Belajar Dari Fenomenologi Husserl
BERMULA DARI KRISIS ILMU-ILMU SOSIAL DAN PERSPEKTIF ATAS KEMANUSIAAN
Kecanggihan dan kemajuan ilmu alam dan ilmu-ilmu pasti pada awal abad ke 20 telah menghantar kultur Eropa pada krisis kemanusiaan, terutama pada cara manusia memandang diri dan sesamanya. Metode dan asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti telah mendominasi segala bidang, termasuk bidang-bidang yang berkaitan dengan manusia. Cara pandang manusia terhadap realitas dunia yang semestinya multi dimensional itu telah didominasi dan bahkan “dikuasai” oleh metode-metode dan asumsi-asumsi ilmu-ilmu alam, seakan-akan metode dan asumsi itulah satu-satunya yang paling sahih. Itulah yang diungkapkan oleh Husserl dalam karya The Crisis of European Sciences (1936).
Dominasi metode dan asumsi ilmu alam dipandang oleh Husserl telah mengkerdilkan kebudayaan manusia modern secara naïf, seakan-akan dimensi spiritual telah kehilangan jati dirinya. Reduksi dimensi spiritual manusia ke dalam metode-metode dan asumsi-asumsi ilmu-ilmu pasti atau ilmu alam telah membawa manusia pada penilaian-penilaian yang melulu bersifat fisik dan objektif. Inilah yang disebut dengan reduksi atas dimensi spiritual-transendental manusia pada hal-hal yang bersifat praktis dan pragmatis.
Reduksi semacam ini jelas dianggap memiskinkan perspektif manusia atas dirinya sendiri dan dunianya. Inilah yang disebut oleh Husserl sebagai krisis ilmu-ilmu di Eropa.Lewat fenomenologi, Husserl mau mengembalikan kemampuan rasional manusia dalam bentuk kesadaran yang hadir dan mengarahkan diri kepada objek, sedemikian hingga rasio sesungguhnya selalu berada dalam relasi dengan objekobjek yang menampakkan diri kepadanya (phenomenon).
KONSEP TENTANG INTENSIONALITAS: BERHUTANG PADA DESCARTES
Descartes adalah sumber inspirasi utama dari konsep fenomenologi Husserl (meskipun “jasa” para filsuf lain juga tidak boleh dilupakan, misalnya, emprisisme dan skeptisisme David Hume, revolusi kopernikan Immanuel Kant, dan pragmatisme William James). Husserl memulai filsafat fenomenologinya dengan titik tolak yang sama dengan filsafat Descartes, yaitu dari pemikiran atau kesadaran itu sendiri. Baik Husserl maupun Descartes, lewat berfilsafat keduanya mau meraih pengetahuan yang sahih dan rigorous, artinya pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat diragukan lagi karena memiliki dasar pengetahuan yang pasti dan absolut (clear and distinctive). Sampai di sini kita lihat bahwa persoalan yang menyibukkan Husserl dalam fenomenologi adalah persoalan epistemologis, yaitu soal bagaimana manusia melihat, mengenal, dan menilai realitas hidupnya.
Untuk mencapai pengetahuan itu dengan dasar yang pasti dan absolut, Husserl mulai dengan mengeliminir segala prasangka yang selama ini telah mewarnai proses pengetahuan kita. Inilah skeptisisme yang diaplikasikan dalam proses awal pengetahuan yaitu dengan cara meragukan segala sesuatu. Tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Husserl lebih radikal daripada oleh Descartes. Husserl mau membangun suatu filsafat tanpa asumsi apapun.
Sebagai contoh, dalam keseharian hidup di tengah-tengah masyarakat, betapa sering kita menilai atau menghakimi sesuatu berdasarkan asumsi-asumsi yang telah berkembang sedemikian jauh. Warna-warna tertentu, misalnya, diasosiasikan dengan kelompok politik atau agama tertentu. Kata-kata tertentu dibuat sloganslogan yang menggambarkan produk-produk tertentu, atau kelompok-kelompok agama atau ras tertentu. Dan lain sebagainya. Begitu banyak hal dalam kehidupan masyarakat di mana penilaian terhadap realitas sosial diambil secara taken for granted, tanpa sikap kritis dan pengkajian yang lebih dalam sebelum membuat sebuah penilaian.
Hanya dengan membuang segala asumsi, pengandaian, dan prasangka, menurut Husserl, diharapkan kita bisa mengenal dan memahami segala sesuatu seturut aslinya. Pengalaman-pengalaman hidup kita menjadi lebih aktual dan dibebaskan dari bias-bias yang mungkin ada ketika kita membebaskan diri kita dari segala prasangka, pengandaian, atau asumsi-asumsi kita. Dikatakan, dengan “melepas” asumsi-asumsi maka segala sesuatu akan menampakkan dirinya kepada subjek apa adanya. Kata-kata Husserl yang terkenal adalah “kembalilah kepada benda-benda itu sendiri”, maka benda-benda akan menampakkan dirinya dengan cara yang asli, sejati, dan apa adanya.
Dengan fenomenologi, Husserl mau “menangkap kembali” kehidupan manusia jauh sebelum science, di mana segala sesuatu masih tampil apa adanya, dengan pengalaman-pengalaman langsung, tanpa dibayang-bayangi oleh asumsiasumsi atau pengandaian-pengandaian yang selama ini diagungkan oleh ilmu-ilmu pasti dan ilmu alam. Pengalaman-pengalaman langsung itu disebut dengan given, datum. Dalam pengalaman dengan given object inilah intuisi subyek memulai “perjalanan” korelasi antara subyek – obyek. Sesungguhnya, seluruh “perjalanan” fenomenologi secara fundamental berlandaskan pada korelasi ini. Yakni, korelasi subyek-obyek yang melahirkan kesadaran intensional di dalam diri subyek.
Dalam korelasi subyek-obyek ini, lahirlah apa yang disebut Husserl dengan intuisi dan intensionalitas. Intensionalitas berarti keterarahan obyek yang sedang “menampakkan diri” secara langsung (given, datum) kepada kesadaran subyek. Berkat keterarahan obyek ini, kesadaran subyek bukanlah kesadaran kosong. Kesadaran atas kesadaran itu tidak ada. Kesadaran manusia itu tidak pernah kosong atau tertutup pada dirinya sendiri (sebagaimana cogito Descartes) melainkan kesadaran akan sesuatu (consciousness is always consciousness of something).
Ketika aku sadar akan eksistensi suatu benda di tempat di mana aku berada (misalnya “meja di kamarku”), dalam kerangka fenomenologi pengalaman itu bisa dikategorikan sebagai pengalaman langsung atau given experience, yaitu pengalaman akan suatu obyek yang menampakkan diri kepada kesadaranku (yaitu, meja di kamarku yang menyatakan diri atau menampakkan dirinya kepada kesadaranku).
Menurut Husserl, suatu pengalaman fenomena terjadi ketika suatu obyek “mengitari” subyek sebagai thinking self, yakni sebagai aku yang berpikir/berkesadaran (cogito, menurut istilah Descartes). Tetapi, aku sebagai the thinking self (cogito) ini bukanlah suatu aku yang tertutup, semacam bank dari ide-ide bawaan (innate ideas) sebagaimana dipahami oleh Descartes. Ini juga bukan “aku berpikir” yang telah memiliki ide-ide yang telah dikenal sejak awal mula sebelum eksistensi (sebagaimana konsep pre-eksistensi dan “mengingat sebagai mengenal” dalam filsafat Plato). Aku yang berpikir/berkesadaran ini adalah bagian utuh dari relasi subyek-obyek, sebagai bagian integral dari matriks serangkaian pengalaman fenomena (matrix of experience). Oleh karena itulah, Husserl menempatkan pengalaman fenomena sebagai yang lebih utama daripada logika, aksioma, atau asumsi-asumsi matematis. Demikianlah, intensionalitas menurut Husserl adalah struktur kesadaran itu sendiri yang hadir di dalam obyek yang ada dan yang “menampakkan diri” kepada kesadaran subyek di dalam sebuah given experience.
Sampai di sini, kelihatan apa yang menjadi concern Husserl, yaitu menggali, menemukan, dan mendeskripsikan pengalaman given/immediate/datum itu sebagaimana adanya, atau sebagai data-data yang murni di dalam relasinya dengan struktur kesadaran manusia.
INTENSIONALITAS: OBJEK YANG DIINGINKAN OLEH KESADARAN
Proses intensionalitas dari serangkaian pengalaman itu tidak diciptakan oleh ide-ide bawaan tertentu (sebagaimana cogito Descartes) tetapi terjadi sebagai kontak atau relasi timbal-balik antara struktur intensional kesadaran dengan objek kesadaran itu sendiri. Dan, sekali lagi, itu terjadi dalam given experience. Terjadi begitu saja.
Tetapi, nyatanya, tidak semua pengalaman langsung atau given experience itu menarik perhatianku, dan (karena tidak menarik perhatianku maka) tidak berada dalam struktur kesadaranku. Dalam fenomenologi, suatu objek menjadi objek kesadaran karena diinginkan. Sebagai contoh, ketika aku melihat seseorang atau sesuatu, seseorang atau sesuatu itu aku lihat itu berada dalam perspektif tertentu, yang mana perspektif itu sendiri sudah berada dalam struktur kesadaran yang ada di dalam diriku. Serangkaian pengalaman langsung (given atau immediate experience) atas objek tersebut akan membentuk fragmen-fragmen realitas, yang pada akhirnya turut “membangun” struktur kesadaran yang secara integral bergerak lebih mendalam dan yang pada gilirannya juga akan memperkuat eksistensi atau kehadiran objek tersebut di dalam struktur kesadaranku. Di sinilah yang dimaksudkan dengan relasi kesadaran subyek dan obyek yang menyatakan dirinya. Suatu gitar dalam asrama (given experience), misalnya, akan dirawat dengan baik oleh seorang gitaris, dan sebaliknya akan dibiarkan oleh orang yang sama sekali tidak bisa bermain gitar dan tidak berminat untuk bermain gitar. Eksistensi gitar di salah satu ruangan dalam asrama tersebut menarik perhatian untuk orang tertentu (sebagai intended object) dan sekaligus tidak ada artinya apa-apa bagi orang lain.
Contoh lain, kehadiran seseorang itu menarik perhatianku begitu saja karena dia nampak cantik, mempesona, yang kebetulan sedang melakukan shopping di suatu butik di dekat rumah (given experience). Struktur kesadaran yang ada di dalam diriku terarah pada kehadiran cewek cantik tersebut (sebagai intended object).
Maka, dalam contoh tersebut di atas, aku bisa berkata, “Ada cewek cantik sedang melakukan shopping di sebuah butik di dekat rumah”. Aku, yang semula tidak pernah memperhatikan butik di dekat rumah, pada saat itu juga sadar bahwa eksistensi butik di dekat rumah itu menguat di dalam struktur kesadaranku karena adanya cewek cantik yang mempesonaku yang sedang melakukan shopping di dalamnya.
BRACKETING FENOMENOLOGIS
Dengan mengedepankan konsep tentang relasi timbal-balik antara kesadaran intensional dan objek fenomenal, Husserl menolak dikotomi atau dualisme subjekobjek (sebagaimana dalam filsafat Descartes). Kesadaran yang terarah (intensional) dan objek yang menampakkan diri kepada kesadaran itu adalah bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang. Objek menampakkan diri kepada kesadaran subjek dan kesadaran itu sendiri sudah memiliki keterarahan (intentional) kepada objek yang menampakkan diri kepadanya. Dengan relasi semacam ini, mengetahui atau mengenal sesuatu bagi Husserl tidak sama dengan seorang yang mengambil gambar lewat kamera, di mana ketika gambar diambil, lantas meninggalkan jejak rekam di dalam kamera tanpa ada relasi lebih lanjut dengan objek yang diambil (sebagaimana konsep tentang phenomenon dalam Kant). Gambar foto tidak mempedulikan apakah objek yang diambil sudah berubah atau tidak (yang disebabkan oleh, misalnya, perubahan alam). Tetapi, relasi kesadaran intensional dan objek fenomenal memungkinkan kita untuk “berjumpa langsung” dengan realitas tanpa ada “intrik-intrik” rasio-kesadaran (yang terjadi, misalnya, dalam asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma ilmu-ilmu pasti atau sebagaimana cogito dalam Descartes).
Tetapi, sekarang, setelah kita mengenal dan memahami sesuatu, bagaimana kita bisa yakin bahwa pengenalan dan pemahaman kita itu mendapatkan jaminan kepastiannya tanpa ada resiko bahwa ada perubahan-perubahan tertentu dari suatu objek segera sesudah mengenalinya? Dan sementara objek mengalami perubahan, kita belum sepenuhnya menyadari perubahan itu dan masih memiliki persepsi dan memori sebagaimana sebelum terjadinya perubahan objek yang kita kenali? Berhadapan dengan persoalan tersebut, Husser sudah mengajak kita untuk membebaskan diri dari asumsi-asumsi rasio atau prasangka-prasangka kultural yang “membelenggu” proses pemahaman dan pengenalan kita. Tetapi bagaimana dengan pengenalan yang sudah kita miliki itu sendiri apakah menjamin kita pada kebenaran yang rigorous, clear, and distinctive?
Dalam hal ini, Husserl mengajukan pandangannya yang terkenal dengan istilah bracketing, yaitu memberi jarak atau ruang antara penilaian kita dengan subjek yang mau kita nilai. Ini semacam menunda sejenak keputusan penilaian kita atas suatu objek. Yang ditunda adalah cara memandang atau cara menilai suatuobjek tertentu. “Cara” di sini berkaitan dengan sisi-sisi, aspek-aspek, atau dimensidimensi yang adalah juga perspektif, suatu sudut pandang dengan mana atau dengan cara mana kita memandang dan menilai sesuatu.
Bracketing adalah semacam sikap abstain atau netral berhadapan dengan pelbagai bentuk penilaian dan keputusan atas objek-objek inderawi. Descartes melakukan bracketing ini dengan meragukan segala sesuatu kecuali pemikiran itu sendiri. Tetapi dengan demikian Descartes sudah mengambil suatu sikap tertentu, yaitu ide-ide bawaan rasio (innate ideas) yang dimutlakkan dan dengan demikian rasio menciptakan jurang yang tak terselami dengan objek konkret. Sebaliknya, Husserl melakukan bracketing dengan cara menolak untuk membuat penilaian apa pun, termasuk menilai apakah dunia objektif itu sungguh ada atau tidak.
Lalu apa yang mau dicapai dengan bracketing ini? Dengan menunda penilaian dan hanya menjadi “pengamat”, diharapkan bahwa kita mengambil disposisi sebagai pemula, yang berada dalam disposisi waktu ketika seakan-akan segala sesuatu belum memiliki nama, penilaian, definisi, dan asumsi. Ini adalah, sekali lagi, sikap abstain berhadapan dengan dunia. Lalu, apa yang tersisa setelah kita “meletakkan” segala sesuatu dalam tanda kurung dan menunda segala penilaian atasnya?
Menurut Husserl, yang tersisa adalah kesadaran itu sendiri. Dengan bracketing, kita akan sampai pada penemuan bahwa hidup kita secara esensial terdiri dari kesadaran itu sendiri. Ini bukanlah kesadaran yang terlepas dari dunia, melainkan kesadaran yang hadir di dunia. “Kesadaran yang hadir di dunia” itu mungkin karena kesadaran tidak “terkontaminasi” oleh pelbagai judgments and assumptions.
Di satu sisi, kesadaran yang hadir (exist) di dunia membuat dunia menjadi dunia kita dalam keseluruhannya (in its entirety). Di sisi lain, kehadiran kesadaran di dunia membuat aku menjadi “diri yang sejati” (true self) dan menemukan diriku dengan eksistensinya yang sejati pula (pure existence) di dunia ini.
Aku dan dunia saling terkandung di dalamnya dalam bentuk gerak spiral untuk mencapai tahaptahap kedalamannya. Level konsep pengenalan lewat relasi antara “kesadaran subyek yang hadir di dunia dan obyek yang menampakkan diri” inilah yang tidak terjawab oleh para filsuf modern seperti Descartes, David Hume, bahkan Immanuel Kant.
APA GUNANYA MEMPELAJARI FENOMENOLOGI HUSSERL?
Itu adalah pertanyaan tentang aktualisasi fenomenologi Husserl dalam kehidupan kita sehari-hari. Manfaat pertama yang langsung kelihatan dari belajar fenomenologi Husserl adalah kemampuan dan kesabaran dalam memahami suatu objek. Husserl (terutama dengan metode bracketing atas pengalaman-pengalaman langsung) telah mengajari kita untuk berelasi dengan pengalaman-pengalaman langsung lewat kehadiran yang lebih intens, sadar, dan peka. Relasi dan komunikasi menjadi kata kunci bagi pengalaman-pengalaman dan pembelajaran dalam fenomenologi. Dan agar relasi dan komunikasi itu memberikan hasil yang diinginkan, adalah presuppositionless yang diangkat sebagai metode “mengupas” prasangka atau praduga satu demi satu demi menemukan keaslian bagi perjumpaan antara subyek dan obyek, antara kesadaran intensional dan obyek pengalaman fenomenal.
Bukankah ini suatu pembelajaran bagi setiap orang yang mau menemukan makna terdalam dari realitas kehidupan? Bukankah ini peran kesadaran yang hadir dalam realitas, dan bahkan realitas itu sendiri? Bukankah hal itu yang mau dicapai setiap guru, si pencari kebijaksanaan sejati, si murid yang dipenuhi oleh “kerendahan hati” untuk mencari akar terdalam dari segala sesuatu, yang mau mendengarkan celoteh Sang Guru yang sedang mengupas realitas?
Bila kita menilik situasi masyarakat di Indonesia, betapa kita akan segera melihat bahwa asumsi-asumsi yang berkembang menjadi opini publik amat sering dijadikan sebagai dasar pengetahuan dan pengenalan, seakan-akan apa yang dipandang benar oleh publik adalah benar juga pada dirinya. Betapa banyak kekerasan berupa tawuran massal antar pelajar atau antar kelompok ras atau agama terjadi, pertama-tama dan terutama karena masyarakat tidak pernah mendapatkan pemahaman kritis akan realitas kemanusiaan konkret dan kehidupan bersama dalam masyarakat. Eksploitasi alam baik di darat, air, maupun udara telah terjadi karena pelbagai asumsi yang keliru yang menganggap bahwa sumbersumber daya alam tidak mungkin habis. Dan lebih lagi, hasil-hasil dari eksploitasi sumber-sumber daya alam itu dinikmati hanya oleh segelintir orang dan dengan cara mengorbankan orang-orang miskin karena sikap dan mentalitas korup yang menggerogoti sebagian penguasa dan pemilik modal.
Menilik situasi sosial-politis di Indonesia seperti di atas memang terasa “menyakitkan” karena menguak kebobrokan hidup bersama. Tetapi fenomenologi yang ditawarkan oleh Husserl justru mengajak kita untuk membuka jalan-jalan menuju kepada perjumpaan dengan realitas sejati dalam relasi yang lebih jujur dan sadar, dengan kehadiran yang lebih intens dan waspada. Suatu realitas keadilan dan kebenaran tidak akan hadir dalam kehidupan bermasyarakat kalau kesadaran dalam benak banyak orang tidak diajak untuk hadir dalam nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Dengan kata lain, realitas keadilan dan kebenaran tidak akan menjadi suatu “objek-nilai” yang menampakkan diri dalam kesadaran masyarakat kalau tidak “dihadirkan”. Demikianlah kata-kata “menghadirkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan” secara konkret berarti pembelajaran masyarakat akan etika hidup bersama atau etika sosial.