Pengodean (Coding)
Manfaat coding adalah untuk merinci, menyusun konsep (conceptualized) dan membahas kembali semuanya itu dengan cara baru. Ini merupakan cara yang terkendali dimana teori dibangun dari data. Konseptualisasi atau membangun konsep atau teori berdasarkan data ini merupakan hal yang sangat khusus dari proses coding dalam mengembangkan suatu grounded theory. Hal ini juga membuat berbeda dari analisis-analisis lain seperti yang telah dikemukakan dalam bab pendahuluan. Perbedaan tersebut merupakan upaya memperluas cara yang memungkinkan peneliti mendapatkan beberapa tema atau mengembangkan deskripsi kerangka teoritis yang terkait dengan konsep-konsep.
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 57) prosedur analisis dalam grounded theory dirancang sebagai berikut:
a) Membangun teori lebih dari sekedar menguji pada teori (“Build rather than only tes theory”).
b) Memberikan proses penelitian suatu kepastian/keketatan yang diperlukan untuk membuat teori menjadi ilmu pengetahuan “yang baik” (“Give the research process the rigor necessary to make the theory “good” science”).
c) Membantu penganalisaan yang bebas dari bias-bias dan asumsi-asumsi yang terbawa, dan yang dapat berkembang selama proses penelitian berlangsung (“Help the analysist to break through the biases and assumptions brought to, and that can develop during the research process”).
d) Memberikan dasar atau alas (grounding), membangun keterpaduan, dan mengembangkan kepekaan dan integrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan teori yang kaya, tersusun secara ketat (tightly woven), eksploratoris yang lebih mendekati kenyataan/realitas yang ada (“Provide the grounding, build the density, and develop the sensitivity and integration needed to generate a rich, tightly woven, explanatory theory that closely approximates the reality it represents”).
Menurut Strauss dan Corbin terdapat 3 (tiga) macam/jenis proses analisis data (coding) yaitu Open Coding, Axial Coding, dan Selective Coding. Agar teori yang dibangun berdasarkan data itu tidak salah, ketiga macam coding tersebut harus dilakukan secara simultan dalam penelitian.
1) Open Coding: adalah proses merinci, menguji, membandingkan, konseptualisasi, dan melakukan kategorisasi data (The process of breaking down, examining, comparing, conceptualizing, and categorizing data).
2) Axial Coding: adalah suatu perangkat prosedur dimana data dikumpulkan kembali bersama dengan cara baru setelah open coding, dengan membuat kaitan antara kategori-kategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan landasan berpikir (paradigma) coding yang meliputi kondisi-kondisi, konteks-konteks, aksi strategi-strategi interaksi dan konsekuensi-konsekuensi. (Axial Coding: A set of procedures where by data are put back together in new ways after open coding, by making connections between categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving conditions, context, action/interactional strategies and consequenses-consequenses).
3) Selective Coding: adalah proses seleksi kategori inti, menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut, dan dimasukkan ke dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan pengembangan. (Selective Coding: The process of selecting the core category, systematically relating it to other categories, validating those relationships, and filling in categories that need futher refinement and development).
Kata-kata Lebih Padat Makna Dibandingkan Angka-angka
Miles & Huberman (1992: 86 – 87) menyatakan pendapat yang intinya dapat dikemukakan sebagai berikut: Dalam penelitian kualitatif data dan analisis data berupa kata-kata, bukan angka-angka. Kata-kata lebih padat makna yang terkandung, tetapi sering memiliki makna ganda. Hal ini menyebabkan sulit untuk bekerja dengan kata-kata. Seperti kata “board” (bahasa Inggris) dapat diartikan dewan yaitu badan yang dapat membuat keputusan, tetapi dapat juga berarti selembar papan kayu. Sebaliknya angka-angka lebih cepat diproses untuk mendapatkan maknanya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan peneliti lebih senang bekerja dengan angka-angka, atau kata-kata yang dikumpulkan, segera diubah dalam bentuk angka-angka. Apabila hanya memfokuskan semata-mata pada angka-angka, perhatian akan bergeser dari substansi kepada hitungan, dengan demikian akan kehilangan keseluruhan makna kualitatifnya. Menurut Miles & Huberman selanjutnya apabila angka-angka yang berasal dari kata-kata menjadi tidak bermakna, biasanya tidak ada cara yang sangat memuaskan untuk membuat lebih dimengerti kecuali kembali pada angka-angka. Menurut Miles & Huberman pemecahan atas masalah ini adalah tetap menggunakan angka-angka dan kata-kata secara bersama dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif.
Perlu diperhatikan bahwa angka-angka yang dimaksudkan oleh Miles & Huberman tersebut bukan berarti angka-angka hasil analisis statistik atau skor dari data yang dikumpulkan agar dapat dilakukan analisis statistik, melainkan angka-angka dalam rangka melakukan coding.
Sedang menurut penulis kata-kata dalam rangka membuat coding (berarti melakukan analisis data) harus dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna tertentu. Suatu konsep mengakomodasikan beberapa kata, misalnya konsep manajemen mengakomodasikan kata merencanakan, mengatur, melaksanakan, mengawasi, memberi perintah dan lain-lain. Konsep ini selanjutnya diperlukan guna menyusun kategori-kategori, yang selanjutnya dari kategori-kategori tersebut dapat disusun atau dirumuskan ciri-ciri. Dalam konteks penelitian grounded, dari ciri-ciri kemudian ciri-ciri tersebut dapat diletakkan dalam garis dimensinya, yang selanjutnya dapat dirumuskan grounded theory setelah beberapa tahap yang lain dilakukan. Jelaslah disini dengan kata-kata lebih mudah untuk dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna. Atau dengan kata lain kata-kata lebih padat makna dibandingkan dengan angka-angka.
Pengertian dan Prosedur Coding
a) Pengertian Coding
Coding pada dasarnya merupakan proses analisis data, yaitu data dirinci, dikonseptualisasikan dan diletakkan kembali bersama-sama dalam cara baru. Ini merupakan proses sentral dimana teori-teori dibentuk dari data (….data are broken down, conceptualized, and put back together in new ways. It is the central process by which theories are built from data”) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
b) Prosedur Coding
Apa yang menjadikan proses coding sedemikian menarik dalam pengembangan grounded theory ? Apa yang membuatnya berbeda dari metoda-metoda analisis yang lain ? Yaitu bahwa metoda ini mempunyai tujuan yang lebih luas, tidak hanya memungkinkan peneliti memberikan beberapa tema, atau mengembangkan kerangka kerja deskriptif yang teoritis berdasarkan konsep-konsep yang terjalin secara longgar. Prosedur analisis grounded theory juga dirancang untuk:
1) Membangun teori, bukan sekedar melakukan pengujian pada teori (“Build rather than only test theory”).
2) Memberikan suatu kepastian/ketepatan yang diperlukan dalam proses penelitian untuk membangun teori ilmu pengetahuan yang lebih baik (“Give the research process the rigor necessary to make the theory “good” science”).
3) Membantu analis mengatasi bias-bias dan asumsi yang terbawa dan dapat berkembang selama penelitian (“Help the analysist to break through the biases and assumptions brought to, and that can develop during the research process”).
4) Memberikan dasar (grounding), membangun kepadatan makna (density), dan mengembangkan kepekaan dan integrasi yang diperlukan untuk menghasilkan teori yang jelas, kaya, terjalin dengan ketat, yang sangat mendekati realitas yang diwakilinya. (“Provide the sensitivity and integration needed to generate rich, tightly woven, explanatory theory that closely approximates the reality it presents”) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
Untuk mencapai tujuan atau maksud tersebut diperlukan adanya keseimbangan antara kreativitas, ketepatan (rigor), ketekunan dan kepekaan teoritik (theoretical sensitivity). Ini merupakan kombinasi beberapa kualitas yang tidak mudah, namun semuanya itu jelas diperlukan kapan pun penelitian dilakukan. Meskipun biasanya tidak dapat diharapkan bahwa peneliti pemula dapat menghasilkan temuan besar, tetapi dengan usaha keras dan ketekunan peneliti akan mampu memberikan kontribusi pada bidang kajiannya.
Analisis dalam grounded theory terdiri atas 3 (tiga) tipe utama coding, yaitu: a) pengodean terbuka (open coding), b) pengodean aksial (axial coding), c) pengodean selektif (selective coding).
Sebelum diuraikan lebih lanjut apa itu pengodean, terdapat 4 (empat) hal penting yang harus diketahui, yaitu:
1) Melakukan analisis sesungguhnya adalah membuat interpretasi. Ada alasan yang bagus untuk itu, seperti yang dikemukakan oleh Diesing (1971: 14) seorang filsuf ilmu pengetahuan: “Sesungguhnya ilmu pengetahuan ilmiah sebagian besar merupakan penemuan atau pengembangan, bukan peniruan; konsep, hipotesis, dan teori tidak ditemukan dalam keadaan sudah dibuat oleh kenyataan tetapi harus dibangun”. (Doing analysis is, in fact, making interpretations and there is good reason for this. As Diesing (1971: 14), a philosopher of science says: “Actually scientific knowledge is in large part invention or development rather than an imitation; concepts, hypotheses, and theories are not found ready-made in reality but must be constructed”).
2) Walaupun ditetapkan prosedur dan teknik tetapi sama sekali tidak dimaksudkan agar peneliti hanya terpaku pada prosedur dan teknik tersebut. Diesing (1971: 14) mengemukakan: “Prosedur tidak bersifat mekanistis atau otomatis, bukan pula sebuah algoritma yang dijamin dapat memberikan hasil. Prosedur dan teknik hanya diterapkan secara fleksibel menurut situasi, dan berbagai alternatif tersedia dalam tiap langkah” (The second is that while we set these procedures and techniques before you, we do not at all wish to imply rigid adherence to them. Again to quote Diesing (1971: 14) “The procedure are not mechanical or automatic, nor do they constitute an algorithm quaranted to give results. They are rather to be applied flexibly according to circumstances; their order may vary and alternatives are available at every step”).
3) Teknik umum yang merupakan inti dari semua prosedur pengodean untuk membantu penggunaan prosedur agar menjadi fleksibel adalah pengajuan pertanyaan. Peneliti harus mengajukan pertanyaan selama melakukan penelitian. Agar fenomena dapat dipahami dengan baik, peneliti dituntut mengajukan banyak pertanyaan, berkaitan dengan fenomena yang sedang dikaji, termasuk ciri-ciri, dimensi, dan komponen-komponen paradigma fenomena tersebut. (“In fact, one general technique that is central to all coding procedures and that help to ensure your flexible use of those procedur is the asking questions. You should be asking questions all along the course of your research project. As you read the next chapters, you will see so many questions being asked about the phenomena under study, and about their various properties, dimensions, paradigm components, and so forth, that is some reasons you wishes to keep track of them you would be hard pressed to do so ……”).
Catatan penulis: pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif tidak hanya digunakan dalam upaya mendapatkan pemahaman yang mendalam dari permasalahan yang diteliti, tetapi dalam konteks grounded theory, pertanyaan digunakan dalam rangka menemukan konsep-konsep yang sama guna penyusunan kategori-kategori, menemukan ciri-ciri yang sama guna penyusunan dimensi-dimensi sebagai dasar-dasar penyusunan teori.
4) Sangat disarankan untuk mempelajari semua prosedur pengodean secara lebih rinci. Setiap prosedur harus dimengerti sebelum menuju proses selanjutnya, dengan demikian dimiliki pemahaman yang lebih baik. Apabila prosedur ini dipahami dan dipraktekkan dengan baik, maka pengodean itu akan menjadi alat penelitian yang benar-benar efektif. (“We strongly recommend that after reading the chapters on coding (rapidly if you wish), that then you study each in great detail. These chapters (5 – 10) cover basic analytic procedures and their logic. Each procedure must be understood before proceeding to the next, otherwise your overall understanding of them will be less secure than you would wish. Once grasped and practiced they become really effective research tools”).
Pengodean Terbuka (Open Coding)
a) Istilah-istilah yang akan digunakan
Sebelum diuraikan tentang seluk beluk pengodean terbuka, akan diuraikan lebih dulu pengertian pengodean terbuka, dan beberapa istilah yang akan dipergunakan dalam penjelasan pengodean terbuka, yaitu:
1) Konsep; merupakan label konseptual yang diberikan pada kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan hal-hal lain fenomena lainnya. (“Concepts; conceptual labels placed on discrete happenings, events, and other instances of fenomena”).
2) Kategori; merupakan klasifikasi konsep. Klasifikasi ini dibuat pada waktu konsep-konsep diperbandingkan satu dengan yang lain yang terkait dengan fenomena yang sama. Kemudian konsep-konsep tersebut dikelompokkan secara bersama-sama dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, yaitu konsep yang lebih abstrak yang disebut kategori. (“Category: A classification of concepts. This classification is discovered when concepts are compared one against another and appear to pertain to similar phenomenon. Thus the concepts are grouped together under the higher order, more abstract concept called a category”).
3) Pengodean: proses analisis data. (“The process of analyzing data”).
4) Pencatatan kode: hasil pengodean. Ini merupakan sebuah bentuk memo. (“Code Notes; The products of coding. These are one type of memo”).
5) Pengodean terbuka: proses perincian, pengujian, perbandingan, pengonsepan dan pengkategorian data. (“Open Coding; The process of breaking down, examining, comparing, conceptualizing and categorizing data”).
6) Ciri-ciri: atribut atau karakteristik yang berkenaan dengan suatu kategori. (“Properties; attributes or characteristics pertaining to a category”).
7) Dimensi: lokasi ciri sepanjang suatu garis kontinum. (“Dimensions; Location of properties along a continum”).
8) Dimensionalisasi: proses perincian karakteristik ke dalam dimensi-dimensinya. (“Dimensionalizing; The process of breaking a property down into its dimensions”). (Strauss & Corbin, 1990: 61).
Dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan contoh konkret bagaimana melakukan pelabelan, penyusunan dan penamaan kategori, pengembangan kategori menurut ciri dan dimensi.
b) Pelabelan Fenomena
Strauss & Corbin memberikan contoh tentang pelabelan fenomena sebagai berikut:
Anda berada dalam sebuah restoran yang cukup mahal tetapi populer. Restoran tersebut terdiri dari bangunan bertingkat tiga. Tingkat pertama untuk bar, tingkat dua untuk ruang makan kecil-kecil, tingkat tiga untuk ruang makan utama dan dapur. Dapur tersebut terbuka, sehingga anda dapat melihat apa saja yang sedang terjadi. Anda melihat ada seorang wanita berpakaian merah. Ia hanya berdiri di dapur, tetapi menurut akal sehat tidak mungkin pemilik restoran menggaji seseorang hanya untuk berdiri. Rasa ingin tahu anda terusik, dan anda memutuskan untuk melakukan analisis induktif untuk mencari tahu apa sesungguhnya pekerjaan wanita tersebut.
Anda memperhatikan bahwa wanita tersebut sedang memperhatikan secara serius sekeliling dapur, juga tempat para juru masak (koki) bekerja dan wanita tersebut juga memperhatikan secara seksama apa yang sedang terjadi. Lalu anda memberikan label “memperhatikan” (“watching”). Selanjutnya datang seseorang padanya dan mengajukan pertanyaan, dan wanita berbaju merah tadi menjawab. Anda memberi label “penyampaian informasi” (“information passing”). Wanita tersebut tampak memperhatikan segala sesuatu yang ada di dapur dan diruang makan lalu anda memberikan label “pemerhati” (“attentiveness”). Wanita berbaju merah tadi berjalan dan memberi tahu seseorang petugas yang membawa makanan sehingga anda memberi label “penyampaian informasi” (“information passing”). Walaupun ia berdiri ditengah-tengah kegiatan para pekerja, ia tidak tampak melakukan intervensi misalnya mengambil alih pekerjaan dari para pekerja, sehingga anda memberi label “tidak mengintervensi” (“unintrusiveness”). Selanjutnya wanita tersebut berjalan memperhatikan setiap orang dan segala sesuatu, sehingga anda memberi label “memonitor” (“monitoring”). Kelihatannya ia memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana pelayan berinteraksi dengan pelanggan, memperhatikan bagaimana pekerja merespon pelanggan, waktu pelayanan, berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan duduk sampai menyampaikan pesanan, memperhatikan pekerja mengantar makanan, memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima.
Selanjutnya pelayan datang dengan pesanan untuk pesta besar, wanita berbaju merah tadi bergerak untuk membantunya, ia “menawarkan bantuan” (“providing assistance”). Wanita tadi tampak seolah-olah ia tahu betul apa yang sedang ia lakukan, dan ia mempunyai kompetensi/kemampuan untuk itu, ini berarti ia “berpengalaman” (“experienced”).
Ia berjalan menuju tembok dekat dapur dan memperhatikan apa yang ada pada jadwal, berarti ia melakukan “pengumpulan informasi” (“information gathering”).
c) Penemuan dan Penamaan Kategori
Selanjutnya label-label dari berbagai konsep tersebut harus dikelompokkan ke dalam konsep yang lebih abstrak. Konsep yang lebih abstrak ini mencakup seluruh konsep sejenis yang di bawahnya (kurang abstrak). Proses pengelompokkan konsep yang sama disebut kategorisasi. Contoh konkret kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah tersebut di atas yang melakukan kegiatan memperhatikan (watching) sekeliling dapur, memberikan informasi (information passing) kepada para pengunjung, memperhatikan (attentiveness) segala sesuatu yang ada di dapur dan di ruang makan. Memonitor (monitoring) yaitu memperhatikan setiap orang dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana petugas berinteraksi dengan pelanggan, petugas merespon pelanggan, waktu pelayanan, berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan mulai dari duduk sampai menyampaikan pesanan. Juga memperhatikan petugas mengantar makanan, memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima. Semua kegiatan tersebut di atas dapat dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak yaitu memonitor (monitoring). Sedang bahwa wanita yang berbaju merah mempunyai kemampuan atau kompetensi sehingga ia diberi label “berpengalaman” (“experienced”) tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori monitoring.
Di samping melakukan monitoring, wanita berbaju merah juga melakukan kegiatan menilai dan memperhatikan atau menjaga jalannya pekerjaan. Karena pekerjaannya berkaitan dengan makanan, maka menilai dan menjaga jalannya pekerjaan tersebut diberi label pengatur makanan. Selanjutnya label “pengatur makanan”, label “tidak mengintervensi” dan label “berpengalaman” dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak yaitu “pengaturan makanan yang baik”. Kategori “pengaturan makanan yang baik” dan kategori “monitoring” dapat dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak lagi yaitu “pengawas restoran yang baik”, karena pekerjaan memonitori dan mengatur makanan dilakukan dalam konteks rumah makan atau restoran.
d) Penyusunan Kategori berdasarkan Ciri-ciri dan Dimensi
Selanjutnya pengembangan kategori menurut ciri-ciri (properties) dan dimensi-dimensi dilakukan sebagai berikut: Ciri dan dimensi merupakan hal yang penting untuk dipahami dan dikembangkan karena ciri dan dimensi itu membentuk dasar untuk membuat hubungan antara kategori dengan subkategori. Ciri dan dimensi ini juga diperlukan untuk melakukan analisis guna mengembangkan atau membangun grounded theory. Contoh ciri dan dimensi dari kegiatan wanita berbaju merah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Telah diketahui ternyata bahwa wanita berbaju merah adalah bukan wanita misterius tetapi wanita yang memiliki profesi pengatur makanan. Kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah diberikan kategori “pengatur makanan” paling tidak memberi kesan ia bukan pelanggan yang mungkin juga berbaju merah. Dari kategori dapat dirinci dalam subkategori dari jenis pekerjaannya, yaitu: mengamati, memantau, membantu, melihat jadwal, memberikan informasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya dari setiap subkategori misalnya subkategori mengamati dapat dilihat dari frekuensinya, durasi waktunya, bagaimana pekerjaan itu dilakukan, siapa saja yang terlibat, dan lain sebagainya. Dari segi frekuensi dapat didimensionalkan dengan membuat pertanyaan: “Seberapa sering ia mengamati pekerjaan tersebut ?“ Dari pertanyaan dapat diperoleh jawaban sering sekali, sering, jarang, jarang sekali dan lain sebagainya. Mengamati juga dapat dilihat dari dimensi intensitasnya. Apakah intensitasnya rendah atau tinggi. Mengamati juga dapat dilihat dari dimensi durasi waktunya yaitu: lama atau sebentar. Demikian juga subkategori memberikan informasi dapat dilihat dari dimensi sedikit atau banyak informasi yang diberikan, dimensi cara memberikan informasi: dengan cara tertulis atau lisan, secara terbuka atau tertutup, dengan suara lantang atau lembut.
e. Pengodean Berporos (Axial Coding)
a) Istilah-istilah yang akan digunakan
Sebelum membahas Axial Coding, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah yang dipergunakan dalam operasionalisasi Axial Coding, yaitu:
1) Pengodean Berporos (Axial Coding) adalah seperangkat prosedur dimana data disatukan kembali secara baru setelah pengodean terbuka, dengan membuat hubungan diantara kategori-kategori. Hal ini dilakukan dengan menggunakan model pengodean yang meliputi kondisi, konteks, tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi.
(“Axial Coding: A set of procedures where by data are put back together in new ways after open coding, by making connections between categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving conditions, context, action/interactional strategies, and consequences”).
2) Kondisi Sebab-Akibat (Causal Conditions): Peristiwa, insiden, kejadian yang mengarah pada terjadinya atau perkembangan fenomena. (“Causal Conditions: Events, incidents, happenings that lead to lead to the occurance or development of the phenomenon”).
3) Fenomena (phenomenon): Gagasan utama, kejadian, peristiwa, insiden tentang seperangkat tindakan atau interaksi yang teratur atau berhubungan. (“Phenomenon: The central idea, event, happening, incident about which aset of actions or interactions are directed at managing handling, or to which the set of actions is related”).
4) Konteks (Context): Seperangkat ciri khusus yang berkaitan dengan suatu fenomena, yaitu; lokasi peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan fenomena sepanjang rentang suatu dimensi. Konteks, mewakili (merepresentasikan) serangkaian kondisi tertentu yang didalamnya terdapat strategi interaksi/strategi tindakan yang diambil. (“Context: The specific set of properties that pertain to a phenomenon: that is, the locations of events or incidents pertaining to a phenomenon along a dimentional range. Context represents the particular set of conditions within which the action/interactional strategies are taken”).
5) Kondisi yang mempengaruhi (Intervening Conditions): Kondisi struktural yang membuat strategi tindakan/interaksi terjadi, yang berkaitan dengan fenomena. Kondisi-kondisi ini memperlancar atau menghambat strategi yang diambil dalam suatu konteks khusus. (“Intervening Conditions: The structural conditions bearing on action/interactional strategies that pertain to a phenomenon. They facilitate or constrain the strategies taken within a specific context”). (Strauss & Corbin, 1990: 96-97).
b) Proses Pengodean
Seperti telah diuraikan di muka pengodean terbuka (Open Coding) merinci data sehingga memungkinkan si peneliti menyusun kategori, ciri-cirinya dan lokasi dimensinya. Pengodean Berporos (Axial Coding) mengatur data-data itu kembali secara bersama dalam cara-cara yang baru dengan membuat hubungan di antara kategori dan subkategorinya. Di sini belum dibahas tentang hubungan beberapa kategori utama untuk membentuk formulasi teoritis yang menyeluruh (hal ini akan dibahas dalam Pengodean Selektif (Selective Coding), melainkan masih terbatas pada pengembangan suatu kategori, tetapi melebihi pengembangan ciri-ciri dan dimensinya.
Dalam Axial Coding fokus pembahasan adalah membuat spesifik/khusus suatu kategori dari segi kondisi-kondisi yang muncul, yaitu konteks (serangkaian ciri-ciri yang khusus) yang terkait; tindakan atau strategi interaksi yang dilakukan dan dikendalikan; dan konsekuensi dari strategi-strategi tersebut. Upaya mencari kekhususan/spesifikasi tersebut, (konteks, strategi dan konsekuensi) adalah merupakan penyusunan subkategori. Subkategori pada hakekatnya juga merupakan kategori tetapi dilihat dari kekhususannya/spesifikasinya. Pada Open Coding telah dimulai meletakkan data-data secara bersama-sama dalam suatu bentuk yang berhubungan. Walaupun Open Coding dan Axial Coding merupakan prosedur analisis yang berbeda, tetapi sebenarnya pada waktu si peneliti melakukan proses analisis, ia dapat menggunakan salah satu alternatif dari kedua macam coding tersebut. (“Though open and axial coding are distinct analytic procedures, when the researcher is actually engaged in analysis he or she alternates between the two modes”).
Sebelum dibahas mengenai bagaimana membuat spesifikasi dari kategori melalui Axial Coding, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1) Pada waktu melakukan Open Coding berbagai macam kategori diidentifikasi. Misalnya suatu kategori mempunyai kekhususan yang bersifat kondisi, sementara kategori lain menunjukkan tindakan/strategi interaksi, kategori lain menunjukkan konsekuensi dari tindakan/ strategi interaksi.
2) Label-label konseptual yang ada tidak harus selalu ditempatkan pada kategori kondisi, strategi dan konsekuensi. Tetapi apabila memang menghadapi fenomena atau peristiwa yang dapat dibedakan seperti itu sebaiknya dilakukan penyusunan subkategori seperti itu, misalnya: Ada subjek yang sakit/menderita sakit (kondisi), subjek tadi mengalami demam (fenomena), lalu ia minum amoxilin (strategi), setelah beberapa saat ia merasa baik (konsekuensi). Sehingga tersusun tiga subkategori yaitu subkategori kondisi, fenomena, strategi dan konsekuensi.
3) Dengan tersusunnya subkategori-subkategori, maka dapat disusun ciri-ciri seperti durasi, tingkatan dan intensitas. Dari durasi, tingkatan dan intensitas ini dapat ditentukan lokasi dimensinya dan lokasi dimensi ini terkait dengan penyusunan teori.
4) Dalam Axial Coding, subkategori-subkategori dihubungkan dengan kategori-kategori melalui sebuah model yang disebut “model hubungan” (penulis).
Selanjutnya akan diuraikan tentang “Model Hubungan” dan contohnya. Dalam Grounded Theory subkategori dihubungkan dengan suatu kategori dalam seperangkat hubungan yang menunjukkan kondisi sebab akibat, fenomena, konteks, kondisi-kondisi yang mempengaruhi, tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi. Model Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(A) KONDISI SEBAB AKIBAT à
(B) FENOMENA à
(C) KONTEKS à
(D) KONDISI YANG MEMPENGARUHI à
(E) TINDAKAN / STRATEGI INTERAKSI à
(F) KONSEKUENSI
Akan dijelaskan masing-masing subkategori-subkategori tersebut sebagai berikut:
1) Fenomena
Fenomena adalah gagasan utama, kejadian, peristiwa, tentang seperangkat tindakan/interaksi atau yang teratur, atau berhubungan. Untuk mengidentifikasi fenomena dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: “Data ini mengacu kepada hal apa ?” “Tindakan atau interaksi itu tentang hal apa ?”
2) Kondisi Sebab Akibat
Istilah ini mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengarah pada terjadinya atau perkembangan suatu fenomena. Sebagai misal, apabila kita tertarik dengan fenomena rasa sakit, kita mungkin menemukan bahwa rasa sakit itu disebabkan oleh kaki patah atau sakit encok. Kejadian seperti itu menyebabkan atau membawa pengalaman rasa sakit.
Selanjutnya kita dapat lebih spesifik mendiskripsikan kondisi sebab akibat kaki patah, yaitu mengidentifikasi ciri-cirinya dan lokasi dimensional dari ciri-ciri tersebut. Kondisi kaki patah tersebut misalnya keretakannya lebih dari satu, misalnya ada dua, dan salah satu keretakannya lebih serius. Selanjutnya penderita kaki patah tersebut ternyata misalnya tidak mengalami kelumpuhan, sehingga sistem syarafnya tetap berfungsi. Dengan demikian dapat dibedakan bagian kaki yang mana yang lebih serius atau lebih terasa sakit. Ini berarti kita dapat melihat ciri-cirinya serta dimensi khusus dari kondisi sebab akibat kaki patah. Secara singkat kondisi sebab akibat kaki patah tersebut dapat dikemukakan ciri-cirinya, yaitu: keretakannya banyak (lebih dari satu), ternyata keretakannya ada 2 misalnya, jadi bersifat ganda dan ternyata misalnya ada bagian kaki yang retak mempunyai rasa sakit yang lebih serius. Dan dapat digambarkan pula dimensinya misalnya intensitasnya tinggi, durasinya terus menerus, lokasinya kaki bagian bawah.
3) Konteks
Sebuah konteks merepresentasikan serangkaian ciri khusus yang berkenaan dengan fenomena, yaitu lokasi kejadian yang berkaitan dengan fenomena sepanjang rentang dimensional. Konteks pada waktu yang sama juga merupakan seperangkat kondisi khusus yang di dalamnya terdapat tindakan/strategi interaksi digunakan untuk mengatur, menangani, menjalankan dan merespon fenomena khusus.
Untuk menjelaskan masalah konteks ini mari kita kembali pada contoh kaki patah. Kaki patah menunjuk rasa sakit. Apabila kita hanya mengetahui hal itu saja atau apabila pengetahuan kita terbatas pada hal itu saja maka kita mengalami kesulitan untuk mengobatinya. Kita harus mengetahui sebab-sebabnya sehingga kaki menjadi patah, demikian seluk beluk rasa sakitnya agar dapat ditangani. Demikian pula dengan kaki yang patah, kita perlu mengetahui secara khusus kapan kaki itu patah, bagaimana patahnya yaitu jumlah dan jenis keretakannya. Tentang rasa sakit, kita perlu tahu bagian mana yang lebih serius rasa sakitnya, bagaimana kronologisnya, durasinya, lokasinya, intensitasnya dan lain sebagainya.
4) Kondisi yang mempengaruhi
Kondisi ini berfungsi untuk memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi yang dilakukan dalam konteks yang khusus. Contoh kondisi yang mempengaruhi dapat dilihat dalam uraian berikut: Anda sakit dan membutuhkan pengobatan, tetapi hanya dapat diperoleh pada Rumah Sakit yang jaraknya jauh. Ini berarti anda tidak dapat segera mendapatkan pengobatan, anda harus berpacu untuk mendapatkan pengobatan dengan jarak yang jauh. Kondisi intervening berkaitan dengan tindakan/strategi interaksi. Kondisi dapat dalam bentuk: waktu, ruang, budaya, status ekonomi, karir, sejarah, riwayat hidup individu. Kondisi-kondisi memiliki rentangan dari yang paling dekat atau pendek sampai dengan yang paling jauh atau panjang.
Sebagai contoh orang yang kakinya patah. Orang tadi berada di hutan dan misalnya dia seorang diri tanpa adanya teman, kondisi seperti ini tentu akan sangat berbeda dalam waktu untuk mendapatkan pengobatan dibandingkan dengan orang yang berada dikota. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu ciri-cirinya misalnya tentang biodata seperti: umur, penyakit lain yang pernah dialami atau sedang dialami, sejarah penyakit yang pernah dialami, pandangannya/persepsinya mengenai perasaan sakitnya dan pengobatannya. Juga ciri tentang cara/teknik pengobatan yaitu peralatan yang tersedia, prosedur pengobatannya, obat yang tersedia, dan seterusnya.
Tidak semua kondisi dapat diterapkan untuk setiap situasi. Terserah kepada peneliti untuk mengidentifikasi yang mana yang akan digunakan dan dirangkai dalam analisis, yang penting untuk diingat apakah kondisi itu memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi, dan kapan tindakan/strategi interaksi itu dilakukan.