Merekonstruksi Pendidikan di Era Global

Merekonstruksi Pendidikan di Era Global 
Kondisi dunia pendidikan bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masih mengalami keterpurukan. Setidaknya, beberapa data berikut akan mendeskripsikan sejauh mana bangsa ini dapat bertahan dalam pergumulan kehidupan global yang begitu cepat. Misalnya, studi yang dilakukan oleh UNDP (2005), menunjukkan bahwa HDI (Human Development Index) Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara yang disurvey sementara tetangga kita Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand masing-masing menduduki peringkat ke 25, 33, 61, dan 73. Berikutnya, berdasarkan laporan World Competitiveness Report yang dirilis pada Mei 2005 memperlihatkan, dari 60 negara yang disurvey, Indonesia berada pada ranking ke-59 setingkat di atas Venezuela. Bahkan laporan TIMSS (Trends in Mathematic and Science Study) pada tahun 2003 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-35 dalam literasi Matematika dan peringkat ke-37 dalam literasi Sains dari 46 negara peserta. Studi lain, PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat 38 untuk literasi Sains dan Matematika, dan pada peringkat 39 untuk literasi membaca dari 40 negara. Studi Bank Dunia (1998) juga melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia berada pada peringkat terbawah di Asia.

Dari gambaran di atas, apa yang bisa kita lakukan terhadap dunia pendidikan? Bagaimana mengejar ketertinggalan bangsa kita terhadap bangsa-bangsa lain? Inilah kiranya beberapa pertanyaan yang mesti dijawab oleh bangsa kita khususnya para penentu kebijakan di negeri ini. Dari sisi pengaruh, bisa jadi sektor pendidikan ini merupakan salah satu sektor kehidupan manusia yang paling lambat dalam mengalami globalisasi. Dibandingkan dengan sektor ekonomi, wisata, teknologi, dan kebudayaan, sector pendidikan relatif lebih lambat. Hal ini, bisa jadi bukan hanya karena terkait dengan persoalan hakikat pendidikan, tetapi juga terkait dengan peran nyata pendidikan terhadap kehidupan manusia.

Sebelum keluarnya kebijakan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) di bidang pendidikan, misalnya, sesungguhnya sektor pendidikan sarat dengan nilai sosial terhadap masyarakat Indonesia. Filosofi wajib belajar pendidikan sembilan tahun (wajar dikdas 9 tahun) adalah salah satu kebijakan negara yang menunjukkan hakikat pendidikan sebagai modal sosial terhadap kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia Indonesia.

Terkait dengan fungsi sosial dalam konteks globalisasi ini, pendidikan mengalami kegamangan, tidak sepertinya halnya aspek trading dan traveling yang sarat dengan muatanmuatan ekonomi (kapitalisme) di balik menglobalnya kedua aspek tersebut. Terlebih lagi, masalah pendidikan ini pada hakikat merupakan satu usaha sadar manusia untuk memberikan layanan sosial kepada masyarakat, sehingga memiliki kematangan, kedewasaan dan kecakapan hidup, baik dalam konteks aktualisasi diri maupun relasi dengan sesama warga negaranya. Hakikat dasar pendidikan inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu pengerem atau lambatnya dunia pendidikan mengalami proses globalisasi.

Namun demikian, fakta sosiologis menunjukkan bahwa ‘globalization power’ begitu sangat kuat, baik dalam menuntut maupun mempengaruhi aspek-aspek kehidupan manusia. Globalisasi menurut pandangan Anthony Giddens (1992) merupakan satu kekuatan sosial dunia, yang mempengaruhi sektor kehidupan manusia dari aspek ekonomi sampai sector pribadi. Begitu pula Robertson (1992), menandai globalisasi sebagai gejala terkompresnya tata kehidupan dunia dan intensifnya kesadaran antarbangsa sebagai warga dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain, pada era global ini, selain intensifnya interaksi antar bangsa dan negara, juga ditandai munculnya kecenderungan saling ketergantungan dalam kehidupan suatu masyarakat dunia. Dalam konteks saling ketergantungan ini, jika orang atau bangsa yang berinteraksi ini tidak memiliki bargaining position yang setara, maka yang akan muncul adalah sebuah ketimpangan pola interaksi global. Kecenderungan seperti inilah yang banyak dikhawatirkan orang. Oleh karena itu, sangat rasional jika dikatakan bahwa globalisasi sebagai sebuah era penetrasi negara-negara maju terhadap negara lain, terutama Negara berkembang, untuk memperluas pemasaran produksi industry modernnya termasuk pendidikan. Pada sisi inilah, globalisasi bukan sebagai produk budaya manusia, tetapi malahan menjadi ‘counter-attack’ (serangan balik) terhadap peradaban manusia ‘sang pembuatnya’ sendiri sehingga tidak mengherankan jika Arthur Schlesinger (Branson, 2000) sampai mengatakan bahwa ‘globalization is in the saddle and riders mankind’.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas, maka sangat jelas sekali bahwa globalisasi itu sendiri muncul sebagai akibat dari adanya proses interaksi sosial manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, globalisasi hanyalah satu produk dari budaya manusia, khususnya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini. 

Orang yang berada di kampung dan terisolasi secara geografis pun, sepanjang dia memiliki komponen-komponen global misalnya information technology and economy maka orang tersebut akan tersedot pada dunia global. Manakala dirinya membuka ‘kotak ajaib’ di dalam kamarnya sendiri, maka arus globalisasi atau dunia virtual akan terus menyapa nalar dan kepribadiannya. Itulah fakta sosiologis yang menunjukkan bahwa kekuatan globalisasi saat ini kemudian menuntut dan mempengaruhi setiap aspek-aspek kehidupan manusia.

Seiring dengan hal ini, hakikat dan fungsi pendidikan sedikitnya banyaknya tengah bergeser ke arah wilayah baru yang mungkin jadi bukan pada wilayah pendidikan di masa lalu. Pendidikan bukan lagi sebagian upaya membangun karakter peradaban manusia, namun pendidikan menjadi bagian dari ‘komponen’ global yang membawa kepentingankepentingan global lainnya.

William Tab dari Queens College and Grad Centre melihat bahwa memang pada masa kini, orang lebih banyak memandang bahwa arus globalisasi ini hanya terkait dengan dunia ekonomi, teknologi, atau lapangan usaha. Pandangan ini diperkuat oleh Cogburn (2002) bahwa “The Information Revolution and the Information Age that it engenders, is being defined by on-going process of economic, social, and political globalization”. Padahal secara kasat mata, arus globalisasi ini, sudah memasuki wilayah pendidikan.

Sebagai salah satu komponen global, sektor pendidikan menjadi sektor ambigu dan sulit ditebak. Ambigu karena sektor ini akan dengan mudah dijadikan ‘topeng’ atau selimut kepentingan orang-orang tertentu di balik kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga pada akhirnya dari pihak kelompok yang lemah akan dipaksa untuk menerima sector pendidikan dengan imajinasinya masa lalu, sementara dari pihak pemilik modal sektor pendidikan hanyalah salah satu sektor global yang dapat dijadikan sebagai sumber eksplorasi dan eksploitasi capital.

Pada konteks inilah, globalisasi pendidikan salah satu aspek yang ambigu. Satu sisi menunjukkan kepentingan dan kepeduliannya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia menuju standar global. Pada dimensi lain, kecenderungan (trend) ini mengarah pada peran pendidikan sebagai instrumen eksploitasi ekonomi terhadap kelompok-kelompok yang lemah.

Seiring dengan hal ini, ada dua tahap yang dilakukan oleh kalangan kapitalis dalam memanfaatkan aspek pendidikan sebagai bagian dari kepentingan ekonomi globalnya. Pertama, pendidikan dijadikan sebagai instrument atau tools untuk melakukan pencerahan, pembinaan, pendidikan, pelatihan kapitalis kepada masyarakat dunia.

Masyarakat dunia dipaksa untuk kepentingan ‘contens pendidikan’ yang kapitalis untuk menerima sebuah kenyataan bahwa globalisasi apapun aspek dan sektornya, termasuk hukum hidup di era global, merupakan satu fakta yang harus diterima. Sehingga tidak mengherankan, pada akhirnya, para praktisi kapitalisme global ini menawarkan pentingnya untuk melakukan liberalisasi pendidikan sebagai bagian dari usaha mengglobalkan dunia pendidikan dan meraih standar pendidikan berkualitas global dengan indikator-indikator yang mereka buat sendiri.

Pada sisi lain, akibat dari keinginan atau kepentingan kelompok kapitalisme global untuk melakukan liberalisasi pendidikan ini, mencuat adanya kepentingan terselubung mereka menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Layanan pendidikan, bukan lagi sebuah layanan social humanis kepada masyarakat kecil, melainkan pendidikan dijadikan sebagai komoditas untuk mendapatkan imbalan ekonomi yang sebesar-besarnya dari masyarakat yang kurang mampu.

Hibah pendidikan yang diberikan oleh masyarakat dunia, tidaklah gratis. Beasiswa pendidikan yang ditawarkan masyarakat dunia bagi negara berkembang tidaklah gratis. Negara-negara berkembang itu harus membayar ‘pengorbanan pembelajaran gratis‘ yang diberikan negara donatur dengan dibukanya akses negara donatur untuk mengembangkan dan memperluas pasar ekonomi luar negerinya. Pada konteks inilah, sesungguhnya pendidikan hanyalah diposisikan sebagai instrumen kapitalis negara kaya di hadapan Negara berkembang dan negara miskin.

Dalam skala mikro, pengkomoditasan pendidikan oleh kepentingan global ini, tercermin dari tingginya biaya pendidikan yang diberikan oleh para penyelenggara pendidikan kepada masyarakat. Pada saat ini, para pengelola pendidikan sudah memposisikan bahwa satuan pendidikan atau institusi pendidikan, merupakan (1) komoditas ekonomi yang bisa dijual, (2) salah satu lapangan usaha bagi para penyelenggara, dan (3) biaya tinggi terhadap dunia pendidikan dianggap sebagai sesuatu hal yang alamiah, seiring dengan tingkat kepuasan yang diberikan kepada konsumen pendidikan itu sendiri. Ekspektasi dari ideologi seperti ini, transaksi pendidikan yang ada sudah berubah menjadi sebuah transaksi ekonomi dalam sektor pendidikan. Komunikasi yang terbangun, antara penyelenggara pendidikan dengan masyarakat atau pengguna jasa pendidikan, sudah merupakan sebuah transaksi bisnis antara produsen dan konsumen. Kebijakan BHMN khususnya di perguruan tinggi, misalnya, merupakan pelecut pertama terjadinya liberalisasi pendidikan dan kapitalisasi dunia pendidikan atau pemosisian pendidikan sebagai komoditas ekonomi. 

Implikasi Globalisasi
Atas cermatan di atas, dapat dikemukakan bahwa dampak globalisasi terhadap peradaban manusia melahirkan sejumlah konsekuensi baru bagi kehidupan manusia. Pertama, era globalisasi adalah era kompetisi. Dalam konteks ini, hukum Darwin akan turut berpengaruh. Siapa yang mampu berkompetisi dia akan hidup. Perbedaannya yaitu dalam masalah selektornya. Jika di awal kehidupan manusia berlaku seleksi alam (natural selection), dalam abad industry adalah capital-selection. Bangsa atau masyarakat yang memiliki modal itulah yang mampu bertahan, bahkan mengembangkannya ke wilayah yang lebih luas (ekspansif).

Sementara di era globalisasi, selector yang akan menonjol adalah technological selection atau knowledge selection, secara lebih spesifiknya yaitu competence-selection. Hanya orang, masyarakat, atau bangsa yang menguasai informasi, memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi sajalah yang dapat bersaing di era globalisasi.

Kedua, melahirkan gaya hidup baru (new life style). Batas sosiologis dan antropologis masa lalu luluh di era global. Manusia sudah tidak bisa diproteksi lagi dengan batas-batas geografis dan budaya. Pada setiap saat, dengan adanya komunikasi dan interaksi global, maka gaya hidup masa lalu mulai luntur dan digantikannya dengan gaya hidup global. Maka lahirlah manusia-manusia yang ‘baru’. Orang Jawa berbudaya Jepang, orang Sunda berbudaya Canada, orang Cicalengka berbudaya Amerika, orang Tarogong berbudaya Hongkong, orang Singaparna berbudaya Singapura, demikian pula sebaliknya. Bahkan, asimilasi dan akulturasi budaya dari itu akan melahirkan pula budaya Suncan (Sunda-Canada), Cimerika (Cicalengka-Amerika) atau yang lainnya. Dalam hal ini, Nicholas C. Burbules (2000) menyebutnya sebagai sebuah budaya akulturasi antara global dan lokal, yang disebutnya dengan “glocal”.

Ketiga, adanya pola kerja sama yang lebih luas. Batasbatas geografis telah hilang. Batas fisika saat ini diganti dengan batas-batas maya. Bangsa Indonesia sudah tidak perlu lagi khawatir tidak punya teman. Manusia sedunia inilah teman kerjanya. Orang yang sudah bisa bekerja sama antar berbagai bangsa dan negara dalam melakukan sebuah program kerja. Dalam hal ini, proyek-proyek di Indonesia pun telah dapat dilakukan dengan kerja sama. Maka muncullah sistem kerja sama bilateral, multilateral, atau unilateral yang pada tahap selanjutnya adalah melahirkan perusahaan multinasional (transnasional).

Keempat, globalisasi telah dapat melahirkan sejumlah paradoks global. Paradok global ini, muncul dalam dua wajah. Satu sisi paradoks yang ‘positif’ dan sisi yang lain negatif. Untuk paradoks-paradoks global yang positif, diantaranya itu dikemukakan oleh John Nasibit (1994, 1996). Dalam hal ini dia mencatat bahwa globalisasi saat ini telah melahirkan satu kultur baru, yaitu kembalinya kesadaran manusia terhadap identitas diri. Kemudian hal-hal paradoks lainnya, yaitu ‘semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat perusahaan kecil’, bangkitnya kembali nilai-nilai lokal (khususnya di Asia), bangkitnya nilai-nilai primordial (khususnya agama). Dalam tataran komunikasi, semakin global dan semakin canggih teknologi manusia berkomunikasi telah berubah dari komunitas ke personal. Budaya barat, sudah tidak bisa diproteksi secara kolektif baik itu oleh negara atau lembaga, sebab pengaruh budaya itu akan datang langsung menyentuh pribadinya sendiri-sendiri. Maka tidaklah mengherankan jika seorang anak di kamar dapat berkomunikasi dengan orang lain dari belahan budaya yang berbeda.

Sementara parodi-parodi global (Ahmed, 1988. Piliang, 2001) yang bersifat negatif, adalah munculnya hiperrealitas, konsumerisme, liberalisme, ketidakacuhan sosial, dan terorisme baik itu terorisme budaya, terorisme ekonomi, maupun terorisme fisik. Teknologi, seperti halnya internet, tidaklah hanya membantu manusia dalam melakukan aktivitas kehidupannya. Internet atau komputer juga telah melahirkan realitas-realitas maya yang menghantui manusia, misalnya, pemenuhan kebutuhan komunikasi maya dan asosial. Manusia sulit berkomunikasi interpersonal (ketemu langsung) akibat adanya internet dan telepon, akibatnya terjadilah pola komunikasi yang ‘asosial’ atau depersonalisasi (tidak terjiwai sebagai komunitas manusia hidup yang memiliki ruh, jiwa dan cinta).

Fenomena di atas dapat memetakan sebuah persoalan besar dalam kehidupan modern saat ini kaitannya dengan pendidikan. Globalisasi yang semula adalah produk peradaban manusia kini menjadi ‘lawan’ bagi dunia pendidikan dan peradaban yang siap mempengaruhi manusia itu sendiri.

Dalam konteks inilah, Schlenger mengatakannya bahwa globalisasi ini adalah pelana sekaligus penunggang bagi kehidupan manusia. Globalisasi saat ini menjadi satu realitas paradoksal, yang diposisikan sebagai tunggangan manusia tetapi juga penyetir manusia itu sendiri. Berdasarkan analisis di atas, dapat dirinci beberapa implikasi globalisasi terhadap dunia pendidikan di Indonesia.

Pertama, hal yang paling nyata tercerna oleh masyarakat pada umumnya, dengan adanya globalisasi ini adalah munculnya varisi model-model dan atau institusi sosial penyelenggara pendidikan. Tidak hanya di wilayah perkotaan, di daerah pedesaan pun sudah mulai dirasakan adanya efek dari model alternatif penyelenggaraan pendidikan. Untuk sekedar contoh, yaitu diselenggarakannya pendidikan luar sekolah atau pendidikan formal melalui media televisi dapat dijadikan model di era global.

Selain dari hal-hal tersebut, efek dari teknologi informasi atau globalisasi ini muncul berkembangnya modelmodel pendidikan berbasis elektronik, bahkan sudah berkembang ‘virtual graduate seminary’ atau virtual university yang menawarkan model pendidikan jarak jauh dengan menggunakan internet atau teknologi teleconference. Dari sisi waktu dan geografi, penggunaan teknologi informasi seperti ini memberikan nilai efektif dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Namun dari sosio-pendidikan, maka proses pendidikan itu sudah bukan lagi sebuah komunikasi antar manusia secara langsung (direct communication) melainkan sebuah komunikasi termediasi oleh teknologi. Komunikasinya bisa langsung (misalnya melalui teleconference) namun proses interkasi dan komuniasi pendidikannya tersebut, termediasi oleh sarana teknologi.

Kedua, nafas atau ruh pendidikan sudah tidak lagi bersifat sosial tetapi cenderung mengarah pada peran dan posisi sebagai instrumen global atau komoditas ekonomi global. Maka tidak mengheran, bila sektor pendidikan pun kerap dijadikan instrumen penggalian keuntungan dan sekaligus menjadi muncul sebagai layanan publik yang berbiaya mahal. Ketiga, memunculkan karakter pendidikan sebagai salah satu lembaga yang memiliki ambiguitas hakikat, peran dan fungsi. Pendidikan di era global ini seolah menjadi komoditi. Ia tidak lagi menjadi driver peradaban manusia, melainkan hanya sekedar objek dan ‘sapi perahan’ ekonomi global. Dengan kata lain, yang menjadi driver dalam era global ini adalah tetap, yaitu ekonomi sebagai pioneer atau driver peradaban manusia. Pendidikan tidak lagi menjadi katalis pembebasan dan pemberdayaan masyarakat, melainkan lebih berfungsi sebagai tools atau selektor terhadap strata ekonomi masyarakat. Mereka yang tidak memiliki (to be have not) akses ke aset ekonomi akan tersingkir secara alamiah dari peluangnya untuk mendapatkan layanan pendidikan yang prima.

Sementara mereka yang berpunya memiliki akses yang luas untuk mendapatkan layanan pendidikan yang akan dijadikannya bekal untuk menjadi aktor global di esok hari. 

What’s Next?
Berdasarkan pemikiran ini, maka dibutuhkan ada upaya seksama dan sistematik sehingga pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan nasional sesuai dengan visi dan misi pembangunan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks menuntaskan gerakan reformasi nasional yang tengah berjalan seperti ini. Bila hal ini tidak dilakukan, maka pendidikan di Indonesia, hanyalah akan menjadi salah satu instrumen kepentingan orang lain, dan bukan bagian dari upaya pembangunan karakter bangsa negerinya sendiri. Oleh karenanya, pemerintah dituntut untuk memproteksi regulasi pendidikan agar tetap berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi sekaligus meninjau ulang berbagai kebijakan pendidikan yang membuat pendidikan rakyat menjadi mahal, semisal apakah penyelenggaraan perguruan tinggi dengan BHP-nya akan menjadi mahal?

Pada konteks inilah, fungsi pendidikan sebagai bagian pembangunan karakter bangsa (national character building) harus tetap dipertahankan meski adanya tekanan dan tuntutan globalisasi. Sebab, pendidikan hakikatnya sebuah keniscayaan untuk mengembangkan sumber daya manusia sebagai modal sosial (social capital) sebagaimana Fukuyama (2002) ungkapkan. Di dalam pendidikan pula dikembangkan nilainilai yang dikategorikan high-trust seperti nilai kebersamaan, saling kepercayaan, keberdayaan menjadi sebagian dari nilainilai dasar bangsa.

Hal yang lebih prinsip lagi, melalui pembaharuan filsafat, sistem, dan model penyelenggaraan pendidikan global berbasiskan nilai ke-Indonesiaan ini, diharapkan dapat dijadikan landasan dalam membangun karakter kewarganegaraan bangsa Indonesia yang kokoh ke dalam dan ke luar.

Ke dalam artinya, pendidikan memiliki peran dalam meningkatkan ketahanan nasional Indonesia dalam menjaga keutuhan negara, sekaligus memiliki standar mutu pendidikan yang baik. Sebab, kualitas pendidikan seperti diungkap Tilaar (2006) bersifat dinamis, terus “berlari”, dan tidak statis.

Sedangkan kokoh ke luar, artinya pendidikan mesti mampu membangun karakter anak bangsa dalam mewujudkan global (global citizenship) atau global civil society (masyarakat sipil global) sehingga mampu bersaing dengan warga dunia lainnya.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson