Perbedaan Pemahaman Matematis dan Pemecahan Masalah Ditinjau dari Sikap Siswa dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Bantuan Geogebra dan Tanpa Bantuan Geogebra

Perbedaan Pemahaman Matematis dan Pemecahan Masalah Ditinjau dari Sikap Siswa dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Bantuan Geogebra dan Tanpa Bantuan Geogebra 
Mutu pendidikan Indonesia dan prestasi siswa Indonesia di dunia internasional bila dinilai secara sekilas adalah sangat membanggakan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penghargaan yang diperoleh siswa Indonesia dalam olimpiade matematika di dunia internasional seperti IMO. Sebagai bukti adalah pada tahun 2008 di Madrid tim Olimpiade Matematika Indonesia meraih medali perak, dan dua perunggu serta dua penghargaan "honorable mention". Namun, pada kenyataannya prestasi siswa Indonesia tersebut adalah menyerupai fenomena gunung es. Jika dilihat pada sebagian kecil siswa Indonesia yang berada pada level atas, dapat dikatakan mutu dan prestasi pendidikan Indonesia sangat membanggakan. Tetapi jika dilihat pada level bawah kemampuan siswa-siswa di Indonesia masih banyak yang harus dibenahi. Ini terbukti dari hasil temuan tiga studi internasional yang mengatakan bahwa kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional yaitu 500. Tiga studi internasional tersebut adalah PIRLS tahun 2006, PISA tahun 2006 dan TIMMS tahun 2007. 

TIMSS (Trends in Mathematics and Science Study) adalah studi internasional empat tahunan yang diselenggarakan oleh IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) sejak tahun 1955. TIMSS menilai prestasi matematika dan sains siswa kelas 4 dan kelas 8 serta mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan sekolah, kurikulum, dan pembelajaran. Indonesia telah berpartisipasi dalam TIMSS semenjak tahun 1999, 2003, 2007 dan 2011. Pencapaian siswa Indonesia selama mengikuti TIMSS dalam Matematika dan Sains berada di bawah pencapaian siswa setingkat di beberapa negara di Asia seperti Hongkong, Japan, Korea, Taiwan, Malaysia dan Thailand. Pada tahun 2003 Indonesia menduduki peringkat 34 dari 45 negara, tahun 2007 Indonesia menduduki peringkat 36 dari 49 negara dan tahun 2011 peringkat Indonesia belum diketahui karena sedang menunggu hasil pada tahun 2012 ini. 

PISA (Programme for International Student Assesment) adalah studi tentang program penilain siswa tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Coorporation and Development (OECD) atau organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. PISA bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa yang duduk di akhir tahun pendidikan dasar atau siswa yang berusia 15 tahun telah menguasai pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk dapat berpartisipasi sebagai warga negara atau anggota masyarakat yang membangun dan bertanggungjawab. PISA dilaksanakan tiap 3 tahun sekali dan berlangsung semenjak tahun 2000. Pencapaian Indonesia pada tahun 2003 adalah berada pada peringkat 38 dari 40 negara, pada tahun 2006 berada pada peringkat 53 dari 57 negara dan pada tahun 2009 berada pada peringkat 61 dari 65 negara. Dalam hal ini, pencapaian dan prestasi siswa Indonesia adalah rendah. 

Selain fakta yang terdapat dalam TIMSS dan PISA yang mengungkapkan tentang rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia, sebuah tulisan yang terdapat pada Kompas 21 Januari 2010 juga menegaskan bahwa kemampuan matematika Indonesia belum mencapai standar yang baik. Pernyataan ini didasarkan atas penelitian yang dilaksanakan oleh Ahmad Muchlis pada tahun 2007. Ahmad Muchlis merupakan dosen Matematika ITB dan juga merupakan pembimbing Olimpiade Matematika Indonesia. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 diperoleh sebanyak 52 persen siswa yang disurvei berada di kategori terendah atau lower quarter. Hal ini berarti sisanya tidak mencapai standar yang terendah sekalipun. Iwan Pranoto yaitu pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung dalam Kompas 31 Januari 2011 juga mengungkapkankan jika dihitung dari skala 6 maka kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada di level kedua. Beliau juga menambahkan bahwa dalam faktanya presentase siswa Indonesia yang berada di bawah level ke dua sangat besar yaitu sekitar 76,6 % dan siswa yang berada pada level 5 dan 6 secara statistik tidak ada. Hal ini berarti menurut definisi level profisiensi matematika dari OECD, siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad ke-21. 

Kemampuan matematis jika dikaitkan dengan daya matematis, dapat dikatakan bahwa dengan kemampuan matematis yang baik akan diperoleh daya matematis yang baik. Memiliki daya matematis yang baik adalah puncak dari pembelajaran matematika. Menurut Pinellas County Schools Division of Curriculum and Instruction Secondary Mathematics, daya matematis meliputi : 
(1) standard proses (process standards) yaitu tujuan yang ingin dicapai dari proses pembelajaran. Standar proses meliputi, kemampuan pemecahan masalah,kemampuan berargumentasi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan membuat koneksi (connection) dan kemampuan representasi, 
(2) Ruang lingkup materi (content strands) adalah kompetensi dasar yang disyaratkan oleh kurikulum sesuai dengan tingkat pembelajaran siswa, 
(3) Kemampuan Matematis (Mathematical Abilities) adalah pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk dapat melakukan manipulasi matematika meliputi pemahaman konsep dan pengetahuan prosedural.

Daya matematis dalam pembelajaran matematika terdiri atas 4 standar isi atau ruang lingkup materi yaitu bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, serta statistika dan peluang. Menurut Abdussakir, geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika sekolah menengah karena banyak konsep yang termuat di dalamnya begitu juga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menambahkan ternyata pada faktanya dilapangan, hasil belajar geometri siswa masih rendah dan banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami materi geometri tersebut. Dari sudut pandang psikologi, geometri itu sendiri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah misalnya gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan transformasi. Geometri juga merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur matematika.

Dalam kaitannya dengan siswa menengah, geometri dan pengukuran dipelajari pada kelas 7 semester dua dengan kompetensi dasar memahami hubungan garis dengan garis, garis dengan sudut, sudut dengan sudut, serta menentukan ukurannya, memahami konsep segi empat dan segitiga serta menentukan ukurannya. Pada kelas 8 semester satu dengan standar kompetensi menggunakan teorema pythagoras dalam pemecahan masalah; kelas 8 semester dua dengan standar kompetensi menentukan unsur, bagian lingkaran serta ukurannya, memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagianbagiannya, serta menentukan ukurannya. Sedangkan pada kelas 9 geometri dan pengukuran dipelajari pada semester satu dengan standar kompetensi memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah, memahami sifat-sifat tabung, kerucut dan bola, serta menentukan ukurannya. 

Geometri dan pengukuran dalam penyajiannya memerlukan banyak waktu karena geometri dan pengukuran merupakan cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual, cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata, dan merupakan suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak bersifat fisik. Dengan demikian materi ini memerlukan imajinasi yang tinggi sehingga dalam penyajiannya memerlukan alat untuk mempermudah siswa dalam memahami. Karena pada umumnya geometri dan pengukuran berhubungan dengan hal yang visual maka untuk menyajikan gambar dalam proses pembelajaran sering menimbulkan masalah bagi siswa dan guru. Jika dilihat dari segi guru, tidak semua guru dapat menggambar dengan baik sehingga siswa dapat melihat dan mengimajinasikan materi yang dipelajari. Demikian juga sebaliknya tidak semua siswa dapat menggambar dengan baik sehingga gambar yang dihasilkan oleh siswa sesuai dengan pemahaman dan standar kompetensi yang diharapkan.

Kesulitan yang disebutkan diatas dapat ditemukan pada standar kompetensi memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah, karena dalam materi ini diperlukan banyak gambar dan penarikan kesimpulan. Dalam pencapaian standar kompetensi ini, jika dilakukan dengan cara manual yaitu dengan menggambar di papan tulis atau kertas akan memakan waktu yang banyak sehingga memungkinkan siswa untuk tidak sempat memperdalam pemahaman matematis mereka dan siswa juga tidak akan memiliki kesempatan untuk memecahkan masalah-masalah tidak rutin untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mereka. Disamping itu, jika pencapaian standar kompetensi ini dilakukan dengan cara manual maka ada kemungkinan siswa hanya dapat melakukan hapalan rumus atau hapalan sifat-sifat bangun yang sebangun.

Salah satu bagian dari daya matematis yang menjadi tuntutan TIMSS dan PISA adalah kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah. Dalam PISA kedua kemampuan tersebut tercakup dalam penilaian komponen proses yang dirangkum dalam tujuh hal penting kemampuan proses yaitu 
(1) komunikasi; 
(2) matematising (mengubah masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika; 
(3) representasi; 
(4) memberi alasan dan argumen, 
(5) menggunakan strategi memecahkan masalah, 
(6) kemampuan menggunakan simbol, dan 
(7) menggunakan alat-alat matematika. 

Dalam TIMSS kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah tercakup dalam domain penilaian kognitif yang mencakup pengetahuan, penerapan dan penalaran. Kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini yang bersesuaian dengan tuntutan PISA dan TIMSS adalah pemahaman matematis yang mengacu pada definisi Bloom yaitu pemahaman translasi (pengubahan), interpretasi (penyajian) dan ekstrapolasi (meramalkan kecenderungan). Sedangkan kemampuan pemecahan masalah yang juga bersesuaian dengan dengan tuntutan TIMSS dan PISA dalam penelitian ini adalah pemecahan masalah yang mengacu pada Polya yaitu kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematika dengan memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah yaitu : 
(1) memahami masalah; 
(2) merencanakan penyelesaian atau strategi penyelesaian yang sesuai; 
(3) melaksanakan penyelesaian menggunakan strategi yang direncanakan; 
(4) memeriksa kembali kebenaran jawaban yang diperoleh.

Dengan melihat aspek penilaian yang ditetapkan oleh TIMMS dan PISA, maka kemampuan matematika siswa SMP yang rendah tersebut pada garis besarnya mengacu kepada kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah. Pemahaman matematis yang baik adalah modal untuk melakukan pemecahan masalah yang baik juga. Mustahil bagi seorang siswa untuk dapat memecahkan suatu masalah matematika tanpa memiliki pemahaman matematis terhadap masalah matematika tersebut. Sehingga hasil penilaian dari TIMSS dan PISA tersebut dengan kata lain memberikan arti bahwa kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah Indonesia adalah rendah. Hal yang sama tentang rendahnya kemampuan pemecahan masalah Indonesia didukung oleh pendapat Mucarno yang mengatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika karena belum terbiasa dengan bentuk soal pemecahan masalah. 

Iwan Pranoto mengungkapkan bahwa tren global pendidikan matematika saat ini sedang diarahkan pada expert thinking yang mencakup kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan keingintahuan. Sementara itu pengajaran matematika di tanah air saat ini dinilai tidak relevan dengan tren global tersebut. 

Pendidikan di Indonesia masih bertumpu pada aspek kognisi atau knowledge dan bukan pemecahan masalah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Didi Suryadi seorang dosen program studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia dalam kompas 21 Januari 2010 yang mengatakan bahwa praktik pendidikan di tanah air seolah-olah telah melawan arus global. Sementara itu di banyak negara maju seperti Singapura pendidikan sains khususnya Matematika telah diarahkan untuk dapat membekali siswa dengan kemampuan pemecahan masalah.

Salah satu aspek dari expert thingking adalah kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah tidak terpisah dari kemampuan pemahaman matematis. Dengan pemahaman matematis yang baik, akan diperoleh kemampuan pemecahan masalah yang baik juga. Dengan tujuan mengembangkan kemampuan pemahaman matematis serta kemampuan pemecahan masalah siswa secara khusus dalam standar kompetensi ini maka pemilihan pendekatan pembelajaran yang tepat adalah sangat perlu. Dalam proses pembelajaran ini, pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pembelajaran kooperatif. Pendekatan pembelajaran ini dipilih karena pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa, terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain dan yang tidak peduli dengan orang lain. Pendekatan pembelajaran ini akan mendorong siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatannya seperti diskusi atau pengajaran teman sebaya (peer teaching). Isjoni (2010) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif akan berjalan baik di kelas yang kemampuannya merata, mamun sebenarnya kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan kooperatif karena dengan mencampurkan siswa dengan kemampuan yang beragam, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi oleh siswa yang lebih dan siswa yang lebih akan semakin terasah pemahamannya. Dengan demikian jika ditemukan kelas yang memiliki kemampuan yang beragam maka pembelajaran kooperatif sangat efektif untuk diterapkan. Isjoni (2010) dalam bukunya juga menyebutkan keunggulan-keunggulan dari pembelajaran kooperatif sebagai berikut : (1) pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerjasama dalam merumuskan ke arah suatu pandangan kelompok; (2) pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa untuk meraih keberhasilan dalam belajar yang melatih siswa untuk memiliki keterampilan berpikir (thingking skill) dan keterampilan sosial (social skill); (3) memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis; (4) menimbulkan motivasi yang tinggi pada siswa karena didorong dan didukung oleh rekan sebaya.

Dari segi peningkatan pemahaman siswa, pendekatan pembelajaran ini dipilih karena melalui pendekatan pembelajaran kooperatif akan diperoleh kompetensi berikut yaitu : (1) pemahaman terhadap nilai, konsep atau masalahmasalah yang berhubungan dengan disiplin ilmu tertentu; (2) kemampuan menerapkan konsep atau pemecahan masalah; (3) kemampuan menghasilkan sesuatu secara bersama-sama berdasarkan pemahaman terhadap materi yang menjadi objek kajian, juga dapat dikembangkan; (4) softskill kemampuan berfikir kritis, berkomunikasi, bertanggungjawab, serta bekerja sama. Selanjutnya jika dikaitkan dengan pemecahan masalah, pendekatan pembelajaran kooperatif dipilih karena pemecahan masalah memerlukan kerja sama. Manfaat kerja sama dalam pemecahan masalah adalah untuk memiliki keinginan dalam hal mencoba cara yang berbeda, mengembangkan sikap fleksibel dan menyesuaikan dengan cara yang lain, mencari alternatif cara jika suatu cara tidak bekerja, membandingkan suatu cara dengan cara yang lain, memperoleh kejelasan pengertian melalui saran dan pendapat orang lain dan saling memberikan semangat untuk menyelesaikan persoalan. Selain karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti memilih pendekatan pembelajaran kooperatif karena materi yang sesuai disajikan dalam pembelajaran kooperatif adalah materi yang menuntut pemahamanpemahaman tinggi terhadap nilai, konsep atau prinsip serta masalah-masalah aktual. Materi keterampilan untuk menerapkan suatu konsep dalam kehidupan nyata juga dapat diberikan. Jadi, dengan melihat kompetensi yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan pembelajaran ini, diharapkan hasil akhir dari pembelajaran akan memberi kontribusi positif dalam peningkatan pemahaman dan pemecahan masalah siswa.

Model pembelajaran kooperatif memiliki 5 variasi model pembelajaran. Namun model pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah tipe STAD (Student Team Achievement Divisions). Alasan peneliti memilih tipe STAD dalam penelitian ini karena menurut Slavin (2009) dalam bukunya yang berjudul ”Cooperatif Learning Teori, Riset dan Praktik” mengatakan bahwa model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan strategi kooperatif adalah tipe STAD. Selaian itu, tipe STAD juga sesuai dengan paradigma baru pendidikan matematika dimana guru adalah sebagai fasilitator. 

Karena guru adalah sebagai fasilitator maka dalam pembelajaran ini siswa akan dibimbing untuk membangun pengetahuannya sendiri tentang kompetensi dasar yang hendak dicapai. Alasan terakhir mengapa peneliti memilih tipe STAD dalam penelitian ini adalah karena tipe STAD lebih teratur dan terkontrol serta lebih terstruktur dalam pelaksanaannya. Jika dalam pembelajaran terjadi peluasan pembahasan, guru sebagai mediator akan lebih mudah mengontrol dan membatasi jika dibandingkan dengan tipe pembelajaran yang lain yang lebih banyak memungkinkan perluasan pembahasan yang tidak perlu. Dengan demikian waktu yang terbatas dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal. 

Dalam penelitian ini, siswa dalam satu kelompok hanya terdiri dari 3 orang karena peneliti merencanakan tiap kelompok terdiri dari 1 orang berkemampuan tinggi, 1 orang berkemampuan sedang dan 1 orang berkemampuan rendah. Karena pembelajaran kooperatif menuntut keanggotaan yang heterogen, anggota kelompok yang terdiri dari 3 orang tersebut juga akan dipertimbangkan berdasarkan jenis kelamin, etnis dan warna kulitnya. 

Dalam model pembelajaran ini penggunaan aplikasi software dirasakan perlu. Hal tersebut sesuai dengan alasan yang dinyatakan oleh Olsen dalam tulisannya yang berjudul ” Top Ten Reason for Using Computers and Calculators to Help Student Learn Mathematics ” yaitu : (1) dengan teknologi siswa dapat melihat perubahan; (2) teknologi dapat menciptakan representasi yang tidak mungkin diciptakan dengan menggunakan papan tulis atau kertas; (3) siswa memiliki akses yang lebih dekat dengan masalah nyata; (4) siswa memiliki akses yang lebih untuk melakukan investigasi; (5) teknologi dapat menggabungkan isi pembelajaran; (6) siswa dapat melihat pola; (7) teknologi membantu siswa menuju pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajaran yang aktif; (8) siswa dapat fokus pada permasalahan dan seluruh proses pembelajaran tanpa harus bosan dengan perhitungan-perhitungan yang tidak perlu; (9) siswa berada dalam dunia nyata; (10) teknologi lebih cepat dan lebih akurat.

Selain karena alasan yang dinyatakan oleh Olsen tersebut, penggunaan media seperti komputer dalam pembelajaran juga sejalan dengan pemahaman teori belajar dari paham behaviorisme dan paham konstruktivisme. Saat ini, teori belajar yang dianjurkan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran adalah teori belajar yang sesuai dengan paham kontruktivisme. Namun walaupun demikian, penggunaan media juga telah didukung oleh paham behaviorisme yaitu paham yang muncul sebelum paham konstruktivisme. Teori belajar behaviorisme berpandangan bahwa proses pembelajaran terjadi sebagai hasil pengajaran yang disampaikan guru melalui atau dengan bantuan media atau alat. Sedangkan teori belajar konstruktivisme berpandangan bahwa media digunakan sebagai sesuatu yang memberikan kemungkinan siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bantuan teknologi komputer dengan aplikasi software Geogebra. Salah satu alasan sehingga peneliti memilih menggunakan software Geogebra karena software ini diciptakan khusus untuk menolong kesulitan siswa menengah atau SMP. Software ini diciptakan oleh Markus Hohenwarter di universitas Salzburg pada tahun 2004. Beberapa alasan terinci sehingga software Geogebra dipilih dalam penelitian ini adalah : (1) tool pada Geogebra adalah sederhana, tidak rumit dan tidak banyak sehingga tidak akan membuat siswa kebingungan; (2) setiap tampilan pada geometri window direpresentasikan dalam aljabar window dalam bentuk persamaan sehingga dapat mempermudah siswa jika ingin mengeskplorasi sifat-sifat, pola dari sesuatu hal; (3) fungsi atau kordinat titik dapat langsung dimasukkan dalam Input file dan akan tampil dalam geometri window. Dengan demikian dari Input file fungsi atau kordinat titik tersebut dapat diubah-ubah untuk eksplorasi; (4) dalam geometri window gambar dapat diubah-ubah secara dinamik sehingga dapat diamati; (5) dalam aljabar window, persamaan dapat diedit untuk menghasilkan tampilan geometri yang diharapkan sehingga memungkinkan juga untuk melakukan eksplorasi.

Sikap siswa terhadap matematika dengan bantuan Geogebra dalam penelitian ini juga akan dipertimbangkan. Sikap positif siswa terhadap matematika adalah salah satu tujuan dari pendidikan matematika di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 (Depdiknas, 2006) tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika menyatakan bahwa tujuan nomor 5 pelajaran matematika di sekolah adalah agar para siswa : “Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah”. 

Sikap dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu konsep, kumpulan idea atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan secara deduktif aksiomatik. Sehingga matematika tersebut dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda dengan kemungkinan akan menerima atau menolak matematika itu sendiri. 

Sikap siswa terhadap matematika dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif adalah sikap yang dapat membantu siswa untuk menghargai mata pelajaran matematika dan membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri terhadap kemampuan dirinya. Sebaliknya sikap negatif adalah kebalikan dari sikap positif itu sendiri yaitu sikap yang tidak dapat membantu siswa untuk menghargai mata pelajaran matematika dan tidak dapat membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri terhadap kemampuan dirinya. Contoh sikap negatif siswa adalah adanya sebagian siswa tidak menyukai matematika. 

Penyebabnya di antaranya adalah persepsi umum tentang sulitnya matematika berdasar pendapat orang lain, pengalaman belajar di kelas yang diakibatkan proses pembelajaran yang kurang menarik hati siswa, pengalaman di kelas sebagai hasil perlakuan guru, persepsi yang terbentuk oleh kegagalan mempelajari matematika dan tidak mengetahui kegunaan matematika.

Agar siswa dapat menerima pelajaran matematika perlu ditanamkan sikap positif siswa terhadap matematika. Untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika perlu diperhatikan bagaimana cara penyampaian matematika supaya menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan dan dapat dirasakan memiliki kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara menumbuhkan sikap positif tersebut adalah melalui pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan. Dengan demikian, sikap positif terhadap matematika yang dimiliki siswa tersebut secara otomatis akan memberi pengaruh terhadap meningkatnya kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa. 

Pemahaman matematis, pemecahan masalah dan sikap adalah tujuan pendidikan matematika yang penting dalam pembelajaran matematika. Untuk mencapai tiga hal tersebut, tidak lepas dari pemilihan model pembelajaran yang tepat yang dapat membantu siswa untuk belajar secara aktif dan mandiri dimana guru hanya berperan sebagai fasilitator. Disisi lain, matematika sebagai ilmu abstrak memerlukan media dalam penyajiannya sehingga matematika dapat terlihat semakin nyata bagi setiap siswa, menyenangkan dan mudah dipahami. 

Media komputer yang dilengkapi dengan software Geogebra adalah media yang efektif untuk membantu pembelajaran siswa karena Software Geogebra adalah software yang sederhana, mudah dipahami, mudah digunakan dan mudah diamati oleh siswa dalam rangka membangun pengetahuannya. Dengan demikian, pembelajaran matematika akan menjadi menggairahkan dan tidak menakutkan bagi siswa. Sehingga diharapkan akan timbul sikap positif siswa terhadap matematika. Berangkat dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk meneliti tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan bantuan teknologi komputer yang berorientasi pada aplikasi software Geogebra dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah jika ditinjau dari sikap siswa yang peneliti kemas dalam judul penelitian ”Perbedaan Pemahaman Matematis dan Pemecahan Masalah Ditinjau dari Sikap Siswa dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Bantuan Geogebra dan Tanpa Bantuan Geogebra”.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson