Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum

Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum 
Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu. Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional. Hukum internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal, demikian menurut Martin Dixon.

Dengan demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan sebagai hukum sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan. Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak pernah ada sanksi.

Apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sesungguhnya?
Bagaimana hukum ini bekerja, mengapa masyarakat internasional mau mentaatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara mendalam melalui filsafat hukum. Dengan menganalisa semua itu dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan akan diperoleh pemahaman seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya tentang hukum internasional. Beberapa manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1. Dapat membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan sosial yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam. 
2. Membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas sosial. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam menerapkan hukum perjanjian para ahli hukum juga memerlukan pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi, kriminalogi, pidana, perikatan, sosiologi dan lain sebagainya. 
3. Dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan satu teknik. Dengan demikian kompleksitas hukum dapat lebih dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori dapat membantu dalam ptaktek. 
4. Dengan penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.

Hakekat Hukum Internasional
Menurut Austin hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsur yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam diri hukum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin nampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.

Menurut Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini tidak tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk hukum.

Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam masyarakat ada hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan.

Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut. Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.

Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal. Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo.

Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat primitif dan tebang pilih.

Hukum dan sanksi hanya dikenakan terhadap negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki power juga pengaruh di lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah keras terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptible

Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar hukum internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam sanksi sudah diterapkan tehadap Iran.

Senada dengan Oppenheim, para pakar hukum internasional modern menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral.Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990 masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptible. Dari mana kita tahu bahwa masyarakat internasional menerima dan mengakui HI sebagai hukum? Ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan menurut Dixon: 
1. HI banyak dipraktekkan atau diterapkan oleh pejabat-pejabat luar negeri, pegawai asing (foreign offices), pengadilan nasional, dan organisasiorganisasi internasional; 
2. Negara-negara yang melanggar hukum internasional dalam praktek tidak mengatakan bahwa mereka melanggar hukum karena HI tidak mengikat mereka. Dalam praktek negara-negara tersebut senantiasa mencari argumen hk untuk menjustifikasi apa yang mereka lakukan. Sebagai contoh ketika NATO memborbardir Serbia, alasan pembenar yang mereka gunakan adalah bahwa tindakan tersebut dapat dibenarkan oleh HI karena memiliki tujuan kemanusiaan. Contoh lain adalah Amerika Serikat menjustifikasi agresinya ke Irak 2002 dengan istilah pre-emptive attack; 
3. Mayoritas negara mematuhi hukum internasional. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketaatan yang terjadi. Ketaatan yang terjadi tidak pernah dipublikasikan sehingga membentuk opini bahwa hukum internasional yang ada hanyalah pelanggaran-pelanggaran tanpa sanksi hukum. Apa yang dipublikasikan oleh berbagai media masa tidaklah mewakili keseluruhan. Hukum internasionl bukan hanya masalah Amerika, Irak, ,Israel, dan Palestina saja, dimana Amerika serta Israel senantiasa melanggar hukum internasional tanpa sanksi apapun. Hukum internasional sangatlah luas.Adanya pelanggaran tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa HI tidak ada. Demikian halnya, tidak adanya sanksi sampai saat ini untuk Amerika dan Israel juga tidak dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa HI bukan hukum. Dalam Hukum nasional seperti di Inggris, dari kasus-kasus kriminal yang ada hanya sekitar 60 % yang ditangani polisi dan dari 60 % itu tidak semuanya bisa terselesaikan dengan baik. Banyak sekali kasus-kasus kriminal yang tidak pernah terungkap siapa pelakunya dan tentu saja tidak ada sanksi bagi si pelaku tersebut. Di Indonesia misalnya berapa banyak kasus korupsi atau kekerasan yang melibatkan pejabat tinggi atau orang penting di Indonesia yang tidak diproses atau bahkan dipeti eskan. Meskipun demikian tidak pernah dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum; 
4. Adanya lembaga-lembaga penyelesaian hukum seperti arbitrase dan berbagai pengadilan internasional yang senantiasa menggunakan argumentasi-argumentasi hukum udalam penyelesaikan sengketa yang ditanganinya; 
5. Dalam praktek HI dapat diterima dan diadaptasi ke dalam hukum nasional negara-negara.

