Pendekatan Modern : Integrasi Pendekatan Agama Dan Pekerjaan Sosial
Modernitas dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dapat terlihat apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negativnya terlihat ketika ilmu pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya tidak segera puas pada satu penemuan saja. Pertumbuhan bangun ilmu pengetahuan dan ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan bangun keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis - empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah manusia ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya masalah baru yang lebih kompleks.
Ditengah kegamangan ilmu pengetahuan dan lahirnya kemanusiaan yang berpenyakit tersebut, peran agama kembali mendapat perhatian setelah teralienasi sejak pasca ranaisance.
Demikian halnya dalam ilmu pengetahuan seperti ilmu psikologi terapi yang menekankan pada teori klinis/mekanis dan mengesampingkan peran keagamaan/spiritualitas dan kemudian terbukti mengalami ketimpangan.
Asumsi dari Modernistas Science seperti; Naturalism, Atheism, Determinism, Universalism, Reductionism/Atomism, Materialism, Ethical relativism, Ethical hedonism, Positivism, Classical/Naive realism, Empiricism dan Sigmund Freud ahli psikoanalisa dimana kesemuanya memandang sebelah mata peran penting agama telah menemukan kegagalan argumentasi, pendapat dan teori-teorinya. Demikian pernyataan Andayani dalam materi kuliah peksos berbasis agama.
Kebangkitan Spiritual dalam ilmu pengetahuan adalah sekitar tahun 80-an, theistic world views (pandangan dunia keagamaan). Hal tersebut, diakui sebagai aspek penting yang mempengaruhi perkembangan dan pemenuhan diri manusia seperti: (Theistic World Views) percaya bahwa eksistensi dari A Supreme Being dan Human Beings sebagai agen yang bertanggung jawab, bukan mesin.
Dalam menghadapi nestapa manusia era modern tingkat lanjut seperti sekarang ini, pemahaman keagamaan perlu ditransformasikan sehingga dapat memenuhi harapan esensial dari ajaran agama itu sendiri dalam menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan dan bukan menjadi sumber keruwetan. Ummat beragama juga perlu memahami bahwa fenomena-fenomena agama selain melibatkan wahyu, juga lengket dengan fenomena cultural, tradisi, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya.
Sejalan dengan uraian diatas, praktek pekerjaan sosial menyangkut kedua pendekatan (Agama-Modern) pun merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Pertanyaan kemudian adalah Bagaimana antara praktek peksos modern dan pendekatan keagamaan tersebut dapat diintegrasikan? Hal inilah yang akan menjadi fokus bahasan lebih lanjut.
Agama dan Pekerjaan Sosial
Bahasan ini sebaiknya diawali dengan pemaparan secara singkat menyangkut pemahaman-pemahaman Agama dan Pekerjaan sosial sehingga kemudian dapat dengan mudah menelisik lebih dalam pada aspek-aspek dimana urgensi integrasi antara pendekatan keagamaan dan pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial. Agama dalam konteks ini akan didefinisihkan secara operasional sehingga dapat dipahami lebih membumi sedangkan pendekatan modern pekerjaan sosial akan di artikulasikan kedalam wacana keilmuan modern pekerjaan sosial.
Pemahaman Agama
Suatu definisi yang dapat mewakili secara keseluruhan tentang agama yang begitu banyak ragam dan jenisnya bukanlah mudah bahkan mungkin tidak dapat dilakukan. Namun mendefinisikannya haruslah tetap dilakukan untuk dapat membatasi arah sesuai tujuan pendefinisian dimaksud. Dalam kaitan itu, ada beberapa pendapat yang akan dikemukakan dalam tulisan ini.
Agama bagi Giddens (2005) adalah media pengorganisasian bagi kepercayaan yang tidak sekedar satu arah. Bukan hanya iman dan kekuatan religius yang menyediakan dukungan yang secara takdir dapat dijadikan sandaran: Demikian juga para fungsionaris keagamaan. Yang terpenting adalah bahwa kepercayaan religius biasanya menginjeksikan reliabilitas ke dalam pengalaman pelbagai peristiwa dan situasi dan dari suatu kerangka
Agama juga disinonimkan dengan Religion berasal dari kata Latin “religio”, berarti “tie-up” dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’.
Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang disalingtukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Berangkat dari beberapa pemahaman diatas, dapat ditarik beberapa point tentang pengertian agama bahwa agama adalah kodifikasi kepercayaan, praktik ibadat, hukum etika, keanggotaan denominasi, eksternal dan memasukkan spiritualitas di dalamnya.
Penegasan yang ingin ditekankan pada pemahaman keagamaan disini adalah bahwa konsekwensi pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias, excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
Apa itu Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial adalah profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup lama. Sejak kelahirannya sekitar 1800-an. Purifikasi peksos terus berlanjut sejalan dengan tuntutan perubahan dan aspirasi masyarakat. Namun demikian, seperti halnya profesi lain (Guru, Dosen, Dokter), fondasi dan prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami perubahan.
Pekerjaan sosial berbeda dengan profesi lain, semisal psikolog, dokter atau psikiater. Dalam praktek kerjanya dia senantiasa harus melibatkan aspek-aspek diluar klien dalam penyelesaian masalahnya. Artinya, bahwa mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkannya sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan ketrampilan professional pekerjaan sosial.
Selain itu, pekerjaan sosial juga merupakan aktivitas professional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai suatu aktivitas professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai.
Dalam konferensi internasional di Montreal Kanada, juli 2000, IFSW mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai Profesi yang mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan. Perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial. Pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik dimana orang berinteraksi dan keadilan sosial merupakan sangat penting bagi pekerjaan sosial.
Pendekatan Modern dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Sebagai aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu, Pekerjaan Sosial telah memiliki perhatian yang mendalam pada pemberdayaan masyarakat miskin. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ‘menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri’ (to help people to help themselves), ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination), ‘bekerja dengan masyarakat’ (working with people dan bukan ‘bekerja untuk masyarakat’ atau working for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat dan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang populis dan tidak elitis.
Sebagai suatu aktivitas professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai. Dalam praktek pekejaan sosial ini, ditujukan untuk terapi sosial dalam upaya mewujudkan keberfungsian sosial.
Penyembuhan sosial sendiri oleh Suharto, dikategorikan kedalam dimensi pendekatan macro dan micro. Pendekatan mikro merujuk pada berbagai keahlian dan ketrampilan pekerja sosial dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh individu berupa problem psikologi (Stess dan depresi, hambatan relasi, penyesuaian diri, kurang percaya diri, alienasi atau kesepian dan keterasingan, apatisme dan gangguan mental. Sedangkan metode utama yang digunakan pekerja sosial dalam setting mikro tersebut adalah terapi perseorangan (casework) dan terapi kelompok (gruopwork) yang didalamnya melibatkan terapi berpusat pada klien, terapi perilaku, terapi keluarga dan terapi kelompok. Pendekatan makro adalah penerapan metode dan teknik pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungannya (system sosial), seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidak adilan sosial, dan eksploitasi sosial. Tiga metode utamanya berupa terapi masyarakat (Community development) popular dengan nama Pengembangan masyarakat, Manajemen pelayanan kemanusiaan (human service management) atau terapi kelembagaan dan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).
Perbedaan utama antara community work, human service management dan social policy analysis adalah jika dua metode yang pertama merupakan pendekatan pekerjaan sosial dalam praktek langsung dengan kliennya, maka analisis kebijakan sosial merupakan metode pekerjaan sosial dalam praktik tidak langsung.
Dalam konteks pemberdayaan misalnya, sebagaimana dikemukakan Ife, pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien, Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: Pendefinisian kebutuhan: Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
Pemberdayaan dan Praktek Pekerjaan Sosial
Pendekatan Modern dalam praktek pekerjaan sosial dalam pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melaui penerapan pendekatan pemberdayaan yang meliputi: (1) Pendekatan Mikro, (2) Pendekatan Mezzo, dan Pendekatan Makro
Pendekatan Mikro menekankan bahwa pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
Pendekatan Mezzo memfokuskan pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Pendekatan Makro disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Prinsip Pekerjaan Sosial
Prisip pekerjaan sosial dalam dimensi pemberdayaan tersebut dapat doformulasikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan adalah proses kolaboratif dengan mana masyarakat / Klien dan pekerja sosial bekerjasama sebagai partner, (2) Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.(3) Masyarakat/Klien harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan. (4) Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat miskin. (5) Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut. (6) Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang. (7) Masyarakat miskin harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. (8) Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. (9) Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif. Dan (10) Proses pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi.
Teknik dalam Pekerjaan Sosial
Dubois dan Miley memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat:
1. Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai keberbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnerships).
2. Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasiaan klien.
3. Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
Contoh pembahasan dalam dimensi pemberdayaan di atas menunjukkan bagaimana pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial dilakukan. Praktek pekerjaan tersebut terlihat sebagai sebuah pendekatan yang dilandasi oleh kerangka keilmuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai dalam aktivitas professionalnya.
Pendekatan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Berbeda dengan modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan sistem berfikir bi-logical, agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya spiritualitas yang mampu memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis. Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial melalui pendekatan agama akan mampu sensitive dan responsive terhadap kebutuhan spiritualitas klien sebagai mahluk yang Unik.
Dalam hal intervensi kesehatan mental misalnya, peran spiritualitas sebagai bagian integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan intervensi pada klien mengingat dalam spiritulitas sesungguhnya terkandung daya dimana klien dapat beradaptasi dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks tradisional sendiri, berbagai program kemanusian dimana peran pekerja sosial inklut didalamnya telah banyak dilaksanakan oleh berbagai agama sebagai pembawa misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas kasih belaka sehingga yang terjadi kemudian adalah acap kali menimbulkan ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menyentuh aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh pendekatan modern.
Keberfungsian sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya hanya akan menimbulkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini dapat terlihat pada penyaluran zakat misalnya yang kemudian hanya disalurkan secara tradisional-konsumtif sehingga penerima tetap pada posisi sebagai penerima dan tidak berfikir bagaimana pada kesempatan berikutnya dapat menjadi pemberi.
Urgensi Integrasi Pendekatan Agama dan Modern dalam Pekerjaan Sosial
Dalam memberikan pengantarnya terhadap buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto berargumen bahwa Untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali persoalan-persoalan mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Secara substansial pernyataan tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya peran agama dalam praktek pekerjaan sosial sangat urgen mengingat adanya tanggung jawab etis peksos terhadap klien dan terhadap masyarakat yang juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang sangat ironis adalah tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak dibarengi dengan perkembangan yang memadai dalam hal integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu sosial dan pendampingan masyarakat. Agama nampaknya hanya bersifat experential, yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, tapi tidak bersifat scientific.
Pendekatan agama dalam terapi klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, misalnya, masih bersifat tradisional karena belum dikembangkan secara ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”layak” sebagai bagian dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi model intervensi dan pendampingan di masyakarat.
Dengan demikian, integrasi terhadap kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) merupakan sebuah keharusan dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos memiliki pertalian erat dengan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa pekerjaan sosial sendiri tumbuh dan berkembang dari kalangan agamais (Kristen katolik di Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama menaruh perhatian pada aspek mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama saling belajar dan memberi kontribusi satu sama lain.(3) Pengetahuan tentang spiritualitas dan agama membantu peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa sesungguhnya islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat
Dalam agama islam sendiri, keterpautan antara Ilmu pengetahuan dan ajarannya sangatlah erat (Al–Islam Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan). Bahkan para ilmuan seperti Ernest Gellner misalnya, berpendapat bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang paling memiliki kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, universalisme ajaran Islam, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam, bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, bukan monopoli kelompok tertentu dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual, dalam arti tidak terdapat sistem kependetaan atau kerahiban dalam Islam, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu.
Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan moderen dalam pekerjaan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Baik ilmu pengetahuan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, telah terbukti secara faktual mengalami kegagalan dalam melakukan misi kemanusiaannya. Melalui pembahasan yang komparatif ini, terlihat bahwa integrasi antara keduanya adalah sebuah keharusan.
[1] Hal tersebut disampaikan oleh Andayani, M.S.W. pada perkuliahan pekerjaan sosial berbasis agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Pekerjaan Sosial, 2006.
Intuisi diganti dengan abstraksi. Tekanan pengetahuan apriori diganti menjadi tekanan pada pengamatan aposteriori dan sebelum cara kerja deduksi boleh dipakai dalam filsafat, Aristoteles menuntut jalan induktif dari gejala-gejala menuju asas-asas yang dapat menjadi titik pangkal deduksi. Aristoteles menekankan pengetahuan tentang objek dan dengan demikian menjadi tokoh pertama yang secara luas menjalankan penelitian ilmiah empiris. Upayanya ini cukup identik dengan apa yang kini dianggap ilmu alam. Sementara itu, Aristoteles sekaligus mengembangkan filsafat dan sudah membedakan secara jelas tiga jenis abstraksi. Pertama, dalam bidang ilmu alam (abstraksi ciri-ciri individu). Kedua, dalam bidang matematika (abstraksi semua ciri material kecuali yang dapat diukur dan dihitung). Ketiga, dalam bidang metafisika (abstraksi segala materi nyata untuk mencapai asas-asas pembentukannya).
Dalam kaitannya dengan pakar yang datang kemudian, maka ada beberapa filosof atau tokoh yang penting dikemuakan, karena selain menerjemahkan dan meneruskan, juga ada yang mengeritik sembari melengkapi pemikiran Aristoteles. Boethius sebagai filsuf Romawi terakhir, sekaligus filsuf Skolastik pertama, menerjemahkan beberapa karya Aristoteles mengenai logika ke dalam bahasa Latin. Boethius juga menulis beberapa traktat tentang logika Aristoteles, sehingga dianggap sebagai ‘guru logika’ pada abad pertengahan sampai abad ke-12. Selain itu, Thomas Aquinas yang menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai sumber utama ajaran filsafatnya, meskipun dalam uraiannya tentang principia (asas-asas), Thomas nampaknya lebih menekankan intuisi (Verhaak dan Imam, 1992: 99).
Ibnu Sina selaku filsuf zaman keemasan Skolastik menggabungkan ajaran Aristoteles dengan pemikiran neoplatoisme. Percobaan untuk mengadakan suatu sintesis ajaran yang begitu berlainan sangat diringankan karena dalam dunia Arab terdapat keyakinan bahwa dua karya filsafat dikarang oleh Aristoteles, padahal sesungguhnya berasal dari kalangan neoplatoisme. Karya yang dimaksud adalah Theologia Aristotelis (teologi Aristoteles) dan Liber de Causis (kitab membahas penyebab-penyebab). Hal terpenting dari Ibnu Sina ialah ketika memperkenalkan istilah “intelek”, yakni yang mengeluarkan jiwa manusiawi dan menguasai bumi beserta seluruh isinya, padahal istilah itu berasal dari Aristoteles (Bertens, 2000: 30).
Ibn Rushd yang sangat mengagumi sekaligus banyak mengomentari karya Aristoteles sehingga digelari “sang komentator” ditampilkan karena sama dengan Ibnu Sina, yakni dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Pemikiran Ibnu Rushd mengenai dua hal, yakni Allah yang dianggap penyebab yang menciptakan segala sesuatu dan “monopsikisme (ajaran yang banyak menyebabkan kericuhan dalam dunia Skolastik sepanjang abad pertengahan) merupakan suatu interpretasi atas beberapa baris karangan Aristoteles. Dengan kata lain, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai sumber inspirasi utama pemikirannya (Bertens, 2000: 32).
Rene Descartes dengan kesangsian metodisnya ditampilkan karena tidak puas dengan filsafat pada zamannya yang didasarkan atas dalil Aristoteles (Suseno, 2000: 70). Sementara itu, Hegel menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai tesis vis-à-vis pemikiran Immanuel Kant sebagai antitesis. Namun, pada akhrinya Hegel tetap kembali kepada insight Aristoteles bahwa hidup etis terlaksana dalam partisipasi pada kehidupan polis, kehidupan kenegaraan kota. Bagi Aristoteles, berpolitik dalam arti partisipasi dan beretika adalah sama (Suseno, 2000: 113 dan Bertens, 2000: 68).
Jurgen Habermas, sebagai tokoh mazhab Frankfurt, memahami praksis Aristoteles sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat. Dengan demikian, teori kritis Habermas untuk melahirkan masyarakat komunikatif juga diinspirasi oleh pemikiran etis Aristoteles (Suseno, 2000: 176). Meskipun demikian, pemikiran Francis Bacon de verulam juga penting disajikan dalam bagian penutup tulisan ini karena justru mengeritik pandangan Aristoteles mengenai keistimewaan ilmu empiris yakni ilmu yang tidak berpamrih dan tidak mencari untung. Bacon menyatakan bahwa ilmu pengetahuan baru bermakna jika meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun dengan sesama manusia sesuai ungkapan knowledge is power. Implikasinya ialah semua ilmu pengetahuan alam dipisahkan secara definitif dari filsafat sebagai ilmu pengetahuan (Sutrisno dan Hadirman, 1992: 149 dan Suseno, 2000: 176). Menurut Bertens (2000: 44), Bacon adalah salah seorang pemikir yang dianggap meletakkan dasar filosofis untuk perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan modern.