembali baik bunga maupun pokok pinjaman menjadi beban bagi anggaran suatu negara.
Beberapa negara berkembang bahkan sudah terjebak utang, dimana kemampuan membayar kembali pinjaman yang diukur dengan debt service ratio sudah berada di bawah batas aman bagi suatu pinjaman.
Pengalaman krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 telah mengajarkan banyak hal kepada beberapa negara, khususnya negara berkembang yang notabene sebagai negara debitur. Meningkatnya utang luar negeri Indonesia pasca krisis sebesar US$ 80 milliar hingga tiga kali lipat dalam mata uang domestik akibat melemahnya nilai tukar rupiah menjadi alasan kuat mengapa pemerintah harus mencari alternatif yang lebih baik dalam membiayai pembangunan (Sjöholm, 2000). Besarnya cicilan utang saat ini dirasa sangat membebani APBN, sehingga kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. (Lihat tabel )
TABEL RASIO CICILAN UTANG LUAR NEGARI TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA
Salah satu alternatif lain yang lebih memungkinkan bagi pemerintah dalam memperoleh sumber dana pembangunan adalah dengan meningkatkan arus modal asing melalui Penanaman Modal Asing (PMA). PMA diperlukan karena ketidaktersediaan sumber modal lain dan juga akibat pengalaman sejarah yang buruk dari ketergantungan pada utang luar negeri (Sjöholm, 2000).
Faktor terpenting yang menjelaskan aliran masuk PMA ke negara-negara berkembang saat ini adalah akuisisi asing terhadap perusahaan domestik dalam bentuk privatisasi, globalisasi produksi dan integrasi finansial (UNCTAD, 1996). Namun, pertumbuhan PMA ke negara-negara berkembang tidak sebanding dengan aliran ke negara-negara maju, terutama berkaitan dengan krisis utang internasional yang dihadapi oleh negara-negara berkembang pada tahun 1980-an.
Indonesia menjadi tujuan PMA pada tahun 80-an oleh karena beberapa keunggulan yang dimiliki, diantaranya: sumber daya alam, tenaga kerja yang murah dan jumlah penduduk yang besar merupakan pangsa pasar yang potensial (Winters, 1996). Ke depan, Indonesia cenderung lebih tergantung pada PMA karena sebagian besar modal domestik telah hilang akibat krisis keuangan, dan pihak asing tidak akan berani mengambil risiko dengan memberikan pinjaman modal sebesar yang diberikan sebelum krisis (Sjöholm, 2000).
Namun demikian, peran penting ini tidak sesuai dengan kondisi riil yang terjadi dengan PMA di Indonesia. Sebagaimana digambarkan pada diagram, rasio PMA terhadap PDB dari triwulan I tahun 1998 sampai dengan triwulan IV tahun 2005 relatif rendah. Diagram Grafik nilai PMA dan PDB nominal Indonesia (periode 1998.1 s.d 2005.4 dalam milliar rupiah)
Berdasarkan grafik pada diagram, nilai PMA dari periode 1998.1 sampai dengan 2005.4 jauh lebih rendah dibandingkan dengan PDB. Peningkatan PDB tidak diikuti oleh peningkatan PMA, namun sebaliknya justru nilai PMA berfluktuasi. Menurut teori pertumbuhan, PMA sebagai bagian dari investasi, seharusnya memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, rendahnya rasio tingkat PMA terhadap PDB merupakan masalah penting bagi pemerintah mengingat bahwa seharusnya aliran PMA lebih berperan dalam pembentukan modal pembangunan demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan nilai PMA, yang diharapkan mampu menutup saving-investment gap dalam pembiayaan pembangunan merupakan salah satu prioritas kebijakan yang harus diupayakan dengan langkah yang tepat. Identifikasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PMA, sangat diperlukan dalam rangka mengoptimalkan peran PMA dalam pembentukan modal pembangunan.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan hal penting yang berpengaruh terhadap aliran modal asing. Salah satu contoh adalah Singapura. Sebagai negara tujuan investasi, Singapura memiliki fundamental ekonomi yang kuat sebagai hasil dari kebijakan makroekonomi, sehingga dapat secara simultan menjaga kepercayaan investor. Kondisi full employment negara ini selama dua dekade, yang berbasiskan kebijakan moneter, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan inflasi yang rendah (Tyabji, 1997).
Tahun 1980-an Singapura menetapkan nilai tukar sebagai target moneter. Tujuan kebijakan bagi perekonomian Singapura sepenuhnya adalah mencapai inflasi yang rendah dan stabil. Dengan memperhatikan nilai tukar, otoritas moneter berusaha untuk menjaga dollar Singapura yang kuat dan stabil. Pengaruh stabilisasi dimana komitmen nilai tukar akan selalu sesuai dengan ekspektasi tergantung pada kredibilitas. Rendahnya kredibilitas akan menyebabkan capital flight maupun currency substitution yang berakibat pada melemahnya nilai tukar domestik. Kredibilitas sangat dipengaruhi oleh policy outcomes.
Komitmen nilai tukar Singapura memiliki kredibilitas yang tinggi karena policy outcomes secara umum menciptakan lingkungan perekonomian yang kondusif.
Berdasarkan diagram nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sangat berfluktuasi antar periode. Dibandingkan dengan beberapa negara lain, persen perubahan nilai tukar rupiah jauh lebih besar. Periode 1997 dan 1998 terjadi fluktuasi yang paling besar, dimana penurunan nilai tukar rupiah melebihi 80% dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh timbulnya krisis ekonomi di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Kurang stabilnya nilai tukar ini sangat berpengaruh terhadap PMA, hal ini dibuktikan oleh turunnya PMA hingga mencapai 60% pada periode yang sama.
Sebaliknya, menurut Nidhipraba (1998), aliran modal masuk dapat menyebabkan ekspansi ekonomi dan mengurangi masalah kesenjangan nilai tukar asing di negara berkembang seperti Thailand. Namun aliran modal masuk yang berlebihan dapat merusak stabilitas keseimbangan baik internal maupun eksternal. Kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dapat mengurangi dampak negatif dari aliran modal, mengingat bahwa faktorfaktor eksogen masih memungkinkan bagi regim nilai tukar.
Menurut Ong Hong Cheong (1998), Malaysia selalu menyambut baik aliran masuk modal asing untuk investasi yang produktif. Jumlah yang optimal dari aliran modal asing paling tidak dapat mencukupi kesenjangan investasi (saving-investment gap) yang diukur dari defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran dan tidak terlalu besar sehingga tidak menyebabkan destabilisasi kondisi moneter. Menjadi keyakinan bagi otoritas moneter bahwa kondisi moneter yang stabil adalah penting bagi bisnis dan pertumbuhan ekonomi yang mantap, dan bank sentral memiliki tanggung jawab berkaitan dengan upaya stabilitas moneter.
Sebagaimana negara-negara lain, Indonesia masih memiliki peluang untuk meningkatkan peran PMA dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan memperkuat fundamental ekonomi, melalui stabilitas moneter yang kuat. Penerapan kebijakan yang lebih tepat, yang lebih kondusif bagi masuknya modal asing, merupakan prioritas pilihan bagi otoritas moneter.
Dalam hal analisis terhadap pilihan suatu kebijakan moneter beberapa studi telah dilakukan. Salah satunya adalah studi tentang penggunaan tingkat bunga sebagai instrumen kebijakan moneter. Model ini dikenal dengan Taylor Rule, yang diperkenalkan pertama kali oleh Taylor pada tahun 1993, pada saat pengaturan tingkat suku bunga direkomendasikan Taylor kepada bank sentral Amerika Serikat. Model ini menjelaskan seberapa besar tingkat bunga yang harus ditetapkan agar inflasi dapat dikendalikan sehingga mencapai target inflasi (dalam kerangka inflation targeting).
Beberapa penelitian yang menggunakan model Taylor Rule telah dilakukan, diantaranya di Canada, Swedia dan Jerman. Hasil temuan para ahli ekonomi dunia menyatakan bahwa kebijakan moneter telah memberikan kontribusi yang besar terhadap bank sentral dalam mencapai tujuan dan sasaran untuk kestabilan perekonomian.
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan penelitian Nainggolan (2004), penerapan model Taylor Rule layak diterapkan di Indonesia. Berdasarkan rekomendasi dari penelitian ini, maka tingkat bunga digunakan sebagai sasaran antara dalam rangka mencapai target inflasi sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter. Oleh karena itu, pendekatan ini dapat digunakan sebagai acuan dalam analisis kebijakan moneter dalam menentukan pilihan kebijakan yang tepat bagi stabilitas perekonomian di Indonesia, khususnya terkait dengan peningkatan penanaman modal asing.
Rumusan Masalah
PMA berperan penting dalam pembentukan modal pembangunan. Hal ini mengingat bahwa untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu diperlukan sejumlah investasi. Tabungan domestik Indonesia untuk saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan investasi, sehingga diperlukan modal asing untuk menutup kesenjangan investasi, atau investment – saving gap. Kebijakan pemerintah untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri karena besarnya cicilan utang yang membebani APBN, menjadi alasan mengapa peran PMA sangat diperlukan.
Namun peran penting ini tidak didukung oleh jumlah PMA di Indonesia yang masih sangat kecil proporsinya terhadap PDB dimana dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 rata-rata dibawah 10%. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah melakukan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan PMA. Salah satu langkah kongkrit adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat mendukung peningkatan PMA, misalnya dengan menetapkan satu kebijakan yang berpengaruh terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pihak asing untuk menanamkan modal di Indonesia.
Fundamental ekonomi yang tercermin dari kondisi stabilitas makro ekonomi negara merupakan salah satu faktor yang diperhitungkan oleh investor asing. Stabilitas nilai tukar, tingkat bunga dan tingkat harga merupakan indikator dari stabilitas moneter sebagai prasyarat bagi fundamental ekonomi yang kuat. Hal ini menjadi sasaran akhir dari seluruh rangkaian kebijakan otoritas moneter dan merupakan salah satu pertimbangan yang kuat bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, disamping faktor tingkat keuntungan yang akan diperoleh (rate of return).
Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan otoritas moneter yang paling bertanggung jawab atas stabilitas moneter. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seharusnya bersifat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan PMA di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, apakah kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia bersifat demikian? Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi atas kebijakan moneter yang dalam hal ini dilakukan dengan memilih satu dari beberapa kebijakan yang paling tepat bagi peningkatan PMA di Indonesia.
Secara umum stabilisasi moneter mengalami pergeseran paradigma dari yang bersifat monetary targeting menjadi inflation targeting. Inflation targeting dewasa ini mulai mendapat banyak sambutan dari ekonom dan pembuat kebijakan karena dipandang (i) dapat meningkatkan kinerja inflasi dan output, (ii) mampu memperbaiki prakiraan inflasi melalui peningkatan kemampuan mengekspektasi inflasi, serta (iii) dapat menghindari kemungkinan munculnya kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan deviasi terhadap pencapaian target inflasi. Dalam inflation targeting, sasaran akhir kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai tingkat inflasi yang relatif rendah dan stabil Pada bulan Agustus 1997, batas intervensi nilai tukar rupiah telah dihapus. Dengan penghapusan batas intervensi nilai tukar rupiah maka inflation targeting dipandang mampu menjadi anchor baru dari kebijakan moneter. Untuk itu BI telah menempatkan inflasi sebagai anchor kebijakan moneternya dalam pasal 7 UU no 23 tahun 1999, dengan menetapkan suatu target inflasi sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Konsekuensi penetapan kebijakan inflation targeting adalah bagaimana kebijakan moneter tersebut dapat dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut baik dari sisi target operasional, target antara atau variabel informasi dan juga bagaimana mekanisme transmisi kebijakan tersebut dapat mempengaruhi output riil dan harga.
Terkait dengan evaluasi terhadap kebijakan moneter yang akan dilakukan dalam penelitian ini, maka salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah inflation targeting, layak untuk diterapkan dalam rangka mendukung peningkatan PMA di Indonesia dengan menggunakan pendekatan Taylor Rule.
Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian
1. Melakukan analisis terhadap kebijakan moneter, apakah inflation targeting merupakan pilihan yang tepat jika dikaitkan dengan peningkatan PMA di Indonesia
2. Melakukan analisis bagaimana fluktuasi PMA di Indonesia dijelaskan oleh fluktuasi nilai tukar, inflasi dan tingkat bunga, dan mana yang lebih besar proporsinya antara nilai tukar, inflasi dan tingkat bunga dalam menjelaskan fluktuasi PMA di Indonesia.
3. Memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait dengan kebijakan moneter kaitannya dengan kondisi perekonomian baik bagi akedemisi maupun para pemerhati ekonomi.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Bab ini akan menyajikan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran teoritis sebagai dasar untuk melakukan analisis. Bagian awal akan menjelaskan tentang Taylor Rule, sebagai pendekatan yang dipakai dalam analisis, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan moneter dalam kaitannya dengan PMA, dan variabel-variabel penelitian yaitu PMA, tingkat bunga, nilai tukar dan inflasi . Pembahasan perikutnya adalah mengenai penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan diakhiri dengan kerangka pemikiran teoritis (KPT) yang menguraikan secara kualitatif permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya berdasarkan teori dan penelitian terdahulu.
Tinjauan Pustaka
Taylor Rule
Munculnya model Taylor Rule pertama kali pada tahun 1993, saat pengaturan tingkat suku bunga nominal yang direkomendasikan Taylor kepada bank sentral AS. Suatu rule dimana perkembangan suku bunga mencerminkan respon perkembangan output dan inflasi. Meskipun ada pro dan kontra penerapan Taylor Rule dalam kebijakan moneter, kebanyakan negara-negara di Eropa banyak mengadopsi kebijakan ini didalam usaha meningkatkan perekonomian.
A. Prinsip Dasar Model
Taylor Rule menjelaskan seberapa besar tingkat bunga nominal yang ditetapkan agar inflasi dapat dikendalikan sehingga mencapai target inflasi (inflation targeting). Penelitian Green Span, gubernur Bank Sentral Amerika, menyatakan bahwa sejak tahun 1987 prediksi tingkat bunga nominal dengan penggunaan Taylor Rule 87% hampir mendekati sama dengan tingkat bunga aktual yang terjadi (Nainggolan, 2004).
Dalam model Taylor rule ada 3 hal yang perlu diamati yaitu pertama, instrumen kebijakan moneter yang digunakan adalah tingkat bunga bank. Efisiensi kebijakan ini secara tidak langsung akan ditunjukkan oleh Taylor Rule dengan melihat koefisien output dan inflasi. Dua, yang menjadi sasaran akhir adalah inflasi. Tiga, sasaran lainnya adalah pendapatan nasional. Taylor membuat bentuk model perilaku tingkat bunga terhadap inflasi dan output untuk negara Amerika Serikat
it = 0,04 + 1,5(pt – 0,02) + 0,5 (Yt – ŷt)
dimana
it = target suku bunga AS
pt = tingkat inflasi (diukur dengan GDP deflator)
Yt = log GDP riil
Ŷt = log potensial output
Oleh karena itu, diperoleh kesimpulan bahwa prinsip dasar model Taylor Rule adalah mengatur tingkat bunga nominal pada tingkat tertentu yang dilakukan oleh bank sentral sehingga pada keseimbangan jangka panjang tingkat bunga nominal setara yaitu tingkat bunga riil ditambah inflasi. Penentuan tingkat bunga nominal yang baik antara lain memperhatikan sasaran laju inflasi dan output gap yang diyakini sebagai penyebab munculnya inflasi sehingga dalam taylor rule mempunyai 2 cakupan dalam target moneter yaitu inflasi yang rendah dan stabil serta pertumbuhan output yang berkelanjutan. B. Teori dan Pendekatan Model
Pendekatan Taylor (1999), fungsi permintaan agregat perekonomian Indonesia mengikuti suatu persamaan reduced form:
Yt – y*t = - (i-p)
Dimana y adalah PDB atau output aktual sebagai cerminan permintaan agregat, y* adalah PDB atau output potensial sebagai cerminan penawaran agregat, i adalah suku bunga dan p adalah inflasi agregat.
Persamaan diatas menyatakan bahwa perbedaan output aktual dan potensinya akan dipengaruhi oleh suku bunga riil. Bila suku bunga riil meningkat maka kesenjangan output tersebut akan semakin membesar. Cerminan dari biaya (inflasi) yang harus ditanggung oleh perekonomian bila menginginkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi digunakan kurva Philips yang menggambarkan trade-off antara output dan inflasi.
Pt+1 = p* + θ( Yt – Yt*) + (εt+1 + c)
Dimana Pt+1 adalah inflasi agregat (headline inflation) dimasa datang, p* ekspektasi inflasi, εt+1 adalah kejutan dari sisi penawaran yang bersifat sementara dan c adalah kejutan kebijakan.
Perlu ditambahkan bahwa εt+1 adalah kejutan dari sisi penawaran yang bersifat sementara, sehingga adalam jangka panjang bernilai 0 (white noise). Kejutan dari sisi penawaran ini memiliki tanda t+1, artinya bahwa otoritas moneter sama sekali tidak memiliki informasi kejutan macam apa yang akan terjadi pada periode mendatang.
Adapun c adalah konstan kejutan kebijakan (one time policy shocks) yang berasal dari penyesuaian harga barang-barang yang dikendalikan pemerintah. Kenaikan inflasi yang berasal dari unsur ini banyak ditemukan di negara-negara sedang berkembang, dimana pemerintah memiliki kewenangan mengendalikan harga secara langsung dan mengatur tingginya tingkat harga.
Untuk memperoleh makna dari persamaan diatas, maka dilakukan penyederhanaan, dimana ekspektasi inflasi dianggap sama dengan sasaran inflasi yang diterapkan (fully credible monetary policy). Selain itu diasumsikan c=0, yang berarti tidak ada kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. Dengan demikian laju inflasi hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan situasi permintaan (p dan output gap) dan kejutan dari sisi penawaran (ε). Dengan demikian persamaan diatas menggambarkan situasi trade off, bahwa kenaikan jumlah produksi (output) periode sekarang (atau dengan kata lain, produksi semakin mendekati kapasitas penuhnya) akan cenderung menaikkan tekanan-tekanan inflasi pada periode mendatang. Dengan model seperti persamaan diatas, maka perubahan suku bunga sekarang hanya dapat mempengaruhi laju inflasi periode mendatang. Ini merupakan cerminan dari mekanisme penundaan waktu (time lag) kebijakan moneter atas perkembangan output maupun inflasi.
Kebijakan Moneter
A. Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi untuk tumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi. Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka kebijakan yang diambil adalah kebijakan ekspansif, sedangkan kebijakan moneter kontraktif dilakukan dengan mengurangi jumlah uang beredar atau yang dikenal dengan kebijakan uang ketat (tight money policy) (Rahardja dan Manurung, 2002).
B. Instrumen Kebijakan Moneter
Ada tiga instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar, yaitu: Operasi Pasar terbuka (open market operation), fasilitas diskonto (discount rate), dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio). Di luar ketiga instrumen tersebut pemerintah dapat melakukan imbauan moral (moral suation).
a. Operasi pasar terbuka (open market operation)
Operasi pasar terbuka adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government securities). Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Sebaliknya, jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying). Guna mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini dikenal SBI Repo atau SBPU repo.
b. Fasilitas diskonto (discount rate)
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam kondisi tertentu, bankbank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam kepada bank sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
c. Rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang beredar. Jika rasio cadangan diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya.
C. Kebijakan Moneter dan Keseimbangan Ekonomi: Analisis IS-LM
Pengaruh kebijakan moneter terhadap keseimbangan ekonomi
Gambar Dampak Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian
Kurva IS menggambarkan kondisi keseimbangan pasar barang dan jasa, sedangkan kurva LM menggambarkan kondisi keseimbangan di pasar uang. Kebijakan pemerintah untuk mengubah jumlah uang beredar dalam masyarakat akan menggeser kurva LM dan berpengaruh terhadap perekonomian, karena mengubah titik potong kurva IS-LM yang berarti mengubah titik keseimbangan ekonomi. Pada gambar kondisi Y keseimbangan awal ditunjukkan oleh titik E0 dimana tingkat pendapatan sebesar Y0 dan tingkat bunga adalah r0. Jika pemerintah menambah jumlah uang beredar, kurva LM bergeser ke kanan (dari LM0 ke LM1), sehingga titik keseimbangan juga bergeser dari Eo ke E1. Pada titik keseimbangan yang baru (E1), output keseimbangan adalah Y1 yang lebih besar dari Y0 sedangkan tingkat bunga adalah r1 yang lebih rendah dari r0. Artinya, kebijakan moneter ekspansif dalam konteks gambar dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat bunga. Dalam perekonomian pasar, kenaikan tingkat bunga mengindikasikan telah terjadinya kelebihan permintaan investasi, yang akibatnya dapat dilihat pada dua sisi:
1) sisi output kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada beberapa rencana investasi yang dibatalkan, sebagai akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi lebih kecil 2) sisi biaya kenaikan tingkat bunga akan menaikkan biaya produksi dikarenakan naiknya biaya modal.
Dari kedua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat bunga akan memicu terjadinya inflasi. D. Penerapan Kebijakan Moneter yang Optimal Menurut Solikin (2005), strategi pemilihan instrumen, apakah uang beredar atau suku bunga, dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan, apakah stabilisasi output atau harga, dapat dilakukan melalui beberapa cara, dimana hal tersebut sangat terkait dengan pemilihan langkah kebijakan yang tepat dalam merespons fluktuasi perekonomian. Beberapa latar belakang pemikiran juga mengimplikasikan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan yang berorientasi stabilitas (stabilization policy), upaya untuk mempengaruhi policy variables dapat dilakukan dengan baik dengan melandaskan pada kaidah (rules) yang memperhitungkan adanya feed back yang bersifat tetap dalam hubungan antar variabel ekonomi. Strategi kebijakan tersebut merupakan alternatif dari strategi kebijakan aktif atau discretion, yang lebih didasarkan pada penilaian dan pertimbangan tertentu (fine tuning) dari pengambil kebijakan. Pemahaman alternatif dari hal tersebut adalah bahwa discretion adalah strategi yang tidak mengikuti pola rules (anti rules).
Sejalan dengan adanya permasalahan ketidakstabilan keterkaitan antara perkembangan besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan (perkembangan output), muncul bentuk monetary policy rule yang semakin mendapatkan perhatian dewasa ini, yaitu interest rate rule atau Taylor rule, dimana perkembangan suku bunga mencerminkan respons dari pekembangan output dan inflasi (Taylor, 1993). Menurut Ball (1997) dan Svensson (1997), versi umum dari Tayor rule tersebut pada dasarnya dapat diturunkan berdasarkan langkah optimisasi oleh bank sentral dengan memperhitungkan Kurva Phillips (backward-looking) dari sisi penawaran dan kurva IS dinamis dari sisi permintaan. Namun demikian, persamaan Taylor rule tersebut pada dasarnya tidak mendasarkan pada orientasi forward-looking. Sementara itu, dalam konteks perekonomian terbuka, persamaan Taylor rule dapat dimodifikasi dengan memperhitungkan variabel lain, khususnya perubahan nilai tukar sebagai akibat pengaruh variabel eksogen tertentu (Ball, 1997).
Pada dasarnya alternatif penentuan respons kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menggunakan rules atau dengan menggunakan discretion. Konsensus yang diambil setelah melalui perdebatan yang panjang diantara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua pola penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pola discretion. Di sisi lain, beberapa pola rules diyakini sebagai suatu prasyarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang sebaliknya.
Menurut McCallum (2001) dalam Solikin, dalam policy rule yang dikenal secara umum, dapat dibedakan antara monetary growth rule dan interest rate rule, yang didalamnya terdapat dua pokok pemikiran. Pertama, bahwa disain policy rule pada dasarnya merefleksikan keterkaitan antara sasaran akhir kebijakan (perkembangan output dan harga) dengan sasaran operasional atau instrumen kebijakan (perkembangan besaran moneter-yaitu uang primer- dan suku bunga jangka pendek). Umumnya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis GDP nominal targeting, maka monetary growth rule menjadi pilihan. Sebaliknya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation targeting, maka interest rule menjadi pilihan.
Kedua, dalam analisis kebijakan moneter, policy rule tidak mesti atau harus mencerminkan perilaku optimum dari bank sentral, tergantung pada tujuan analisis. Apabila tujuan analisis adalah mencari kebijakan yang optimal, maka disain policy rule seyogyanya dihasilkan dari langkah optimalisasi yang mengacu pada fungsi tujuan bank sentral, yang tentunya dapat didasarkan pada perilaku atau fungsi utilitas masyarakat; dimana dalam praktek, tidak ada satu pun bank sentral yang menyatakan fungsi tujuan tersebut secara tegas. Dengan demikian, tidak semua analisis yang disarankan untuk dipakai harus mengasumsikan adanya langkah optimal dari bank sentral. Dalam hal ini, diyakini bahwa analisis positif yang mengkaji pengaruh dari hypothetical rules dari beberapa alternatif pendekatan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Penanaman modal asing
Pendekatan terhadap pentingnya PMA dalam perekonomian suatu negara dapat dilihat melalui model perekonomian terbuka yang dimulai dengan persamaan identitas sebagai berikut :
Y ≡ C + I + G + (X-M)
Y ≡ C + S + T
Sehingga jika persamaan (1) dan (2) disubstitusikan menjadi:
C +S+T = C+I+G+(X-M)
S+T = I+G+(X-M)
(S-I) +(T-G) = (X-M)
Tabungan domestik merupakan fungsi dari tingkat bunga (r), sehingga besar kecilnya sangat tergantung pada tinggi rendahnya tingkat bunga. Sedangkan besar kecilnya deficit anggaran pemerintah salah satunya pengaruhi oleh tingkat harga (p) dimana tinggi rendahnya harga barang dan jasa sangat terkait dengan tingkat inflasi (π). Sementara itu, surplus atau deficit neraca transaksi berjalan ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu Negara (e), mengingat bahwa nilai ekspor dan impor sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai mata uang domestic terhadap mata uang asing (kurs). Oleh karena itu untuk mendorong investasi demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi diperlukan kestabilan pada variable tingkat bunga (r) , tingkat inflasi (π ), dan nilai tukar (e). Namun dalam suatu perekonomian dimana kondisi (S-I) negative atau terdapat kesenjangan antara investasi dan tabungan (saving-investment gap) dan (T-G) negative (anggaran pemerintah deficit) maka seharusnya dapat dibiayai dengan surplus pada neraca perdagangan (X-M). Jika pada kenyataannya surplus neraca perdagangan tidak mampu menutup kondisi double deficit tersebut, maka pemerintah harus mencari sumber dari luar negeri . Hal ini dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan pinjaman luar negeri dan Penanaman Modal Asing.
Pengertian penanaman modal asing menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung, menanggung resiko dari penanaman modal tersebut. Sedangkan pengertian modal asing dalam Undang-undang tersebut adalah:
a. alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia;
b. alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisi Indonesia;
c. bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-undang ini perkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan Indonesia.
Sedangkan menurut Krugman & Obsfeld, 2003, Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan aliran modal internasional dimana suatu perusahaan di suatu negara mendirikan atau memperluas cabang perusahaan di negara lain. Ciri khas dari PMA adalah bahwa PMA tidak hanya berkaitan dengan masalah transfer sumber daya, namun terkait juga dengan masalah pengendalian. PMA dapat berupa greenfield, yaitu dengan membuka pabrik baru atau cabang perusahaan baru di negara lain, merger dengan perusahaan asing maupun dengan mengakuisisi perusahaan asing maupun domestik yang sudah ada di negara lain.
Aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai diversifikasi usaha. (Brooks,et,al, 2003). Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah meningkatnya output dan kesejahteraan dunia. Disamping peningkatan income dan output, keuntungan bagi negara tujuan dari aliran modal asing adalah:
1. investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran teknologi yang bebas bagi perusahaan.
2. investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable sector) meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.
3. investasi asing menghasilkan investasi domestik. Dalam analisis terhadap 58 negara berkembang, Bosworth dan Collin (1999) menemukan bahwa sekitar setengah dari setiap dollar aliran modal menyebabkan meningkatnya investasi investasi domestik.
4. investasi asing memberikan keuntungan dalam hal meningkatkan akses pasar karena skala ekonomis .
5. investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar dengan negara tujuan (investment gap). Masuknya investasi asing dapat mengatasi masalah tidak tercukupinya valuta asing yang digunakan untuk membiayai impor faktor produksi dari luar negeri.
Menurut Kwan (1998), peningkatan yang cepat dalam investasi langsung di Asia sejak awal 1990-an menjadi sumber dana pendukung pembangunan ekonomi Asia. Hal ini karena investasi langsung merupakan sumber dana yang paling stabil dan dapat langsung memperbesar kapasitas produksi.
PMA dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor stabilitas politik dan keamanan suatu negara yang paling dipertimbangkan oleh investor asing (Sjöholm, 2000). Sedangkan berdasarkan hasil riset dari KPPOD pada tahun 2003, faktor kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan produktivitas serta infrastruktur fisik merupakan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap daya tarik investasi di daerah-daerah di Indonesia. Namun menurut asumsi rasionalitas, investor akan menanamkan modal pada satu tingkat keuntungan tertentu yang diharapkan atas investasinya sehingga daya beli masyarakat lokal yang dicerminkan oleh GDP suatu negara juga berpengaruh terhadap keputusan investasi asing (Sudarsono, 2003).
Berkaitan dengan penyebab dan pengaruh melonjaknya PMA di Amerika Serikat sejak akhir 1980-an, Graham dan Krugman (1993), mengatakan bahwa penentu utama dari PMA adalah keterbatasan perusahaan (boundaries of the firm). Ada dua pendekatan pokok mengenai keterbatasan perusahaan ini, yang pertama adalah masalah antara biaya transaksi (cost of transaction) dan biaya akibat birokrasi atau kelembagaan yang kurang fleksibel (cost of institutional rigidities). Faktor-faktor seperti perbaikan komunikasi dan teknologi informasi dapat meningkatkan fleksibilitas organisasi yang besar dan mampu menjelaskan alasan melonjaknya PMA.
Pandangan yang kedua adalah perilaku yang lebih pada skala dibandingkan scope bisnis. Misalnya, suatu perusahaan dapat tumbuh “terlalu “ besar sebagai akibat dari insentif manajer (agents) yang berbeda dengan pemilik (principals). Dengan pendekatan ini, menurut Graham dan Krugman, ada empat alasan dimana bisnis multinasional bisa berkembang: meningkatnya integrasi pasar dunia, pertumbuhan yang sama dari pasar nasional, perbaikan teknologi komunikasi dan pengendalian, dan pertumbuhan yang simetris dalam kemampuan teknologi internasional.
Namun Graham dan Krugman juga mendiskusikan tiga teori berkaitan dengan peningkatan PMA, yaitu: valuation effects, tax changes, dan trade barriers. Mereka lebih menekankan pada valuation effects, dimana secara internal dana lebih murah daripada eksternal, sehingga fluktuasi dana internal dapat menerangkan fluktuasi PMA. Perilaku nilai tukar dan harga saham setelah akhir 1980 juga dapat menerangkan melonjaknya aliran investasi keluar dari Jepang dan masuknya investasi di Amerika Serikat. Graham dan Krugman juga menyatakan bahwa masalah agensi yang sama dengan tabungan dan pinjaman Amerika Serikat selama periode tersebut menyebabkan sikap perusahaan yang lebih agresif terhadap risiko dan meningkatkan jumlah PMA.
Sedangkan McCulloh dalam Froot (1993) menyatakan dua masalah perekonomian yang berpengaruh terhadap PMA adalah nilai tukar dan hambatan perdagangan.
McCulloh berpendapat bahwa jika fluktuasi nilai tukar besar dan tidak dapat diprediksi, perusahaan multinasional memperoleh keuntungan melalui perusahaan domestik karena kemampuannya untuk menggeser marginal production and sales sebagai respons terhadap perubahan nilai tukar. Import barrier juga berpengaruh penting sebagai substitusi perdagangan bagi PMA, namun secara empiris mempunyai pengaruh yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan nilai tukar. Hal ini karena perusahaan domestik lebih dapat menyesuaikan diri dengan mengambil keuntungan dari hambatan perdagangan melalui investasi domestik.
Menurut Prakosa (2003), faktor yang mempengaruhi PMA di Indonesia meliputi PDB, tabungan nasional, pajak dan insentif pajak. Dia menyimpulkan bahwa kebijakan insentif pajak tax holiday merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi perkembangan PMA di Indonesia.
Namun dari berbagai penelitian yang dilakukan terdahulu berkaitan dengan faktor yang berpengaruh terhadap PMA, maka faktor ekonomi negara tujuan merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh investor karena berdasarkan asumsi rasionalitas maka investasi sangat tergantung pada tingkat keuntungan yang diharapkan (expected return). Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk penciptaan kondisi perekonomian yang stabil sangat diperlukan bagi kondusifnya iklim investasi.
Dalam regim devisa bebas (perfect capital mobility), dibawah sistem nilai tukar flaksibel, maka kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah – yang dilaksanakan oleh Bank Sentral (di Indonesia bank sentral adalah Bank Indonesia) –untuk mempengaruhi (merubah) penawaran uang dalam perekonomian atau merubah tingkat bunga, dengan maksud untuk mempengaruhi permintaan agregat (Sukirno, 2002).
Investasi (penanaman modal) merupakan salah satu komponen pengeluaran agregat yang sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi penanaman modal, sehingga untuk mendukung peningkatan penanaman modal penurunan tingkat bunga merupakan syarat mutlak. Untuk tujuan ini kebijakan moneter dapat diambil dengan cara mempengaruhi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
Kebijakan Moneter dan PMA
Model Mundell-Flemming yang merupakan perluasan dari IS-LM Keynes untuk perekonomian terbuka, banyak digunakan untuk menganalisis efektivitas kebijakan makroekonomi pada mobilitas modal tinggi. Sebagai penyederhanaan, model ini mengasumsikan 1) harga yang rigid di pasar barang, 2) mobilitas modal yang sempurna, 3) substitusi sempurna antara obligasi domestik dan asing, 4) tingkat bunga negara lain adalah eksogen (asumsi negara kecil), dan 5) ekspektasi yang statis. Asumsi 2 dan 3 menunjukkan terjadinya uncovered interest parity. (C.H. Kwan, 1998).
Dalam model Mundel-Flemming, sebagaimana dijelaskan dalam gambar, tingkat mobilitas modal berperan penting dalam menentukan reaksi nilai tukar terhadap perubahan dalam kebijakan moneter. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan besarnya depresiasi mata uang karena terpengaruh oleh tingkat bunga domestik yang akan menyebabkan aliran modal keluar dan akan menekan mata uang domestik. Semakin sensitif aliran modal terhadap perubahan tingkat bunga, semakin besar reaksi aliran modal terhadap penurunan tingkat bunga. Semakin tinggi mobilitas modal berpindah, semakin besar depresiasi mata uang akan terjadi sebagai reaksi terhadap ekspansi moneter (Rossenberg, 2003)
Di bawah regim devisa bebas (perfect capital mobility), dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, maka kebijakan moneter akan lebih efektif. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Model Mundell-Flemming pada gambar.
Gambar Model Mundell-Flemming
Kebijakan moneter ekspansif akan menggeser kurva LM ke kanan dari LM(M0) menjadi kurva LM(M1). Hal ini menyebabkan tingkat bunga domestik akan turun dan mendorong nilai tukar domestik meningkat dan akhirnya menyebabkan naiknya net eksport. Naiknya net eksport akan menggeser kurva IS ke kanan dari IS(πo) sampai BPdengan IS(π 1) yaitu sama dengan naiknya nilai tukar domestik dari πo menjadi π1 .
Keseimbangan bergeser dari E0 menjadi E1, dan menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari Y0 menjadi Y1.
Menurut Krugman dan Obsfelt (2003), fluktuasi nilai tukar sebagai reaksi dari ekspansi kebijakan fiskal akan tergantung pada seberapa sensitif aliran modal terhadap perubahan tingkat bunga. Jika mobilitas modal tinggi, pengaruh aliran modal dari luar negeri menyebabkan penurunan dalam perdagangan, dan juga nilai mata uang domestik akan mengalami apresiasi. Jika mobilitas aliran modal relatif rendah, akan terjadi sebaliknya.
McCulloh dalam Froot (1993) mengatakan bahwa kenaikan biaya produksi akibat deperesiasi mata uang domestik akan menyebabkan investor berpindah ke daerah lain yang memiliki biaya produksi yang relatif lebih rendah. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar PMA masih menggunakan input impor dalam proses produksi. Oleh karena itu, keunggulan dari manajemen global yang terintegrasi dituntut untuk membangun PMA yang lebih menguntungkan dari nilai mata uang negara tujuan.
Chen (2004) mengatakan bahwa nilai tukar mata uang asing berpengaruh terhadap aliran modal masuk. Dalam rangka mengurangi tekanan inflasi dalam perekonomian, bank sentral tingkat suku bunga yang menyebabkan jumlah uang beredar cenderung berkurang, dan mendorong kenaikan nilai uang. Permintaan asing akan mata uang domestik menurun, dan harga mata uang domestik di pasar valuta asing akan menurun.
Jumlah yang tetap dari mata uang asing akan memperoleh lebih banyak mata uang domestik sehingga menjadi insentif bagi investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal ini akan mendorong naiknya tingkat pertumbuhan PMA. Dalam hubungannya dengan aliran modal, Rossenberg (2003) mengatakan bahwa tidak cukup pengujian empiris untuk menentukan apakah aliran modal berpengaruh secara statistik dan signifikan terhadap nilai tukar. IMF dalam Rossenberg (2003) menguji tren aliran modal dan indikator lainnya untuk menentukan apakah signifikan secara statistik pengaruhnya terhadap nilai tukar dan hasilnya adalah bahwa net equity flows adalah penting bagi nilai tukar, meskipun dalam jangka panjang perbedaan tingkat bunga juga sangat berpengaruh. Namun sebagaimana disimpulkan dalam Chen (2004), bahwa fluktuasi PMA di Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh tingkat bunga dibandingkan dengan nilai tukar.
Sedangkan teori yang menghubungkan tingkat bunga dan nilai tukar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.) Ex Ante Purchasing Power Parity
Menurut ex ante Purchasing Power Parity ( PPP), perkiraan perubahan spot exchange rate yang harus sama dengan perkiraan perbedaan dalam tingkat inflasi nasional yang diharapkan. (lihat Gambar 2-4). Ex ante PPP menerangkan bahwa negara dengan inflasi tinggi harus memperhatikan depresiasi mata uangnya dan bahwa negara dengan inflasi rendah harus memperhatikan apresiasi mata uangnya sepanjang waktu.
Gambar Ex Ante Purchasing Power Parity
2) Covered Interest-Rate Parity
Menurut covered interest-rate, suatu investasi dalam tabungan mata uang asing yang di-hedge untuk menghindari risiko nilai tukar seharusnya memperoleh pengembalian yang sama dengan tabungan yang sebanding dalam mata uang domestik. Karena investasi dalam mata uang asing yang di-hedge memiliki karakteristik risiko yang sama dengan investasi dalam mata uang domestik, maka kita memperkirakan hasil investasi domestik, iD, sama dengan foreign interest rate, iF, dikurangi forward discount, (FD). (lihat gambar).
Gambar Covered Interest-Rate Parity
3) Uncovered Interest Rate Parity
Menurut uncovered interest-rate parity (UIP), tingkat pengembalian yang diharapkan dari investasi dalam mata uang asing yang tidak di-hedge harus memperoleh pengembalian yang sama dengan investasi yang sebanding dalam mata uang domestik. (lihat gambar 2-6). Pengembalian investasi dalam mata uang domestik, iD, dapat diketahui dengan pasti, sedangkan pada uncovered investment, iF - ėe, tidak dapat diketahui dengan pasti, karena perubahan benar-benar yang terjadi dalam nilai tukar, ė, dapat berbeda dari perubahan nilai tukar yang diperkirakan, ėe.
Gambar Uncovered Interest Rate Parity
4) Fisher Effect
Menurut Fisher Effect, tingkat bunga nominal, i, di negara tertentu akan sama dengan tingkat bunga riil, r, ditambah perkiraan tingkat inflasi, pe. Jika tingkat bunga riil di negara lain sama dengan tingkat bunga riil domestik, rF = rD, maka akan menghasilkan spread antara dua negara, iF - iD, yang harus sama dengan perbedaan perkiraan inflasi antara dua negara tersebut, pe F - pe D. (lihat gambar). Bukti empiris menunjukkan bahwa tingkat bunga riil sering berbeda antar negara. Oleh karena itu, spread nominal yang dihasilkan tidak diperlukan untuk mencerminkan perbedaan tingkat inflasi nasional.
Gambar Fisher Effect
5) Forward Rate as an Unbiased Predictor of the Future Spot Rate
Jika covered interest parity mengatakan bahwa iF - iD = FD, dan uncovered interest parity menerangkan bahwa ėe = iF – iD , maka forward discount, FD, akan sama dengan perkiraan perubahan dalam spot exchange rate, (lihat gambar 2-8). Bukti empiris menunjukkan bahwa forward exchange rate adalah prediktor dari future spot exchange rate yang kurang baik dan bias.
Gambar Forward Rate
Menurut Chen (2004), hubungan antara tingkat bunga yang ditetapkan oleh bank sentral (federal funds rate) dan nilai tukar adalah sebagai berikut. Perubahan nominal federal funds rate terhadap terhadap pergerakan modal disebabkan oleh cost of debt dan pengaruh dari nilai tukar mata uang asing. Jika federal funds rate naik karena kebijakan moneter dari bank sentral, maka akan menaikkan tingkat bunga yang lain. Cost of debt dari sumber domestik meningkat, sehingga perusahaan domestik akan mencari sumber modal luar negeri dengan tingkat bunga yang lebih rendah, dan aliran modal asing meningkat. Perubahan nilai tukar mata uang asing menyebabkan biaya penggunaan uang yang lebih tinggi terhadap aktivitas pasar modal dalam negeri, sehingga modal asing kurang tertarik terhadap pasar modal domestik.
Taylor (1999) mengemukakan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung dari nilai tukar terhadap tingkat bunga. Pengaruh tidak langsung muncul meskipun bank sentral mengikuti suatu kaidah kebijakan tanpa adanya pengaruh langsung nilai tukar, karena adanya kombinasi dengan ekspektasi rasional yang lamban. Pengaruh tidak langsung ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan pengaruh langsung karena dihasilkan oleh fluktuasi yang lebih rendah dan kurang kuat.
Tingkat Bunga
Hal yang menghubungkan antara income dan capital adalah rate of interest (tingkat bunga). Definisi tingkat bunga adalah sebagai prosentase dari premium yang dibayarkan atas uang pada satu hari jika uang masih di tangan dalam waktu satu tahun kemudian (Fisher, 1986). Fisher juga mengatakan bahwa secara teori, kita dapat mengganti uang dalam pernyataan ini dengan gandum atau berbagai barang. Namun prakteknya, hanya uang yang dapat diperdagangkan antara saat ini dan yang akan datang.
Oleh karenanya, tingkat bunga sering disebut sebagai harga dari uang dan pasar dimana uang diperdagangkan untuk harga tertentu di saat ini dan yang akan datang disebut dengan pasar uang.
Tingkat bunga dapat mempengaruhi aggregat money demand, dimana naiknya tingkat bunga dapat menyebabkan individu dalam perekonomian mengurangi permintaan akan uang. Sehingga, jika faktor lain tetap, maka aggregat money demand akan berkurang jika tingkat bunga naik.
Konsep tingkat bunga juga digunakan dalam pinjaman, atau perjanjian lain yang mencantumkan jumlah pembayaran tertentu pada waktu tertentu yang ditetapkan dari pembayaran di waktu yang lain. Esensi dari konsep ini adalah: (1) kepastian dan jaminan pembayaran, (2) kepastian dan jaminan pembayaran kembali, dan (3) kepastian waktu.
Tingkat bunga juga merupakan faktor yang diduga kuat berpengaruh terhadap investasi, karena tingkat bunga merupakan salah satu komponen utama dalam biaya modal. Tingkat bunga merupakan opportunity cost dari biaya modal. Kehilangan kesempatan memperoleh bunga ini harus diperhitungkan sebagai biaya modal, namun bagi pengusaha bukanlah tingkat bunga dalam arti nominal, melainkan dalam arti riil, yaitu tingkat bunga nominal dikurangi dengan inflasi. Secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
riil = r nom – π ,
dimana π = tingkat inflasi Beberapa model teori diperkenalkan dalam mengembangkan kebijakan suku bunga untuk mengontrol inflasi. Salah satu kebijakannya adalah dengan menerapkan Taylor rule yang mengatur suku bunga yang dilakukan oleh Bank Sentral. Model Taylor Rule diperoleh dari kombinasi IS-curve dengan Philips curve yang berkaitan dengan inflasi.
Nilai Tukar
Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. (BI, 2004). Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai tukar, yaitu: (1) fixed exchange rate (sistem nilai tukar tetap), (2) managed floating exchange rate (sistem nilai tukar mengambang terkendali), (3) floating exchange rate (sistem nilai tukar mengambang).
Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs mata uang terhadap mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu, misalnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika adalah Rp 9.000 per dollar. Pada sistem nilai tukar ini bank sentral akan siap menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan. Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat lagi dipertahankan, maka bank sentral akan melakukan devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan.
Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan menguat jika terjadi kelebihan penawaran diatas permintaan dan sebaliknya nilai tukar akan melemah apabila terjadi kelebihan permintaan diatas penawaran yang ada di pasar valuta asing. Bank sentral dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing yaitu dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan pasokan atau membeli devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi, intervensi dimaksud tidak darahkan untuk mencapai target nilai tukar tertentu atau dalam kisaran tertentu.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem yang berada diantara kedua sistem tersebut. Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral menetapkan batasan suat kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar yang disebut dengan intervension band (batas pita intervensi). Nilai tukar akan ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar sepanjang masih berada dalam batas kisaran pita intervensi tersebut. Apabila nilai tukar menembus batas atas atau bawah dari kisaran tersebut, bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di pasar valuta asing sehingga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi.
Masing-masing nilai tukar mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pemilihan sistem yang diterapkan akan tergantung pada situasi dan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan, khususnya besarnya cadangan devisa yang dimiliki, keterbukaan ekonomi, sistem devisa yang dianut dan besarnya volume pasar valuta asing domestik.
Sistem nilai tukar tetap mempunyai kelebihan karena adanya kepastian nilai tukar bagi pasar. Akan tetapi, sistem ini membutuhkan cadangan devisa yang besar karena keharusan bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang telah ditentukan. Selain itu, sistem ini dapat mendorong kecenderungan dunia usaha untuk tidak melakukan hedging (perlindungan nilai) valuta asingnya terhadap risiko perubahan nilai tukar. Sistem ini umumnya diterapkan di negara yang memiliki cadangan devisa yang besar, dengan sistem devisa yang masih relatif terkontrol. Sementara itu, sistem nilai tukar yang mengambang mempunyai kelebihan dengan tidak perlunya cadangan devisa yang besar karena tidak ada keharusan bagi bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. Akan tetapi, nilai tukar yang terlalu berfluktuasi dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Sistem ini umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa yang relatif kecil sementara sistem devisa yang dianut cenderung bebas.
Pergerakan nilai tukar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan non fundamental. Faktor fundamental tercermin dari variabel-variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, perkembangan ekspor impor dan sebagainya.
Sementara itu, faktor non fundamental antara lain dapat berupa sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi para pelaku pasar dalam memperhitungkan informasi, atau perkembangan lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari. Secara historis, perubahan kebijakan moneter dapat mempengaruhi nilai tukar. Pendekatan moneter menyatakan bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar merupakan penentu utama dari pergerakan nilai tukar (Rosenberg, 2003). Meskipun pendekatan moneter secara umum dianggap sebagai teori yang kurang sempurna karena mengabaikan variabel penjelas penting lainnya, namun sebenarnya mengingatkan bahwa kebijakan moneter yang terlalu ekspansif menyebabkan tekanan terhadap turunnya nilai mata uang, begitu pula sebaliknya.
Inflasi
Aliran Neo Keynesian mempunyai minat yang tinggi atas inflasi dalam model kajian ekonomi. Hal ini karena hal tersebut sangat penting untuk menyempurnakan model yang dikembangkan serta memberikan suatu perspektif baru dalam hal implementasi kebijakan makroekonomi. Namun pertanyaan selanjutnya muncul: apa implikasi inflasi dalam kajian ekonomi secara keseluruhan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut coba dijelaskan dalam model yang dibuat oleh Mundell (1963) dan Harrod (1969). Mundel menggunakan hukum fisher tentang the constancy of real interest rate sebagai basis analisanya, yaitu:
r = i - p
Dimana jika inflasi (p) meningkat, maka tingkat suku bunga nominal (i) akan meningkat one-for-one untuk mempertahankan agar suku bunga rill tetap (r), Mundel (1963) membuktikan bahwa dengan menggunakan model IS-LM hukum fisher tersebut tidak valid.
Argumen yang dikemukakan oleh Mundell adalah: tingkat suku bunga nominal ditentukan oleh ekspektasi inflasi dan tingkat suku bunga riil, i = r + pe. Jika diasumsikan hanya terdapat dua buah aset, uang dan ekuitas, dimana r adalah real return dari ekuitas. Teori Keynes tentang preferensi likuiditas, mengatakan bahwa permintaan uang berbanding terbalik dengan tingkat pengembalian dari aset alternatif, yaitu L(r, Y), dalam keseimbangan :
= L(r, Y),
Jika jumlah uang beredar naik, maka tingkat suku bunga akan turun. Dari hubungan ini dapat diturunkan lokus dari kesimbangan pasar uang sebagaimana yang ditunjukkan oleh kurva MM pada gambar 2.9. Kurva MM dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi. Jika ekspektasi inflasi naik, maka untuk suatu level jumlah uang beredar tertentu, tingkat suku bunga riil, r = i - pe, turun dan hal ini akan menggeser kurva MM ke bawah.
Intuisi logis dari hal ini dapat dijelaskan bahwa negative of inflation adalah merupakan riil return dari uang. Oleh karena itu jika terdapat ekspektasi inflasi, pelaku ekonomi yang memegang uang akan menerima expected return yang negatif dari saldo uang yang dipunyai dan karenanya akan mencoba untuk beralih ke aset alternatif dalam hal ini ekuitas. Hasilnya, permintaan uang akan turun dan harga ekuitas akan meningkat. Konsekuensinya riil return dari ekuitas, r, akan turun. Pada gambar digambarkan MM(pe=0) merupakan keseimbangan pasar uang dimana tidak ada ekspektasi inflasi dan MM(pe> 0) merupakan keseimbangan pasar uang dimana terdapat ekspektasi inflasi yang bernilai positif.
Dalam analisisnya di samping kurva MM, Mundel juga menggunakan kurva YY yang menggambarkan hubungan M/p dengan tingkat suku bunga. Kurva ini diturunkan dengan penjelasan sebagai berikut: Dalam mekanisme transmisi Neo Keynesian, jika r naik, maka konsumsi dan investasi akan turun, selanjutnya berdasarkan Pigou Effec jika uang beredar mengalami kenaikan maka net wealth akan meningkat demikian pula konsumsi, sehingga konsumsi dapat dinyatakan:
C = C(r, Y, V)
dimana Cr< 0, CY > 0 and CV > 0 dan V = E + M/p (2.12) I = I(r)
Dimana Ir
< 0
Dimana V merupakan net wealth, E adalah ekuitas yang dipegang, dan M/p adalah jumlah uang beredar riil.
Dalam kondisi keseimbangan permintaan aggregat sama dengan penawaran agregat , sehingga:
Y = Yd
= C(r, Y, V) + I(r)
Jika tingkat suku bunga mengalami kenaikan, maka investasi dan konsumsi akan mengalami penurunan, sehingga untuk tetap mempertahankan level output yang sama, maka jumlah uang beredar harus naik. Oleh karena itu lokus YY keseimbangan (pada suatu level output tertentu) ber-slope positif sebagaimana yang nampak pada gambar
Gambar Mundell's Inflation-Interest Rates Model
Kalau dimisalkan, ekspektasi inflasi adalah nol, pe= 0, sehingga berlaku kurva MM(pe= 0). Keseimbangan dipasar barang dan uang dicapai pada titik E dimana jumlah uang beredar riil M/p0 dan riil return sama dengan nominal return i0 = r0 . Jika kemudian terdapat ekspektasi inflasi (bernilai positif) maka kurva MM akan bergeser kebawah, MM(pe>0). Tingkat keseimbangan baru akan dicapai pada titik F, dimana jumlah uang beredar M/p1 dan tingkat suku bunga rill, r1. Dari perubahan ekspektasi inflasi ini dapat dianalisa, akibat kenaikan ekspektasi inflasi sebesar, pe, maka tingkat suku bunga riil turun dari r0 menjadi r1. Yang menarik adalah apabila mengacu pada hukum Fisher, i = r + pe, maka seharusnya penurunan tingkat suku bunga nominal sama dengan ekspektasi inflasi yang ada pe. Kenyataannya sebagaimana yang nampak pada gambar 2.9, penurunannya lebih kecil dari ekspektasi inflasi. Penurunan tingkat suku bunga riil tidak sebesar ekspektasi inflasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh fisher. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, makin tinggi ekspektasi inflasi akan cenderung meningkatkan tingkat suku bunga nominal. Konsekwensinya, ekuitas akan lebih menarik relatif terhadap uang. Daya tarik ini mendorong pelaku ekonomi untuk mengalihkan uang yang dipegang ke ekuitas. Peningkatan permintaan ekuitas menyebabkan harga ekuitas meningkat. Oleh karena itu menurunkan tingkat pengembalian riil dari ekuitas. Penurunan tingkat pengembalian riil ekuitas ini akan mendorong investasi. Pada level permintaan agregat konstan, maka konsekwensinya ada hal lain yang harus diturunkan, katakanlah konsumsi. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan jumlah uang beredar dari M/p0 to M/p1, berdasarkan Pigou Effect, konsumsi turun. Penurunan ini akan mengembalikan permintaan agregat pada level awal.
Alasan mengapa tingkat suku bunga nominal tidak naik one-for-one dengan ekspektasi inflasi dikarenakan perubahan portofolio rumah tangga dari uang ke ekuitas, yang akan menurunkan tingkat suku bunga riil. Efek ini yang tidak diperhitungkan oleh Irving Fisher dalam modelnya. Oleh karena itu berdasarkan interpretasi dari model Mundell, pelaku ekonomi akan meningkatkan permintaan akan kapital. Namun karena jumlah kapital tidak dapat mengalami kenaikan, hal ini akan mendorong harga naik, yang dapat menekan jumlah uang beredar riil. Berdasarkan Pigou Effect, penurunan ini akan mengurangi konsumsi dan meningkatkan tabungan. Konsekwensinya akan mengurangi required rate of return dari kapital sehingga mendorong investasi naik.
Model Fisher dapat dimodifikasi dengan memasukan asumsi bahwa bank membayar tingkat suku bunga tertentu untuk simpanan yang diterimanya dari masyarakat. Dalam kasus ini, penurunan return dari uang (inflasi) dapat dikompensasikan one-for-onedengan kenaikan tingkat suku bunga dari simpanan-sehingga tidak akan mengubah portofolio yang ada.
Phelps (1965) menunjukkan sesuatu hal yang menarik terjadi ketika memasukkan unsur pemerintah dalam model dan ekspektasi inflasi endogen terhadap peningkatan jumlah uang beredar. Jika pemerintah meningkatkan jumlah uang beredar untuk membiayai defisit anggarannya, m,aka permintaan agregat meningkat menjadi Yd= C(r, Y, V) + I(r) + G. Agar output tetap pada level yang sama, maka kurva YY harus bergeser ke kiri. Pergeseran ini dapat dilakukan baik dengan meningkatkan r atau menurunkan M/p. Setiap ekspektasi inflasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah akan menggeser kurva MM ke bawah. Turun atau tidaknya suku bunga akan tergantung dari seberapa besar pergeseran yang terjadi. Akan tetapi jika jumlah uang beredar dinaikkan melalui operasi pasar terbuka, maka ekuitas yang dipegang oleh masyarakat akan berkurang. Oleh karena itu kurva IS akan bergeser ke kanan oleh real-balance effect dan ekspektasi inflasi yang menyebabkan kurva MM ke bawah akan makin mengurangi tingkat suku bunga riil lebih besar jika pemerintah tidak dimasukkan ke dalam model.
Dari uraian di atas, poin yang hendak disampaikan oleh Mundell adalah inflasi (lebih tepatnya ekspektasi inflasi) akan mempunyai pengaruh ke sektor riil dengan mempengaruhi pelaku ekonomi menggeser porotofolionya dari uang ke kapital. Hal ini kemudian di dukung oleh James Tobin (1965) dalam monetary growth model-nya yang terkenal yang menyimpulkan bahwa inflasi dapat memberikan dampak yang positif dalam mempengaruhi pertumbuhan output jika hal tersebut dapat mendorong pelaku ekonomi untuk mengubah portofolionya dari uang ke akumulasi kapital. Pengaruh inflasi dan ekspektasi inflasi terhadap portofolio kemudian dikenal dengan "Tobin-Mundell" effect.