Tidak ada satu negara pun dalam membuat hukum nasionalnya tanpa melihat kaedah HI yang ada. Sebagai contoh dapat dikemukakan mengapa Indonesia hanya menetapkan batas laut teritorialnya 12 mil laut saja? Bukankan bila ditetapkan sampai 200 atau 500 mil maka wilayah Indonesia akan menjadi lebih luas? Indonesia tidak dapat menetapkan demikian karena hukum internasional yang ada menentukan bahwa lebar laut teritorial hanya 12 mil. Bila Indonesia membuat lebih dari itu tidak akan diakui dan akan diprotes oleh masyarakat internasional. Contoh yang lain adalah UU Peradilan HAM Indonesia mengadopsi Statuta Roma 1998, UU Mengenai ZEE Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hukum Laut 1982, UU tentang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.

Sepakat dengan Oppenheim bahwa HI merupakan hukum yang lemah bila dibandingkan dengan hukum nasional, Dixon mengemukakan bahwa “…in comparison with national law, international law may be regarded as weak law, not because of its binding quality, but because of its less organized approach to the problem of adjudication and enforcement… . Demikianlah Menurut Martin Dixon, lemahnya HI bukan karena kekuatan mengikatnya tetapi lebih dikarenakan kurang terorganisirnya masalah pengadilan serta penegakan hukumnya.

Dari paparan di atas tidak diragukan lagi bahwa HI adalah hukum yang sesungguhnya. Masyarakat internasional menerima HI sebagai hukum bukan sekedar kaedah moral belaka. Bilamana HI merupakan kaedah moral belaka maka tidak akan ada external power atau kekuatan pemaksa dari luar. Dalam kaedah moral (positive morality) kekuatan pemaksa datang dari kesadaran subyek hukum itu sendiri (internal power), yakni hati nurani dan kesadaran dirinya sendiri.

Masalah penegakan hukum yang lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.

Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak ada aparat penegak hukum yang berwenang menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif. Namun demikian ternyata di dalam praktik masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai moral positif saja. Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum yang sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil daripada ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh dasar kekuatan mengikat?

Dari sisi filsafat ilmu hukum ada beberapa teori atau aliran yang muncul dalam beberapa periode atau tahapan, yang mencoba menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut. Pada tahapan ancient and primitive international law, yaitu abad romawi kuno sampai abad pertengahan misalnya dimana aliran hukum alam mendominasi pemikiran para pakar ilmu pengetahuan saat itu dikatakan bahwa masyarakat internasional taat pada hukum internasional karena hukum internasional bagian dari hukum alam. Hukum alam adalah aliran pemikiran semi teologis, selalu merujuk pada hukum yang lebih tinggi yang datangnya dari Tuhan.

Hukum internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia. Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius, pakar di era Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’. Dengan demikian hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan oleh Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada akal. Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal. Ketaatan masyarakat internasional pada hukum alam memang sudah seharusnya karena itu datang dari Tuhan. Perjanjian internasional mengikat dan harus ditaati misalnya, karena suatu janji berarti sumpah (oath) mengandung sakramen, menjadi yurisdiksi dari gereja.

Hukum menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam. Apa yang dikemukakan aliran ini ternyata belum dirasa memuaskan karena sangat abstrak dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat pada HI. Meskipun demikian aliran ini banyak memberikan sumbangan pada perkembangan HI terutama pada nilai-nilai keadilan (justice).

Tahapan berikutnya sering dikatakan sebagai traditional international law. Pada tahapan ini pengaruh gereja dan aliran hukum alam mulai berkurang dan muncullah aliran hukum positif. Aliran ini membagi batas antara hukum internasional dan nasional, sehingga muncullah aliran dualisme dan monisme. Hukum internasional dipandang sebagai kesepakatan antara banyak pemegang kedaulatan atau negara. Hukum berkembang melalui praktek kebiasaan negara-negara yang melahirkan kewajiban hukum (legal obligation) yang disebut opinio jurissive necessitas. Negara sebagai pemegang kedaulatan adalah aktor utama dalam hubungan internasional. 

Prinsip utama yang berlaku adalah prinsip teritorial dan otonomi negara. Aliran ini menyatakan dalam hukum terkandung 3 hal yaitu terkait dengan moral, Tuhan, dan alam. Ketaatan masyarakat internasional pada hukum internasional menurut aliran ini adalah karena adanya kesepakatan. Dengan demikian dibedakan antara praktek negara yang lahir karena sukarela dengan yang lahir atas kesepakatan yang melahirkan kewajiban hukum untuk mentaatinya. Menurut aliran ini hukum tidak lahir atau ditemukan di alam melainkan dibuat oleh manusia (man-made law). John Austin salah seorang tokoh terkenal aliran positif menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya. Hal ini karena tidak seperti hukum domestik, pelaksanaan hukum internasional tidak dapat dipaksan oleh pihak yang berdaulat. Kewajiban hukum internasional hanya memiliki kekuatan mengikat secara moral saja. Faktor-faktor yang mendorong negara taat pada hukum internasional adalah adanya berbagai kekawatiran yang muncul dari dalam Negara itu sendiri seperti kekawatiran dipandang sebagai anggota masyarakat bangsabangsa yang tidak baik, kekhawatiran dipandang sebagai menjadi provokator untuk kasus-kasus kejahatan-kejahatan internasional serta kekhawatiran munculnya perusuh-perusuh juga kekhawatiran ancaman gangguan terhadap ketertiban dunia.

Di akhir era positivis Bentham mengusulkan kodifikasi praktek negara-negara dalam bentuk tertulis. Akhir abad ada 19 dapat dikatakan ada 4 kelompok pemikiran utama tentang ketaatan ini. Pertama kelompok Austinian Positivistic Realistic, yang mengemukakan bahwa negara tidak pernah taat pada hukum internasional karena hukum internasional bukan hukum yang sesungguhnya (really law). Kedua, kelompok Hobbessian Utilitarian, Rationalisticnya mengakui bahwa ketaatan akan muncul hanya bilamana negara punya kepentingan (self interest) dengan aturan dan pemberlakuannya. Ketiga kelompok Liberal Kantian, yang mengemukakan bahwa umumnya negara akan taat pada HI karena dipandu oleh sense of moral dan ethical obligation yang berasal dari pemikiran hukum alam dan keadilan. Kelompok ke-4 yang tokoh utamanya Bentham, mengemukakan bahwa insentif bagi negara untuk taat juga dorongan negara-negara lain menyebabkan negara menjadi taat pada hukum internasional.

Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang dikemukakan aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak negara. Banyak sekali aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun prinsip hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah memberikan pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap aturan tersebut, negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat pada aturan internasional itu.

Pasca perang dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin berkembang. James Brierly ahli hukum internasional menyatakan mengapa negara taat pada HI adalah untuk menjaga reputasi masing-masing di tingkat internasional serta tumbuhnya solidaritas untuk terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.

Pasca perang dunia kedua organisasi internasional tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi ketaatan negara pada Hukum Internasional. Dalam pandangan Brierly ketaatan itu karena solidaritas dan legitimasi yang lahir dari organisasi internasional.

Gerald Fitzmaurice, dalam tulisannya “The Foundations of the Authority of International Law and the Problem of Enforcement” menyimpulkan bahwa ketaatan negara pada hukum internasional bukanlah karena persetujuan atau kehendak pribadi masing-masing negara yang menciptakan kewajiban. Alasan mendasar ketaatan itu adalah adanya otoritas hukum internasional. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara membuat masyarakat internasional mengakui kekuatan mengikat suatu aturan hukum, otomatis berlaku pada mereka, tanpa memperhatikan kehendak masing-masing negara.

Demikianlah Fitmaurize menyimpulkan dari pendapat-pendapat pakar hokum sebelumnya, khususnya aliran positivis, bahwa mengikatnya hukum internasional adalah karena kehendak bersama negara yang timbuh dari rasa kebersamaan atau solidaritas dan diwadahi serta mendapat legitimasi dari organisais internasional. Pendapat ini bisa dikatakan merupakan embrio dari teori managerial dan fairness yang dikembangkan oleh Chayes dan Thomas Franck dan dianggap sebagai teori yang cukup berpengaruh dewasa ini.

Terkait Chayes dan Thoman Franck di atas, dewasa ini ada dua buku menarik yang ditulis oleh dua pakar hukum internasional tersebut dan dipandang cukup komprehensif dalam membahas mengapa masyarakat internaisonal khususnya Negara mau mentaati hukum internasional. Buku pertama berjudul The New Sovereignty:

Compliance with International Regulatory Agreements, ditulis oleh Abram Chayes & Antonia Handler Chayes, 1995. Dengan teorinya managerial process approach, Chayes mengemukakan bahwa masyarakat internasional taat pada hukum internasional bukan karena takut ancaman sanksi. Ketaatan itu didorong oleh dinamika yang diciptakan oleh rejim perjanjian intenasional dimana mereka terlibat. Instrument utama untuk memelihara ketaatan adalah melalui perjanjian internasional yaitu dengan mekanisme yang diciptakan oleh perjanjian itu sendiri, pengorganisasian perjanjian dan publik yang lebih luas.

