Artikulasi Peran Aristoteles Dalam Membentuk Wajah Sains Modern
Pilihan Aristoteles selaku tokoh kunci yang telah memberikan kontribusi dalam pembentukan dan pergembangan ilmu pengetahuan dan filsafat (Poespowardojo, 2000) amat tepat karena ternyata para filosof yang datang kemudian, meskipun dengan kurun waktu dan tempat yang berbeda namun juga mendasarkan argumentasinya pada pemikiran Aristoteles. Secara lugas Bertens (2000: 30) mengakui bahwa faktor yang terpenting dalam perkambangan intelektual pada umumnya dan perkembangan filosofis pada khususnya merupakan penemuan sejumlah karya filsafat Yunani, terutama karangan Aristoteles yang pada saat itu belum dikenal di dunia Barat.
Sebenarnya hasil karya Aristoteles banyak sekali, sehingga para “komentator” agak sulit menyusun secara runtut. Hal ini semakin nampak dari perbedaan cara yang ditempuh komentator dalam membagi pembahasan materinya. Menurut Hadiwidjono (2000: 45), ada komentator yang membagi hasil karya Aristoleles menjadi delapan bagian, yakni mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika (meta ta fusika), etika, politik dan ekonomi, serta retorika dan poetika. Ada pula yang mengurai perkembangan pemikiran Aristoteles ke dalam tiga tahapan, yakni:
(1) Tahap di Akademi, ketika masih setia kepada gurunya, Plato termasuk ajaran Plato tentang idea;
(2) Tahap di Assos, ketika berbalik dan mengeritik ajaran Plato tentang idea-idea dan menemukan ajarannya sendiri;
(3) Tahap ketika membina sekolahnya di Athena, di mana berbalik dari berspekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang konkrit dan yang individual.
Tanpa mengabaikan cara pembagian hasil karya Aristoteles yang dilakukan oleh komentator itu, penulis memahami bahwa pembagian itu dilakukan semata-mata untuk lebih memudahkan pemahaman sistematika pemikiran Aristoteles yang terfokus pada pembentukan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Isi tulisan ini dibagi ke dalam beberapa sub-bagian. Diawali dengan deskripsi mengenai riwayat hidup Aristoteles yang pada kenyataannya lahir dan dibesarkan dalam lingkungan orang berpendidikan. Uraian selanjutnya membahas sumbangan pemikiran Aristotels bagi pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi upaya enrichment metode ilmu pengetahuan pada khususnya. Untuk menunjukkan keluasan cakrawala pemikiran Aristoteles dibahas pula pemikirannya yang menjadi kerangka dasar bagi pembentukan dan pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Pada bagian akhir dijelaskan “benang merah” yang mengaitkan pemikiran Aristoteles baik dengan pemikiran ‘filosof pertama’ yang mendahului maupun filosof yang datang kemudian. Keterkaitan pemikiran Aristoteles dengan pemikiran Plato ialah ajarannya tentang dua macam pengenalan, yakni pengenalan inderawi dan pengenalan rasional (Bertens, 2000: 51) karena kedua jenis pengenalan ini pada gilirannya membimbing kepada ilmu pengetahuan. Sementara itu, keterkaitan pemikiran Aristoteles dengan filosof yang datang sesudahnya disesuaikan dengan maksud penulis untuk memahami dan meneguhkan orisinalitas khazanah pemikiran Aristoteles.
Riwayat Hidup Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stageira, daerah Thrake di Yunani Utara, anak seorang dokter pribadi raja Makedonia yang meninggal dunia tatkala ia masih sangat muda. Aristoteles kemudian diasuh oleh Proxenus dan diberikan pendidikan yang istimewa. Hal itu terbukti karena pada waktu berumur kira-kira 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk belajar dan menjadi murid Plato dalam Akademia selama 20 tahun. Setelah Plato meninggal dunia pada tahun 342, Aristoteles kembali ke Makedonia untuk diangkat menjadi pendidik Pangeran Alexander yang Agung selama dua tahun. Setelah Alexander menjadi raja, maka Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil) yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum).
Tatkala Alexander berperang di Asia pada tahun 334 SM., sekolah Aristoteles juga bersaing dengan sekolah Plato, Akademia. Persaingan yang mendorong Aristoteles meningkatkan penelitian yang hasilnya tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip sains, melainkan pula mengajarkan politik, retorika dan dialektika. Dalam pergaulan tingkat atas, Aristoteles barangkali lebih berhasil dari pada Plato, bukan saja karena dipilih menjadi pendidik Alexander, melainkan pula karena memiliki pengaruh besar dalam sejarah dunia. Selama kurun waktu antara tahun 340-335 SM., Aristoteles menekuni riset di Stagira, dibantu oleh Theophratus yang juga alumnus Athena. Riset yang intensif itu dibiayai oleh Alexander dan menghasilkan kemajuan dalam sains dan filsafat.
Pada tahun 323 SM., ketika Alexander wafat, timbul huru-hara di Athena menentang Makedonia, sehingga lama kelamaan posisi Aristoteles juga menjadi tidak aman karena dianggap orang asing sekaligus teman Alexander. Orang-orang Athena yang anti-Macedonia melihat Aristoteles sebagai penyebar pengaruh subversif, bahkan dituduh mendurhaka (atheis), sehingga Aristotels yang berpikir lebih arif memilih meninggalkan Athena atau lari ke Khalkes, tempat ia meninggal dunia pada tahun berikutnya (322 SM.).
Metode Aristoteles: Silogistis Deduktif
Silogisme deduktif yang dimaksud di sini terkait dengan uraian mengenai logika. Ini dilakukan karena masalah deduksi dan induksi dijelaskan dalam logika. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut metode induktif dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal yang khusus. Sementara itu, deduksi (apodiktif) ialah cara menarik kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Induksi bertolak dari pengamatan empiris dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi adalah sebaliknya, terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman. Menurut Verhaak dan Imam (1989: 17) bahwa, induksi adalah penalaran dengan simpulan yang wilayahnya lebih luas dari pada wilayah premisnya, sedangkan deduksi adalah penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sempit dari pada wilayah premisnya.
Berdasarkan uraian di atas dipahami bahwa sesungguhnya Aristotels menerima induksi dan deduksi, namun karena dikenal sebagai filsuf Barat pertama yang secara rinci dan sistematis menyusun ketentuan dalam penalaran deduktif, maka nama Aristoteles selalu dihubungkan dengan penalaran deduktif. Hal ini dapat dipahami karena pada kenyataannya, baik deduksi maupun induksi dijelakan oleh Aristoteles dalam logika.
Menurut Hadidjono (2000: 46) dan Rapar (2000: 34), logika sebagai ajaran tentang berpikir ilmiah atau membicarakan bentuk-bentuk pikiran itu sendiri (termasuk pengertian, pertimbangan dan penalaran, serta hukum-hukum yang menguasai pikiran) adalah ciptaan Aristoteles. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa logika merupakan salah satu karya monumental yang dihasilkan Aristoteles, sehingga sering disebut sebagai pelopor, penemu atau bapak logika, kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum ada logika.
Sebenarnya, istilah logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) pendiri Soisisme. Logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani, logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti suatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan dan bahasa. Logikos berarti sesuatu yang diutarakan, sesuatu pertimbangan akal, mengenai kata, mengenai percakapan, atau yang berkenaan dengan bahasa. Dengan demikian, secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang diutarakan dengan kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut juga logike episteme atau logica scientia yang berarti ilmu logika namun sekarang ini lazim disebut logika saja (Rapar, 2000: 52).
Menurut Verhaak dan Imam (1989: 18) dan Rapar (2000: 53), tiga dari empat hukum dasar logika yang dikenal dewasa ini dirumuskan oleh Aristoteles, yakni:
(1) Hukum identitas (Principium identitatis, law of identity) yang menegaskan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri. Formulanya adalah: P = P.
(2) Hukum kontradiksi (principium contradictionis, law of contradiction) yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Formulanya adalah: tidak mungkin P = Q dan P ¹ Q.
(3) Hukum tiada jalan tengah (principium exclusi tertii, law of excluded middle) yang menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jadi, P = Q dan sekaligus P ¹ Q.
Untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang bebas dipakai istilah “analitika”. Sementara itu, untuk meneliti argumentasi yang bertolak dari proposisi yang diragukan kebenarannya dipakai istilah “dialektika”. Istilah logika sebagaimana arti yang dikenal pada masa kini mulai digunakan oleh Alexander Aphrodisias pada awal abad ke-3 sebelum Masehi. Logika merupakan cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan dan membahas asas, aturan formal dan prosedur normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Inti logika adalah silogisme dan silogisme sebagai alat dan mekanisme penalaran untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Bagi Aristoteles, deduksi merupakan metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itu lah sebabnya mengapa metode Aristoteles disebut “metode silogistik deduktif”.
Silogisme adalah penemuan Aristoteles yang murni dan terbesar dalam logika. Namun, Aristoteles tidak memakai silogisme semata-mata untuk menyusun berbagai argumentasi bagi suatu perdebatan (dialog), melainkan lebih utama sebagai metode dasar bagi pengembangan suatu bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Aristoteles tidak memasukkan logika ke dalam salah satu kelompok dari ketiga kelompok menurut pembagian ilmu pengetahuan yang disusunnya (Rapar, 2000: 34).
Silogisme sebagai bentuk formal dari deduksi, terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua disebut premis, sedang proposisi ketiga merupakan kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Jadi, setiap silogisme terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan. Setiap proposisi harus memiliki dua term. Jadi, setiap silogisme harus memiliki enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam suatu silogisme senantiasa disebut dua kali, maka sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi ketiga, yaitu proposisi yang disebut kesimpulan diperhatikan dengan seksama maka pada proposisi itu terdapat dua term dari ketiga term yang telah disebutkan. Dengan demikian, yang menjadi subjek kesimpulan disebut term minor dan yang menjadi predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term tengah (terminus medius). Contoh Silogisme:
- Semua anjing adalah hewan berkaki empat. (umum/universal)
- Si hitam adalah seekor anjing. (khusus/partikular)
- Si hitam adalah hewan berkaki empat.
Pola kerja yang ditempuh dalam penjelasan silogistis-deduktif adalah sebagai berikut. Pertama-tama ditentukan suatu kebenaran universal, kemudian menjabarkannya pada hal-hal yang khusus. Dengan kata lain, sesudah ketentuan umum ditetapkan, barulah kemudian berdasarkan ketentuan umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus atas kasus tertentu.
Immanuel Kant (dalam Rapar 2000: 12) menyatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles sejak semula sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin bertambah sedikitpun. Namun, perlu juga diperhatikan kecaman Bertrand Russel yang menganggap Aristoteles mengakui bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit dari pada pria, padahal kendati pernah dua kali kawin, tidak pernah terlintas dalam benak Aristoteles untuk menguji pendapatnya dengan meneliti mulut istri-istrinya itu.
Meskipun kritik Russel itu cukup pedas, namun tidak berarti mengecilkan jasa Aristoteles yang harus diakui memang spektakuler bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sumbangan pemikiran Aristoteles menjadi lebih nyata dan luas jika dilihat dari kerangka dasar pembentukan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Poespowardojo: 5 Desember 2000), sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Kekayaan Khazanah Pemikiran Aristoteles Lainnya
Orisinalitas pemikiran yang disajikan ini merupakan bukti nyata kekayaan khazanah pemikiran Aristoteles selaku great thinker sepanjang zaman. Pemikiran orisinal tersebut bertebaran namun menjadi fundamental dalam pembentukan dan perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan, di antaranya dalam bidang politik, hukum, psikologi, poetika dan sebagainya, serta ajaran hilemorphisme (teori bentuk dan materi) yang menjadi dasar pandangannya tentang manusia dan perkenalan metode ilmu pengetahuan yang digunakan sampai saat ini.
Selanjutnya, karya-karya monumental Aristoteles yang tidak terekam adalah buku berjudul Organon mengenai categories di mana buku itu menjelaskan logika. Buku On Interpretation yang membahas berbagai tipe proposisi. Buku Prior Analytics yang membicarakan silogisme. Posterior Analytics yang menjelaskan pengetahuan sains dan On Sophistical Refutations yang membuktikan kepalsuan logika orang sofis.
Aristoteles lebih jauh mengemukakan pengelompokan ilmu pengetahuan ke dalam ilmu-ilmu teoritis yang diarahkan pada pengetahuan saja dan ilmu-ilmu praktis dimana pengetahuan ditujukan pada praksis (Melsen, 1992: 14), atau jika memakai klasifikasi filsafat dapat dibagi ke dalam tiga bidang studi, yakni filsafat spekulatif atau teoritis, filsafat praktika, dan filsafat produktif (Rapar, 2000: 34). Klasifikasi bidang filsafat spekulataif itu sama dengan ilmu-ilmu teoritis, kemudian filsafat praktika dan filsafat produktif sama dengan ilmu-ulmu praktis.
Pembagian ilmu-ilmu praktis mengikuti kaidah praksis yang bersangkutan. Misalnya, etika menyangkut tindakan yang tepat; politik menyangkut bagaimana memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuatan, serta kekuasaan yang dimiliki. Dengan kata lain, filsafat praktika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Sasaran terpenting bagi filsafat praktika ialah membentuk sikap dan perilaku yang akan menstimulasi manusia bertindak secara ilmiah sekaligus etis. Begitu pula bidang lain, seperti poetika yang menyangkut produksi yang tepat (membikin sesuatu dengan tepat) dan logika menyangkut argumentasi yang tepat. Sementara itu, ilmu-ilmu teoritis tertentu bertumpu pada prinsip pengelompokan yang lain, yaitu prinsip mengenai cara melihat realitas menurut aspek-aspeknya yang material dan kualitatif. Jadi, filsafat spekulatif atau teoritis bersifat objektif dengan tujuan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Matematika atau ilmu pasti tidak memperhatikan aspek-aspek material dan kualitatif tetapi hanya memandang aspek-aspek kuantitatif. Akhirnya, metafisika melihat realitas menurut aspek-aspeknya yang paling umum dan fundamental, yaitu sejauh realitas itu ada.
Mengingat kekayaan khazanah pemikiran Aristoteles, maka untuk dibahas secara komprehensif dan terpisah-pisah dalam suatu tulisan adalah amat sulit, apalagi pemikiran tersebut terkait satu sama lain. Ketika berbicara masalah negara sebagai konteks misalnya, maka aspek politik dan hukum justru mewarnai isinya. Oleh karena itu, pada uraian berikut hanya akan dikembangkan beberapa bidang secara bersama-sama.
Ajaran Aristoteles tentang negara berkaitan erat dengan ajarannya tentang etika. Dapat dikatakan bahwa ajaran Aristoteles tentang negara mewujudkan lanjutan dan penyelesaian ajarannya tentang etika. Hal ini dapat dipahami karena filsafat politik klasik senantiasa bermuara pada etika yang pada saat itu menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang diajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi makna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian, ada tujuan lebih pasti dan lebih agung (lebih etis) yang hendak diraih kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai.
Buku daras Aristoteles tentang Etika Nikomacheia dan Politik merupakan buku klasik filsafat dan sosiologi politik, serta bersama dengan Politeia Platon menjadi dua paradigma fundamental pendekatan politis, sekaligus sebagai salah satu argumentasi terkuat melawan gambaran dangkal bahwa hanya keterlibatan dalam praksis yang menghasilkan filsafat bermutu dan bermakna bagi praksis. Walaupun Aristoteles menjadi pendidik Iskandar Agung dan dari Athena dapat menyaksikan muridnya mendirikan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah, namun perkembangan politik ketika itu tidak meninggalkan jejak apa pun dalam filsafat politik Aristotels. Dengan kata lain, Aristoteles berfilsafat seakan-akan tidak ada bentuk lain dari polis, negara kota Yunani (Suseno, 2000: 16). Manusia adalah zoon politikon atau mahluk sosial dan mahluk hidup yang membentuk masyarakat. Demi keberadaan dirinya maka diperlukan persekutuan dengan orang lain. Untuk keperluan itu, dibutuhkan suatu negara, karena melalui negara lah masyarakat dapat hidup dengan baik (Hadiwidjono, 1992: 53). Pada sumber lain dinyatakan bahwa negara adalah he ekoinonia politike (persekutuan yang berbentuk polis) yang dibentuk demi kebaikan tertinggi (the highest good) bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya dalam kesejahteraan bersama, kesejahteraan individu dapat diperoleh (Rapar, 2000: 76).
Pandangan ketatanegaraan Aristoteles memiliki keunikan karena tidak semua bentuk negara adalah baik. Bentuk negara yang buruk ialah tirani, yaitu pemerintahan oleh seorang lalim, begitu pula bentuk pemerintahan oleh kelompok kecil orang, dan demokrasi yaitu pemerintahan rakyat oleh orang berpendidikan atau tidak, kaya atau miskin. Negara yang demikian tidak mungkin mencapai tujuannya. Sebaliknya, menurut Aristoteles, susunan negara yang tergolong ideal ialah negara “monarki” yaitu pemerintahan seorang raja atau aristokrasi, dimana pemerintahan dipimpin oleh kaum ningrat dan politeia yaitu pemerintahan oleh banyak orang. Menurut Aristoteles, alangkah baiknya manakala suat negara diperintah oleh seorang “filsuf-raja” yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi warga negara. Akan tetapi di dunia ini tidak mungkin ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna. Oleh karena itu, Aristoteles menyatakan bahwa yang penting ialah menyusun konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan pedoman pemerintahan bagi para penguasa. Dengan kata lain, bentuk yang paling baik ialah politeia yang bersifat demokratis-moderat atau demokrasi dengan undang-undang dasar, sebab hak memilih dan dipilih bukan pada semua orang, melainkan pada golongan tengah yang memiliki senjata dan telah biasa berperang. Bentuk pemerintahan ini lah yang memberikan jaminan terkuat, bertahan lama, dan terhindar dari perbuatan yang berlebihan.
Hal yang juga amat penting dicatat ialah Aristoteles tidak menyelesaikan ajarannya tentang negara yang ideal itu. Setelah zaman Aristoteles, pemerintahan kota (polis) mulai mengalami kemerosotan. Tafsir (2000: 62) dan Hadiwijono (2000: 53) menjelaskan bahwa kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya menjadi bagian-bagian kecil imperium besar yang dibangun oleh Alexander.
Pada uraian Aristoteles tentang politik, juga secara eksplisit dibahas aspek hukum yang berlaku dalam suatu negara yang terbentuk. Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara (Rapar, 2000: 14). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, jika hukum menjadi sumber kekuasaan maka baru lah pemerintahan penguasa terarah untuk kepentingan (interest), kebaikan dan kesejahteraan umum (bersama). Hukum sebagai sumber kekuasan harus memiliki kekuasaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedautan tertinggi, bukan manusia, karena bagaimana pun arifnya penguasa tidak mungkin dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara customary laws (hukum kebiasaan) dengan written laws (hukum tertulis). Hukum kebiasaan ialah landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu, hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya unchangeable. Sementara itu, hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan diterapkan oleh manusia, serta bersifat changeable sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
Kaitan Pemikiran Filsuf Sebelum dan Sesudah Aristoteles
Pemahaman penting yang dapat ditarik dari uraian berikut ialah kreativitas Aristoteles mengeritik pemikiran gurunya, Plato, sembari upayanya melahirkan pemikiran baru yang menjadi fundamental bagi pembentukan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Lebih daripada itu, perkembangan penting dalam filsafat menurut Tafsir (2000: 61) dibantu oleh klasifikasi yang diperkenalkan Aristoteles. Aristoteles tertarik pada fakta spesifik dan umum (universal) sekaligus. Pada satu sisi, Aristoteles mementingkan observasi, yaitu memulai dari gejala partikular menuju konklusi universal. Jadi, induksi menuju generalisasi. Pada situasi ini pula tampak perbedaannya dengan Plato, karena sangat tertarik pada pengetahuan kealaman dalam filsafat. Poespowardojo (Kuliah: 5 Desember 2000) secara lugas menyatakan bahwa Aristoteles mengakui bahwa setting pengetahuan harus bertolak dari pengalaman atau penginderaan. Pada sisi lain, penalaran silogistik deduktif yang diperkenalkan juga merupakan bukti bahwa Aristoteles menerima pendekatan deduktif.
Plato dianggap sebagai representasi filosof sebelum Aristoteles karena Plato merupakan “guru” Aristoteles dan yang terpenting ialah “kesamaan” pemikirannya dalam mengajarkan dua jenis pengenalan, yakni pengenalan inderawi dan pengenalan rasional (Hadiwijono: 2000: 52). Meskipun Aristoteles “berat sebelah” karena menganggap hanya pengamatan rasional yang membimbing ke arah ilmu pengetahuan.
Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Hal ini sama dengan lilin yang padanya diberikan cap. Lilin itu hanya menerima bentuk cap, bukan capnya, karena kualitas telah tersirat dalam bendanya sendiri. Di sini, pengetahuan inderawi berkaitan dengan hal-hal konkrit dari suatu benda tertentu. Sementara itu, pengenalan rasional atau rasio itu sendiri dapat mengenal hakekat dan jenis sesuatu. Pengamatan rasional ini lah yang memimpin kepada ilmu pengetahuan (sains). Lebih jauh Aristoteles menyatakan, ilmu pengetahuan hanya terdiri dari pengenalan rasional saja, artinya tidak ada ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang konkrit. Ilmu pengetahuan hanya tentang hal-hal yang umum dan jalan menuju ilmu pengetahuan adalah abstraksi. Jalan abstraksi dapat dimisalkan bahwa, jika melihat meja bundar, meja persegi panjang, meja segi tiga dll, maka hakekat meja dilepaskan dari semua atribut yang diamati itu. Akal atau rasio tidak memiliki ide-ide bawaan, rasio melepaskan atau mengabstraksikan ideanya dari benda konkrit itu.
Aristoteles, murid Plato, meneruskan ajaran gurunya, tetapi juga melakukan perubahan mendasar pada berbagi segi (Verhaak dan Imam, 992: 94). Intuisi diganti dengan abstraksi. Tekanan pengetahuan apriori diganti menjadi tekanan pada pengamatan aposteriori dan sebelum cara kerja deduksi boleh dipakai dalam filsafat, Aristoteles menuntut jalan induktif dari gejala-gejala menuju asas-asas yang dapat menjadi titik pangkal deduksi. Aristoteles menekankan pengetahuan tentang objek dan dengan demikian menjadi tokoh pertama yang secara luas menjalankan penelitian ilmiah empiris. Upayanya ini cukup identik dengan apa yang kini dianggap ilmu alam. Sementara itu, Aristoteles sekaligus mengembangkan filsafat dan sudah membedakan secara jelas tiga jenis abstraksi. Pertama, dalam bidang ilmu alam (abstraksi ciri-ciri individu). Kedua, dalam bidang matematika (abstraksi semua ciri material kecuali yang dapat diukur dan dihitung). Ketiga, dalam bidang metafisika (abstraksi segala materi nyata untuk mencapai asas-asas pembentukannya).
Dalam kaitannya dengan pakar yang datang kemudian, maka ada beberapa filosof atau tokoh yang penting dikemuakan, karena selain menerjemahkan dan meneruskan, juga ada yang mengeritik sembari melengkapi pemikiran Aristoteles. Boethius sebagai filsuf Romawi terakhir, sekaligus filsuf Skolastik pertama, menerjemahkan beberapa karya Aristoteles mengenai logika ke dalam bahasa Latin. Boethius juga menulis beberapa traktat tentang logika Aristoteles, sehingga dianggap sebagai ‘guru logika’ pada abad pertengahan sampai abad ke-12. Selain itu, Thomas Aquinas yang menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai sumber utama ajaran filsafatnya, meskipun dalam uraiannya tentang principia (asas-asas), Thomas nampaknya lebih menekankan intuisi (Verhaak dan Imam, 1992: 99).
Ibnu Sina selaku filsuf zaman keemasan Skolastik menggabungkan ajaran Aristoteles dengan pemikiran neoplatoisme. Percobaan untuk mengadakan suatu sintesis ajaran yang begitu berlainan sangat diringankan karena dalam dunia Arab terdapat keyakinan bahwa dua karya filsafat dikarang oleh Aristoteles, padahal sesungguhnya berasal dari kalangan neoplatoisme. Karya yang dimaksud adalah Theologia Aristotelis (teologi Aristoteles) dan Liber de Causis (kitab membahas penyebab-penyebab). Hal terpenting dari Ibnu Sina ialah ketika memperkenalkan istilah “intelek”, yakni yang mengeluarkan jiwa manusiawi dan menguasai bumi beserta seluruh isinya, padahal istilah itu berasal dari Aristoteles (Bertens, 2000: 30).
Ibn Rushd yang sangat mengagumi sekaligus banyak mengomentari karya Aristoteles sehingga digelari “sang komentator” ditampilkan karena sama dengan Ibnu Sina, yakni dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Pemikiran Ibnu Rushd mengenai dua hal, yakni Allah yang dianggap penyebab yang menciptakan segala sesuatu dan “monopsikisme (ajaran yang banyak menyebabkan kericuhan dalam dunia Skolastik sepanjang abad pertengahan) merupakan suatu interpretasi atas beberapa baris karangan Aristoteles. Dengan kata lain, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai sumber inspirasi utama pemikirannya (Bertens, 2000: 32).
Rene Descartes dengan kesangsian metodisnya ditampilkan karena tidak puas dengan filsafat pada zamannya yang didasarkan atas dalil Aristoteles (Suseno, 2000: 70). Sementara itu, Hegel menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai tesis vis-à-vis pemikiran Immanuel Kant sebagai antitesis. Namun, pada akhrinya Hegel tetap kembali kepada insight Aristoteles bahwa hidup etis terlaksana dalam partisipasi pada kehidupan polis, kehidupan kenegaraan kota. Bagi Aristoteles, berpolitik dalam arti partisipasi dan beretika adalah sama (Suseno, 2000: 113 dan Bertens, 2000: 68).
Jurgen Habermas, sebagai tokoh mazhab Frankfurt, memahami praksis Aristoteles sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat. Dengan demikian, teori kritis Habermas untuk melahirkan masyarakat komunikatif juga diinspirasi oleh pemikiran etis Aristoteles (Suseno, 2000: 176). Meskipun demikian, pemikiran Francis Bacon de verulam juga penting disajikan dalam bagian penutup tulisan ini karena justru mengeritik pandangan Aristoteles mengenai keistimewaan ilmu empiris yakni ilmu yang tidak berpamrih dan tidak mencari untung. Bacon menyatakan bahwa ilmu pengetahuan baru bermakna jika meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun dengan sesama manusia sesuai ungkapan knowledge is power. Implikasinya ialah semua ilmu pengetahuan alam dipisahkan secara definitif dari filsafat sebagai ilmu pengetahuan (Sutrisno dan Hadirman, 1992: 149 dan Suseno, 2000: 176). Menurut Bertens (2000: 44), Bacon adalah salah seorang pemikir yang dianggap meletakkan dasar filosofis untuk perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan modern.