Aspek Ontologi, Nilai Etlka Dan Logika Dalam Hukum

Aspek Ontologi, Nilai Etlka Dan Logika Dalam Hukum 
A. PENGERTIAN HUKUM
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah kese1uruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara.

Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Se1anjutnya O. Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai da1am masyarakat.

Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986) dengan menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai:
(1) ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; 
(2) disiplin, yaitu suatu system ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; 
(3) norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan; 
(4) tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; 
(5) petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan dengan penegakan hukum (Iawenforcement officer); 
(6) keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi; 
(7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; 
(8) sikap tindaktanduk atau perikelakuan "teratur", yaitu perikelakuan yang diulangulang dengan eara yang sama yang bertujuan untuk meneapai kedamaian; dan 
(9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konscpsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan hukum seeara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang tidak mudah!

Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi seeara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu.

Di luar norma hukum terdapat norma-norma lain. Purbaearaka dan Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma, yaitu (I) kepereayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; dan (4) hukum. Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya belum dapat mernberikan perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah: (1) masih ban yak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan. Sebagai eontoh, norma kepereayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan seeara langsung didunia ini. Demikian pula jika norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman.

Perlindungan yang diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karcna pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu.

Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang terbatas. Kcndati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif.

Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa eiri-eiri hukum, sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
1. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum 
2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam realisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H, hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
3. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
4. Institusionali hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat.
5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan. Pelaksanaannya dengan ideology bangsa.

B. HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NEGARA
Ada banyak pengertian tentang hukum, namun jika kita definisikan hukum dalam tata hidup masyarakat modern tentu akan lebih mudah mendefinisikannya. Tentu saja pengertian hukum zaman modern dengan zaman primitif akan berbeda, meskipun secara hakiki pengertiannya adalah sama. Jika filsafat berusaha mencari makna yang hakiki dari suatu fenomena, maka sudah seharusnya disini kita mampu mencari makna yang hakiki dari hukum itu sendiri, melewati ruang dan waktu, modern maupun prirnitif

Para antropolog menekankan hal ini. Leopold Pospisil misalnya, mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat yang tidak merniliki peraturan-peraturan yang abstrak dianggap sebagai masyarakat tanpa hukum. Menurut Prospisil pengawasan sosial merupakan unsur inti dari hukum. Ciri mendasar dari fenomena yang termasuk dalam 'kategori konseptual ini adalah bahwa gejala itu haruslah merupakan pengawasan sosial yang melembaga (Ihromi, 1984: 92-99).

Bila kita menghadapi bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modem ini, kita sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yaitu undang-undang (Huij - bers, 1995: 40). Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturanperaturan yang berlaku dalam lembaga non -negara, membutuhkan peneguhan dari negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Sebagaimana halnya hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang sah, bila terdapat pengakuan oleh negara kepad a warga Negara yang akan menggunakan hukum adatnya tersebut.

C. KEBERLAKUAN HUKUM
Perbedaan antara peraturan yuridis dan tidak yuridis digambarkan secara tepat oleh H.L.A Hart (1979). Hart menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh disarnakan dengn negara polisi dan kaidahkaidah hukum suatu negara tidak boleh disamakan dengan seperti perintah seorang perampok yan g dapat memaksa orang lain untuk menyerahkan harta yang dimiliki agar diserahkan kepada perampok tersebut, jika tidak akan dikenakan sanksi (gunman situation). Men urut Hart sejauh dipandang dari luar pengertian Austin tentang hukum tepat, sebab memang benar bahwa perintah-perintah yang disebut hukum dikeluarkan oleh seseorang yang berkuasa dan biasanya ditaati, namun sesungguhnya ada aspek lain yang tidak diperhatikan oleh Austin, yaitu aspek intern. Aspek intern untuk menta ati suatu aturan. hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang hidup pada wilayah dimana peraturan terse but berlaku. Sebaliknya aspek intern tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang hidup diluar wilaya h dimana peraturan tersebut diberlakukan. Orang-orang yang hidup dalam suatu wilyah tertentu menerima hukum yang ditetapkan sebagai hukum mereka dan mer eka merasa terikat padanya sebab ditentukan oleh pemerintah sendiri.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum yang sesungguhnya adalah hukum yang legal atau sah. Bila peraturan-peraturan ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang, dalam hal ini pemerintah yang sah, dan ditentukan menurut kriteria yang berlaku maka peraturan-peraturan tersebut bersifat sah atau legal dan mempunyai kekuatan yuridis (validity). Oleh karena itu hal ini berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yuridis, karena tidak memenuhi aspek legalitas.

Menurut Sudikno Mertokusumo, agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku efektif dalam masyarakat harus memiliki kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis, sosiologis dan yuridis. Undang-undang memiliki kekuatan yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undangundang telah terpenuhi. Sedangkan undang-undang memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila undang-undang tersebut berlaku efektif sebagai sebuah aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat serta dapat dilaksanakan. Kekuatan berlakunya hukum secara sosiologis di dalam masyarakat ada dua macam (Mertokusumo, 1996: 87):
I. Menurut teori kekuatan (/Ilachtstheorie) hukum berlaku secara sosiologis j ika dipaksakan berlakunya oleh penguasa.
2. Menurut teori pengakuan ianerkennungstheoriei hukum berlaku secara sosiologis jika diterima dan diakui masyarakat.

Hukum memilki kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) suatu bangsa.

Agar berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi ketiga unsure tersebut sekaligus.

Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa suatu peraturan bersi fat legal? Menurut Hart ada dua cara untuk menjawabnya:

1. Membedakan Dua Jenis Kaidah Hukum
Kaidah hukum terbagi menjadi dua bagian, kaidah primer dan kaidah sekunder. Kaidah primer, yaitu kaidah yang menentukan kelakuan orang. Kaidah primer disebut petunjuk pengenal (rules ofrecognition), sebab kaidah ini menyatakan manakah hukum yang sah.

Kaidah sekunder, yaitu kaidah yang menentukan syar.at bagi berlakunya kaidah primer. Kaidah ini juga yang merupakan syarat bagi perubahan kaidah primer (rules of change), dan bagi dipecahkannya konflik (rules ofadjudication).

Van Oer Vlies membahasakannya sebagai asas formal dan asas material. Asas formal, terkait dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan. Dimulai dari tahap persiapan pembuatan peraturan perundang-undangan dan motivasi dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan. Asas formal meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas, terkait dengan sejauh mana peraturan perundang-undangan mendesak untuk dibentuk.
b. Asas organ/lembaga yang tepat, terkait dengan kewenangan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang dimuat didalamnya.
c. Asas perlunya pengaturan, terkait dengan perlunya suatu masalah tertentu diatur dalam suatu peraturan perundangundangan.
d. Asas dapat dilaksanakan, terkait dcngan penegakkan suatu peraturan perundang-undangan. Jika tidak dapat ditegakan maka suatu peraturan perundang-undangan akan kehilangan fungsi dan tujuannya serta menggerogoti kewibawaan pembentuknya.
e. Asas konsensus, yaitu kesepakatan antara rakyat dengan pembentuk peraturan perundang-undangan, karena peraturan perundang-undangan terse but akan diberlakukan kepada rakyat.

Sehingga pada saat diundangkan masyarakat siap.
Yang kedua adalah asas materiil, yaitu terkait dengan substansi suatu peraturan perundang-undangan. Asas materiil meliputi:
a. Asas terminologi dan sistematika yang benar, terkait dengan bahasa hukum/perundang-undangan. Yaitu bisa dimengerti oleh orang awam, baik strukuktur maupun sistematikanya.
b. Asas dapat dikenali, yaitu dapat dikenali jenis dan bentuknya.
c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum.
d. Asas kepastian hukum.
e. Asas pelaksanaan hukum sesu ai dengan keadaan individu .

2. Stufenbau Theorie
Teori ini dikembangkan oleh beberapa pemikir antara lain Merkl, Hans Kelsen dan H.L.A Hart. Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma sehingga berlapislapis dan berjenjang-jenjang. Suatu peraturan baru dapat diakui secara legal, bila tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu j enjang yang lebih tinggi. Seluruh sistem hukum mempunyai struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi negara dan UUD) sampai yang konkrit (UU dan peraturan pelaksanaan). Menurut

Hans Nawiasky dalam"Theorie von Stufenbau des Rechtsordnung" ada empat kelompok penj enjangan perundang-undangan:
1. Norma dasar (grundnorm). Norma dasar negara dan hukum yang meru pakan landasan akhir bagi peraturan-peraturan lebih lanjut.
2. Aturan-aturan dasar negara atau konstitusi, yang menentukan , norma-norma yang menjamin berlansungnya negara dan penjagaan hak-hak anggota masyarakat. Aturan ini bersifat umum dan tidak mengandung sanksi, maka tidak termasuk perundangundangan.
3. Undang-undang formal yang di dalamnya telah masuk sanksisanksi dan diberlakukan dalam rangka mengatur lebih lanjut hal-hal yang dimuat dalam undang-undang dasar.
4. Peraturan-peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom.

Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di da lamnya. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Menurut uu No . 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan jenis dan hierarkhi Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah (Perda)

Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji materiap yang diajukan melalui gugatan dan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Seperti disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstutusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Und ang-Undang Dasar.

Sedangkan Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) redaksi berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Ada beberapa asas yang mendasari pengaturan kedudukan masing-masing peraturan perundang-undangan, Menurut Sudikno Mertokusumo, setidaknya ada 3 asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan: Asas lex superiori iderogat legi inferiori, Asas lex specialis derogate legi generali, dan Asas lex posteriori derogat legi priori (Mertokusumo, 1996: 85-87).

Asas lex superiori derogat legi inJeriori berarti peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut. Asas lex specialis derogate legi generali berarti pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang umum. Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur mcngenai materi yang sama , jika ada pertentangan diantara keduanya maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih khusus. Asas lex posteriori derogat legi priori berarti pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.

Di samping itu ada asas lain yang perlu diperhatikan dalam prinsip tata urutan peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Bagir Manan, yaitu :
1). Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada ketentuan umum bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum.

2). Isi atau materi peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dibuat tanpa wewenang (onbevoegheid) atau melampaui wewenang tdetournement de pouvoir), dan untuk menjaga dan menjamin prinsip tersebut agar tidak disimpangi atau dilanggar, maka terdapat mekanisme pengujian secara yudisial atas setiap peraturan perundang-undangan atau kebijakan maupun tindakan pemerintah lainnya, terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar.

D. HUKUM SEBAGAI NORMA
Yang dimaksud hukum bersifat normatif yaitu apabila pemerintah yang sah mengeluarkan peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yaitu peraturan tersebut terasa mewajibkan sedemikian rupa sehingga orang yang tidak mematuhi peraturan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan.

Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das Sol/en). Memahami hukum sebagai das Sol/en berarti juga menginsyafi bahwa hokum merupakan bagian dari kehidupan kita yang berfungsi sebagai pedoman yang harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedernikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya. Bila hukum diakui sebagai norma, maka hukum harus ditaati. Hukurn ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan karena mewajibkan itu termasuk hakikat hukum itu sendiri. Ini juga bermakna bahwa jika suatu peraturan tidak ditaati atau banyak dilanggar, bukan berarti kekuatan peraturan tersebut sebagai norma hilang. Selain itu banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang ada, bukan berarti juga membawa kita pada kesimpulan untuk meniadakan suatu peraturan, karena sekali lagi hukurn I1}emang mengatur apa yang seharusnya (das Sol/ell) chin bukan proposisi tentang sesuatu yang terjadi (das Sein).

Oleh karena itu pemyataan ini harus dibalik dengan pemyataan adanya norma/hukum/eus Sol/en/atllran tentang apa yang seharusnya saja masih terjadi banyak pelanggaran, apalagi jika tidak ada. Hans Kelsen (1881-1973) mendefinisikan yurisprudensi sebagai pengetahuan akan norma-norma. Dengan istilah nonna-nonna ia memahami sebuah pertimbangan hipotesis yang menyatakan bahwa melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh suatu tindakan memaksa dari negara. Barangsiapa seeara tidak sah mengambil suatu benda bergerak milik orang lain, suatu norma berarti bahwa dalam situasi tertentu negara akan melakukan pemaksaan untuk berperilaku tertentu. Hukum merupakan suatu sistem yang dibagi ke dalam norma-norma pemaksaan semaeam itu; esensinya merupakan sebuah tatanan memaksa yang datang dari luar (Bodenheimer, 1967: 100).

Fungsi pengundangan (legislasi) adalah untuk menentukan isi norma. Norma umum dan menyediakan organ-organ dan prosedurprosedur (pengadilan dan pengadilan-pengadilan administratif) bagi pelaksanaan norma-norma ini. Alat dalam proses mengkonkretkan norma-norma adalah kekuatan yudisial, yang dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan dan peradilan-peradilan administratif. Otoritas keputusan pengadilan menentukan apakah dan dalam eara apa suatu norma umum harus diaplikasikan ke dalam kasus konkret.

Hukum menurut Kelsen merupakan sebuah teknik khusus organisasi sosial. Ciri khas hukum bukan sebagai suatu tujuan akhir tetapi sebagai alat khusus, sebagai sebuah alat pernaksaan yang dengan demikian tidak ada nilai politik atau etik menempel, sebuah alat yang nilainya timbul lebih dari sekedar tujuan yang melebihi hukum itu (Bodenheimer, 1967: 101). Jadi kemungkinan hukum alam seeara kategoris ditolak oleh Kelsen.

E. HUKUM DAN KEADILAN
1. Konsep Keadilan
Berbieara mengenai keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli. Salah satunya adalah Plato. Muslehuddin di dalam bukunya Philosophy ofIslamic Law and Orientalists, menyebutkan pandangan Plato sebagai berikut:

In his view, justice consists in a harmonious relation, between the various parts of the social organism. Every citizen must do his duty in his appointed place and do the thing for which his nature is best suited (Muslehuddin, 1986 : 42).

Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh eita-eita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.

Pendapat Plato tersebut merupakan pemyataan kelas, maka keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-rnasing dan tidak boleh meneampuri urusan anggota kelas lain. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat di mana dan situasi bagaimana yang eoeok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan peraturan dan tatanan universal yang harus menundukkan keinginan pribadinya kepada organik kolektif.

Dari sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat. 1dealisme keadilan akan tereapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-rnasing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diemban, selanjutnya tidak dapat meneampuri urusan dan tugas kelompok lain. Kesan lainnya adalah Plato membentuk manusia dalam kotak-kotak kelompok (rasis), peran suatu kelompok tidak dapat menyeberang ke kelompok lain. Keadilan hanya akan terwujud manakala manusia menyadari status sosial dan tugasnya sebagai delegasi kelompoknya sendiri.

Lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada dialam ini dibagi seeara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.

Dalam pandangan Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsiona!. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilega!. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang (Muslehuddin, 1991: 36).

Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepernilikan suatu barang (materi).

Pandangan Aristoteles tersebut di satu sisi ditolak oleh seorang filsuf Kontemporer William K. Frankena, pandangan A~istoteles tentang keadilan sebagai pembagian sama rata adalah sisi yang ditolak, sedangkan pandangan yang diterima Frankena adalah keadilan merupakan distribusi barang, akan tetapi distribusi yang adil bukan hanya distribusi sama rata, akan tetapi berbeda dalam keadaan tertentu juga merupakan keadilan, Pendapat Frankena se lengkapnya sebagaimana dikutip Feinberg:

Like most other write rs, Frankena begins b)' accepting Aristotle 'sformal principle ofj ustice, that relevantly similar cases should be treated similarly, but Frankena devotes more attention than Aristotle did to the selection of a material principle of distrib ution. He agrees with Aristotle that the essence of distrib utive of injustice is arbitrary discrimination between relevantly similar cases, but disagree over which characteristics are relevantly similar and which discrim inations are arbitrary, aligning himself with Aristotle old adversaries, the equalitarian democrats (Feinberg (ed)., 1975: 214).

Sedangkan Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan. Setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan asal tidak mengganggu orang lain (Muslehuddin, 199 1: 36). Pandangan ini sangat kontras bila dihadapkan dengan pandangan Plato. Kebebasan individualis adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh Plato, sementara Herbert Spencer sebaliknya, keadilan justru berangkat dari kebebasan individu. Sedangkan kesamaannya terletak pada pengertian tidak dapat mengganggu kepentingan orang lain. Artinya, kebebasan individu yang ditawarkan oleh Spencer tetap pada asumsi bahwa manusia hidup berdampingan dengan manusia lain, sehingga setiap tindakan harus mengacu pada dua pertimbangan, yaitu pertimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain sebagai bentuk perhatian kolektif.

Kelsen adalah tokoh yang berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua pola dasar, Rasional dan Metafisik. Tipe rasional sebagai tipe yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya dalam suatu po la ilmiah atau quasiilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe rasional berlandaskan pada aka!' Pola ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan tipe Metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain di balik pengalaman manusia. Pola in diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey keadilan tidak dapat didefinisikan, ia merupakan idealisme yang tidak rasional (Muslehuddin, 1991: 37).

Menurut John Rawls kebebasan :dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaam seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu. Rawls percaya bahwa sua tu perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadi lan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang (Rawls, 1971: 59).

Teori keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertarna keadilan itu ,beli olak dari sua tu konsep keadilan yang lebih umum yang dirumuskannya sebagai berikut:

All social values -- liberty and opportunity, income and wealth, and the bases ofself-respect-rare to be distributed equally unless and unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone 's advantage (Rawls, 1971: 62).

Ada dua hal yang penting dapat dicatat sehubungan dengan konsep" keadilan umum tersebut. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu; ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan mernbawa manfaat bagi semua orang.

Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung. Berlandaskan dari prinsip umum tersebut di atas, Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: First, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for others; Second, social and economic inequlities are to be range so that they are both (a) reasonable expected to be to every one's advantage, and (b) attached to positions and offices open to all (Rawls, 1971: 60) Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Ini merupakan dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan dengan demikian juga membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam cakrawala teologis.

Untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order. Dengan pengaturan seperti itu, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas keuntungan sosial dan ekonomis.

Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. Pertama , Namin em Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua , Suum Cuique Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya" (Soekanto, 1988: 28). Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.

Di balik pengertian keadilan tersebut, para filsuf hukum kemasyarakatan telah merumuskan teori keadilan tidak dalam istilah-istilah yang mutlak, tetapi berkaitan dengan peradaban. Nietzsche memahami keadilan sebagai kebenaran dari orang yang kuat. Sementara Hobbes mengemukakan konsep yang lain tentang keadilan. Keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya (Muslehuddin, 1991: 170). Lain lagi pendapat Dewey (Muslehuddin, 1991 :78), baginya keadilan tidak dapat digambarkan dalam pengertian yang terbatas.

Keadilan adalah kebaikan yang tidak berubah-ubah, bahkan persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik. Akhirnya Freidmann (Muslehuddin, 1991 :79) mengomentari, bahwa kegagalan standar keadilan selama ini adalah akibat kesalahan standar dasar pembentuk keadilan itu. Standar keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.

Prinsip keadilan barn dapat dikatakan bersifat universal jika dapat meneakup semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muneul. Universal dalam penerapannya mempunyai alii tun tutantuntutannya harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam alii harus menjadi prinsip yang universalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat. Agar dapat dikernbangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti setiap orang. Masalah keadilan muneul ketika individu-individu yang berlainan mengalami kontlik atas kepentingan mereka, maka prinsipprinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata "setuju", tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian mempertimbangkan "biaya psikologis" yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut.

Konsep keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi, oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkular dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi, dan teknologi. Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan yang pad a mulanya sifatnya mytologicaI, pada masa ini keadilan hanya terdapat pada para dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia.

Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu lebih banyak terjadi pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis dan politis. Dari konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep "hak" kemudian dikembangkan diferensiasi jenis keadilan. Tantangan utama dalam pembentukan prinsip keadilan di zaman sekarang ini adalah bagaimana meneari eelah di antara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama yang menyangkut perkembangan ekonomi, sehingga keadilan menjadi erat kaitannya dengan ekonomi. Artinya konsep prinsip keadilan menjadi sangat majemuk karena bisa berbentuk konsep teologis, konsep etis, konsep hukum, konsep politik, konsep sosiologis, dan konsep ekonomi.

2. Hukum dan Keadilan
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling coeok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum (Huijbers, 1995:70).

Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengatumya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas suei pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukurn. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutifhukum:
A. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya
B. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
C. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah seeara hukum.

Konsekuensi pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan: hukum adalah undang-undang yang adil, adil merupakan unsur konstitutif dari segala pengertian hukum, hanya peraturan yang adil yang disebut hukum:
a. hukum melebihi negara . Negara (pemerintah) tidak boleh membentuk hukum yang tidak adil. Lebih percaya pada prinsipprinsip moral yang dimuat dalam undang-undang dari pada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-putusan hakim.
b. sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini, yaitu hukum sebagai moral hidup (norma ideal).
c. prinsip-prinsip pembentukan hukum (prinsip-prinsip keadilan) bersifat etis, maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.

Ungkapan tersebut sejalan dengan komentar Khan (1978:7), Professor and Head Department of Political Science Univesity of Sind:

Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and evel}' type of injustice FOI1l among its citizens so that everybody may pursue a happy life in aFee way.

Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum. Terutamasetelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman pahit yang ditinggalkan kaum Nazi yarig menyalahgunakan kekuasaannya untuk membentuk undang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan ,untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya pantas disebut sebagai tindakan kekerasan belaka (Huijbers, 1995: 71).

Dalam bidang hukum, keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan hukum. Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Secara ideal kepastian hukum merupakan pencerminan azas tidak merugikan orang lain, sedangkan keseI bandingan hukum merupakan pencerminan azas bertindak sebanding.

Oleh karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum merupakan inti penegakan hukum, maka penegakan hukum sesungguhnya dipengaruhi oleh:
a. Hukum itu sendiri
b. Kepribadian penegak hukum
c. Fasilitas kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
d. Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
e. Kebudayaan yang dianut masyarakat (Soekanto, 1988:29).

Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhimya adalah keadilan . Pemyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam.

Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di atara dua kutub tersebut.

Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut meng- I56 isyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orangorang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maup un rohani.

Para sarj ana Inggris dan Amerika dalam memegang prinsip keadilan lebih banyak diwarnai dengan filsafa t emp irisme dan pragmatisme. Pada intinya pandangan ini beranggapan bahwa kebenaran berasal dari penga laman dan praktek hidup. Karenanya yang diutamakan dalam menangani hukum adalah hubungan dengan realitas hidup, bukan dengan prinsip-prinsip abstrak tentang kead ilan. Oleh karena itu adil dan tidak adil tidak terpengaruh oleh pengerti an tentang hukum, tetapi lebih banyak diwarnai oleh realitas pragmatis. Konsekuensi pandangan ini adalah:
1. Pada prinsipnya hukum tidak melebihi negara (yang dianggap sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adi!, tidak ada instansi yang lebih tinggi dari hukum. Karena kemungkinan dari ketidakadilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktik hukum keyakinankeyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.

2. Hukum adalah apa yang berlaku de fa cto. dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dan juri rakyat. Sementara rakya t juga menyadari bahwa hukum tak lain dari apa yang telah ditentukan.

3. Menurut aliran empirisme, hukum sebagai sistem tidak rnewaji bkan secara batiniah, sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati sebab ada sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman, sedangkan ketaatan secara batiniah lebih banyak disebabkan oleh keyakinan agama (Huijbers, 1995: 70).

Seorang filsuf hukum Amerika Latin Louis Recasens Siches mengatakan bahwa di satu sisi kepastian dan keamanan merupakan tuj uan primer dan mendesak bagi hukum, di lain sisi keadilan harus diusahakan oleh para pembuat hukum sebagai tujuan akhir yang lebih jauh. Hukum tidak dilahirkan untuk manusia karena alasan ingin memberikan upeti atau penghormatan kepada teori keadilan, tetapi untuk memenuhi urgensi yang tidak bisa dihindarkan bagi keamanan dan kepastian kehidupan sosia!. Pertanyaan tentang sebab musabab. manusia membuat hukum tidak dijawab dalam struktur teori keadilan, akan tetapi dalam sebuah nilai yang lebih rendah, keamanan adalah sesuatu yang lebih cocok bagi manusia (Muslehuddin, 1991: 38).

Bodenheimer (Muslehuddin, 1991:38) mengatakan, "ada keraguan serius", apakah sistem sosial yang memenuhi syarat-syarat kepastian aturan atau hukum bisa efektif tanpa kehadiran unsur yang substansial yaitu keadilan. Jika rasa keadilan sebagian besar masya - rakat dihina dan diperkosa oleh sebuah sistem yang mengaku hukum untuk menegakkan kondisi-kond isi hidup yang sesuai dengan aturan, maka otoritas publik akan mengalami kesulitan dalam menjaga system hukum melawan usaha-usaha subversif.

Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk aka!. Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya. Artinya, sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya.

Sebagaimana diungkapkan John Dickinson "Kita tidak hanya membutuhkan sebuah sistem peraturan umum yang bercampur baur, tetapi aturan yang berdasarkan pada prinsip keadilan" (Muslehuddin, 1991:38).

F. KEADILAN MENURUT FILSAFAT HUKUM ISLAM
1. Ruang Lingkup Hukum Islam
Membicarakan hukum Islam berarti berbicara Islam itu sendiri, sebab memisahkan antara hukum Islam dengan Islam ada lah sesuatu yang mustahil, selain hukum Islam itu bersumber dari agama Islam, hukum Islam juga tidak dapat dipisahkan dari iman dan kesusilaan (akhlak). Sebab ketiga komponen inti ajaran Islam yakni iman, hukum, dan akhlak adalah satu rangkaian kesatuan yang membentuk agama Islam itu sendiri (Ali, 1996: 18).

Setelah mengkristal menjadi Islam dan diturunkan ke muka bumi, maka Islam menjadi rahmatan 1iI 'dlamin yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek kehidupan itu sendiri terdiri atas tiga bagian pokok (Cardinal Subject Matter) yaitu Tuhan (Theology), manusia (Anthrophology), dan alam (Cosmology). Kumpulan ajaranajaran pokok Islam tersebut terangkum - baik tersurat maupun tersiratdalam al-Quran dan Hadis yang membentuk sebuah ajaran tentang Islam yang lazim disebut 'aqidah. Akhimya akidah juga terbagi menjadi tiga bagian, akidah tentang Tuhan, akidah tentang manusia, dan akidah tentang alam. Selama ini pemahaman tentang akidah dibatasi pada bagian tauliid menyangkut Tuhan, Malaikat, Rasul, Kitab, Takdir, dan hari kiamat, padahal akidah menyangkut totalitas masalah tentang ke-Tuhanan, ke-alaman, dan kemanusiaan.

Akidah tentang Tuhan adalah ekspresi teoritik yang berwujud keyakinan (faith) atau pemikiran (thought) tentang Tuhan, sedangkan akidah tentang manusia yakni ekspresi teoritik yang berwujud keyakinan (faith) atau pemikiran (thought) tentang manusia, dan akidah tentang alam adalah ekspresi teoritik yang berwujud keyakinan (faith) atau pemikiran (thought) tentang alam, selain alam manusia sendiri (Sabiq, 1996: 25). Ikatan akidah terse but perIu diaktualisasikan dalam tindakan nyata yang biasa disebut muamalah. Muamalah bukanlah hal yang hanya bertalian antara manusia dengan manusia, tetapi seluruhnya dijangkau, yakni muamalah terhadap Tuhan, muamalah terhadap manusia, dan muamalah terhadap alam.

Muamalah terhadap Tuhan, yakni ekspresi sosiologik yang berwujud pelayanan terhadap kehendak Tuhan di alam ini, yang sasarannya adalah manusia juga, muamalah terhadap manusia adalah ekspresi sosiologik yang berwujud pelayanan terhadap sesama manusia, sedangkan muamalah terhadap alam adalah ekspresi sosiologik yang berwujud pelayanan terhadap alam, dan sasarannya adalah manusia juga. Dengan kata lain al-Quran membawa ajaran yang memuat aspek-aspek jasa terhadap Tuhan, alam dan manusia. Dengan demikian apa yang dimuat dalam al-Quran kaitannya dengan hubungan hubungan keseimbangan temyata jauh lebih luas dari anggapan selama ini, bahwa hubungan keseimbangan hanyalah pelayanan sesama manusia untuk manusia lainnya (Sabiq, 1996: 28).

Dari proses aktualisasi ajaran Islam kemudian melahirkan nilai, nilai ini yang umum dikatakan ibadah, maka ibadah-pun kemudian terbagi ke dalam tiga kategori. Ibadah kepada Tuhan, ibadah melalui manusia, dan ibadah lewat alam. Ibadah kepada Tuhan adalah nilai pengabdian yang secara langsung dijalankan berdasarkan tuntunan akidah syariat, sedang ibadah melalui manusia adalah nilai yang terkandung dalam pelayanan kepada sesama manusia.

Pelayanan yang telah berbentuk nilai ibadah, menjadi nilai yang berhubungan langsung antara manusia dengan Tuhan, dan nantinya kembali juga kepada manusia. Sedangkan ibadah lewat alam adalah nilai yang terkandung dalam pelayanan terhadap alam (lingkungan hidup), nilai ini juga menjadi nilai yang berguna bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dan nantinya kembali kepada manusia juga baik dalam konteks kehidupan dunia maupun kehidupan sesudah kehidupan dunia (akhirat).

Akidah, muamalah, dan ibadah adalah gerakjiwa raga manusia. Sebagai muslim, keseluruhan gerak jiwa raga tersebut diatur dengan suatu perangkat yang disebut hukum Islam. Meyakini Islam berarti terikat dengan hukum Islam itu sendiri, sedangkan hukum Islam hanya akan berwujud manakala hukum tersebut diterapkan (tanjidz) oleh perneluk-pemeluknya dengan dorongan batin yang kuat (AsShiddieqy, 1993: 153).

Tatanan keseimbangan tersebut bersifat supranatural dan amat mendukung kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dengan sifat gandanya; universal dan abadi. la tetap sama untuk segala zaman dan untuk semua orang. Jakson, sebagaimana di kutip Muslehuddin (1991, 48) mengungkapkan:

Hukum Islam menemukan sumber utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad. la menciptakan sebuah masyarakat mukmin, walaupun mereka mungkin terdiri atas berbagai suku dan berada di wilayah yang amat jauh terpisah.

Agama, tidak seperti nasionalisme atau geografi, merupakan kekuatan kohesif utama . Negara itu sendiri berada di bawah (subordinate) alQuran, yang memberikan ruang gerak sempit bagi pengundangan tambahan, tidak untuk dikritik maupun perbedaan pendapat. Dunia ini hanya dipandang sebagai ruang depan bagi orang lain dan sesuatu yang lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Quran juga menentukan aturan-aturan bagi tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun masyarakat untuk menjamin sebuah tradisi yang aman . Tidak mungkin memisahkan teori-teori politik dan keadilan dari ajaran-ajaran Nabi yang menegaskan aturan-aturan tingkah laku , baik mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial dan politik. Ini menimbulkan hukum tentang kcwajibankcwajiban daripada hak-hak, kewajiban moral mengikat individu, dari mana tidak (otoritas bumi yang) bisa mernbe - bastugaskannya, dan orang yang tidak mentaati akan merugikan kehidupan masa mendarang".

Selama ini sepertinya orang sepakat bahwa hukum hanya mengatur urusan manusia dengan manusia yang lain dan hukum baru ada setelah adanya manusia, yang berarti pula hukum hanya ada dalam masyarakat manusia dan seolah-olah hukum di luar masyarakat manusia tidak pernah ada . Akan tetapi kalau kita mempunyai pendapat bahwa hukum itu mempunyai fungsi mengurus tata tertib masyarakat, maka tentu kita harus pula mengakui bahwa setiap masyarakat yang di dalamnya terjadi tata tertib adalah diatur oleh hukum. Berarti hukum ada dalam masyarakat yang di dalamnya tcrdapat tata tertib. Apabila kita memberikan arti kepada kata masyarakat sebagai suatu keadaan berkumpul bersarna-sarna dalam suatu tcmpat yang tertentu dan menjalankan fungsinya masing-masing, maka keadaan bermasyarakat itu bukan saja terjadi pada masyarakat manusia, tetapi juga pada seluruh masyarakat yang maujud ini. Ada masyarakat benda mati, masyarakat tumbuh-tumbuhan, masyarakat binatang, dan masyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat tata surya.

Dalam masyarakat tersebut di atas terlihat adanya tata tertib. Hukum Archimedes dalam ilmu fisika menunjukkan adanya hukum masyarakat benda mati, yang mengatur tata tertib benda cair, Beragamnya tumbuh-tumbuhan yang hidup di daerah dan iklim yang berlainan menunjukkan adanya hukum tumbuh-tumbuhan, yang mengatur tata tertib flora. Adanya unta di padang pasir dan adanya kerbau tersebar di seluruh dun ia adalah tanda adanya hukum yang mengatur tata tertib fauna. Timbulnya matahari setiap pagi disebelah timur dan terbenam di sebelah barat, menunjukkan adanya hukum dalam perputaran dan peredaran bumi, yang mengatur tata tertib tata surya (Abdoerraoef, 1998: 3).

Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada tata tertib di luar masyarakat manusia. Hukum menurut al-Quran jauh lebih luas dari pada hukum yang diartikan oleh sebagian besar ahli hukum selama ini. 

Orang Barat memberikan istilah pada hukum yang mengatur seluruh gerak dan tata tertib benda mati dan hidup sebagai Natural Law (Nashr, 1981: 12), dan dalam Islam disebut Sunnatullah. Sunnatullah adalah ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum Allah yang berlaku

untuk alam semesta yang menjadi sebab keserasian hubungan antar benda yang ada di dalamnya termasuk manusia (Ali, 1996: 20). Akan tetapi ada perbedaan antara hukum yang ada dalam masyarakat manusia dcngan hukum di luar masyarakat manusia. Perbedaan itu ditimbulkan oleh berbedanya objek yang diatur oleh hukum itu masing-masing. Benda mati dan tumbuh-tumbuhan tidak memiliki pengalaman psikis, karena kedua makhluk ini memang tidak mernpunyai alat untuk terbentuknya pengalaman psikis. Walaupun binatang nampak memiliki alat untuk membentuk pengalaman psikis, seperti otak dan susunan syaraf, akan tetapi tingkah lakunya sudah ditentukan oleh naluri (instinc). Seekor burung tidak perlu mencari pengalaman dan belajar untuk membuat sarangnya, tumbuh-tumbuhan tidak perlu belajar dan mencari pengalaman bagaimana caranya tumbuh dan berkernbang. Karena tidak adanya unsur alat untuk menjadikan pengalaman psikis, maka untuk alam masyarakat benda mati, tumbuhan, dan hewan Allah menjadikan hukum bagi mereka tidak berubah-ubah (konstan).

Manusia sebagai subyek sekaligus objek hukum Islam memegang peranan sentral dalam aktualisasi hukum Islam yang selalu memperhatikan bentuk keseimbangan di segala bidang, bukan hanya keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia, tetapi lebih jauh dari itu keseimbangan antara manusia den gan alam, dan manusia dengan Tuhan. Hukum Islam dikatakan meny angkut seluruh aspek yang maujtid didasarkan pada asumsi bah wa ke seimbangan yang ada di seluruh alam adalah tata tertib hukum All ah SWT (sunnatullah) yang wajib diyakini kebenarannya.

Dengan dasar pengertian di atas, sunnatullah menjadi penting untuk ditelaah, bagairnana bentuk keseimbangan itu, hubungan bagaimana yang dapat menjaga keseimbangan. Mempelajari sunnatullah tak beda pentingnya dengan mempelajari hukum, karena sunnatullah sendiri adalah hukum. Akan tetapi, manusia bagaimanapun tetap dibatasi oleh sifat insdniyyahtvye; sehingga banyak hal yang terkait dengan sunnatullah tidak mampu ditelaah, akhirnya ada sunnatullah yang tetap menjadi misteri sampai hari kiamat. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, tentulah manusia harus patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum itu. Lantas timbul pertanyaan, bagaimana agar orang Islam mau patuh terhadap hukum Islam, dan menjadikannya sebagai way oflife.

Kepatuhan seseorang terhadap hukum dipengaruhi oleh dua faktor. Perta111a, faktor internal, yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Kedua , faktor eksternal, yaitu dorongan yang timbul sebab adanya pengaruh unsur dari luar diri manusia.

Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap hukum adalah jiwa orang itu sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengatur jiwa seseorang agar mau mematuhi hukum. Persoalan ini tentu tidak dap at dibicarakan oleh hukum itu sendiri, sebab hukum tidak mengatur perbuatan orang secara batin (jiwa) dan fikiran, hukum hanya mengatur perbuatan secara lahir saja.

Akan tetapi al-Quran mengatur perkembangan jiwa manusia, maka berarti al-Quran memberikan dasar supaya hukum dipatuhi oleh manusia berdasarkan kesadaran hukum dalam jiwanya. Kesan yang timbul selama ini sepertinya ilmu hukum membiarkan saja jiwa manusia berkembang apa adanya, tetapi di samping itu menuntut pula supaya dalam jiwa manusia ada kesadaran untuk mematuhi hukum, mungkin kesan itu akibat renaissance yang membuat manusia mabuk oleh kemerdekaan formil , sehingga manusia berbuat dalam masyarakat dengan kebebasan penuh, tidak perIu diatur. Akibatnya nafsu menjadi raja gerak langkah manusia yang mendapat kekuatan dari kekuasaan masyarakat. Apabila hawa nafsu manusia tidak diatur, maka yang timbul adalah kesewenang-wenangan, yang kua t menindas yan g lemah akibatnya kesejahteraan tidak akan terwujud. Oleh sebab itu harus ada peraturan yang membawa hawa nafsu seseorang ke arah perkernbangan yang positif, sehingga manusia mempunyai jiwa yang tidak lagi menindas pihak yang lemah hanya untuk memuaskan hawa nafsunya .

Artinya penanaman jiwa kesadaran mematuhi hukum yang ada harus didahulukan sebelum dikenalkan pada hukum itu sendiri. Di samping unsur jiwa, faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap hukum adalah faktor hukum dan akibat pelanggaran hukum itu sendiri. Dengan kata lain, unsur di luar diri manusia juga memerlukan perhatian serius. I-Iukum sebagai penyebab kepatuhan eksternal harus disosialisasikan ke dalam jiwa manusia, sehingga perternuan dua unsur kepatuhan hukum dapat melahirkan tindakan yang sesuai dengan kehendak hukum, sebab pelanggaran hukum mengakibatkan sanksi yang dengan kesadaran penuh berusaha untuk dihindari.

2. Hukum Islam dan Keadilan
Dalam pandangan filsafat, tujuan akhir hukum adalah keadilan. Kaitannya dengan hukum Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pedoman pokok agama Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Artinya tujuan keadilan melalui jalur hukum harus berawal dari dua segi dan mengarah kepada keadilan dua segi pula. Dikatakan berawal dari dua segi karena pedoman Islam berupa al-Quran dan Hadis di satu segi harus mampu menyatu dengan pedoman prinsip keadilan secara umum menurut pandangan manusia di lain segi . Tugas awal yang kemudian dihadapi adalah upaya formulasi al-Quran dan Hadis - khususnya yang berkaitan dcngan hukum - agar mampu tampil sesuai dengan prinsip keadilan secara umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menj ad i produk standar panduan mencari keadilan lewat jalur hukum. Pada akhimya pedoman tersebut mampu menjadi standar hukum universal yang mampu tampil di manapun dan kap anpun sesuai dengan fitrah diturunkannya Islam ke muka bumi.

Maksud da ri muara ke adilan dua segi adalah tujuan akhir berupa keadilan yang harus dicapai oleh sebuah sistem hu kum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia (makhluk ) dan keadilan kep ada Allah (khaliq) . Keadilan bagi manusia me ngarah pada berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu masyarakat manusia dengan lainnya bcrbeda dalam mengartikan keadilan hukum. Artinya fleksibelitas produk keadilan mutlak diperlukan dalam het erogenitas manusia dan lingkungannya, sedangkan muara keadilan kep ada Allah ad alah produk hukum yang ada tetap menempatkan All ah scsuai dengan proporsi-Nya sebagai Tuhan , dan kegiatan manusia dal am upaya for mul asi tuj uan hukum berupa keadilan juga tetap berada dalam koridor ibadah kepada-Nya.

Pendapat scmacam ini sejalan dengan ungkapan Friedmann, bahwa "selama standa r prin sip keadilan tidak berpegang pada agama, maka pedoman itu tid ak akan mencapai titik ideal prinsip keadilan".

Padahal sebuah prinsip adalah standar yang tidak pemah berubah. Perubahan hanya ada pada tataran operasional yang me ngeliling inya. Pengertian hukum Islam yan g dcmikian luas dengan berbagai hal yang terkait dengannya menj adi singkat dalam ungkapan MacDonald yang menyebut hukum Islam adalah "the science of all things, human and devine" (MacDon ald, 1965: 66). Pandangan MacDonald tersebut merupakan kristalisasi dari sistem hukum Islam yang mampu melihat pluralitas sebagai real itas empiris. Plural di sini bukan hanya manusia dalam bentuk hubungall garis horizontal, tetapi plural yang menyangkut hubungan horizontal dan vertikal. Isyarat keadilan hukum yang dikehendaki Allah tertuan g dalam firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu j adi orangorang yang selalu menegakkan (kebcnaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat" (QS. Al Ma-idah: 8).

Ayat di atas turun berawal dari peristiwa yang menimpa Nu'man Bin Basyir. Pada suatu ketika Nu'man Bin Basyir mendapat suatu pemberian dari ayahnya, kemudian Umi Umrata binti Rawahah berkata "Aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah". Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata "Apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?" Jawab ayah Nu 'man "Tidak". Rasul berkata lagi "Takutlah eng kau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakrnu". Sebagian perawi menyebutkan, "Sesungguhnya aku tidak mau menj adi saksi dalam kecurangan". Mendengar jawaban itu lantas ayah Nu'man pergi dan me mbatalkan pemberian kepada Nu 'man (HR. Bukhari Muslim).

Esensi ayat tersebut di atas adalah se man gat menegakkan keadilan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Islam memiliki standar keadilan yang mutlak dengan penggabungan norma dasar Ilahi dengan prinsip dasar keadilan insani. Hukum diterapkan kepada semua orang atas dasar persamaan, tidak dibedakan antara yang kaya dengan yang miskin, antara kulit hitam dengan kulit putih, antara penguasa dengan rakyat jelata. Keadilan hukum juga diterapkan dalam lapangan keseimbangan kescjahteraan imbalan atas jasa, dalam artian keseimbangan antara 'hak dan kewajiban. Kehidupan majemuk dalam masyarakat menuntut keadilan ditegakkan dengan cara setiap individu terpenuhi haknya, baik hak jasmani maupun hak rohani, material maupun spiritual. Setiap individu berhak untuk mengekploitasi kemarnpuan dan bakatnya bagi kepentingan pribadi dan masyarakatnya.

Keadilan dalam Islam merupakan pcrpaduan harmonis antara hukum dengan moralitas, Islam tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan individu, tetapi mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri.

Hukum Islam memiliki peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif, bukan sebaliknya. individu diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan orang ban yak Syariat Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus.

Syariat Islam merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat Barat pada umumnya.

Itulah sebabnya mengapa kepentingan dan signifikansi semacam ini melekat dalam pengambilan keputusan hukum dalam Islam (Djamil, 1997:154).