Dalam upaya mempelajari secara mendalam ketaatan negara pada hukum internasional, khususnya perjanjian internasional, Chayeses menganalisa mengapa negara taat dan sebaliknya mengapa negara tidak taat pada perjanjian internasional.

Chayeses berhasil menyimpulkan bahwa ketidaktaatan disebabkan ketidakjelasan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang menimbulkan multitafsir (ambiguity), ketidakpastian (indeterminacy), juga berbagai pembatasan yang dilakukan perjanjian yang menjadikan negara peserta kesulitan untuk melaksanakan kewajibannya.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Martin Dixon bahwa ketidaktaatatan yang terjadi dalam praktek hubungan internasional lebih sering dikarenakan ketidakjelasan dalam sumber hukum internasional itu sendiri sehingga menimbulkan multitafsir daripada kesengajaan negara untuk melanggar hukum internasional.

Untuk menumbuhkan ketaatan negara pada hukum internasional, Chayes mencontohkan 2 alternatif solusi yang saling bertentangan. Yang pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan banyak sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi unilateral. Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat menimbulkan masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan.

Beberapa pendapat Chayes terkait hal ini antara lain:
..... (noting difficulty “of assembling and maintaining a coalition capable of and willing to apply forceful economic and military sanctions when costs and risks of intervention are high, results are uncertain, and impetus of American or other great-power leadership is lacking”). Treaty-based military and economic sanctions are almost never invoked, they find, for an organization’s decision actually to trigger a sanction may destroy the sanction if it fails to work.. Nor are membership sanctions often employed by international organizations because of the “membership dilemma”: Failure to sanction leaves the rogue member “in good standing while continuing to flout the regime,” while expulsion of an outlaw may leave it embarrassed but newly free to act without legal constraint….. Similarly, unilateral sanctions are employed infrequently and sporadically to redress violations of treaty obligations, and even when employed, rarely prove effective. ….

Alternatif kedua yang ditawarkan Chayes adalah management model, dimana ketaatan tidak dipacu oleh berbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui melalui model kerjasama dalam ketaatan, yaitu melalui proses interaksi dalam justification, discourse and persuasion. Kedaulatan tidak lagi bisa ditafsirkan bebas dari intervensi eksternal, tetapi kebebasan untuk melakukan hubungan internasional sebagai anggota masyarakat internasional. atau otonomi pemerintahan. Dengan demikian kedaulatan yang baru (the new sovereignty) tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa. Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan sanksi tetapi lebih pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya reputasi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik.

Kedaulatan tidak bisa lagi diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan apapun sekehendaknya sesuai kepentingannya sendiri, tetapi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa. Dewasa ini satu-staunya cara dimana mayoritas negara dapat menyadari dan mengekspresikan kedaulatannya adalah melalui partisipasi dalam berbagai rejim yang mengatur tata tertib internasional.

Tidak ada negara yang membabi buta, sepenuhnya mengabaikan hukum internasional karena terlalu banyak pihak asing dan domestik, terlalu banyak hubungan yang hadir dan potensial, terlalu banyak rangkaian pada isu-isu atau masalah lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Chayes bahwa kemampuan negara untuk tetap berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan internasional juga statusnya sebagai anggota sistem internasional tergantung pada beberapa hal yang ditunjukkannya seperti kehendak negara untuk menerima, melaksanakan hukum internacional dalam suatu rejim yang taat hukum. Dalam The New Sovereignty, Chayes mengemukakan bahwa management process untuk mempercepat dan meningkatkan ketaatan negara-negara dalam suatu perjanjian internasional antara lain transparansi, pelaporan dan pengumpulan data, verifikasi dan pengawasan, penyelesaian sengketa, capacity-building, juga strategic review and assessment. Lembaga non pemerintah (NGO) dan antar pemerintah (G to G) dapat merevitalisasi instrumen pengaturan ketaatan perjanjian internasional.

Managerial approach dari Chayes mensyaratkan baik suatu kepemimpinan (manager) dan suatu proses (the discourse). Pengaturan (manage) rejim perjanjian internasional menurut Chayes memerlukan 7 tahapan yaitu : 1) pengembangan data tentang situasi dan pihak-pihak dalam suatu perjanjian internasional tertentu; 2) identifikasi kebiasaan tingkah laku yang berpotensi menimbulkan masalah ketidaktaatan; 3) mendiagnosa sumber-sumber penyebab tingkah laku yang berbeda, diluar norma seharusnya; 4) Menguji kemampuan pihak yang tidak taat terhadap perjanjian dalam memenuhi kewajibannya; 5) menawarkan bantuan teknis pihak yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya (undercapacity); 6) Ancaman atau penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa; 7) Jika perlu, menyimpulkan dan menyarankan modifikasi perjanjian untuk menampung aspirasi dan kepentingan pihak yang tidak taat pada perjanjian tersebut.

Menanggapi tulisan Chayes, Harorld Hongju Koh mengemukakan bahwa ada 4 kelemahan dari pendekatan managerial Chayes, yaitu sebagai berikut: 1) dengan menekankan pada kekuatan pendekatan managerial dan melemahkan pendekatan enforcement, berarti Harorld menempatkan keduanya pada posisi alternatif, padahal antara keduanya saling tergantung dan saling melengkapi satu sama lain; 2) Chayes mengemukakan bahwa pada akhirnya ketaatan bukanlah karena faktor takut akan snaksi tetapi lebih dikarenakan takut kehilangan reputasi di mata masyarakat internasional. Pada kenyataannya sebagaimana diakui bahwa tidak akan ada reputasi yang hilang bilamana negara tunduk pada interpretasi perjanjian yang sesungguhnya. Dengan demikian fungsi utama rejim perjanjian internasional adalah memberikan interpretasi yang penuh kepastian hukum; 3) Chayes mengabaikan masalah proses internalisasi perjanjian internasional. Ketaatan pada suatu perjanjian internasional tidak bisa dilepaskan dari dua level hubungan yaitu hubungan antara sesama peserta perjanjian dan hubungan ke dalam, tawar menawar dengan hukum nasional; 4) Chayes terlalu fokus pada masalah proses dan melupakan masalah substansi perjanjian yang terkadag menimbulkan masalah yang tidak sejajar (unequal) antara sesama pihak dalam perjanjian internasional tertentu.Untuk jaminan ketaatan, perjanjian internasional haruslah non diskriminasi.

Buku kedua berjudul Fairness in International Law and Institutions, ditulis oleh Thomas Franck. Dengan fairness approachnya, Franck mengemukakan bahwa ketaatan masyarakat internasional bukanlah karena ancaman sanksi tetapi lebih pada pertimbangan legitimasi atau proses yang benar serta distribusi keadilan. Tidak sebagaimana Chayes yang membatasi ketaatan pada hukum berbasis perjanjian internasional, Franck melihatnya secara keseluruhan, seluruh hukum internasional, karena menurut Franck hukum internasional telah memasuki post ontological age.

Sebagaimana kaum rsionalis Franck mengakui bahwa negara taat pada hukum internasional ketika keuntungan yang diperolehnya lebih besar daripada kerugian yang harus ditanggunya jika ia tidak taat. Namun demikian bila kaum rasionalis senantiasa mengkalkulasi untung rugi terkait ketaatan pada aturan hukum tertentu, Franck lebih melihat ketaatan itu secara mendalam pada akarnya, yaitu solidaritas, “communitarian peer pressure” bahwa masing-maisng negara merasa sebagai anggota kelompok masyarakat. Franck melihat hukum internasional lebih pada proses, bagaimana fairness ditetapkan melalui sebuah process of discourse, reasoning and negotiation” daripada melihat hukum internasional sebagai suatu sistem hukum.

Hal yang paling kontroversi dari analisis legitimasi Franck adalah bahwa menurut Franck keadilan (justice) diantara masyarakat bangsa-bangsa bukanlah tujuan utama. Legitimasi-lah yang menjadi tujuan utama hukum internasional. Legitimasi adalah tentang proses, didalamnya sudah terkait morality. Hal ini lebih penting daripada aturan moral yang dimanifestasikan dalam keadilan. Proses yang benar yang memiliki legitimasi pasti di dalamnya akan ada keadilan. Jadi proses pembuatan yang benar lebih penting daripada substansi finalnya. Secara ringkas Franck mengemukakan bahwa”.

…. “Legitimacy of a rule or principle does not necessarily ensure its justice, and conversely, the justice of a rule need not correlate with its degree of legitimacy.”…… “If a decision has been reached by a discursive synthesis of legitimacy and justice,” Franck argues, “it is more likely to be implemented and less likely to be disobeyed.”

Meskipun menggunakan metode yang berbeda pada akhirnya Franck maupun Chayes memiliki jawaban yang sama untuk menjawab mengapa negara mau taat pada hukum internasional. Mereka berkesimpulan bahwa ketaatan atas dasar sukarela jauh lebih baik daripada mekanisme penegakan hukum (law enforcement) yang menggunakan kekerasan atau paksaan. Apabila negara secara internal sudah menerima aturan hukum sebagai sesuatu yang adil (fair) mereka dengan sendirinya akan mematuhinya. Apabila negara harus selalu menjustifikasi apa yang telah mereka lakukan atas dasar perjanjian internasional pada negara mitranya dalam perjanjian itu, maka dengan sendirinya secara sukarela negara akan selalu mentaati perjanjian itu. Dengan demikian menurut Harold kunci untuk memperoleh ketaatan yang lebih baik adalah internalisasi ketaatan atau yang disebut Harold sebagai obedience.

Dengan teorinya Transnational Legal Process, Harold mengemukakan cara yang baik untuk menginternalisasi ketaatan adalah dengan menginternalisasi interpretasi baru dari norma internasional ke dalam sistem hukum internal negara yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk mengikat pihak lain mentaatai hukum internasional melalui nilai-nilai internal mereka. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa mengapa negara taat pada hukum internasional adalah karena berbagai faktor yang saling mempengaruhi yaitu alasan moral, alasan normatif, juga alasan hukum (legal). Kewajiban moral aktor transnasional untuk taat pada norma hukum internasional menjadi kewajiban hukum yang mengikat secara domestik atau internal ketika norma itu sudah diinterpretasikan dan diinternalisasikan ke dalam sistem hukum nasional. Ahli filsafat seperti Chayes dan Franck juga mengakui bahwa aktor transnasisonal akan lebih taat pada hukum internasional manakala mereka menerima legitimasi aturan tersebut melalui beberapa proses internal.

Saling melengkapi dengan apa yang telah dikemukakan Chayese dan Franck perlulah kiranya dipahami pengaruh dari aliran ketiga yaitu aliran sosiologis, karena sebenarnya teori Chayese dan Franck tidak bisa juga dilepaskan dari pengaruh aliran sosiologis. Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk social selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup sendiri. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk member kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI. Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya sanksi. Sebagai contoh dapat dikemukakan pula mengapa di perempatan jalan yang tidak diawasi polisi mayoritas pemakai jalan mau menundukkan diri pada aturan yang ada, berhenti ketika lampu menunjukkan warna merah? Jawabannya adalah karena mereka membutuhkan aturan lalu lintas tersebut demi keselamatan mereka sendiri.

Beberapa argumen lain yang dikemukakan oleh aliran sosiologis di atas antara lain menyangkut efektifitas suatu aturan hukum. Menurut aliran ini, sejauh mana efektifitas suatu instrumen hukum, termasuk di dalamnya hukum internasional maka harus dikatahui lebih dahulu sejauh mana instrumen hukum itu ditaati. Ada 3 macam ketaatan menurut H.C Kelman :
1) ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika subyek hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut akan sanksi. Kelemahan jenis ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan secara ketat dan terus-menerus; 
2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika subyek hokum menaatai suatu aturan karena kekhawatiran hubungan baiknya dengan pihak lain akan rusak atau terganggu jika ia tidak menaati aturan tersebut; 
3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika subyek hukum menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

Di dalam praktek subyek hukum menaati aturan bisa hanya karena salah satu alasan saja, akan tetapi bisa terjadi ketaataan itu meliputi ketiga macam yang tersebut di atas. Jadi subyek hukum menaati aturan tidak hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan baiknya dengan pihak lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa subyek hukum membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum tentu tidak cukup hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi untuk lebih menekankan pada kualitas keefektifan perlu dilihat alas an ketaatan tersebut. Ketaatan yang bersifat compliance kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang bersifat identification, terlebih lagi bila dibandingkan dengan yang bersifat internalization. Sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan Kelman, menurut Ahmad Ali hal yang paling mendasar menjadikan subyek hukum menaati atau tidak menaati hukum menurut Ahmad Ali adalah faktor kepentingan, hitungan untung dan rugi.

Seberapa besar keuntungan yang akan diperolehnya seandainaya subyek hukum taat hukum demikian pula sebaliknya. Mana yang lebih besar keuntungan yang akan diperolehnya taat atau tidak taat. Itu sangat mempengaruhi ketaatan subyek hukum pada suatu aturan hukum.

Adapun 3 macam ketataatan yang disebutkan oleh Kelman Menurut Ahmad Ali lebih tepat jika dikatakan sebagi jenis-jenis kepentingan. Apa motivasi negara-negara untuk taat pada hukum internasional sangat menarik untuk dikaji menurut Markus Burgstaller mengingat dalam hubungan internasional tidak ada agen sentral yang memiliki otoritas untuk memaksakan berlakunya hukum tersebut. Paradigma kontrol sosial menurut Markus menggunakan sistem penghargaan (reward) d penghukuman (sanction). Mereka yang pro sosial mendapatkan penghargaan yang anti sosial mendapatkan sanksi. Selanjutnya Markus mengatakan hasil penelitian dan analisisnya menunjukkan bahwa ada 3 alasan mengapa negara-negara atau subyek hukum internasional mau taat pada hukum internasional yaitu:
a) takut akan adanya sanksi; b) terkait kepentingannya sendiri; c) kesadaran bahwa hukum itu sah dan harus dilaksanakan. Alasan pertama yaitu sanksi, menurut Markus identik dengan adanya pemaksaan (coercion). Hal ini merujuk pada adanya hubungan yang tidak simetris antara subyek-subyek hukum dan hubungan yang tidak simetris ini untuk mengubah sikap tingkah laku dari pihak yang lemah. Pihak atau subyek yang taat pada aturan hukum karena takut adanya sanksi dari pihak yang lebih kuat. Ketaatan dengan motivasi ini membutuhkan pengawasan dan pemaksaan yang tinggi. Ketaatan akan rendah bilamana pihak yang lebih kuat tidak melihat. Thomas Hobbes dengan teori klasiknya memberikan argumen mengapa masyarakat harus tunduk pada sentralisasi kekuasaan berdasarkan kekerasan: 

...it is manifst that during the time that men live without a common power to keep them in awe, they are in that condition which is called war, and such is a war of every man against every man… 

Dengan sifat alamiah yang anarkhis menurut Hobbes masyarakat memerlukan penguasa kuat yang mampu mengatasi semuanya. Menggunakan kekerasan untuk memaksa masyarakat taat memang sederhana, tetapi ini tidaklah efisien dalam pandangan pusat kekuasaan. Kekerasan, penekanan, dan pemaksaan cenderung menimbulkan kebencian, kemarahan dan sikap pembangkangan. Penggunaan kekerasan dan pemaksaan bahkan dikhawatirkan akan mengurangi kemungkinan ketaatan yang tidak bermotifkan rasa takut akan kekerasan di masa yang akan datang. Secara umum dapat dikatakan penggunaan pemaksaan dan kekerasan akan menuntut mekanisme pengawasan berbiaya tinggi, tidak tepat diterapkan untuk pengaturan aktifitas yang membutuhkan kreatifitas pihak sub ordinat. Dibandingkan dengan sistem hukum nasional, sistem internasional menunjukkan pemaksaan dan kekerasan yang relatif lebih lemah. Tidaklah mudah untuk mengubah apa yang sudah berlaku saat ini dalam sistem hukum internasional. Motivasi pertama akan berhasil hanya jika ada struktur organisasi tersentralisir dan punya otoritas yang kuat dalam hukum internasional.

Motivasi kedua adanya keyakinan bahwa ketaatan akan menguntungkan kepentingan subyek itu sendiri. Pandangan ini bukanlah hal yang asing dalam ilmu-ilmu sosial. Kalkulasi untuk kepentingan sendiri merupakan pondasi tindakan mayoritas masyarakat. Aturan hukum yang dipatuhi oleh individu adalah hasil kalkulasi keuntungan ketaatan versus ketidaktaatan. Meskipun meyakini keuntungan akan diperoleh melalui kerjasama institusi tetapi kepentingan sendiri tetaplah juga diutamakan. Teori permainan (game theory) sangat cocok diterapkan dalam analisis hubungan internasional karena kurangnya lembaga yang berotoritas tinggi menempatkan aktor-aktor hubungan internasional ke dalam interaksi yang penuh strategi, dimana tindakan subyek yang lain dibatasi oleh kepentingan masingmasing subyek itu sendiri (self interest). Pada akhirnya dengan teori permainan ini dapat disimpulkan bahwa ketaatan negara terhadap hukum internasional terjadi bilamana keuntungan yang akan diperoleh lebih besar daripada biaya yang harus ditanggungnya.

Adapun motivasi ketiga, ketaatan dilandasi keyakinan, penerimaan akan legitimasi normatif dari suatu aturan hukum internasional. Negara mentaati aturan hukum internasional bukan karena takut akan sanksi ataupun hitungan untung rugi tetapi benar-benar atas dasar keyakinan (internal sense of obligation) negara itu sendiri bahwa aturan itu menimbulkan kewajiban yang harus ditaatinya.ketaatan menjadi kebiasaan hidup (habitual) dan ketidaktaatan menimbulkan biaya-biaya tersendiri (physic cost).Ketaatan atas dasar legitimasi ini diajukan oleh Thomas Franck dalam bukunya The Fairness of International Law and Institution. Franck mengemukakan bahwa ada 4 faktor yang menentukan apakah negara akan taat pada hukum internasional atau tidak. Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy, symbolic validation, coherence dan adherence. Franck menyatakan 4 faktor tersebut akan menekan negara untuk taat pada hukum internasional. Namun demikian, Franck dengan teori legitimasinya tidak mampu memberi jawaban memuaskan mengapa negara harus memperdulikan legitimasi. Sebagai contoh dikemukakan ketika negara melanggar aturan hukum internasional dengan alasan aturan tersebut kurang legitimasinya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa negara harus menghormati aturan yang dikatakan ada legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang lain?

Pada akhirnya menurut Markus antara ketiga motivasi bisa saling mempengaruhi, kompleks. Jadi pertanyaan mengapa negara taat pada hukum internasional bisa dilandasi oleh masing-masing motivasi di atas ataupun campuran antara motivasi yang satu dengan yang lain.

Demikianlah dari semua paparan di atas nampak bahwa apa yang dikemukakan aliran sosiologis sampai saat ini dirasakan relatif paling bisa memberikan jawaban yang memuaskan tentang dasar mengikatnya hukum internasional juga faktor penyebab ketaatan masyarakat internasional terhadap aturan hukum internasional. Harus diakui bahwa disamping faktor kebutuhan, memang ada juga faktor lain seperti kekhawatiran akan kehilangan keuntungan atau fasilitas-fasilitas dari Negara lain juga kekawatiran dikucilkan dari pergaulan internasional yang member kontribusi ketaatan masyarakat internasional pada hukum internasional. Namun demikian semuanya itu mengalahkan ketaatan karena faktor kebutuhan bersama akan adanya aturan hukum yang diharapkan bisa memberikan rasa aman, ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Dapat dikatakan bahwa ketaatan pada masyarakat internasional lebih pada ketaatan identification dan internalization dibandingkan ketaatan yang bersifat compliance mengingat sistem hukum internasional sangat kurang akan institusi-institusi formal yang bisa memaksakan berlakunya suatu aturan hukum. Ketaatan jenis ini jutru lebih baik adanya daripada ketaatan compliance karena tumbuh dari dalam diri masyarakat internasional itu sendiri. Dimana mereka menyadari kebutuhan bersama akan aturan hukum sekaligus mentaatinya untuk kepentingan bersama pula. Ada aturan hukum internasional saja ketidak tertiban masih terjadi disana-sini bisa dibayangkan bilamana tidak ada aturan hukum internasional sama sekali dalam hubungan internasional, tentu akan terjadi chaos dan anarkhi di mana-mana.

Di dalam hukum internasional menurut Martin Dixon, yang nampak terlihat sebagai ketidaktaatan sebenarnya seringkali bukan suatu kesengajaan untuk melanggar namun akibat tidak jelasnya aturan yang ada sehingga menimbulkan multi interpretasi. Terkait kelemahan hukum internasional akan dibahas lebih lanjut dalam sub tema dibawah ini.

Kelemahan Hukum Internasional
Sebagaimana dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum yang sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya suatu aturan hukum karena faktor-faktor berikut:
a) kebutuhan dan kepentingan bersama akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan hubungan internasional;
b) biaya-biaya politik dan ekonomi yang harus dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya kepercayaan dari pihak asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari pihak asing, dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya dari suatu organisasi internasional; c) sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan; 
d) faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain (pschological force) jika melanggar HI.

Meskipun HI bisa bekerja namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI sebagai hukum yang lemah. Beberapa faktor dimaksud adalah : 1) kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang senantiasa mengawasi dan menindak pelanggar HI; b. Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional namun mereka tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan nasional; c. Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction). 2) Tidak jelasnya aturan-aturan HI yang ada (unclear) sehingga mendukung terjadinya berbagai penafsiran di lapangan dan mengakibatkan kurangnya kepastian hukum. Mengapa banyak aturan hukum internasional tidak jelas, multi tafsir dikarenakan aturan hukum itu merupakan kompromi hasil tawar menawar politik. Aturan hukum yang berupaya merangkul semua kepentingan anggotanya menjadikan banyak pasal-pasal yang tidak jelas, mengambang, dan multi tafsir.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson