Meneropong Problem Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan di Indonesia telah diamanatkan dalam UUD ’45 (hasil amandemen) pasal 31. Dengan amanat tersebut pemerintah atau negara berkewajiban untuk memberikan dan menyelenggarakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan ini diselenggarakan dalam rangka mendidik dan mencerdaskan rakyat agar dengan pendidikan yang telah ditempuhnya bisa digunakan untuk mencari dan mewujudkan taraf kehidupan yang layak, makmur dan sejahtera.
Untuk terwujudnya tujuan tersebut undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Harapannya dengan anggaran sebesar 20 % tersebut seluruh kebutuhan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dapat dipenuhi, demikian pula dengan gaji para pengajar bisa ditingkatkan.
Setelah berjalan beberapa tahun sejak UU Sisdiknas tersebut disahkan oleh DPR ternyata pemerintah belum mampu memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20%. Hal ini disebabkan karena pemerintah hingga saat ini (tahun 2008) masih disibukan dengan menutupi difisit APBN yang disebabkan terus naiknya harga minyak mentah dunia yang telah mencapai harga psikologis yaitu 126 US Dollar per barel. Alih-alih memenuhi anggaran pendidikan 20% untuk menutupi difisit APBN saja pemerintah mengalami kesulitan.
Kondisi APBN seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan. Pasalnya tanpa anggaran yang memadai beban pendidikan yang akan ditanggung masyarakat akan sangat berat. Meskipun pemerintah telah memberi bantuan pendidikan berupa bantuan operasi sekolah (BOS) sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) tetapi dampak signifikan dari dana BOS tersebut belum dirasakan. Buktinya akses pendidikan yang berkualitas tetap jauh dari jangkauan masyarakat secara mayoritas.
Sementara sebagian anggota masyarakat yang dapat mengakses pendidikan yang bermutu harus mengeluarkan dana yang besar karena sekolah-sekolah yang bermutu telah menjual sistem pendidikannya juga dengan harga yang mahal baik sekolah negeri maupun swasta.
Dengan demikian pendidikan yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara merata masih jauh dari kenyataan. Secara fisik banyak bangunan sekolah yang rusak sehingga tidak layak untuk digunakan bahkan ada kejadian atap sekolah tiba-tiba ambruk pada saat kegiatan proses belajar berlangsung. Sekitar 4,5 juta siswa harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Bagi siswa yang bisa menyelesaikan hingga sekolah menengah atas tidak sedikit yang terpaksa harus memilih menganggur atau bekerja apa adanya karena tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi karena biaya kuliah yang sangat mahal.
Tentu saja dengan tingkat pendidikan yang rendah akibatnya ketika terjun dalam persaingan kerjapun tidak mampu berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Lulusan perguruan tinggi juga ternyata belum tentu menjamin dapat pekerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di Indonesia mencapai sekitar 385.000 orang pada tahun 2005 dan 500.000 orang pada tahun 2007. Kemudian hasil survey UNDP tahun 2002, kualitas SDM Indonesia menduduki peringkat 110 dari 179 negara dunia, hanya satu tingkat diatas Vietnam.
Selain kondisi fisik yang memprihatinkan, hasil pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi masih jauh dari kenyataan.Tidak sedikit para siswa di berbagai kota yang sering terlibat perkelaian antar sekolah yang bisa terjadi kapan saja. Perilaku asusila dan pergaulan siswa siswi yang bebas menghiasi mereka dimana-mana. Hal ini tentu saja semakin menambah beban moral pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Kalau demikian kondisinya, mana yang salah dari sistem pendidikan kita apakah para pelaku-pelaku pendidik yang salah atau memang sistemya yang tidak beres. Disinilah perlunya mencari paradigma baru untuk membangun sistem pendidikan yang baik.
Pendidikan Tanggungjawab Pemerintah
Pendidikan merupakan kebutuhan primer sebagaimana kesehatan yang harus dirasakan oleh manusia dalam hidupnya. Oleh karenanya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan akses pendidikan yang mudah dan berkualitas. Untuk itu negara berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi seluruh rakyat dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pemerintah sama sekali tidak dibenarkan untuk melepaskan tanggungjawab pendidikan dengan cara menyerahkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat ataupun pihak swasta. Meskipun keberadaan sekolahsekolah swasta yang dikelola masyarakat turut membantu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tugas utama penyelenggarapendidikan adalah pemerintah. Untuk mewujudkan tanggungjawab tersebut pemerintah harus mengusahakan pembiayaan pendidikan. Pemerintah bisa mendapatkan biaya untuk pendidikan dari sektor berikut : (1) Sektor pajak yang diambil dari orang-orang kaya bukan dari seluruh masyarakat, (2) Sektor kepemilikan umum (bersama) atau sumber daya alam (SDA) seperti tambang emas, tembaga, perak dan timah serta tambang minyak, gas, hasil hutang, hasil laut dan hasil bumi lainnya. Jika kedua sumber tersebut ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif jika terjadi pembiayaan, maka negara harus mencukupinya dengan cara berhutang. Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari pajak yang diambil dari masyarakat yang mampu.
Untuk memperoleh biaya yang besar dari sektor SDA pemerintah harus melakukan nasionalisasi perusahaan yang selama ini di kuasai oleh perusahaan asing atas nama penanaman modal asing (PMA). Jika nasionalisasi tersebut dilakukan maka pemerintah akan mendapatkan :
1. Potensi hasil hutan berupa kayu.
2. Potensi hasil hutan berupa sektor tumbuhan dan satwa liar.
3. Potensi pendapatan emas dan tembaga seperti di Papua yang dikuasai PT Freeport.
4. Potensi pendapatan minyak dan gas seperti dari blok Cepu, dan lain-lain.
Jika mengambil contoh APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp. 90.10 triliun atau 11,8% dari total nilai anggaran sebesar Rp. 763.6 triliun. Angka Rp. 90.10 triliun itu belum termasuk untuk pengeluaran gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan dan anggaran kedinasan. Jika nasionalisasi dilakukan terhadap sektor SDA diperkirakan pemerintah akan mendapatkan biaya sebesar Rp. 90 triliun (www.tempointeraktif.com 8-1-2007).
Privatisasi Pendidikan Bukan Solusi Yang Tepat dan Adil
Maraknya undang-undang (UU) dalam sektor ekonomi dan industri seperti UU migas, UU kelistrikan, UU sumber daya air, dan UU penanaman modal asing telah mendorong pemerintah untuk memiliki UU pendidikan dalam bentuk RUU-BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang direncanakan akan disahkan sebagai UU pada tahun 2010. Ini merupakan salah satu indikator proyek DIKTI, Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi Indonesian Managing Higher Education For Relevance and Efficiency (IMHERE). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (Loan) dariBank Dunia baik dari dana IBRD maupun dana dari IDA, dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Development Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule.
Beberapa proyek kompetitif lain seperti QUE, DUE-Like, TPSDP, A2 dan A3 merupakan proyek-proyek pemanasan yang mengarah kepada privatisasi perguruan tinggi (PT). Pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah selesai dan siap diujipublikan akhir 2007. Privatisasi pendidikan melalui BHMN/BHP membawa konsekuensi berupa pengelolalan lembaga/instansi pendidikan yang lebih otonom. Jika sebelumnya pengelolaan lembaga/instansi pendidikan khususnya negeri didominasi oleh pemerintah, maka dengan adanya privatisasi lembaga/instansi pendidikan memiliki kewenangan yang lebih dalam mengelola lembaganya.
Anggaran pendidikan yang ditetapkan 20%, pada 2007 hanya Rp 90.10 triliun (11.8% dari APBN). Kini, peran pemerintah dalam pendidikan terus dikurangi, termasuk masalah dana. Konsekuensinya dana diambil dari masyarakat (SPP dan non-SPP). Sebagai contoh, ITB tahun 2007 butuh Rp 392 miliar, untuk itu diberlakukan SPP reguler 2006/2007 Rp 3.25 juta/semester; Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan Rp 625.000,00/SKS. Fakultas Kedokteran salah satu PT di Jawa Barat memungut Rp. 250 juta 1 milyar. Kalau ini terus berlanjut maka orang miskin ’dilarang sekolah’. Kapitalisasi dan liberalisasi ini berlaku mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Kalaupun diterapkan subsidi silang, berapa banyak orang ‘kaya’ yang dapat menanggung? Bukankah ini sebuah diskriminasi? Prakteknya, tidak menunjukkan hal tersebut. Ketika dana dari pemerintah minim, kampus dijadikan alat untuk menghasilkan uang, atau dana berasal dari pinjaman asing. Akibatnya, terjadi ketergantungan dana pada pihak asing, khususnya Bank Dunia dan ADB. Hal ini menciptakan ‘penjajahan’ kurikulum, kultur, dan isi otak.
Akibatnya, rakyat menjadi kuli di negerinya sendiri.
Kapitalisasi pendidikan merupakan wujud nyata penjajahan. Akibat biaya sekolah yang tinggi, pendidikan yang bermutu hanya bisa diakses oleh orang-orang yang berduit saja, orang miskin dilarang sekolah yang layak.
Sejatinya, pendidikan gratis untuk semua. Kurikulum berbasis pada kultur/tsqafah yang sesuai dengan Islam; sains dan teknologi disesuaikan dengan perkembangan; otonomi dilakukan dalam administrasi, pendidikan dan research oleh satuan pendidikan untuk meningkatkan kualitas, dan untuk mewujudkan akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, non-diskriminasi, dan lain-lain dilaksanakan tanpa perlu kapitalisasi atau komersialisasi.