Membangun Daya Saing Bangsa Melalui Pendidikan
Dunia yang semakin menyatu dalam satu kesatuan yang utuh melalui globalisasi sudah menjadi kenyataan. Thomas L. Friedman bahkan merangkumnya dengan bahasa yang lugas: ”The World is Flat”. Globalisasi sendiri menurut Thomas Friedman bergeser dari Globalization 1.0 menuju Globalization 2.0, dan sekarang Globalization 3.0. Saat ini, bukan saja isu perekonomian dan perdagangan dunia yang kian menyatu, namun juga berbagai isu lain, seperti demokratisasi, ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan informasi, bahkan pendidikan, serta berbagai isu lainnya. Berbagai negara membentuk aliansi bersama untuk bergabung dalam satu kekuatan besar dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Sehingga batasan suatu negara kian tak kentara dengan tingkat dinamika dan mobilitas yang semakin tinggi dari masyarakatnya.
Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia menghadapi berbagai macam permasalahan yang kompleks, hal ini merupakan salah satu akibat dari lamanya bangsa ini dikuasai oleh penjajah yang sifatnya eksploratif. Pada masa itu, bangsa ini hanya dimanfaatkan sumber daya alamnya yang melimpah, sedangkan dalam sumber daya manusianya dibodohkan dengan berbagai cara, sehingga bangsa ini tidak mengalami masa perkembangan yang menakjubkan dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, maupun teknologi. Masa penjajahan tersebut, disatu sisi melahirkan kaum intelektual yang terbatas, namun disisi lain justru menghasilkan sumber daya manusia yang tidak berkualitas. Keadaan tersebut mewariskan buruknya pengelolaan bangsa ini oleh para penguasa bangsa ini sendiri, baik di jaman orde lama maupun orde baru, sehingga bangsa ini kalah bersaing dengan bangsa lain.
Permasalahan krusial yang dihadapi bangsa ini, yang menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia antara lain ialah jumlah penduduk 219,20 juta (BPS, 2006); Pertumbuhan angkatan kerja lebih besar ketimbang ketersediaan lapangan kerja; Ditribusi penduduk antar daerah tidak merata; Ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan pasar kerja; Ketidak-seimbangan kebutuhan layanan publik dengan jumlah petugas; Distribusi informasi tentang pasar kerja yang lambat atau timpang; permintaan tenaga kerja yang belum terpetakan dengan baik; Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara simultan menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan pada akhirnya menyebabkan rendah kualitas SDM Indonesia.
Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2008 menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2008, peringkat daya saing Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke–55 dari 134 negara. Prestasi Indonesia di 2008 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan prestasi tahun 2007 yang berada di urutan 54 dari 131 negara (Sumber: World Economic Forum - The Global Competitiveness Report tahun 2008-2009).
Menurut hasil Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Derajat pendidikan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia berada pada posisi paling buncit di bawah Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina, berada di atas Indonesia. Indikator yang digunakan oleh PERC antara lain: (1) Impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; (2) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah; (4) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; (6) Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; (7) jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; (8) Ketersediaan staf manajemen; (9) Tingkat keterampilan tenaga kerja; (10) semangat kerja (work ethic) tenaga kerja; (11) Kemampuan berbahasa Inggris; (12) Kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris; (13) Kemampuan penggunaan teknologi tinggi; (14) Tingkat keaktifan tenaga kerja; (15) Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja (labour turnover).
Padahal, menurut Data statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencatat bahwa secara kuantitas perkembang perguruan tinggi (akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas) di Indonesia meningkat tajam, jika pada bulan September 1999 jumlah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia berjumlah 1.634 perguruan tinggi, kemudian jumlahnya naik menjadi 2.428 atau naik sebesar 49% selama lima tahun terakhir (1999-2004).
Apabila jumlah lembaga pendidikan tinggi itu dibedakan menurut statusnya, maka jumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) naik dari 77 menjadi 81 (atau naik sebesar 5,2%) PTN, tahun 2006 menjadi 82 PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) naik dari 1.557 menjadi 2.347 (atau naik sebesar 51,4%) dalam periode waktu tersebut, bahkan pada tahun 2006 telah menjadi 2.679 PTS. Jumlah mahasiswa PTN pada tahun 2004 mencapai 880 ribu termasuk mahasiswa Universitas Terbuka, sementara jumlah mahasiswa PTS mencapai 1,7 juta. Angka partisipasi kasar mahasiswa telah meningkat dari 9% pada tahun 1985 menjadi 12,8% pada tahun 2002. Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi tahun 2002 masih tergolong rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, misalnya Brunei 13,89%, Malaysia 23,26%, Filipina 29,45%, dan Thailand 31,92%.
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa secara umum, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan menyangkut kualitas pendidikan yang masih rendah, yang mengakibatkan daya saing bangsa, baik di tingkat regional ASEAN, terlebih lagi di tingkat dunia, kalah bersaing dengan negara lain. Hal tersebut perlu direspon dengan cepat melalui pembenahan di sektor pendidikan, mengingat saat ini perubahan semakin dinamis, sehingga setiap permasalahan yang muncul akan berpengaruh pada berbagai sektor lainnya. Menurut Word Education Forum (WEF), kunci utama dan majunya pembangunan pendidikan di suatu negara adalah karena adanya kepedulian pemerintah yang begitu serius dalam menangani sektor pendidikan. Soemarto, (2002:1) menambahkan, keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa yang bersangkutan. Hal ini patut dicermati mengingat pembangunan pendidikan di Indonesia relatif masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun, kecuali dengan negara baru Timor Leste.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional tahun 2000 (Mulyasa, 2006:23) mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan sistem pendidikan nasional yang dikembangkan di tanah air adalah kurangnya perhatian pada output. Standarisasi kurikulum, buku, alat, pelatihan guru, sarana dan fasilitas sekolah merupakan wujud kendali pemerintah terhadap input dan proses yang harus berlangsung di dalam sistem. Akan tetapi standar kompetensi apa yang harus dikuasai oleh seorang peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar, belum mendapat perhatian yang semestinya.
Menurut Djoko Kustono (2007:2), kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU. RI. No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut: Guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4.
Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat.
Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru. Sertifikat pendidik adalah merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional (UU. No. 14 Tahun 2005). Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang bermutu. Untuk dapat menjadi profesional, mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualkan diri. Pemberian prioritas yang sangat rendah pada pembangunan pendidikan selama beberapa puluh tahun terakhir telah berdampak buruk yang sangat luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (Asrorun Ni'am Sholeh, 2006:9).
Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini akan menyajikan sejumlah analisa dan pemikiran mengenai pentingnya upaya peningkatakan daya saing bangsa, dalam hal ini profesionalisme guru merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, dan dilaksanakan secara obyektif, transparan dan akuntabilitas.
Pendidikan di Indonesia
Bidang pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat fundamental dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan, di samping juga merupakan faktor penentu bagi perkembangan sosial dan ekonomi ke arah kondisi yang lebih baik. Pendidikan juga dipandang sebagai sarana paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa. Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan masayarakat, maka pemerintah dewasa ini sangat memperhatikan segala aspek pendidikan yang ada untuk ditingkatkan, termasuk peningkatan mutu produktivitas guru. Harapannya adalah agar pendidikan di Indonesia bangkit dari keterpurukan dan menjadi garda terdepan dalam pembangunan bangsa. Bentuk perhatian ini, secara khusus tercermin dalam kebijakan pemerintah, antara lain: berupa pemenuhan sarana perundang-undangan, peningkatan anggaran pendidikan, sampai pada upaya penyempurnaan berbagai regulasi yang berlaku untuk memajukan pendidikan nasional. (Subandowo, 2009:109-110).
Hal tersebut merupakan sebuah upaya yang dilandasi adanya kesadaran untuk mewujudkan amanat konstitusi yang diletakkan para founding father negara ini, yaitu dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengisyaratkan, bahwa: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, bahwa: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Sebagai upaya melaksanakan amanat konstitusi itulah, maka pada saat ini pemerintah pusat maupun daerah tengah berkonsentrasi secara penuh terhadap kemajuan dalam pembangunan pendidikan, dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang diyakini sebagai faktor penunjang akselerator kemajuan daerah. Peningkatan sumber daya manusia melalui bidang pendidikan hanya dapat dicapai, jika guru yang berfungsi sebagai pendidik generasi bangsa juga memiliki kualitas yang tinggi.
Pembangunan bidang pendidikan di setiap daerah bertumpu kepada tiga pilar Kebijakan Strategis Departemen Pendidikan Nasional, yaitu: (1) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan; (2) Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; dan (3) Tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik (Depdiknas, 2008:5). Ketiga pilar itulah yang menjadi dasar pengembangan sektor pendidikan yang menyeluruh di Indonesia dewasa ini.
Daya Saing Bangsa dalam Pendidikan
Pemahaman mengenai pentingnya daya saing bangsa, muncul dan berkembang seiring dengan semakin berkembangnya globalisasi dan perdagangan dunia. Berkaitan dengan itu, Hatten dan Resenthal (2000:5) menyatakan bahwa penguasan bidang ilmu dan teknologi dalam kadar yang memadai sangat diperlukan agar masyarakat dapat meningkatkan kemampuan kreativitas, pengembangan, dan penerapan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sebagai tuntutan yang mutlak dalam kehidupan global.
Menurut Harrison dan Huntington (Subandowo, 2009:109). Era globalisasi telah merubah paradigma yang sangat besar dalam sektor produktivitas yang menyangkut kekayaan suatu negara. Pada masa lampau kekayaan suatu negara dipandang berkait erat dengan sumber-sumber kekayaan alam yang dimiliki. Akan tetapi untuk ukuran sekarang, kekayaan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia yang mampu mengubah sumber-sumber daya alam itu menjadi produk atau jasa yang berharga berdasarkan ilmu pengetahuan, investasi, gagasan, dan inovasi.
Banyak sumber daya alam atau eksternal yang dulu menguntungkan suatu negara kini telah hilang karena arus perkembangan globalisasi. Konteks baru dalam peningkatan daya saing antarbangsa dewasa ini adalah kebutuhan untuk mengetahui segala perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan penguasaan yang memadai bidang ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak heran jika berbagai bangsa dapat kita saksikan sangat antusias berlomba dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, termasuk menciptakan, mengembangkan, dan menggunakannya dalam rangka mencapai kesuksesan yang kompetitif. Bagi suatu bangsa maupun organisasi bisnis, penguasaan ilmu pengetahuan baru sangat penting artinya untuk dapat berpartisipasi dalam era global. Pihak yang pantas menjadi pemenang dalam persaingan global adalah mereka yang mengetahui (knowing) bagaimana cara bertahan hidup dan mengetahui bagaimana mengembangkan kemampuan berorganisasi (Hatten dan Rosenthtal, 2000:7).
Dalam kaitan ini, pendidikan merupakan unsur penting yang harus mendapat prioritas utama. Dalam kerangka itulah, pendidikan diharapkan dapat memberi sumbangan bagi perkembangan seutuhnya setiap orang, baik jiwa, raga, intelijensi, kepekaan, estetika, tangung jawab, dan nilai-nilai spiritual. Melalui pendidikan, setiap orang hendaknya dapat diberdayakan untuk berpikir mandiri dan kritis. Dalam dunia yang terus berubah dan diwarnai oleh inovasi sosial dan ekonomi, pendidikan tampak sebagai salah satu kekuatan pendorong untuk meningkatkan kualitas imajinasi dan kreativitas sebagai ungkapan dari kebebasan manusia dan standarisasi tingkah laku perorangan. Kesempatan atau peluang perlu diberikan kepada generasi muda untuk melakukan percobaan dan menemukan sesuatu yang baru (UNESCO, 1996:94).
Profesionalisme Guru
Menurut Syaiful Sagala (2009:2), Kata profesi berasal dari bahasa Yunani “pbropbaino” yang berarti menyatakan secara publik dan dalam bahasa Latin disebut “professio” yang digunakan untuk menunjukkan pernyataan publik yang dibuat oleh seorang yang bermaksud menduduki suatu jabatan publik. Para politikus Romawi harus melakukan “Professio” didepan publik yang dimaksudkan untuk menetapkan bahwa kandidat bersangkutan memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk menduduki jabatan publik.
Sanusi, dkk., (Syaiful Sagala, 2009:8) menguraikan ciri utama suatu profesi (1) jabatan tersebut memiliki fungsi, signifikansi yang menentukan serta menuntut keterampilan dan keahlian tertentu; (2) keterampilan dan keahlian tersebut didapat dengan menggunakan teori dan metode ilmiah berdasar disiplin ilmu tertentu; (3) jabatan itu memerlukan pendidikan di perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama; terutama dalam aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri; (4) dalam memberikan layanan kepada khalayak ramai, anggota profesi selalu berpegang teguh pada kode etik yang diawasi dan dikontrol oleh organisasi profesi terkait; (5) kendatipun begitu, anggota profesi dapat dengan leluasa dan bebas memberikan keputusan sesuai dengan profesinya; sehingga mereka bebas dari campur tangan orang lain; dan (6) jabatan ini memperoleh penghormatan yang tinggi di tengah masyarakat, sehingga memperoleh imbalan atau gaji yang tinggi, berbeda dengan pekerjaan lain yang nonprofesi.
Profesionalisme Guru sebagai Upaya Membangun Daya Saing Bangsa
Terkait dengan upaya dalam memperbaiki kualitas pendidikan, pada tahun 2005, secara formal Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) mulai disahkan dan diberlakukan. Undang-undang ini dihasilkan sebagai kebijakan dari upaya intervensi langsung pemerintah dalam meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut, disinyalir berkaitan erat dengan maju-mundurnya kualitas pendidikan di Indonesia. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut standar hidup masyarakat berkecukupan. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi.
Terkait dengan beberapa permasalahan dalam profesi pendidikan, menurut Anwar dan Sagala (Syaiful Sagala, 2009:8-9), terdapat empat hal yang perlu dibahas, yakni:
1. Profesionalisme profesi keguruan, pada dasarnya pengajaran merupakan bagian profesi yang memiliki ilmu maupun teoritikal, keterampilan, dan mengharapkan idiologi profesional tersendiri. Oleh sebab itu seseorang yang bekerja di institusi pendidikan dengan tugas mengajar jika diukur dari teori dan praktek tentang suatu pengetahuan yang mendasarinya, maka guru juga merupakan profesi sebagaimana profesi lain.
2. Otoritas profesional guru, disiplin profesi guru memiliki hubungan dengan anak didik, para guru melaksanakan tugasnya dengan penuh gairah, keriangan, kecekatan (exhilaration), dan metode yang bervariasi dalam mendidik anak-anak. Pendidikan profesional memberi bantuan sampai tuntas (advocation) kepada anak didik. Jadi guru yang profesional tidak hanya terkonsentrasi pada materi pelajaran, tetapi mereka juga memperhatikan situasi-situasi tertentu. Guru telah mendapat pengetahuan melalui pendidikan profesional keguruan. Dengan dasar itu menunjukkan bahwa yang berhak mengadvokasi dalam pendidikan untuk anak hanya otoritas guru. Walaupun secara garis besar guru mengajar dan membantu anak didik memperoleh ilmu pengetahuan, maka otoritas guru ada pada subjek pengajaran, dan pendidikan.
3. Kebebasan akademik (academic freedom), keberanian bertindak secara otonom merupakan sikap karakteristik profesi, dan perasaan praktisioner mengharuskannya membuat suatu kebijakan yang diikuti oleh klien-nya tanpa suatu tekanan eksternal, yaitu dari orang lain yang bukan anggota profesi atau organisasi kerjanya.
Academic freedom adalah suatu kebebasan yang memberi kebebasan berkreasi dalam suatu forum dalam lingkup kebenaran. Dalam kasus ini, secara positif guru memiliki tanggung jawab keilmuwan. Guru bekerja bukan atas tekanan kebutuhan belajar muridnya, tetapi atas tuntutan profesional, dan ini adalah batas kebebasan yang di maksud. Tetapi guru tidak mengabaikan kebutuhan belajar muridnya.
Makanya demonstrasi pemboikotan untuk menuntut kesejahteraan bagi guru dengan mengorbankan tugas mengajar adalah tidak tepat. Kebebasan akademik bukan berarti bebas otonomi, bebas dari aturan disiplin, tetapi perlu melegitimasi permintaan sejawat, murid, dan, profesionalismenya sendiri. Secara akademik guru bebas menyelidiki dan mengekspresikan kebenaran tanpa tuntutan orang lain, bebas mengajak muridnya mendiskusikan secara kritis topik-topik yang kontroversial, agar lebih kritis mampu mengerti apa dan bagaimana. Jadi academic freedomadalah suatu konsep yang mulia dan mendasar memberikan kebebasan akademik kepada anak didik tanpa suatu kungkungan dan mereka bisa memutuskan apa kasus dan kajian yang mereka kaitkan.
4. Tanggung jawab moral (responsible) dan pertanggungjawaban jabatan (accountability). Responsible maksudnya memiliki otoritas untuk mampu membuat suatu keputusan tanpa supervisi. Sedangkan accountability adalah tanggung jawab atau bisa dipertanggungjawabkan atas suatu tindakannya. Jadi penekannya adalah cara guru mempertanggungjawabkan keputusannya tentang apa yang diajarkan, kapan diajarkannya, dan bagaimana mengajarkannya berdasarkan otoritas profesionalnya sendiri sebagai perpaduan kompetensi disiplin, metode dan pengajaran keilmuwannya.
Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (8) memiliki jaminan perlindungan hokum dan melaksanakan tugas keprofesionalan dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesional guru (UU RI No. 14 Tahun 2005).
Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) merupakan suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut. Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang:
1. Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
2. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
3. Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
a. Kompetensi Pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi Kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c. Kompetensi Sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.
d. Kompetensi Profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.
Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi. Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi, yaitu: (1) Sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik, dan; (2) Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya UUGD sudah berstatus pendidik.
Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan, dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: (1) Kualifikasi akademik; (2) Pendidikan dan pelatihan; (3) Pengalaman mengajar; (4) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) Penilaian dari atasan dan pengawas; (6) Prestasi akademik; (7) Karya pengembangan profesi; (8) Keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan (10) Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat: (1) Melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus atau (2) Mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi. Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.
Guru merupakan komponen vital dan fundamental dalam proses pendidikan, yang mengedepankan proses pematangan kejiwaan, pola pikir, dan pembentukan serta pengembangan karakter (character building) bangsa untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Keberadaan dan peran pendidik dalam proses pembelajaran tidak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Pendidik yang handal, profesional dan berdaya saing tinggi, serta memiliki karakter yang kuat dan cerdas merupakan modal dasar dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas yang mampu mencetak sumberdaya manusia yang berkarakter, cerdas, dan bermoral tinggi. Sumberdaya manusia yang demikianlah yang sebenarnya diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dengan Negara-negara lain dan dapat berperan serta aktif dalam perkembangan dunia di era global dan bebas hampir tanpa batas ini (Baedhowi, 2009:2).Guru sebagai bagian dari organisasi sekolah memiliki kewajiban untuk melaksanakan serangkaian tugas sesuai dengan fungsi yang harus dijalankannya.
Sebagai seorang manajer PBM, guru berkewajiban memberi pelayanan kepada siswanya terutama dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Tanpa menguasai materi pelajaran, strategi pembelajaran dan pembimbingan kepada siswa untuk mencapai prestasi yang tinggi, maka guru tidak mungkin dapat mencapai kualitas pendidikan yang maksimal (Suhardan, 2007:4).Kualitas pendidikan yang tinggi sangat diperlukan dalam rangka menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan memiliki daya saing. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Penyempurnaan kurikulum dilakukan secara responsif terhadap penerapan hak azasi manusia, kehidupan demokratis, globalisasi, dan otonomi daerah (Depdiknas, 2001:6).