Akibat Hukum Penggunaan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Suatu Analisis Normatif
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan tehnologi industri, komunikasi dan informasi, telah menghasilkan suatu paradigma baru di mana jarak antara Negara yang satu dengan yang lain menjadi semakin dekat. Batas-batas negara menjadi tidak relevan bagi perekonomian dunia dan kehidupan umat manusia menjadi tanpa batas (borderless world) dalam suatu kegiatan ekonomi yang saling terkait (interlinked economy), sehingga dunia yang dihuni manusia telah berubah menjadi “global village” atau perkampungan global dengan satu sistem perekonomian (single economy).
Konsekwensi dunia bisnis sebagai suatu perkampungan global dalam kesatuan ekonomi dunia tanpa batas, dengan sendirinya membawa bangsa Indonesia ke kancah bisnis global (business in global village); perdagangan bebas (free trade); dan persaingan bebas (free competition), sehingga corak dan konsep “pasar bebas” dan “persaingan bebas”, dalam segala bentuknya, harus diterima sebagai kenyataan. Dalam kondisi ini, financial dan capital bergerak terus memasuki Indonesia sesuai dengan “global basis”. Persaingan produksi tidak terelakkan geraknya dari satu negara ke negara lain, meskipun jaraknya jauh.
Dengan tujuan utama untuk mewujudkan orde ekonomi yang mampu mendukung dan memperlancar perkembangan perdagangan dan persaingan internasional yang bebas, bangsa-bangsa di dunia telah melahirkan berbagai bentuk persetujuan internasional. Perjanjian multilateral tersebut ada yang berbentuk integrasi regional seperti : NAFTA (North America Free Trade Association); AFTA (Asean Free Trade Area); EEC (European economic community) yang sekarang telah menjadi Pasar tunggal Eropa (European single market) yang lebih dikenal dengan sebutan Kawasan Eropa; APEC (Asia pasific economics coorporation), dan yang bersifat nonregional. Kelompok-kelompok atau organisasi regional yang bergerak dalam bidang ekonomi ini, diakui keberadaannya dalam organisasi yang berskala international seperti GATT (General agreement on tariffs and trade) dan WTO (World trade organization).
GATT yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang nomor 7 tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia, kemudian berubah menjadi WTO sejak putaran Uruguay di Jenewa. Dalam perundingan Uruguay round di bidang penyelesaian sengketa atau dispute settlement, telah disepakati suatu sistem penyelesaian sengketa dengan memasukkan prinsip-prinsip yang akan mempercepat jangka waktu penyelesaian; menyederhanakan prosedur tata laksana sehingga tidak menimbulkan kemacetan politis.
Dengan adanya persetujuan multilateral dan kerjasama-kerjasama internasional tersebut diatas seiring dengan berkembangnya era globalisasi menjadikan intensitas hubungan perdagangan dan investasi di Indonesia, baik antara masyarakat bisnis domestik maupun dengan pihak asing, semakin meningkat. Setiap tahun diperkirakan ratusan bahkan ribuan aktifitas transaksi bisnis yang dilakukan, baik transaksi domestik maupun transaksi-transaksi antara mitra asing. Meningkatnya intensitas perdagangan dan investasi tersebut tidak hanya menimbulkan dinamika ekonomi yang semakin tinggi dan semarak, tetapi juga akan meningkatkan intensitas konflik-konflik di antara mereka.
Dalam penyelesaian konflik, biasanya para pelaku bisnis antar negara segan untuk membawa perkaranya ke pengadilan, karena di samping para hakimnya sendiri tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang liku-liku perusahaan dan perdagangan internasional, juga penyelesaiannya sering memakan waktu yang cukup lama, padahal yang dicari dan dibutuhkan para pelaku bisnis adalah penyelesaian sengketa yang cepat dan tepat, sehingga diperlukan lembaga lain untuk penyelesaiaan sengketa tersebut, seperti lembaga konsiliasi dan perwasitan atau arbitase, yang dapat diadakan secara ad hoc (yaitu apabila terjadi sengketa maka diangkat sejumlah arbiter oleh para pihak sendiri), maupun secara institusional.
Di Indonesia, didasarkan pada fakta-fakta yang ada di lapangan, diperkirakan sistem peradilan yang ada dan kondisi yang ada seperti dewasa ini, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan hingga kini masih bersifat sebagai aturan normatif semata, bahkan dalam prakteknya terkesan hanya sebagai slogan kosong belaka. Kenyataan memperlihatkan peradilan kita masih bertele-tele, lambat dan memerlukan biaya besar. sehingga masyarakat Indonesia pada umumnya takut berurusan dengan dunia peradilan.
Keadaan ini semakin jelas terlihat sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998, di mana lembaga peradilan telah mendapat sorotan tajam dari masyarakat dan berbagai media massa, atas kinerja peradilan yang dianggap tidak mampu menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat. Kenyataan menunjukkan masih banyak perkara yang bertumpuk dan belum terselesaikan di Mahkamah Agung, yang jumlahnya cukup banyak setiap tahunnya mencapai sekitar 11.500 perkara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi atau guna memperkecil angka tunggakan perkara yang terjadi dari tahun ke tahun dan merupakan penyakit akut dunia peradilan tersebut, antara lain mulai dari penambahan jumlah Hakim Agung dari kalangan akademisi dan praktisi hukum lainnya selain hakim karir, pembenahan secara intern organisasi (self organisation regulation) dan pemberdayaan fungsi pengawasan, hingga pemberlakuan satu atap semua urusan finansil, organisatoris dan administratip dibawah Mahkamah Agung sendiri, namun belum memperlihatkan hasil yang cukup signifikan.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan kenyataan sulitnya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sekalipun, dengan alasan non eksekutabel atau tidak dapat dilaksanakan. Gambaran situasi ini, semakin memperkuat pandangan penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan kurang efektif karena memerlukan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama, sehingga kalangan pelaku bisnis enggan bahkan takut membawa permasalahannya ke pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang lambat dan bertele-tele akan membuat kegiatan perekonomian tidak efisien, biaya produksi meningkat, resiko usaha menjadi tinggi karena tidak adanya kepastian hukum, kredibilitas para pihak rusak, kehidupan para pekerja terancam sebab kemungkinan perusahaan mengalami kehancuran karena terus menerus dilanda sengketa yang berkepanjangan dan pada gilirannya akan mengakibatkan dunia usaha mengalami kehancuran. Oleh karena itu diperlukan cara dan sistem penyelesaian sengketa yang cepat, efisien dan efektif, yang dapat menyelesaikan sengketa secepat dan sedini mungkin serta dapat menyesuaikan dengan laju kecepatan ekonomi dan perdagangan di era globalisasi ini.
Akhir-akhir ini dalam pergaulan hidup masyarakat, khususnya dunia bisnis, telah berkembang penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dikenal dengan sebutan Alternatif Penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Istilah penyelesaian sengketa di luar pengadilan di sini hanya untuk menggambarkan cara-cara penyelesaian selain dari litigasi. APS atau ADR ini telah banyak dikenal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropah, Australia, Canada, Inggris, Jepang, Korea, Hongkong.
Di Amerika Serikat, upaya pengembangan dan penggunaan metode penyelesaian sengketa melalui APS, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase, disambut dengan baik oleh masyarakat, yang sudah jemu dengan cara penyelesaian sengketa (nasional maupun internasional) melalui pengadilan yang biayanya mahal dan bertele-tele dengan cara-cara yang sangat merugikan. Bagi Negara Philippine secara tradisional penggunaan APS telah dikenal melalui penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di tingkat pedesaan (barangay atau barrio).
Sedang bagi masyarakat negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Singapura, adalah merupakan pantangan untuk menyelesaikan suatu sengketa langsung ke pengadilan. Mereka selalu lebih dahulu mengusahakan penyelesaian sengketa secara musyawarah atau damai. Di Australia perkembangan dan penataan lembaga APS sudah pada tahap konsolidasi, di mana APS diorganisir dan dikelola dalam suatu wadah yang dinamakan dengan Centre for Dispute Resolution yang didirikan pada tahun 1988.
Di Indonesia APS sebenarnya bukanlah hal yang baru karena di Indonesia sudah lama dikenal penyelesaian sengketa melalui pola-pola penyelesaian APS seperti: Pasal 615-651 RV (Reglement op de Rechtsvordering) yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui Arbitrase; Pasal 1851-1864 KUH Perdata dan pasal 130 HIR/154 RBg, yang mengatur tentang perdamaian (dading); penyelesaian sengketa pajak melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP); penyelesaian sengketa lingkungan melalui tiga pihak (tripartite); penyelesaian sengketa melalui BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian); dan penyelesaian sengketa perburuhan melalui Panitia Penyelesian Perselisihan Perburuhan tingkat Daerah dan Pusat (P4D dan P4P) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 dan Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, serta Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup; Ombudsman; penyelesaian sengketa dalam rangka terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat melaui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha melalui Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Walau tergolong masih baru, secara formal APS di Indonesia sudah mendapat tempat, dengan telah diaturnya APS dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang secara tegas dalam pasal 1- nya telah menyebutkan mediasi sebagai cara penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial. Namun secara materiil, sesungguhnya bagi bangsa Indonesia sudah sejak lama menjalankan pola-pola penyelesaian sengketa secara tradisional yang dilakukan melalui peradilan adat atau peradilan desa (dorpjustitie).
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi sudah sangat dikenal dalam masyarakat hukum adat kita karena pada dasarnya setiap sengketa yang timbul diselesaikan melalui jalan musyawarah. Secara nasional azas musyawarah untuk mufakat ini dikenal melalui sila keempat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang sering menimbulkan pertanyaan dewasa ini, mengapa pola-pola penyelesaian sengketa yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita yang mengutamakan musyawarah, tidak dapat berkembang atau tidak berkembang sebagaimana di Amerika Serikat, Eropah dan Australia yang notabene masyarakatnya sangat individualistis dan litigious.
Melihat kebuntuan dunia peradilan formal kita dengan menumpuknya perkara yang belum terselesaikan serta memperhatikan perkembangan perilaku pelaku bisnis internasional dan di Indonesia khususnya, yang lebih menginginkan efisiensi dan efektivitas, maka perlu kiranya kita mempertimbangkan untuk lebih memberdayakan penggunaan penyelesaian sengketa melalui APS di Indonesia, sehubungan dengan semakin besarnya volume transaksi bisnis, baik domestik maupun regional dan internasional, dalam rangka “pasar bebas” dan “persaingan bebas” dewasa ini, yang diperkirakan juga akan menimbulkan berbagai sengketa-sengketa bisnis baru. Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, sangat mendukung gagasan ini sebagaimana terlihat dari sambutan tertulisnya yang mengemukakan “Bagi dunia peradilan, kehadiran Arbitrase, Mediasi, atau cara-cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan juga penting, berkembangnya praktek Arbitrase, mediasi dan lain-lain cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan – tentu diluar “debt collectors” – akan mengurangi jumlah perkara di pengadilan. Dengan perkara yang lebih sedikit, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan setiap perkara secara lebih mendalam, sehingga akan didapati putusan hukum yang lebih bermutu dan memuaskan pihak-pihak.
Walau dari beberapa bentuk APS yang ada, Arbitrase dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan, namun dalam praktek hukum di Indonesia kasus yang diselesaikan melalui prosedur arbitrase Indonesia (BANI) masih kurang. Hal ini disebabkan suatu putusan arbitrase, yang sudah bersifat final dan mengikat, masih memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan untuk pelaksanaannya, bahkan tak jarang suatu putusan arbitrase internasional yang bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) diabaikan oleh pihak yang kalah dan diajukan ke pengadilan. Pelaksanaan putusan arbitrase ini akan menjadi lebih sulit lagi apabila menyangkut pelaksanaan putusan badan arbitrase asing karena pengadilan masih sering mengabaikan, bahkan membatalkan putusan arbitrase asing.
Bentuk APS lain yang sudah dikenal di negara maju adalah Mediasi. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi ini adalah menggunakan pihak ketiga untuk membantu dua pihak yang bersengketa di dalam menyelesaikan sengketanya. Mediasi, walaupun belum sepopuler Arbitrase, tetapi akhir-akhir ini, penyelesaian sengketa melalui mediasi di Indonesia telah menjadi pembicaraan umum terutama di kalangan ilmu hukum dan praktisi hukum.
Di Indonesia, belakangan ini, semakin banyak perselisihan atau sengketa yang diselesaikan di luar proses pengadilan, terutama pasca terjadinya gelombang reformasi tahun 1998, yaitu dengan dibentuknya Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ) atau The Jakarta Initiative Task Force (JITF) dalam rangka membantu percepatan usaha restrukturisasi hutang swasta Indonesia kepada pihak luar negeri, yang hingga tanggal 24 Juli 2002 dari sejumlah 128 kasus yang ditangani STPJ, telah tercatat berhasil diselesaikan dengan mekanisme mediasi sebanyak 72 kasus. Peran Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ atau JITF) ini antara lain adalah sebagai mediator antara para debitur dan para kreditur dalam negosiasi restrukturisasi hutang swasta; sebagai fasilitator dalam rangka pemberian kemudahan di bidang tertentu (regulatory insentif) dalam rangka restrukturisasi hutang perusahaan.
Demikian juga dalam upaya Pemerintah RI untuk mengatasi krisis di sektor perbankan, khususnya dengan factor-faktor yang berkaitan dengan kewajiban pemegang saham yaitu Penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) khususnya kepada group afiliasi bank, biaya-biaya lain yang harus ditanggung oleh bank misalnya pesangon karyawan, serta dalam pelaksanaan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang tertuang dalam Master Settlement and Acquition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), Akta Pengakuan Hutang (APU) Bank Beku Usaha (BBKU), pilihan penyelesaian masalah di luar pengadilan (out of court settlement) dipilih sebagai opsi pemerintah untuk memaksimalkan pengembalian uang negara, dengan pertimbangan antara lain : Pandangan Kejaksaan Agung melalui Jamdatun bahwa pendekatan hukum (terutama pidana) diperkirakan kurang efektif dari segi komersial; Rekomendasi IMF dan World Bank agar pemerintah mengutamakan negosiasi; pengupayaan konsentrasi pemerintah untuk terlebih dahulu mengamankan aset-aset dan menciptakan iklim kooperatif, termasuk dalam hal insentif yang berbentuk release and discharge.
Upaya yang sama juga terlihat dari semakin intensnya Mahkamah Agung RI melakukan berbagai seminar-seminar, lokakarya, rapat-rapat kerja nasional para hakim seluruh Indonesia dan pelatihan-pelatihan tentang penerapan lembaga mediasi di pengadilan, bahkan Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan beberapa aturan pelaksanaan dan pemberdayaan lembaga perdamaian sebagai alternatip penyelesaian sengketa pada pengadilan di Indonesia antara lain Surat edaran Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai dan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Sementara dalam pengalaman sehari-hari yang penulis temukan sudah ada beberapa pengacara yang dengan bangga mencantumkan dalam kartu namanya sebagai mediator, di samping sebagai penasehat hukum atau advokat.
Namun dalam praktek penggunaan APS termasuk mediasi tidak diikuti dengan pengaturan jelas perihal pelaksanaannya. Seringkali penggunaan lembaga APS menjadi sia-sia karena salah satu pihak tidak mau melaksanakannya secara sukarela, sehingga banyak pihak mempertanyakan perihal kepastian hukum penggunaan lembaga mediasi; masalah atau akibat hukum yang mungkin timbul sebagai akibat dari penggunaan lembaga APS termasuk mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa.