Paradigma ilmu pengetahuan Thomas Kuhn
Thomas Kuhn memulai analisisnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Karl Popper. Ia memfokuskan diri pada perkembangan pembentukan sebuah teori. Lebih jauh dari itu, Kuhn ingin melihatnya dalam konteks historis terbentuknya sebuah ilmu pengetahuan. Ia sampai pada penemuan, bahwa sebuah teori baru tidak bisa terbentuk hanya dengan mengajukan bukti-bukti yang bertentangan dengan teori-teori yang lama.
Secara singkat inti pemikiran Kuhn mengenai paradigma adalah, bahwa dalam sebuah komunitas selalu terdapat sebuah teori yang dianggap mapan, dan semua orang di dalamnya menggunakan teori tersebut. Dengan kata lain paradigma adalah sebuah pedoman atau framework sebuah komunitas yang menjadi landasan yang mendasari setiap gerak dan pola pikir komunitas teresbut. Teori yang mapan dan mempunyai dominasi kuat dalam sebuah komunitas itulah yang Kuhn sebut sebagai paradigma.
Masa berlaku sebuah paradigma tidak bisa diperkirakan. Paradigma yang lama akan hancur dan tergeser dengan paradigma baru, ketika mulai muncul masalah internal di dalamnya. Artinya muncul sebuah masalah dari dalam yang tidak bisa lagi dijawab oleh paradigma yang lama. Perubahan atau pergeseran paradigma tersebut tidak bisa dibayangkan sebagai sesuatu yang teratur dan stabil, melainkan sifatnya sangat acak dan revolusioner.
Dengan demikian Kuhn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bentuk, yaitu ilmu pengetahuan dalam situasi normal, dan dalam situasi krisis. Pertama, ilmu pengetahuan dalam situasi normal, yakni situasi dimana dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat sebuah paradigma yang mendominasi secara utuh dan kuat. Dalam situasi normal ini bisa dikatakan, bahwa paradigma yang mendominasi tersebut masih mampu menjawab semua masalah yang timbul dalam sebuah komunitas yang memegang paradigma tersebut. Paradigma ini bertahan sampai terjadi sebuah masa, dimana terjadi masalah internal didalamnya, dan paradigma tersebut tidak mampu lagi menjawabnya. Ini berlangsung sampai adanya sebuah paradigma baru yang mampu menjawab masalah tersebut. Situasi pergantian paradigma itulah yang disebut sebagai situasi krisis dalam ilmu pengetahuan.
Kuhn menganggap bahwa usaha membandingkan dua paradigma yang berbeda,demi mencari penilaian mana diantaranya yang valid, tidak akan pernah bisa. Hal tersebut dikarenakan dalam melakukan penelitian, seseorang pasti telah mempunyai paradigma juga di dalam pikiran mereka. Bagi Kuhn yang diperlukan adalah sebuah lompatan penuh keberanian dalam mengganti paradigmanya. Dengan demikian hal tersebut semakin memperkuat, bahwa paradigma, sadar atau tidak, selalu mempengaruhi seluruh cara berpikir manusia dalam berbagai aspek hidupnya.
Fenomena perkembangan filsafat ilmu pengetahuan dan politik Indonesia berdasarkan Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Filsafat Politik Machiavelli sangat menarik untuk tetap menjadi bahan perbincangan dan wacana diskusi yang tidak akan pernah ada habisnya. Pertama coba kita melihatnya mulai dari ilmu pengetahuan (sains). Di Indonesia gejolak perkembangan ilmu pengetahuan seolah-olah belum begitu terdengar gaungnya. Hal tersebut bisa langsung kita amati dalam bidang teknologi. Sungguh menyedihkan bahwa Indonesia hanya menjadi pemakai semata. Manusia-manusia Indonesia masih banyak mengimpor hasil-hasil teknologi dari negara lain. Teknologi masih hanya sekedar menjadi sebuah permainan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Tidak ada sebuah nilai kecintaan dan kreativitas akan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penelitian-penelitian pun masih banyak yang sekedar pengajuan proposal secara besar-besaran demi mendapat tunjangan biaya darinya. Bukan menjadi sebuah rahasia lagi, jika kita menengok lingkungan akademis, seperti di universitas-universitas. Banyak dosen berebut melakukan penelitian semata-mata demi mendapatkan uang penunjang. Kemudian bisa dibayangkan bagaimana hasil penelitiannya, yang ada hanya sebuah penelitian dangkal dan dengan metode yang acak-acakan dan sulit dipercaya validitasnya. Dengan demikian apa yang sesungguhnya masih menjadi kerangka berpikir orang-orang yang menyebut dirinya sebagai ilmuan di Indonesia di balik fenomena-fenomena yang nampak tersebut.
Kemudian mari kiat beralih melihat fenomena politik. Politik di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup kelam, jika mengingat kembali ke masa orde baru. Pemerintah memerintah rakyat dengan sistem yang totaliter dan bergaya diktator. Kebebasan berpendapat dibatasi. Ini tampak dengan adanya pembredelan-pembredelan banyak media masa. Berbagai cara dilegalkan oleh penguasa dengan mengatasnamakan terciptanya kestabilan sosial dalam masyarakat. Ini semua adalah pola berpikir yang sangat pragmatis. Namun pada akhirnya kita bisa bertanya, sesungguhnya kestabilan nasional yang ada memiliki dasar yang kokoh? Menggelikan kalau jawabannya adalah ya. Bagaimana mungkin moral dibangun, jika tanpa kebebasan?
Jaman memang sudah berganti. Saat ini kita hidup pada masa reformasi yang penuh dengan semangat demokrasi. Namun yang tetap menjadi pertanyaan adalah, apakah paradigma di dalamnya pun telah berubah mengikuti perubahan nama yang diberikan? Apakah politik di Indonesia benar-benar telah lepas dari paradigma pragmatisme dangkal para pelakunya.
Fenomena perbuatan kekuasaan demi kepentingan kelompok masih sangat kuat menghiasi panggung polotik di Indonesia. Hal tersebut dengan jelas bisa kita lihat dalam perang kepentingan antar partai politik, baik ketika pemilu maupun dalam praktek dikursi pemerintahan. Segala cara dilakukan demi mendapat tempat di kursi pemerintahan, mulai dari politik uang, sampai suap di sana-sini. Fenomena lain lagi, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah meteri, terjadi proses kompromi dengan presiden. Kompromi ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat kekuasaan. Secara singkat bisa dikatakan, bahwa tesis utama ajarannya adalah politik tanpa moralitas.
Niccolo Machiavelli lahir di Florence, Italia pada 3 Mei 1469. Ia lahir dari keluarga bangsawan Florentine, ayahnya seorang pengacara kaya bernama Bernardo Niccolo Machiavelli, dan ibunya bernama Stefano Nelli. Ia hidup dan berkembang di tengah keadaan yang serba berlimpah, mengingat pada waktu itu, keluarganya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pemerintah. Disamping itu Florence, kota tempat tinggalnya, merupakan sebuah tempat persilangan dua arus daerah dengan budaya yang berlawanan. Pertama kota Savanarola yang terkenal dengan kekuatan dan kekerasannya, kemudian kota penuh cinta, Lorenzo. Karier Machiavelli sebagai politikus dan diplomat berakhir, ketika ia deberhentikan dari jabatannya oleh penguasa Italia. Dua buku karyanya yang paling terkenal adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang Pangeran). Ia menulis kedua buku tersebut dengan harapan bisa memperbaiki keadaan politik Italia Utara ketika itu. Namun yang mengagumkan kedua buku tersebut malah menjadi buku umum berpolitik pada masa itu juga. Selain menulis karya-karya dibidang politik, Machiavelli juga menulis untuk bidang-bidang lainnya, seperti bidang Sejarah, yaitu History of Florence, Discourse on the First Decade of Titus Livius, a Life of Castruccio Castrancani, dan History of the Affair of Lucca, serta masih banyak lagi lainnya.
Meskipun demikian sejarah mencatat, bahwa buku The Prince-lah yang mampu dikenal oleh banyak orang. Secara singkat dalam buku tersebutlah terungkap secara jelas ajaran Politik (pragmatisme) Machiavelli. Lebih jauh ia juga membenarkan segala cara dalam rangka mencapai tujuan lestarinya sebuah kekuasaan. Selengkapnya saya akan membahasnya pada sub-sub selanjutnya bagian Filsafat Politik Machiavelli.
Agama dan Politik Machiavelli
Seperti sudah kita ketahui, Machiavelli hidup pada masa awal abad pencerahan di Italia, atau lebih sering dikenal sebagai masa modernitas. Dalam masa itu terdapat sebuah semangat besar untuk melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan agama yang dirasakan sangat membelenggu kebebasan berfikir. Orang mulai menyadari kembali jati dirinya sebagai manusia yang mampu berfikir sendiri, tanpa didasari ketakutan akan aturan dalam tradisi dan agama.
Gejolak perubahan tersebut tidak lepas dari pengalaman akan jaman abad pertengahan yang lebih bersifat Teosentris, yaitu bahwa segala sesuatu selalu dilihat dalam kaca mata Tuhan. Pada masa itu filsafat harus selalu menjadi hamba atas teologi. Lebih lanjut dalam bidang pemerintahan, banyak Kaisar yang diangkat oleh Paus. Banyak terjadi praktek pencampuran antara agama dan pemerintahan. Paus sebagai pemimpin gereja pun seperti menjadi penjilat para Raja dan Kaisar untuk memperoleh wilayah dan keamanan tertentu. Akhirnya muncul banyak sikap yang bersikap kritis terhadap hubungan antara agama dan negara. Perhatian utama para pemikir politik ini adalah pada norma dan tujuan (normatif), bukan apa yang terjadi (deskriptif).
Bagi Machiavelli agama tidak boleh mendominasi dalam negara atau pemerintahan. Yang harus terjadi justru sebaliknya, bahwa negaralah yang harus mendominasi agama. Lebih lanjut bahwa agama harusnya hanyalah sebagai pemersatu negara. Jika agama ikut campur dalam kegiatan pemerintahan negara, maka agama hanya akan membuat terjadinya perpecahan. Turut campurnya agama dengan berbagai kepentingan yang ada dibaliknya membuat situasi negara bergejolak, dan tidak sesuai dengan tujuan negara. Agama memiliki makna bila bergua bagi kepentingan politik kekuasaan, yakni untuk menjamin stabilitas sosial.
Moralitas Machiavelli
“Dan dalam tindakan manusia, khusunya raja-raja yang tidak terbatas, tujuan menghalalkan cara”(Machiavelli, The Prince, Bab. 18). Seperti sudah sedikit disinggung pada pembahasan sebelumnya, yaitu bahwa Machiavelli banyak mendapat anggapan sebagai filsuf yang tidak bermoral. Anggapan tersebut muncul dari ajaran Machiavelli, ketika ia memaparkan pandangan-pandangan politiknya dalam bukunya yang berjudul The Prince, yang memberikan metode untuk mendapatkan dan mengamankan kekuasaan. Pada intinya Machiavelli ingin menyajikan sebuah pandangan tentang sebuah visi kekuasaan politik yang debersihkan dari pengaruh moral asing, dan menyadari dasar-dasar politik yang efektif dalam menjalankan kekuasaan. Dalam bukunya The Prine, Machiavelli memusatkan perhatiannya pada teknik-teknik dalam rangka mensukseskan tercapainya tujuan dalam politik. Machiavelli menegaskan bahwa demi tercapainyatujuan politik, moralitas tidak perlu menjadi sebuah pertimbangan yang harus ditaati. Bagi Machiavelli demi tujuan yang baik, semua cara yang diperlukan bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih dalam bahwa seorang penguasa tidak wajib membahas, apakah cara yang dilakukannya dalam pemerintahannya bermoral atau tidak. Intinya selama sejalan dengan tujuan, semua boleh dilakukan, demi tercapainya tujuan tersebut.
Dengan demikian Machiavelli menolak pandangan klasik dan Kristiani yang mengatakan, bahwa tujuan tidak membenarkan cara. Karena memang bagi Machiavelli, moralitas hanyalah alat untuk mencapai sebuah tujuan. Logikanya jika moralitas hanyalah sebuah alat, maka kalau dianggap mengganggu dan mencegah sampai pada tujuan, orang diperkenankan untuk membuangnya. Sehingga dapat diketahui bahwa bagi Machiavelli, moralitas tidak mempunyai pengaruh apapun dalam pencapaian tujuan politik. Peran penguasa yang penuh dengan dominasi dan “tangan besi”nya diperlukan dalam mengatur pemerintahan. Dari situlah bisa disimpulkan, bahwa politik Machiavelli adalah politik pragmatisme. Pragmatisme merupakan sebuah pandangan yang lebih menekankan pada hasil semata. Orientasi utamanya dalam setiap kegiatan adalah hasil.
Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar nilai-nilai yang diperjuangkan ilmu pengetahuan. Dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji lebih dalam tentang ilmu pengetahuan dan masyarakat yang ditinjau dari: pengertian ilmu pengetahuan, pengertian masyarakat, hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat serta ilmu pengetahuan dengan ilmu politik dan masalah bebas nilai.