Dalam meletakkan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia, Allah menjadikan norma dan moralitas hukum sebagai landasannya (Syah, (ed)., 1992: 163). Dengan adanya standar moral Islam itulah, maka lapangan pergeseran moral dalam Islam menjadi sangat sempit. Artinya, pergerakan ke arah keburukan selalu dihadang dari berbagai arah dengan standar aturan baik dan buruk menurut hukum Islam.

Basyir (1984: 27-31) menganulir tujuan hukum Islam sebagai:
Pertama, pendidikan pribadi, pendidikan pribadi dimaksudkan untuk menjadikan individu sebagai manusia yang berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya. Dicontohkan, orang yang menjalankan puasa dididik pribadinya untuk menjadi orang yang mempunyai kepekaan sosial. 

Kedua, menegakkan keadilan, keadilan yang harus ditegakkan meliputi keadilan pribadi, keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia. Keadilan pribadi diartikan sebagai setiap individu berkewajiban untuk memenuhi standar kebutuhan pribadinya, baik yang menyangkut hak jasmaniah maupun ruhaniah. Hak jasmaniah menyangkut hak atas pangan, sandang, dan papan yang memenuhi standar kesehatan. Sedangkan hak ruhaniah meliputi pemenuhan kebutuhan pendidikan, kebutuhan akan ajaran agama agar dipenuhi sebagaimana mestinya. Keadilan hukum adalah keadilan setiap individu di depan hukum. Setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Sedangkan keadilan sosial berarti individu sebagai anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara seimbang. Keadilan dunia merupakan keadilan hubungan antar negara di dunia. Setiap negara dalam hubungannya dengan negara lain harus didasarkan pada prinsip kebersamaan dan kesamaan hak dan kewajiban.

Ketiga, memelihara kebaikan hidup, hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hidup hakiki, semua yang menjadi kepentingan hidup manusia diperhatikan. Sedangkan kepentingan manusia menuju hidup hakiki dibagi menjadi tiga hal:
a. Kepentingan esensial (al-Mashdlih adh-Dharuriyalu, yaitu kepentingan yang mutlak dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Kepentingan itu meliputi kepentingan agama, kepentingan memelihara jiwa, kepentingan memelihara harta, kepentingan memelihara akal, dan kepentingan memelihara keturunan.

b. Kepentingan yang tidak esensial (al-Maslidlih al-Hajiyyah), yaitu kepentingan yang tidak esensial, akan tetapi dibutuhkan manusia untuk menghindari masaqqat. Misalnya diperbolehkannya orang meninggalkan puasa dalam keadaan sakit dan diperbolehkan melakukan perceraian dalam kehidupan perkawinan yang tidak hannonis.

c. Kepentingan pelengkap ial-Maslrdlih al-Katndliyahs, yaitu kepentingan yang apabila tidak terpenuhi tic1ak akan menimbulkan mudliarat bagi kehic1upan manusia apalagi merusak kehidupan manusia. Misalnya mengenakan pakaian yang bagus ketika pergi ke masjid, mengadakan walimah perkawinan, dan lain-lain.

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Yang Maha Adil. kedaulatan hukum Islam adalah milik Allah semata:

"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alarn" (QS. VII: 54). "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik " (QS. V: 47). 

Kedaulatan Allah berada c1i atas seluruh definisi keclaulatan yang telah dikemukakan manusia karena Allah merupakan kedaulatan bagi seluruh alam dan manusia. Tidak ada kata kecuali Rabb yang bisa meliputi pengertian kedaulatan Allah. la sebagai penguasa, pelindung, pemberi harapan, pemberi rejeki, pengatur sekaligus penyernpuma. Austin, sebagaimana dikutip Muslehuddin (1991: 46) memberikan definisi hukum sebagai perintah dari yang berdaulat, hukum adalah aturan yang ditentukan untuk membimbing manusia oleh manusia itu sendiri. Hukum ala Austin terpisah dari keadilan, hukum yang dulunya berlandaskan baik dan buruk, sekarang diganti menjadi hukum berdasarkan kekuasaan dari atasan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa hukum adalah perintah seorang Tiran. Akan tetapi Allah bukanlah Tiran. Perintah Tuhan merupakan hukum positif, akan tetapi tetap dalam koridor keadilan, karena Allah Maha Adil, Maha Kasih, dan Maha penyayang.

Hukum Islam sebagai jelmaan dari hukum Allah SWT, merupakan perpaduan dari "apa" hukum itu dan "bagairnana" hukum itu seharusnya. Dengan kata lain, hukum Islam, di samping hukum positif juga hukum ideal, sebab hukum Islam memandang objek hukum Islam bukan hanya manusia dengan segala persoalan yang ada di dalamnya.

Akan tetapi hukum Islam menjangkau seluruh aspek keseimbangan sebagai salah satu unsur keadilan.

3. Hukum Islam dan Kemaslahatan - " 
Pengetahuan tentang tujuan umum syar'i dalam pembentukan suatu hukum merupakan hal terpenting untuk memahami nash dan menerapkannya pada berbagai kejadian. Pengetahuan tentang tujuan umum syar 'i juga berfungsi untuk mengistimbathkan hukum dalam permasalahan yang tidak ada nashnya. Kerena sering terjadi bahwa suatu nash terkadang secara lahiriyah seperti bertentangan, dan persoalan tersebut hanya bisa diselesaikan jika kita mengetahui tujuan umum syar'i yaitu dengan menghilangkan pertentangan tersebut dan membuat sintesis dari tesis-tesis dan anti tesis nash-nash tersebut atau mentarjihkan salah satunya. Nash-nash syar'i juga tidak akan dapat dipahami dengan benar, jika kita tidak mengetahui maksud umum .syar'i dalam pensyariatan hukum. Dernikian pula kita harus mengetahui sebab-sebab turunnya suatu hukum terhadap kasus-kasus tertentu yang terjadi saat itu . Tetapi untuk yang terakhir ini akan dijelaskan dalam kitab tafsir, asbabun nuzul dan sunnah yang sahih. Setidaknya ada tiga sasaran hukum Islam:

I. Penyucianjiwa ttazkiyah an-natsy ./ yaitu agar setiap muslim menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini diimplementasikan dengan berbagai macam bentuk-bentuk ibadah mahdhoh yang disyari'atkan.

2. Keadilan sosial hal ini berlaku baik bagi sesama muslim maupun dengan non muslim. Firman Allah: "Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaUlll , mendorong kamu untuk berlaku tidak add. Berlaku add lah, karena add itu lebih dekat kepada taqwa" (al-Maidah:8).

3. Kemaslahatan  
Maslahat yang dikehendaki Islam adalah maslahat yang hakiki, dan bukan maslahat yang berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu saja. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan (Zahrah, 1994: 543-548).

Menurut Abdul Wahab Khalaf, tujuan umum syar'i dalam mensyariatkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier). Hal yang dharuriy ialah sesuatu yang menjadi landasan berlangsungnya kehidupan manusia yang mesti ada untuk konsistensi kemslahatan manusia. Apabila tidak ada, maka akan rusaklah struktur kehidupan manusia, terjadi kekacauan, kerusakan dan disharmony dalam kehidupan. Hal-hal yang dharury bagi manusia meliputi agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta kekayaan. Menjaga kelima hal tersebut merupakan hal yang dharury bagi manusia. Hal yang hajiy adalah sesuatu yang diperlukan manusia untuk kelapangan dan keleluasaan terhadap beban taklif yang ditanggungnya. Hajiy mengacu kepada penghilangan kesulitan manusia dan memberikan keringanan kepada manusia atas beban taklif yang ditanggungnya dan mempermudah bagi manusia untuk melakukan berbagai mac am perbutan dalam bidang muamalah. Sedangkan tahsini adalah sesuatu yang dikehendaki oleh moral dan etika terhadap perbuatan manusia. Tahsiniy mengacu pada akhlak yang mulia, adat istiadat yang baik dan segala sesuatu yang dianggap baik terhadap perilaku dan perbuatan manusia.

a. Kepentingan esensial (al-Mashdlih adh-Dhaniriyahj
Yaitu kepentingan yang mutlak dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. Kepentingan itu meliputi kepentingan agama, kepentingan memelihara jiwa, kepentingan memelihara harta, kepentingan memelihara akal, dan kepentingan memelihara keturunan.

b. Kepentingan yang tidak esensial (al-Masluilih al-Hajiyyah)  
Islam telah mensyariatkan hukum-hukum pada bidang tnuatnalah, jinayah dan 'ibadah yang bertujuan untuk menghilangkan kesulitan dan memberikan kemudahan bagi manusia. Jadi disamping memberikan pembebanan (taklif), islam juga memberikan keringanan ketika bentuk-bentuk taklif tersebut tidak dapat dilaksanakan secara penuh karena adanay kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkannya dilaksanakan perbuatan tersebut.

Dalam bidang ibadah, Islam memsyariatkan adanya rukhshah untuk memberikan keringanan kepada mukallaf, apabila terdapat kondisi yang memberatkan mereka. Bentuk rukhshoh tersebut yaitu kebolehan untuk berbuka untuk orang yang sakit atau berada dalam perjalanan, kebolehan untuk mengqoshor shalat bagi orang yang bepergian, kebolehan untuk tayammum apabila tidak ditemukan air, dan rukhshoh-rukhshoh lainnya.

Dalam bidang muamalah, Islam mensyariatkan thalak untuk me1epaskan ikatan perkawinan ketika diperlukan, menghalalkan bangkai binatang laut, dan memakan binatang yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa. Sedangkan dalam bidangjinayat, Islam mensyariatkan pembayaran diat oleh pembunuh kepada pihak dari keluarga yang dibunuh.

c. Kepentingan pelengkap (al-Mashdlih al-Kamdliyahy
Islam telah mensyariatkan hukum-hukum pada bidang muamalah, jinayah dan 'ibadah yang bertujuan untuk perbaikan dan keindahan serta membiasakan manusia dengan perilaku yang baik. Dalam bidang muainalah, Islam mensyariatkan bersuci bagi badan, pakaian dan menutup aurat, tempat, dan menghindari najis.

Dalam bidang muamalah, Islam mengharamkan penipuan, tadlis (menyembunyikan cacat), taghrir, berlebih-lebihan, dan melarang berlaku kikir. Islam melarang akad yang kauasa-nya tidak halal atau mengandung najis atau mengandung bahaya.

Dalam bidang jinayat, Islam mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak dan kaum wanita dalam peperangan. Islam melarang membunuh orang yang tidak bersenjata, membakar orang mati atau hidup.

Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa semua ajaran yang dibawa oleh Islam mengandung maslahat yang nyata. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara hukum Islam dengan maslahat, yaitu diawali dengan pertanyaan "apakah maslahat itu mengikat hukum syara?" atau "apakah setiap hukum syara yang diturunkan, mutlak mengandung maslahat?" Ada tiga golongan yang mengemukakan pendapat yang berbeda:
1. Golongan Asy'ariyah dan Zhahiriyah menolak bahwa hukum Islam terkait dengan maslahat. Walaupun berdasarkan penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa semua hukum syara' disyariatkan untuk kemaslahatan manusia. Menurut mereka Allah tidak layak ditanya ten tang apa yang diperbuatNya.
2. Sebagian madzhab Syafi'I dan sebagian madzhab Hanafi berpendapat bahwa maslahat patut menjadi illat bagi hukum, tetapi sekedar hanya sebagai tanda (amarah) bagi hukum dan bukan sebagai penggerak yang mendorong Allah menetapkan hukum. Firman Allah: "Dia tidak ditanya ten tang apa yang diperbuatNya, tetapi mereka yangjustru ditanya." (al-Anbiya: 23).

3. Golongan Mu'tazilah, Maturidiyah, sebagian madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa segala hukum islam terkait dengan maslahat. Hukum-hukum yang terdapat pad a nash mempunyai ilIat berupa maslahat, tanpa dikaitkan dengan iradat (kehendak) Allah, sepanjang ta 'lil (perikatan) itu tidak mengakibatkan gugumya nash jika tidak mengandung maslahat. Jika substansi maslahat tidak jelas diotak kita, maka kita boleh melakukan rasionalisasi sendiri dan menghindarkan nash dari kemungkinan adanya anggapan tidak mengandung maslahat.

Sinyalemennya adalah bahwa setiap perintah dan larangan Allah sering diakhiri dengan penjelasan bahwa orang yang menetangNya sama artinya menganiaya dirinya sendiri (Zahrah, 1994: 552).

Perbedaan ini sebenamya hanya pada tataran teoritis, karena dalam tataran empiris semua fuqoha' menyepakati bahwa hokum-hukum syara' mengandung maslahat yang hakiki. Tidak ada satu pun hukum yang didatangkan kecuali mengandung maslahat bagi umat manusia.

Imam Izzuddin Abdus Salam membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah bagi hambaNya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat terbagi menjadi fadhil (utama), afdhal (paling utama), dan mutawassith (pertengahan).

Maslahat afdhal adalah maslahat yang wajib dikerjakan, maslahat ini adalah maslahat yang mengandung kemuliaan, menghilangkan mafsadah (kerusakan) yang besar, dan mendatangkan kemaslahatan yang paling besar. Sementara itu, kewajiban bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar maslahat yang terkandung di dalamnya. Jika tingkat kemaslahatannya lebih besar, maka kewajibannya untuk dikerjakan lebih kuat dan harus didahulukan. Contoh: menyelamatkan orang yang tenggelam pada saat sedang berpuasa Ramadhan. Menyelamatkan jiwa didahulukan atas memenuhi kewajiban mengerjakan puasa, walaupun puasa sebagai ash! (hukum pokok).

Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh syari' kepada hambaNya demi untuk kebaikannya. Kedudukan maslahat sunnah adalah dibawah maslahat wajib. Ketiga, maslahat mubah. Maslahat ini berlaku terbatas dan bersifat perorangan, dinikmati khusus bagi pelakunya. Melakukan perbuatan maslahat mubah tidak membawa pahala, seperti: makan dan minum. Sedangkan maslahat didalam perkara wajib dan sunnah tidak bersifat perorangan, kemaslahatannya tidak saja kembali kepada pelakunya tetapi juga kepada masyarakat luas.

G. ASPEK NILAI ETlKA DALAM HUKUM (JURISTIA ETHICS)
Dari persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan manusia, persoalan tentang moral dapat dikatakan merupakan persoalan pokok, karena moral menyangkut hubungan antar manusia yang mempersoalkan tentang apa yang baik dan apa yang buruk dalam persoalan tersebut. Untuk mengatur hubungan ini tentu diperlukan kaidah-kaidah tertentu yang bersifat mengikat dan mengarahkan hubungan antar sesama manusia berlangsung dengan baik. Kaidah-kaidah ini adalah aturan-aturan moral yang mengharuskan manusia untuk mengikutinya.

Manusia dikatakan mempunyai moral yang baik dan dapat dikatakan manusia susila apabila ia menaati aturan-aturan moral (Asdi, 1998:1I). 

Faktor yang penting bagi manusia untuk menjadi manusia susila adalah adanya kesadaran moral yang dapat direalisasikan dalam tingkah laku sehari-hari. Kesadaran moral ini, kesadaran untuk bertingkah laku baik, tidak hanya kalau berhadapan dengan orang lain saja, tetapi berlaku terus menerus tanpa kehadiran orang lain. Kesadaran ini berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat mendalam. 

Dengan demikian maka tingkah laku yang baik berdasar pada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia. Dasar ini terletak pada kodrat manusia. Drijarkara (1966 : 25)74 berpendapat bahwa :

Moral atau kesusilaan adalah nilai sebenamya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul dapat disebut nilai bagi manusia . Dengan kata lain, moral atau kesusilaan adalah kesempumaan manusia sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia.

Moral atau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya. Pada dasamya manusia selalu menginginkan kebaikan dan berusaha untuk mewujudkannya. Apabila seseorang berbuat kurang baik, maka ia berusaha untuk membuat alasan yang dapat membenarkan tindakannya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa moral atau kesusilaan merupakan persoalan yang mendasar bagi kehidupan manusia sepanjang waktu. Dalam perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dewasa ini, persoalan tentang moral hendaknya dapat ditampilkan dengan lebih tegas. Perkembangan kebudayaan manusia yang tampak pada ilmu dan teknologi, pada satu pihak membantu manusia membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah, atau dapat dikatakan merupakan humanisasi, pada satu pihak menyebabkan terasingnya manusia dari nilai-nilai moral. Oleh karena itu, peningkatan sumber daya manusia dalam bidang ilmu dan teknologi hendaknya dapat diimbangi dengan peningkatan dalam bidang moral (Asdi, 1997: 6).

Di dalam kehidupan sosial, moralitas menuntut suatu kehidupan tertentu sehingga dapat dikatakan moralitas itu merupakan aturanaturan dalam kehidupan bermasyarakat dari masyarakat untuk anggota masyarakat tersebut. Teori-teori ini selalu mencari jawaban yang benar mengenai pertanyaan tentang moral. Immanuel kant bertanya, "mengapa saya harus bermoral?" Kant menjawab, "Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lain, seperti misalnya, "Apa yang saya dapatkan kalau saya bermoral?", terciptanya bermacam-macarn teori moral. Sistem-sitem Etika atau teori moral pada Yunani Kuno mendasarkan pada Summun Bonum, Kebaikan yang Tertinggi atau The Supreme Good itu? Kebaikan Tertinggi ini adalah sesuatu yang ideal, suatu cita-cita yang merupakan ukuran yang tertinggi bagi segala sesuatu yang dinilai. Untuk mencapai itu harus ada norma-norma untuk menilai agar dapat mencapai Summun Bonum. Akan tetapi Summun Bonum sukar dinilai, karena merupakan cita-cita yang tertinggi dan merupakan konsep dunia yang sempuma. Di dalam dunia ini semua makhluk merasa bahagia (Immanuel Kant, 1963 dalam Asdi, 1998: 13). Dalam hal norma-norma moral, perlu pula diperhatikan motif apa yang dipakai sebagai dasar tindakan moral. Dasardasar ini dapat berbeda-beda sehingga menimbulkan aliran etika yang berbeda pula. Dasar inilah yang dipandang sebagai realitas yang tertinggi atau bahkan kenyataan yang sejati.

Etika atau teori moral dapatmendasarkan pada kodrat manusia untuk mendapatkan kenikmatan , sebab kenikmatan merupakan kebaikan yang paling penting. Manusia dikatakan baik apabila ia berusaha untuk mengejar kenikmatan yang sebesar-besamya. Aliran ini disebut hedonisme , dari kota Yunani hedone yang berarti kenikmatan. Seorang hedonis dikatakan orang yang baik karena hidup sesuai kodratnya dan mencapai tujuan hidupnya.

Berbeda dengan aliran hedonisme adalah aliran Eudamonisme, yang dapat dikatakan mencapai kebahagiaan, tidak hanya secara lahiriah, melainkan juga secara batiniah. Oleh karena itu, manusia harus belajar bagaimana caranya untuk mencapai kebahagiaan. Untuk itu Eudamonisme dijadikan pandangan hidup.

Bentuk lain dari Eudamonisme adalah Stoisisme, yaitu aliran ctika yang memandang tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia harus menemukankebahagiaan serta menyesuaikan diri dengan alam dan menerimanya dengan baik, karena peristiwa alarn itu tidak dapat dihindari. Dalam menghadapi diri sendiri, manusia harus dapat menguasai perasaannya dan juga menggunakan akalnya, sehingga manusia menjadi kuat dan teguh. Aliran Utilisme dapat dikatakan bentuk lain dari Eudamonisme pula. Manusia dikatakan baik apabila ia bermanfaat, yaitu yang menimbulkan kebahagiaandan kenikmatan.

Jadi Utilisme dapat disamakan dengan hedonisme. Teori moral yang dikemukakan oleh Marx berdasar pada fakta, yaitu pada manusia yang harus bekerja untuk dapat bertahan hidup. Di samping itu, manusia juga harus hidup dalam kelompok, karena untuk mempertahankan hidup pribadi manusia juga harus memperhatikan orang lain, lebih-lebih harus ada kerja sama dengan kelompok. Dengan demikian aturan moral adalah moral kelompok, moral yang ada dalam masyarakat tanpa kelas. Suatu etika ,'yang mendasarkan diri pada kehidupan manusia disebut Vitalisme, dari kata Vi/a, yang berarti kehidupan. Kehidupan adalah kebaikan yang tertingi. Aliran ini menghargai kehidupan sangat tinggi sehingga mereka pada akhimya medewa-dewakan kehidupan. Manusia harus bersatu dengan kehidupan, masuk di dalamnya. Pendapat lain mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk rohani, dan roh ini mempunyai kekuasaan yang besar. Aliran etika ini dikenal sebagai aliran Idealisme. Ada tiga aliran yang masing masing mendasarkan pada bagian dari roh. Yang pertama adalah aliran idealism rasionalistik, yang berpendapat bahwa manusia dengan akalnya harus dapat mengenal norma-norma etika. Dengan demikian maka manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Yang kedua adalah etika estetik, etika adalah sesuatu yang indah, manusia dan kehidupannya adalah suatu seni. Untuk itu diperlukan kehidupan dalam masyartakat itu harus selaras. Banyak yang kurang sepaham dengan etika rasionalistik dan etika estetik. Yang ketiga adalah etika, etik, seperti yang diajarkan oleh Immanuel Kant. Menurut faham ini memang ada norma-norma moral yang harus diwujudkan oleh manusia. Menurut Kant, manusia harus bertindak baik, karena manusia wajib untuk itu. Tindakan moral harus datang dari dalam diri manusia sendiri dan tidak datang dari luar manusia. Etika yang semacam ini adal ah etika yang diperintah oleh diri manusia sendiri, suatu imperative yang memaksa dari diri manusia sendiri, imperatif kategoris (Harold H, Titus, 1970: 363-375).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia itu penuh dengan usaha untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan. Namun jalan yang ditempuh dapat berlainan, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Perlu diingat bahwa perbuatan manusia untuk mencapai tujuan tersebut haruslah perbuatan yang dilakukan dengan sadar, sedangkan perbuatan manusia di luar kesadarannya, misalnya dalam keadaan tidur, dalam keadaan mabuk, dan dalam keadaan pingsan, tidak dapat dikatan perbuatan yangmempunyai tujuan (Asdi , 1998: 15-16).

Dapatkah manusia mencapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan yang sernpurna? Kebahagiaan yang memuaskan tanpa ada rasa yang menimbulkan kekecewaan? Dalam kenyataannya, manusia tidak dapat mencapai tujuan akhir di dunia ini, karena mempunyai kehendak yang tidak dapat dipuaskan. Menurut A.Gunawan Setiardja (1990: 92), manusia itu mempunyai tujuan akhir objektif dan tujuan akhir subyektif.

Tujuan akhir objektif adalah sama untuk semua orang, yaitu Tuhan sebagai pencipta, sedangkan tujuan akhir subyektif adalah penyempumaan diri manusia sebagai manusia. Drijarkara (1962: 20-21) juga mengatakan bahwa manusia selalu menuju ke kesempurnaan. Menurut kodratnya, setiap realitas itu menuju ke sempumaan yang merupakan cerminan dari kesempumaan Tuhan. Dalam usaha manusia untuk mencapai kesempumaan diperlukan adnya kesadaran moral yang secara nyata dapat menjelma menjadi suara batin, consience, yang di dalamnya terkandung pengertian. Suara batin itu tidak diucapkan melainkan hanya ada dalam batin yang seolah-olah, menyeru memperingatkan mana yang baik dan mana yang buruk. MenU11 Martin Heidegger, der Ruf / alls mir und doch ueber tnmich, "suara itu datang dariku tetapi mengatasi diriku. Jadi kesadaran moral itutidak hanya rasa , melainkan juga, pengertian. Suara batin pada dasarnya adalah panggilan Tuhan.

Yang juga melekat pada manusia untuk melakukan perbuatan baik adalah "wajib", Manusia akan merasa bersalah apabila melanggar kewajibannya. Manusia barulah manusia apabila ia melaksanakan kewajibannya. Wajib itu bukan paksaan, karena datang dari dalam diri manusia, bukan dari luar diri manusia. Hanya dengan menjalankan wajib, manusia menjadi luhur. Perkembangan manusia yang sesungguhnya adalah moral. Untuk itu diperlukan niat untuk berbuat baik dan siap sedia untuk kebaikan. Dengan niat ini manusia siap menghadapi peraturan moral yang meliputi dan melingkungi hidup manusia. Oleh karena itu, hukum moral adalah hukum kodrat manusia, yang menentukan rohani. Manusia adalah pribadi rohani. Dengan demikian, hukum moral disebut sebagai hukum kodrat atau hukum alam (N. Drijarkara, 1966: 9-30).

Apa perbedaan antara moral dan hukum? Menurut Immanuel Kant, norma moral menimbulkan sikap "moralitat", yakni penyesuaian diri dengan kewajiban batin, disini hati nurani menjadi motivasi yang sebenarnya dari kelakuan dan tindakan. Norma hukum menimbulkan sikap "legalitat", yakni penyesuaian diri dengan apa yang telah ditentukan dalam undang-undang (Kant dalam Huijbers, 1995: 66).

A. Reinach (1883-1917) menambahkan perbedaan antara moral dan hukum. Menurut Reinach, norma moral mengena pada suara hati pribadi manusia, sedangkan norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian. Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah ke orang lain, sedangkan hak-hak yuridis dapat hilang dan dapat pindah (sesuai dengan perjanjian). Disamping itu norma moral mengatur baik hidup batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non indicant (Huijbers, 1988: 231-234) .

Norma-norma moral dan norma-norma hukum memang berbeda , akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Immanuel Kant menjelaskan hubungan antara moral dan hukum dengan menyatakan bahwa pembentukan hukum sebenarnya merupakan bagian tuntutan moral (imperatlfkategoris) yang dialami manu sia dan hidupnya. Imperatif itu mengharuskan orang untuk mengatur hidup bersama sesuai dengan prinsip-prinsip moral, sehingga terbentuklah undan g-undang yang adil.

Dari pernyataan ini juga kita dapat memahami definisi hokum Kant memuat unsur etis, dimana menurut Kant. Definisi hukum menurut Kant adalah sejumlah syarat yang menjarninbahwa kehendak seorang pribadi disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan (Das Recht ist.: der InbegrifJ der Bedingungen, unter denen die Willkur des einen mit der Willkur des anderen nach einem allgmeinen Gesetze der Freiheit Zusammen vereinigt werden kann). Dari sini kita mengetahui bahwa tata hukum oleh Kant diartikan sebagai buah sikap moral manusia (Huijbers, 1988: 94-102).

Hubungan antara moral dan hukum sebenarnya lebih erat lagi sebab perbedaan antar norma tersebut dalam tataran konseptual saja .

Karena dalam tataran praksis, norma-norma yang merupakan norma sopan santun misalnya, dapat menjadi norma hukum, demikian pula dengan norma moral, juga dapat menjadi norma hukum. Bahkan dengan norma moral menjadi norma hukum, ia akan menjadi efektif keberlakuannya. Karenanya kewajiban yang timbul akibat normanorma yuridis ada dua jenis: (1) Bersifat ekstern karena adanya sanksi, bersifat yuridis belaka; (2) Bersifat intern atau moral, bersifat etisyuridis. Suatu norma hukum bersifat etis yuridis bila isinya menyangkut nilai-nilai dasar hidup, sehingga dengan demikian kehendak yuridis merupakan bagian dari kehendak etis rnanusia ' (D. Scheltens & Siregar, 1984: 65-66).

Adanya nilai etis pada hukum dapat dirnengerti, bila kita insyaf bahwa hukum merupakan salah satu hasil kegiatan manusia sebagai ko-eksistensi etisnya . Memang benar bahwa hukum secara langsung berasal dari kehendak yuridis, tetapi kehendak yuridis itu merupakan bagian dari kehendak etis manusia untuk mengatur kehidupan bersama dalam segala relasi-relasinya. Supaya relasi-relasi itu baik dan karenanya kehidupan manusia sendiri menjadi baik dan bahagia. Menurut Fernand Van Neste (1982), ada 4 unsur etis yang ada pada hukum :
I . Hukum mengatur relasi-relasi antara orang.
2. Hukum memasukkan timbal balik dalam relasi-relasi yang digalang.
3. Hukum menuntut kesetiaan padajanji.
4. Hukum menciptakan kebebasan.

Dari uraian mengenai hukum dan moral, dapat diketahui adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya, perbedaan antara hukum dan moral teletak pada tujuannya. Hukum bertujuan untuk membentuk ketertiban dalam masyarakat, sedangkan moral bertujuan untuk membentuk pribadi setiap individu. Di samping itu hukum dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga dapat diketahui dengan jelas dan , Namun pernyataan bahwa suatu pcraturan yuridis dapat mcnghasilkan suatu kcwajiban etis dibantah oleh ImmanucI Kant. Mcnurut Kant rnacam-rnacam motif diperbolehkan dalam menaati hukum, misalnya rasa takut akan hukuman, karena mcnurut Kant undang-undang yang telah tersusun termasuk bidang "yang ada", bukan bidang "yang scharusnya". bersifat objektif. Di pihak yang lain, norma-norma moral bersifat subjektif dan individual. perbedaan lain juga dapat dilihat dalam sanksi-sanksinya. Hukum dan Moral keduanya menberikan sanksi.

Akan tetapi hukum dapat dipaksakan dan meberikan sanksi pada yang melanggamya, sedangkan nqrma-norma moral tidak dipaksakan, karena perbuatan susila mcnyangkut perbuatan yang bersifat rohaniah. Pemaksaan mungkin dapat menycbabkan transaksinya batin scseorang. Tindakan moral atau tindakan untuk bertingkah laku baik seolah-seolah tidak mempunyai kckuasaan atau kewenangan apapun terhadap manusia, karena tindakan moral itu terhagantung pada kesadaran pribadi, tergantung pada suara batin setiap individu.

Sanksi yang diterapkan pada pelanggaran moral adalah sanksi yang mungkin berbentuk penyesalan diri. Orang akan menyesal, karena telah berbuat kesalahan, seolah-olah ada suara dalam dirinya dan batinnya yang memberikan peringatan (Asdi, 1998: 17-18).

Drijarkara (1996 : 19) mengatakan bahwa suara batin itu masih tetap ada, juga setelah manusia melakukan kejahatan. Memang apabila kesalahan itu kecil, kesalahan itu mudah dilupakan. Tidak demikian halnya apabila seseorang melakukan kesalahan atau pelanggaran moral yang besar, maka suara batin itu akan terus menerus memperingatkan. Dalam hal ini orang yang bersalah akan merasa rendah diri , malu dan merasa bersalah terus menerus. Dapat juga terjadi bahwa orang tersebut akan merasa tidak berguna lagi dan tidak pantas untuk hidup. Itulah salah satu sebab mengapa orang yang merasa bersalah tadi melakukan bunuh diri. Akan tctapi scsungguhnya suara batin itu merupakan suatu peringatan agar orang tersebut kembali pada kebaikan, menyadari kesalahannya dan bertaubat untuk tidak berbuat kesalahan lagi. Kesadaran moral ini adalah rasa dan juga pengartian yang mendalam. Apabila manusia mcnyadari bahwa manusia itu adalah makhluk Tuhan, tcntunya ia akan menyadari bahwa suara batin yang memerintah ke arah kebaikan itu adalah peringatan dari Tuhan.

Pelanggaran hukum moral adalah pelanggaran hukum kodrat atau hukum Tuhan.
Antara hukum dan Moral, di samping ada perbedaannya, juga ada kesamaannya. Ini berarti bahwa antara hukum dan moral mempunyai titik yang sama. Apabila hukum merupakan garis lurus a dan moral adalah garis lurus b, maka antara kedua garis itu ada titik yang berkesinambungan, atau antara kcdua garis itu ada titik potongnya.

Hukum dim moral mempunyai persamaan dalam pcngatahuan perbuatan manusia. Hukum mengatur perbuatan manusia sesuai dengan pcngaturan yang berlaku yang ditetapkan oleh pcnguasa atau Negara dengan tujuan kesejahteraan dalam masyarakat, membcri perlindungan dan keamanan, scdangkan moral juga merupakan peraturan-peraturan yang mengatur perbuatan manusia ditinjau dari perilaku baik dan buruk. Tujuan moral adalah peningkatan manusia sebagai manusia. Kedua peraturan manusia untuk menaati hukum dan juga menaati moral. Wajib hukum adalah wajib yang datang dari luar diri manusia, dan wajib moral adalah wajib yang datang dari dalam diri manusia (Asdi, 1998: 19).

Apabila dilihat dari dasar hukum dan dasar moral, dapatlah kita temukan bahwa antara keduanya mepunyai dasar yang sama, yaitu hukum alam. Menurut A. Gunawan Setiardja (1990: 116), dalam hukum alam ditemukan dialektika antara hukum dan moral. Dialektika adalah suatu pcnyesuaian yang terjadi yang dimulai dari suatu tesis.

Tesis ini mengakibatkan antitesis. Tesis dan anitetis ini akan menghasilkan sintesis. Periode ini-tesis, antitesis dan sintesis akan terusmenerus berlangsung sampai pada sintesis yang tcrakhir dan sempurna . Pada dasamya musyawarah untuk mendapatkan kcputusan yang terakhir adalah proses yang terjadi secara dialektis.

Apabila kita terapkan teori dialektika ini pada hukum dan moral, dapat dilihat sebagai tesis adalah hukum alam yang ada padamanusia yang diatur oleh moral. Moral mengatur scgala segi kehidupan manusia, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial,kehidupan lahir dan batin. Sebagai antitesis, adalah hukum yang dibentuk oleh para ahli hukum dan para anggota perwakilan rakyat, serta para ahli yang lainnya, yang harus selalu ingat pada hukum alam.

Hukum yang akan disusun harus mengingat manusia sebagai manusia pribadi maupun manusia dalam masyarakat. Hukum yang dibentuk harus pula mencakup tatanan hukum yang memberi kcsempatan pada manusia untuk membangkitkan dirinya sebagai manusia. Aparatur

Pendapat Setiardja di atas sesungguhnya belum dapat menu njukkan adanya dialektika apabila kita memakai rumusan dialektika peme rintahan, dari yang tertinggi sampai yang terendah, dalam mengambil keputusan harus menunjunjung tinggi hukum dalam menjalankan keajiban mereka, maka yang mereka hadapi adalah manusia yangmempunyai hak asasi, manusia yang harus dihormati sebagai manusia.

Sintesis yang diharapkan dari uraian di atas adala h terbentuknya manusia yang mempunyai budi luhur, yang taat pada moral dan hukum, dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara.

Beberapa filusuf telah pula berusaha memberikan pendapatnya mengenai hubungan antara hukum dan moral. Plato sudah berusaha ke arah itu. Thomas aquinas justru mengatakan bahwa hukum positif harus membantu manusia untuk memahami hukum alam. Ini disebabkan karena hukum alam tidak dapat dimengerti dengan jelas. Hukumalam adalah sumber norma-norma moral.

Menurut A. Gunawan Setiardja ( 1990; 119), dialektika antara hukum dan moral dapat dilihat pada dasar, otonomi, pelaksanaan, sanksi, tujuan, waktu dan tempat. Hegel yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu tesis, antit esis dan sintesis. Dari bagan diatas, dapat diketahui bahwa dasar hukum dan moral itu sama, yaitu hukum dasar dan hukum alam. Menurut Immanuel Kant dalam bukunya Die Metaphysik derSitten (Immanuel Kant , 1970 dalam Asdi , 1998: 22), ada dua maeam kewajiban, kewajiban terhadap hukum dan kewaj iban terhadap moral.

Kewajiban terhadap hukum dilaksanakan karena ada hukum yang datang dari luar pribadi manusia, sedangkan kewajiban terhadap moral, yang tidak tunduk pada hukum dari luar pribadi manusia, melainkan tunduk pada hukum dari dalam manusia, menuju tujuan sekaligus menjadi kewajiban. Menurut Kant, ada perbedaan antara hukum dan moral. Sah menurut hukum, belum tentu sah menurut hukum moral. Sah menurut hukum, yang oleh Kant dinamakan Legalitaet atau Gesetzmaegkeit, adal ah suatu tindakan yang mempunyai kesesuaian atau tidak kesesuaian dengan hukum lahiriah. Akan tetapi tindakan tersebut belum dapat dikatakan mempunyai nilai moral, karena tindakan itu dapat dipengaruhi oleh keinginan , meskipun merupakan dorongan batin, misalnya rasa belas kasihan, rasa takut atau ingin mendapatkan keuntungan. Meskipun tindakan itu ba ik, namun masih ada motivasi tertentu, masih ada "pamrih", maka tindakan ini belum dapat dikatan bemilai moral. Perlu dieatat bahwa tindakan yang belum mempunyai nilai moral , tidak berarti amoral atau bertentangan dengan moral. Tindakan semaeam ini oleh Kant dinamakan legalitas, yaitu sesuai dengan hukum. Suatu tindakan bemil ai moral apabila tindakan tersebut dilaksanakan karena orang merasa wajib dan karena adanya kesadaran untuk melaksanakan kewaj iban. Juga tidak karena adanya tekanan dari luar ataupun karena adanya keinginan tertentu.

Inilah yang dinamakan Kant moralitas (Asdi, 1997; 80-8 1). Manusia hidup dalam suatu sistem hukum yang harus dikonfrontasikan dengan bermaeam-maeam aspek kehidupan. Kadangkadang hukum itu datang kepada kita dalam keadaan kurang menyenangkan, apabila hukum itu meng haruskan kita untuk memilih apa yang kita sukai dan yang tidak kita sukai. Kadang-kadang hukum datang dengan amat baik, apabila hukum itu memberikan perlindungan kepada kita. Dalam hukum ada larangan-larangan yang tidak boleh} kita langgar, seperti misalnya mencuri, menipu, menggangu keamanan dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat dikategorikan melanggar hukum. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat lepas dari hukum, tidak dapat menghindari hukum. Mau tidak mau, suka atau tidak suka , hukum selalu ada di sekitar kita dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara.

Begitu pula halnya dengan moral. Aturan-aturan moral juga ada di sekiling kita, suka atau tidak suka , aturan-aturan moral juga mengikat. Tugas aturan moral mengadakan evaluasi pada hukum. Tugas ini adalah memahami hukum positif sebagai hukum dan membentuk suatu teori yang bersifat rasional mengenai bagaimana hukum itu yang seharusnya. Evaluasi ini dapat bersifat dialektis maupun aplikatif, sesuai dengan titik singgung yang disentuh. Dialektis, apabila kita pakai untuk meningkatkan pribadi manusia, meningkatkan manusia sebagai manusia. Aplikatif, apabila moral kita pakai scbagai evaluator pada hukum, khususnya kita pakai untuk menyoroti tujuan member hukuman pada orang yang melanggar hukum. Tujuan ini selain melihat latar belakang sejarah si pelan ggar, juga harus mengingat dampak positifyang akan didapat di masa depan (Asdi, 1998: 27-28).

H. JURISTIC LOGICS (PENGGUNAAN LOGIKA DI DALAM HUKUM ATAU ILMU HUKUM)
Logika adalah satu di antaranya cabang-cabang utarna fiIsafat. Sebagai sebuah istilah, logika berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran yang lain adalah: pengertian atau konsep (conceptus; concept), proposisi atau pemyataan (propositio; statement), dan penalaran (ratiocinium ; reasoning) (Soekadijo, 200 I:3). Logika atau penalaran berkaitan dengan proses bekerjanya rasio atau akal manusia dalam upaya menangkap atau mencapai kebenaran, atas dasar proposisi-proposisi atas sesuatu kenyataan guna sampai kepada kesimpulan dengan menggunakan hukum-hukum berfikir. Proses berfikir manusia dapat dengan menggunakan dua cara atau metode. Kedua metode itu adalah berfikir secara induktif dan berfikir secara deduktif, atau dikatakan juga ada logika deduktif. Cara berfikir dengan metode-rnetode ini dapat melibatkan penggunaan silogisme yang di dalamnya ada proposisi sebagai premise mayor dan premise minor, sehingga sampai kepada sebuah kesirnpulan dalam upaya mencapai atau rnenemukan ' kebenaran.

Dikenal ada logika formal (dapat juga disebut logika bentuk), dan logika material (Iogika isi). Kebenaran yang dicapai dengan menggunakan metode berfikir demikian scbagaimana diterapkan dalam berbagai bidang pengetahuan ilmiah adalah dua macam kebenaran, yaitu kebenaran formal dan kebenaran material. Kebenaran yang dicapai juga bervariasi dalam tingkatannya, dari sesuatu yang mutlak, kebenaran yang pasti, hingga kebenaran sebagai suatu kemungkinan.

Juristic logic yang dimaksudkan dalam buku ini adalah untuk menyebutkan aspek logika yang terdapat atau digunakan di dalam hukum atau pengetahuan ilmiah hukum. Penerapan metode-metode berfikir yang lazim berlaku pada berbagai bidang ilmu lain selain ilmu hukum untuk diterapkan dalam hukum atau ilrnu hukum perlu dikaji kembali secara kritis tentang kesesuaian atau ketepatannya.

Logika induktif dan logika deduktif lazim berlaku dalam bidang ilrnu alam. Di dalam scjarah pcrkembangan ilrnu, metode penclitian di dalam ilmu-ilmu alam adalah metode yang lebih dahulu muncul, yang kemudian penerapannya menyebar ke dalam bidang ilmu-ilrnu sosial, termasuk ilmu hukum. Akan tetapi sesungguhnya metode-metode tersebut tidak serta merta berlaku dalam bidang hukum, karena bidang ilmu hukum memil iki objek manusia yang karakteristiknya berbeda dan tidak dapat semata-mata disamakan dengan objek-objek fisik.

Manusia memiliki nilai yang berbeda. Demikian pula hukum-hukum matematis tidak dapat diterapkan begitu saja secara sama kepada manusia seperti halnya pada objek-objek fisik.

MarzJki (2005 : 47, 61) berpendapat bahwa penelitian hukum sesungguhnya adalah berbeda dengan penelitian ilmu sosial lainnya.

Dalam penelitian hukum, logika silogistik yang diterapkan berkenan dengan adanya premis mayor dan premis minor dalam sebuah argumentasi hukum guna mencapai sebuah kebenaran (sebagai sebuah simpulannya) adalah tidak sesederhana silogisme-silogisme tradisional. Selain itu perlu untuk diketahui bahwa dalam ilmu hukum terdapat tiga lapisan yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Berhubung dengan haI ini, sebuah penelitian atas suatu isu atau masalah itu haru s mempertimbangkan terlebih dahulu apakah isu atau masalah itu adalah isu hukum atau masalah hukum atau bukan.

Kemudian, penel itian hukum harus memperhatikan ketiga lapisan tersebut. Penelitian atas masalah hukum dalam tataran dogmatic adalah apabila sesuatu masalah atau isu hukum itu menyangkut ketentuan hukum yang relevan dengan fakta yang dihadapi. Penelitian hukum da lam tataran teori hukum adalah bilamana isu atau masalah hukumnya mengandung konse p hukum. Sedangkan penelitian hukum dalam tataran filos ofis, isu hukum harus menyangkut asas-asas hukum.

Dalam silogisme ada hukum-hukum yang berlaku dalam menarik sebuah kesimpul an dan menentukan apakah kesimpulan yang diambil itu salah atau benar. Contoh silogisme tradisional yang sederhana misalnya (Soekad ijo, 200 I: 40, 88):
1. Semua pahlawan adalah orang berjasa, Kartini adalah pahlawan. Jadi: Kartini adalah orang yang berjasnya
2. Kal au pacamya dari Medan datang men engok, Adam senang sekali. Dari Medan pacamya datang menengok dan menginap di rumah abangnya. Maka Adam senang sekali.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson