Hijrah Menuju Kebangunan Watak Bangsa
Hijrah adalah semangat untuk berubah, yaitu berpindah dari satu kondisi kekinian kea rah kondisi yang lebih diidealkan di masa yang akan datang. Inilah yang menjadi dorongan atau motivasi sehingga Rasulullah mengajak kaum Muslimin pindah dari kota Mekkah ke kota Madinah untuk mulai suatu langkah besar membangun peradaban Islam, berpusat di kota yang kemudian disebut sebagai Madinah yang merupakan sebuah kota yang berfungsi sebagai pusat peradaban.
Sekarang bangsa kita sudah merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945, dan sudah melaksanakan langkah-langkah reformasi nasional sejak tahun 1998 dengan maksud juga untuk mengadakan perubahan menuju perbaikan itu. 66 tahun kemerdekaan dan 13 tahun reformasi telah menghasilkan banyak sekali perubahan dalam wajah bangsa kita. Tetapi, jika dibandingkan dengan perkembangan bangsa-bangsa lain, dapat dicatat begitu banyak persoalan yang masih dilakukan untuk mengejar ketinggalan bangsa kita dari bangsabangsa lain di dunia. Dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia tergolong negara dan bangsa elite di dunia. Namun, dari segi index kemajuan apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, kita masih tergolong jauh ketinggalan.
Dengan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, Indonesia menjadi negara dengan penduduk terbesar ke-4 setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Tetapi sampai tahun 2011 ini, indeks daya saing ekonomi kita (CGI) masih berada di peringkat 44 dari 139 negara. Indeks harapan hidup, peringkat 91 dari 139 negara; Indeks pendidikan dasar dan kualitas kesehatan, peringkat 62 dari 139; Indeks pembangunan pendidikan (EDI), pada peringkat 65 dari 128 negara; Indeks pembangunan manusia (HDI) tercatat 108 dari 169 negara; Sementara itu, indeks persepsi korupsi (CPI) mencapai peringkat 110 dari 178 negara, padahal negeri ini dikenal sebagai Muslim terbesar di dunia dengan msasyarakat yang dikenal sangat religius.
Membaca pelbagai data tersebut, kita dihadapkan kepada keadaan nyata bahwa meski bangsa kita sudah merdeka dan sudah melakukan upaya reformasi besar-besaran, masih sangat banyak hal yang perlu dilakukan untuk berubah menjadi lebih baik. Ada masalah mentalitas, moralitas, dan watak yang perlu dibangun dengan sungguh-sungguh agar bangsa kita dapat mencapai kemajuan yang lebih cepat. Apalagi, di era globalisasi dewasa ini dinamika persaingan antar ekonomi, antar kebudayaan, dan bahkan antar peradaban semakin ketat, dan bangsa yang sudah mencapai taraf kemajuan dapat menikmati keuntungan lebih mudah dalam dinamika persaingan antar bangsa. Jika bangsa kita tidak memperbaiki mentalitas dan moralitas agar menjadi lebih fungsional dalam memenuhi tantangan baru kehidupan, maka niscaya era globalisasi akan terus memperlebar jarak kesenjangan antar bangsa, antar ekonomi, dan bahkan antar peradaban dimana Indonesia tetap berada di peringkat yang rendah.
REFORMASI BUDAYA
Jika diperhatikan, bangsa kita sungguh-sungguh tengah berada di persimpangan jalan. Kita hidup di tengah-tengah gelombang pengaruh kebudayaan dan peradaban yang demikian deras datangnya dari luar kehidupan kita sebagai akibat cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan terjadinya globalisasi dalam semua bidang kehidupan. Di tengah suasana yang demikian, bangsa kita melakukan upaya-upara reformasi atau pembaruan di segala bidang kehidupan bernegara.
Kita usung tema reformasi total sebagai jawaban atas kejenuhan dan kekecewaan kita kepada sistem kekuasaan yang kita warisi dari zaman Orde Baru yang tidak memberikan jaminan atas kebebasan individu warga, dan tidak berhasil mewujudkan impian-impian kita tentang keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Untuk mengatasi segala kelemahan, kekurangan, keburukan, dan bahkan segala sesuatu yang kita persepsikan sebagai kegagalan pemerintahan Orde Baru itu bangsa kita telah memilih jalan dengan menata kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis dan mempertegas komitmen normatif bangsa kita untuk mengembangkan prinsip negara hukum yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, serta janji kesejahteraan yang lebih merata, semata-mata untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itulah selama 13 tahun terakhir kita telah menata ulang secara besarbesaran postur dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan kita, mekanisme penyelenggaraannya yang diharapkan lebih berubah semakin modern, transparan dan akuntabel. Kita mengubah institusi-institusi kenegaraan dan pemerintahan itu, mulai dari lembaga yang semula paling tinggi kedudukannya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sampai ke institusi pemerintahan desa dan kelurahan-kelurahan di lingkungan perkotaan. Kita juga sudah melakukan merombakan sistem hukum dan perundang-undangan kita secara besar-besaran, mulai dari hukum tertinggi, yaitu konstitusi sampai ke peraturan-peraturan daerah dan bahkan peraturan-peraturan desa.
Semuanya berubah dengan sangat cepat dan sangat mendasar. Dengan demikian, di tengah-tengah gelombang perubahan yang sedang terjadi di dunia dimana bangsa kita dipengaruhi secara sangat luas dan mendasar di segala bidang, kita pun mengadakan perubahan-perubahan mendasar dalam waktu yang sangat singkat, tanpa persiapan budaya yang dapat dikatakan matang. Perubahan-perubahan bersifat sangat struktural dan instrumental yang tentunya dapat dipakai untuk melakukan fungsi perekayasaan masa depan bangsa ke arah idealitas yang dikehendaki bersama. Namun, di tengah perubahan-perubahan mendasar itu, dimensi kebudayaan dan tuntutan akan kualitas sumber daya manusia yang akan diandalkan dapat dikatakan tertinggal. Perubahan demi perubahan mendasar tersebut di atas tidak diiringi oleh perubahan kualitas individu manusia dan kolektifitas budaya yang sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan. Institusi-institusi baru lebih diharapkan lebih baik telah kita dirikan, tetapi cara berpikir dan bekerja manusia yang diharapkan menggerakkan masih terbelakang dan dikungkung oleh pengaruh tradisi yang diwarisi dari masa-masa yang lalu. Ide-ide baru telah banyak pula kita adopsi dan kita tuangkan menjadi materi-materi peraturan perundang-undangan yang kita percaya akan membawa hasil yang serba luhur dan mulia, tetapi manusia-manusia yang diharapkan akan menjalankannya rupanya sebagian terbesar masih terperangkap dengan sikap-sikap dan perilaku lama. Dengan demikian, kita terus menerus menyaksikan adanya kesenjangan yang akut antara institusi dan instrumen aturan di satu pihak dengan kebiasaan dan tradisi di pihak yang lain.
Jawabannya tentu tiada lain adalah bahwa di masa mendatang kita memerlukan reformasi lanjutannya, yaitu reformasi budaya atau reformasi kebudayaan. Sejak tahun 1998 kita telah memulai agenda reformasi politik dan birokrasi, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Sekarang atau setidaknya mulai tahun 2014 nanti, kita harus menggerakkan reformasi lanjutan, yaitu reformasi kebudayaan. Reformasi budaya itu tentu harus kita mulai dengan persoalan kualitas manusia, yaitu manusia ideal yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu cita-cita kehidupan bangsa yang cerdas. Agar menjadi cerdas, maka manusia dan bangsa Indonesia haruslah terdidik dengan baik, yaitu melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan merata. Pendidikan nasional yang diselenggarakan untuk itu, menurut Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, tidak lain adalah pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, agar menjadi cerdas, pertama-tama manusia Indonesia itu haruslah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehingga tujuan untuk menguasai, mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hendak dicapai oleh dan dari setiap kegiatan pendidikan dapat didampingi secara seimbang oleh penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara konkrit tercermin dalam perilaku luhur dan akhlak mulia dalam semua bidang kehidupan sehari-hari.
PENDIDIKAN WATAK ATAU KARAKTER
Apakah pendidikan nasional yang kita selenggarakan sampai sekarang ini sudah menjamin perwujudan ide mengenai keseimbangan imtak dan iptek serta prinsip-prinsip akhlak mulia itu dalam praktik? Menurut saya, hal itu benar-benar belum tercermin.
Pendidikan kita selama ini sama sekali tidak atau belum berhasil membantu agar manusia Indonesia dan bangsa kita menjadi cerdas dalam pengertian seperti tersebut di atas. Pendidikan kita masih terlalu bersifat kognitif dengan orientasi konten yang dari waktu ke waktu terus menerus dibebani titipan oleh aneka kepentingan dari sekeliling. Dalam kenyataan, taksonomi Bloom yang menggambarkan adanya tiga elemen pokok dalam pendidikan, yaitu aspek-aspek affective, cognitive, dan psychomotoric tidaklah berkembang secara seimbang antara satu dengan yang lain. Pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.
Sampai sekarang pendidikan kita masih terus berorientasi kepada „konten‟ pengetahuan. Memang benar kebijakan kirukulum kita sudah sejak lama diubah dari orientasi pada isi atau konten (content-base curriculum) ke orientasi pada kompetensi (competence-base curriculum). Namun dalam praktik orientasi konten atau orientasi isi atau materi muatan informasi pengetahuan, terus saja dipraktikkan dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran sehari-hari. Bahkan, setiap muncul kritik akan kinerja pendidikan, selalu muncul tawaran yang dianggap solusi yang baik, yaitu penambahan jam pelajaran atau penambahan mata pelajaran yang dinilai sangat penting. Padahal, pengetahuan dan ilmu pengetahuan dewasa ini terus berkembang sifatnya akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dipraktikkan secara luas. Informasi pengetahuan mengalami proses globalisasi yang cepat dan memudahkan bagi siapa saja untuk menguasainya. Karena itu, pola-pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi penguasaan konten atau materi ilmu pengetahuan haruslah mengalami perubahan secara mendasar. Kita tidak lagi memerlukan peran guru sebagai narasumber. Guru cukup berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing teknis cara mencari dan memahami informasi pengetahuan itu melalui sarana teknologi komunikasi dan informasi modern.
Dengan demikian, yang harus kita andalkan dari peran guru di masa mendatang adalah keteladanan dan kepemimpinannya dalam membawakan suasana belajar di kelas dan di luar kelas yang tidak berorientasi konten. Guru harus menjadi teladan, membimbing, dan mengarahkan tuntunan sikap dan akhlak mulia untuk membentuk kepribadian dan watak atau karakter, sekaligus kemampuan-kemampuan teknis bagi para peserta didik. Karena itu, orientasi pendidikan kita haruslah mengutamakan aspek-aspek afektif dan psikomotorik, dan bukan kognitif yang dapat dicari sendiri oleh para peserta didik. Yang penting ada dalam diri setiap peserta didik adalah sikap, karakter dan motivasi yang kuat disertai kemampuan teknis untuk mencari, menermukan, mengumpulkan, memahami, dan menguasai segala informasi ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam hidup, bekerja, dan untuk bertindak dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi dan kualitas hidup bersama dalam masyarakat dan bangsa kita sekarang dan di masa datang.
Dalam pembentukan watak atau karakter dan peningkatan kemampuankemampuan bertindak atau beraksi, tentu saja diperlukan penguasaan banyak informasi pengetahuan. Akan tetapi di samping informasi pengetahuan, yang jauh lebih penting lagi adalah pengaruh keteladanan dan hasil tempaan pengalaman praktik. Oleh sebab itu, pendidikan karakter haruslah berorientasi pada pengalaman praktik, pada proses kegiatan, bukan pada output atau hasil, pada nilai ujian, pada „ranking‟ prestasi akademis, dan sebagainya. Pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh keteladanan yang ada di lingkungan belajar, dan pengalaman praktik dan pengalaman bekerja yang dialami langsung oleh para peserta didik. Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan mengubah format pendidikan agama, misalnya, tidak lagi berorientasi konten dan output yang diukur dengan jumlah jam pelajaran dan dengan hasil ujian. Pendidikan agama lebih baik dilakukan melalui praktik kegiatan untuk sholat berjamaah, misalnya, untuk berperilaku mulia dalam bertutur kata dan dalam bersikap terhadap guru, terhadap teman, terhadap tetangga, dan sebagainya. Untuk ekstrimnya, jika sekiranya kegiatan-kegiatan demikian dapat diintensifkan dengan efektif dan para guru benar-benar dapat dijadikan teladan untuk itu, maka dapat saja mata pelajaran agama secara formal ditiadakan sama sekali.
Sudah barang tentu, pendidikan watak itu tidak hanya perlu dan tidak dapat hanya dilakukan di dalam kelas. Ada banyak aktor dan faktor berpengaruh yang harus diperhitungkan. Di luar kelas, kita menemukan dunia tontonan melalui media televisi dan media elektronik, dan media lainnya. Di luar kelas, kita juga terlibat dalam lingkungan kerja dan lingkungan pergaulan. Di luar kelas, kita hidup dalam keluarga yang memberikan kepada setiap peserta didik “field of experience” yang dapat membentuk “frame of reference” dalam diri setiap peserta didik. Karena itu, perlu pengaturan yang bersifat sistemik dan terintegrasi antar semua aktor dan faktor di atas untuk merekayasa suatu arah pendidikan watak, pendidikan karakter, yang kita cita-citakan bersama bagi bangsa ke menuju masa depan.
PENDIDIKAN AKSI
Watak, karakter, dan kepribadian bagaimana juga terbentuk melalui pengalaman. Itulah sebabnya prinsip „learning by doing‟ menjadi sangat penting. Pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan biasanya hanya bersifat kognitif, hanya mengandung dimensi reflektif. Akan tetapi, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman praktik berdimensi reflektif dan sekaligus aktif. Seperti dikemukakan oleh Paulo Freire dalam “Paedagogy of the Oppressed”, perubahan selalui dimulai dari sebuah kata. Akan tetapi, menurutnya, kata yang baik dan efektif untuk itu haruslah mengandung 2 dimensi sekaligus, yaitu refleksi (reflection) and aksi (action).
Jika kata hanya berisi refleksi, pengertian, dan pemahaman saja, maka kata yang demikian itu jika dikuasai hanya akan menghasilkan verbalisme. Seseorang yang banyak tahu secara kognitif, hanya menguasai dimensi refleksi dari kata-kata, akan menjadi orang yang verbalis, NATO atau “Never Action, but Talking Only”. Tetapi sebaliknya, jika kata hanya berisi aksi atau berisi tindakan, maka kata yang demikian itu hanya akan menghasilkan aktivisme, yaitu aktivisme tanpa perenungan, tanpa pemahaman dan pengertian. Aktifitas yang lahir dari sikap aktifisme seperti itu akan menjadi aktifitas tanpa jiwa dan tanpa kedalaman makna.
Karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep „fraksis‟ (praxis) sebagai gabungan dari dimensi releksi dan aksi itu dalam kata (word). Fraksisiologi kata itulah yang penting kita wujudkan dalam pendidikan, yaitu pendidikan „kata-kata‟ yang menyatu dengan tindakan-tindakan aksi. Pendidikan teoritis yang diikuti oleh praktik. Pendidikan di dalam kelas diiringi dengan pendidikan di lapangan. Pendidikan verbal dengan bertutur kata baik secara lisan ataupun tulisan yang diiringi dengan pendidikan melalui kerja, melalui pengalaman, „learning by doing‟. Melalui pengalaman praktik yang demikian itu, pengetahuan tidak hanya akan menghasilkan refleksi, tetapi juga mengandung aksi.
Untuk itulah, maka proses belajar mengajar yang kita terapkan di sekolah dan di perguruan tinggi dewasa ini sudah semestinya dievaluasi dengan sungguh-sungguh. Jangan menjadikan peserta didik kita hanya pandai berkata-kata tetapi tidak pandai mewujudkan kata-kata itu dalam kenyataan praktik. Revolusi, hanya dapat dilakukan dengan kata-kata yang menurut Freire mengandung aksi, yaitu kata-kata yang praksis, bukan yang verbalis ataupun sekedar aktifistis. Kita masih memerlukan pendekatan structural berupa penataan dan fungsionalisasi sistem dan kepemimpinan yang efektif. Untuk itu, upaya konsolidasi politik dan penataan hukum pasca reformasi menjadi sangat penting untuk memperoleh perhatian yang serius.
Orientasi pendidikan yang bercorak praksis inilah yang perlu dikembangkan agar pendidikan kita relevan dengan kebutuhan, terutama kebutuhan pembangunan menuju zaman pencerahan. Relevansi di dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin agar sumber daya yang diabdikan untuk pendidikan tidak mubazir seperti praktik yang ada sekarang. Banyak sarjana yang tidak bekerja di bidangnya sehingga kesarjanaan tidak berguna bagi upaya bangsa meningkatkan nilai tambah pengelolaan sumberdaya yang kita miliki. Misalnya, banyak sarjana agama yang menjadi wartawan olahraga, sarjana pendidikan menjadi „salesman‟ asuransi, dan bahkan banyak sekali insinyur pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan keahliannya dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan dan kualitas hasil pengolahan pertanian.
Sejak Indonesia merdeka, sudah banyak sarjana perminyakan dan pertambangan yang kita hasilkan, tetapi kinerja industri perminyakan dan pertambangan nasional kita tidak juga mampu bersaing dengan pengusaha asing yang menyebabkan orang-orang terbaik kita hanya menjadi tukang di perusahaan-perusahaan asing. Demikian pula banyak sarjana hukum yang berhasil diluluskan, tetapi mereka tidak memperbaiki hukum, malah sebaliknya menjadi pelanggar hukum. Walhasil, pendidikan nasional kita dalam skala nasional dapat dipandang tidak efisien karena kurang relevansi dengan kebutuhan di dunia nyata, terutama di dunia kerja. Akibatnya anggaran pendidikan dan sumber daya pendukung lainnya habis terbuang untuk sekedar memberikan gelar formal kepada lulusannya sebagai bentuk kebangsawanan baru yang semakin memperkuat kesenjangan dalam struktur social masyarakat tanpa memberikan dampak kemajuan kualitatif yang berarti dalam jangka panjang. Karena itu, agenda pendidikan aksi, orientasi, “learning by doing‟ dapat dijadikan kunci perubahan di masa depan, dengan sekaligus mengaitkannya secara fungsional dengan kebutuhan di dunia nyata.
KONSOLIDASI POLITIK, EKONOMI, DAN PENATAAN HUKUM
Di samping melalui pendekatan budaya atau kultural, upaya kebangunan watak bangsa juga perlu didekati secara structural. Pendekatan budaya memang baik, namun hasilnya baru dapat diperoleh dalam jangka waktu yang lama, bahkan mungkin baru dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Oleh karena itu, pendekatan budaya melalui pendidikan, melalui agama, dan hal-hal lain yang secara sengaja dimaksudkan untuk melakukan penyadaran, memang tidak dapat disangkal, tetapi jelas tidak cukup dijadikan andalan satu-satunya. Pendekatan kultural itu dapat dikatakan memang perlu tetapi tidak cukup, “necessary but not sufficient‟.
Politik, ekonomi, dan bahkan hukum lah sebenarnya yang pada akhirnya dapat memaksakan suatu gagasan perubahan dengan lebih cepat dan lebih efektif. Bagaimanapun struktur dari suatu sistem politik dan hukum dapat lebih efektif membangun watak dalam waktu cepat, karena sistem itu dalam praktiknya akan menciptakan iklim kerja ke arah mana perilaku para anggota masyarakat akan mengacu.
Tentu saja, pandangan deterministic seperti ini hanyalah salah satu aliran saja dalam pemikiran ilmu social. Di samping aliran determinisme, ada juga aliran indeterminisme yang lebih melihat struktur sebagai akibat atau sebagai resultante saja dari kultur yang hidup dalam masyarakat, sehingga menurut aliran ini yang jeuh lebih penting adalah pendekatan budaya sebagaimana sudah diterangkan di atas.
Dalam kenyataan praktik, kedua pendekatan ini tentu sama-sama berguna dan sama-sama harus diterapkan secara simultan. Akan tetapi, untuk mengharapkan hasil yang segera, tentu kita harus lebih mengandalkan pendekatan structural. Sistem politik dan hukum akan menciptakan iklim yang efektif untuk membentuk karakter, akhlaq, moralitas individu warga. Jika akhlak bangsa kita sedang bermasalah seperti sekarang ini, maka untuk mengatasinya dalam waktu cepat, segeralah kita perbaiki sistem politik dan hukum yang benar-benar ditegakkan dalam praktik, sehingga perilaku manusia Indonesia dapat benar-benar dikontrol ke arah kualitas perilaku yang diidealkan di zaman modern sekarang ini. Jika sistem politik kacau dan sistem hukum tidak tegak dengan adil dan berkeadilan, jangan diharap mentalitas dan watak bangsa akan dapat diperbaiki. Justru control atas perilaku menyimpang (deviant behaviours) itu harus dilakukan dengan memfungsikan sistem „reward and punishment‟ baik di bidang hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan (code of law) maupun di bidang etika (code of ethics).
Untuk itu, politik dan ekonomi kita perlukan untuk memungkinkan sistem hukum dapat ditata dengan baik dan dapat ditegakkan dengan benar dan berkeadilan.Untuk itu, hasil reformasi besar-besaran selama 13 tahun perlu dikonsolidasikan dengan baik. Mana kebijakan politik yang dianggap berlebihan selama ini dipraktikkan, mungkin saja perlu dikurangi, ataupun mana saja yang dinilai masih belum tuntas penataannya dapat saja dilanjutkan ke tahap penataan berikutnya, sehingga dapat dicapai keseimbangan yang fungsional dalam upaya menata kehidupan politik yang benar-benar berguna untuk kemajuan bangsa di segala bidang. Semua ini dimaksudkan agar kebebasan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi di bidang politik yang dibangun akan berlangsung secara tertib dan teratur sehingga justru menimbulkan kekacauan yang menyebabkan demokrasi itu terasa tidak berguna untuk mewujudkan tujuan bernegara.
Bersamaan dengan itu, kebebasan yang dihasilkan oleh demokrasi itu juga akan diikuti oleh tumbuh dan berkembang pesat energi pertumbuhan ekonomi yang bebas, tetapi tetap diimbangi oleh keadilan yang menjamin pemerataan kesejahteraan. Kata kuncinya tidak lain ialah hukum, „the rule of law‟ mesti tegak dan ditegakkan dengan setegak-tegaknya, sehingga kebebasan politik menjadi teratur, dan perkembangan ekonomi menjadi berkeadilan. Dalam keseimbangan semua unsur pokok dalam kehidupan bersama itulah watak dan kepribadian manusia dapat tumbuh wajar dan berkembang alamiah sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia yang beriman dan yang saleh secara individual maupun secara sosial, dan bahkan sebagai makhluk manusia yang hidup seimbang dalam eko-sistem yang diciptakan oleh Allah swt.
PENCERAHAN BUDAYA DAN PERADABAN
Karena itu, baik pendekatan structural maupun cultural tersebut di atas, perlu digerakkan secara sungguh-sungguh dan simultan agar kebangunan watak da karakter bangsa kita dapat segera dibangkitkan. Kebijakan bernegara dan berpemerintahan serta kinberja manajemen dan kepemimpinan harus terus menerus dievaluasi dan diperbaiki agar dampaknya bagi kemajuan benar-benar efektif. Untuk semua ini tentu diperlukan „dirigent‟ yang dapat bekerja efektif dalam memimpin pagelaran music kebangsaan kita.
Sementara itu, agenda reformasi pendidikan yang menekankan pentingnya watak atau karakter harus segera diwujudkan secara konkrit di lapangan. Pendidikan watak atau pendidikan karakter itu sangat menentukan kualitas peradaban bangsa kita di masa depan. Pendidikan karakter itu akan sangat membantu kita membuka pintu pencerahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di masa depan. Arus informasi pengetahuan yang bergerak luas di dunia maya akan sangat mudah dikuasai oleh siapa saja yang tercerahkan (enlightened personalities). Semakin banyak, luas, dan mendalam informasi dikuasai oleh anak bangsa kita, makin besar pula potensi bangsa kita untuk maju dan berperan aktif dalam pergaulan antar peradaban modern.
Indonesia adalah negeri dengan penduduk keempat terbesar di dunia dan hidup di wilayah benua maritime yang sangat kaya dari semua aspeknya. Jika kita tidak tertinggal, maka bersamaan dengan terus meningkatnya kualitas sumber daya manusia di seluruh dunia, sudah tentu pada saatnya Indonesia akan berkembang menjadi salah satu kiblat peradaban umat manusia. Untuk itulah maka kita memerlukan upaya-upaya pencerahan dalam membentuk kepribadian, watak, dan karakter generasi muda sekarang agar menghasilkan insan-insan unggulan di segala bidang. Untuk itu, bangsa kita memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan kebutuhan demikian itu. Strategi pendidikan nasional yang kita praktikkan sekarang memerlukan reformasi yang mendasar dan bahkan boleh jadi bersifat radikal sehingga dapat membuka optimisme ke arah perbaikan yang berarti di masa mendatang.
Untuk itu, kita perlu menyampaikan harapan, kiranya kaum cerdik cendekia dan khususnya para ahli pendidikan dapat memikirkan pelbagai altenatif solusi dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional kita dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan kita dalam arti sempit, dan integrasi sistem pendidikan dalam arti luas dengan melibatkan semua actor dan factor yang berpengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa