Sejarah Pengertian Iklim Komunikasi Keorganisasian Dan Ruang Lingkup
Istilah ‘iklim komunikasi’ (communication climate) merupakan kependekan dari istilah yang lebih panjang: ‘iklim komunikasi keorganisasian’ (organizational communication climate). Konsep ini diperkenalkan oleh W. Charles Redding (1972) dalam buku monumentalnya yang berjudul Communication within Organization: An Interpretive Review of Theory and Research. Konsep ini mengandung pengertian yang berakar pada konsepsi Chester Barnard tentang ‘sistem-sistem komunikasi’ (communication systems) formal dalam organisasi dan ‘kekuatan organisasi informal’ (power of the informal organization) yang merupakan salah satu aplikasi dari teorisasi ‘aliran hubungan manusiawi’ (human relations), yang dicetuskan sekitar seperempat abad sebelumnya. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Functions of the Executive (1938), Barnard menyatakan bahwa organisasi pada dasarnya adalah ‘complex systems of coordinated activities’ yang tergantung pada kemampuan eksekutif yang mempunyai tanggung jawab untuk (1) membangun dan memelihara sistem komunikasi di kalangan segenap anggota organisasi, (2) mendorong kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan sistem kerja, dan (3) mendefinisikan tujuan-tujuan organisasi dan unit-unit kerja. Organisasi tergantung pada keputusan-keputusan para manajer namun untuk membuat keputusan yang baik para menajer tergantung pada ketersediaan informasi yang tepat waktu dan akurat. Lagi pula untuk mencapai keberhasilan, organisasi tidak hanya membutuhkan komunikasi formal sistem komunikasi yang terkait dengan tugas melainkan juga komunikasi informal yang merupakan interaksi pertukaran berbagai pikiran dan perasaan antarkaryawan. Di dalam organisasi formal para karyawan juga membangun hubungan-hubungan interpersonal dengan sesama karyawan, yang membentuk jaringan-jaringan hubungan mirip dengan jaringan-jaringan yang membentuk organisasi formal.
Dalam konsepsi Barnard jaringan hubungan interpersonal ini disebut ‘organisasi informal’ (informal organization). Dengan keterlibatan ke dalam pergaulan yang berbentuk kelompok–kelompok kecil itu para karyawan dapat mempertahankan identitas, bertukar informasi yang berharga tentang perusahaan dan orang-orangnya. Dengan keterikatannya dengan organisasi-organisasi informal itu karyawan menikmati ‘reward’ dari keanggotaannya dalam organisasi formal. Melalui berbagai hubungan informal, karyawan dapat bersama-sama merasakan kepuasan atau ketidakpuasan kerja. Jadi organisasi informal memberikan ‘insentif’ tambahan, sehingga kepuasan terhadap organisasi formal menjadi bertambah besar sehingga pengaruhnya terhadap keberhasilan organisasi juga meningkat.
Singkatnya, dalam konsepsi Barnard komunikasi memainkan peran yang vital dalam proses pelaksanaan organisasi formal bukan saja melalui sistem komunikasi formal, melainkan juga karena ‘sistem’ komunikasi informal yang (1) senantiasa muncul dalam semua organisasi, (2) menjadi sumber ‘social reward’ atau ‘insentif sosial’ penting bagi karyawan, dan (3) merupakan aspek penentu dalam pelaksanaan kerja organisasi.
Keniscayaan ‘organisasi informal’ istilah yang digunakan Barnard untuk menyebut ’komunikasi informal’ dan ‘peran vitalnya’ sebagai bagian dari keseluruhan sistem komunikasi, yang menjadi faktor penentu dalam keberhasilan organisasi dijelaskan sebagai berikut:
Kita tidak dapat mengerti sebuah organisasi atau bagaimana organisasi itu bekerja hanya dari bagan organisasi, anggaran dasar, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan organisasi.
… Mempelajari ‘tali-temali organisasi’ terutama berarti mempelajari ‘siapa itu siapa, apa itu apa, dan mengapa itu mengapa dalam masyarakat informal. Sebenarnya organisasi informal merupakan bagian dari pengalaman akrab sehari-hari yang terjadi dengan sendirinya … yang kita tidak sadari, karena kita hanya melihat sebagian dari interaksi-interaksi khusus dari keterlibatan kita. (Cetak tebal ditambahkan demi kejelasan.) You can’t understand an organization or how it works from its organizational chart, in charter, rules and regulations. … Learning organization ropes in most organizations is chiefly learning who’s who, what’s what, why’s why of its informal society. … In fact, informal organization is so much a part of our matter-of-course intimate experience of everyday association … that we are unaware of it, seeing only a part of the specific interactions involved
Barnard adalah seorang ahli pertama yang mengakui pentingnya ‘organisasi informal’ di samping komunikasi formal dalam usaha pencapaian keberhasilan organisasi. Organisasi formal dalam konsepsi Barnard lahir dari organisasi-organisasi informal meskipun tanpa struktur, mempunyai norma-norma hubungan sosial yang membuat kerjasama secara terkoordinasi dapat terjadi di tengah masyarakat demi pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan berbagai kegiatan bersama. Begitu organisasi formal telah terbentuk, di dalam organisasi yang besar itu muncul organisasi-organisasi informal, karena para karyawan membentuk hubungan-hubungan antarpribadi sehingga melahirkan jaringan-jaringan hubungan yang mirip dengan jaringan formal. Dengan organisasi informal yang kecil-kecil itu, para karyawan memelihara identitas-kepribadian, martabat, kehormatan diri, dan penguasaan atas lingkungan kerja.
Melalui komunikasi antarsesama anggota orgnisasi informal ini, para karyawan memperoleh dan memberikan informasi tentang perusahaan yang menjadi tempat kerja mereka dan para pekerja di dalam perusahaan itu. Para manajer sering tidak menyadari, bahkan tidak mau tahu, tetapi kenyataannya “hubungan kerjasama antar karyawan dalam kegiatan formal atau kegiatan khusus secara tak terelakkan melibatkan interaksi-interaksi yang tidak terkait dengan tugas formal tersebut.”
Pengertian ’iklim komunikasi’ kemudian menjadi bagian dari konsep ‘iklim organisasi’ yang dikembangkan oleh sejumlah ahli, yang kini terkenal sebagai penyebar aliran human relations. Konsep ‘iklim organisasi’ diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli di Harvard Graduate School of Business Administration, khususnya Elton Mayo dan Fritz J. Roethlisberger. Kedua ahli ini terlibat di dalam serangkaian riset empiris (1927-1932) yang dilakukan di perusahaan Western Electric Company di Cicero-Illinois, yang kita kenal sebagai ‘The Hawthorne Studies’. Rangkaian studi empiris ini menghasilkan sejumlah buku penting tentang fenomena ‘hubungan manusiawi’ (human relations) atau ’hubungan sosial’ yang bersifat non-formal di kalangan pekerja industri.
Para karyawan di dalam eksperimen Western Electric Company itu tidak dapat menjelaskan mengapa kelompok mereka yang bekerja di ‘ruang eksperimen’ lebih produktif dari karyawan kelompok yang lain, namun mengakui bahwa mereka mengalami ‘kondisi kerja yang lebih menyenangkan, lebih bebas, dan lebih gembira’. Penjelasan atas fenomena ini kemudian dirumuskan sebagai sebuah konsep yang terkenal dengan sebutan sebagai ‘The Hawthorne Effect’, yang meliput dua bagian temuan pokok tentang perilaku karyawan, yakni (1) perasaan karyawan bahwa dirinya diperhatikan orang ternyata dapat menimbulkan perubahan sikap dan perilaku dan (2) semangat kerja dan produktivitas karyawan dapat meningkat bila ia diberi peluang untuk berinteraksi dengan sesama karyawan. Singkatnya, ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas karyawan, yakni bila dia merasa dilihat, diamati atau disupervisi dan bila ia memperoleh kebebasan untuk bergaul dengan sesama karyawan di luar jam kerjanya. Dari studi tersebut Mayo (1945: 21) menarik kesimpulan tentang pentingnya komunikasi dimasukkan ke dalam analisis kehidupan organisasi.
Pada hemat saya studi ilmu sosial seyogyanya dimulai dengan pengamatan yang saksama terhadap apa yang dapat digambarkan sebagai komunikasi. Artinya kemampuan individu untuk melakukan komunikasi tentang perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya kepada orang lain; kemampuan kelompok-kelompok karyawan untuk saling berkomunikasi secara efektif dan hangat. Dengan tanpa ragu-ragu sedikitpun saya berani menegaskan bahwa justru komunikasi inilah yang merupakan kekurangan mencolok di dalam peradaban kita sekarang. (Cetak tebal ditambahkan demi kejelasan. A.H.)
Karya Elton Mayo, khususnya buku berjudul The Human Problems of an Industrial Civilization (1933) sebagai salah satu hasil dari rangkaian Hawthorne Studies, maupun karya Chester Barnard The Functions of the Executive (1938) tentang fungsi eksekutif yang merupakan hasil teorisasi dari pendekatan atas pengalamanannya sebagai President New Jersey Bell Telephone Company dan organisasi nirlaba United States Services Organization, dianggap sebagai karya-karya monumental yang merintis gerakan ‘human relations’. Peran vital komunikasi dalam ‘human relations’ makin menonjol sejak aliran itu diperkaya dengan konsep tetang keterkaitan ‘sikap relasional dan komunikasi’ (relational attitudes and communication). Selanjutnya konsep human relations ini dikembangkan menjadi ’human resources’ yang berarti ’pengembangan sumber daya manusia’, karena manajemen tidak hanya tertarik untuk memotivasi karyawan agar bekerja produktif, tetapi juga pengembangan diri karyawan dengan asumsi pengembangan diri secara positif berpengaruh pada produktivitas kerja. Secara konseptual aliran ‘human resources’ didasari oleh seperangkat asumsi tentang hakekat manusia dan kerja. Asumsi-asumsi ini menjadi sangat jelas setelah dirangkum oleh Douglas McGregor di dalam buku The Human Side of Enterprise (1960) dan Rensis Likert dalam New Patterns of Management (1961). McGregor membuat perbandingan antara pemikiran tentang organisasi yang beraliran ‘tradisional’ (Theory X) dan ‘human resources’ (Theory Y). (Lihat tabel ).
Tabel Perbandingan antara Teori X dan Teori Y Berdasarkan Asumsi Tentang Manusia
Menurut asumsi Teori Y, manusia mempunyai sifat yang kompleks multidimensional dan kreatif yang mempunyai keinginan untuk mengembangkan ketrampilan dan daya upaya dalam kerja yang konstruktif, bila saja mereka diberi kesempatan untuk menunjukkannya begitu. Kesempatan-kesempatan itu tercipta oleh ‘seperangkat perilaku atasan’ (a set of supervisory behaviors) dan tugas-tugas yang kompleks, menantang, dan memberikan perasaan puas. Perhatian para penggagas teori ‘human relations’ selanjutnya terfokus pada konsep ‘perilaku atasan’ dan faktor-faktor keberhasilan lain dalam kaitannya dengan pengembangan potensi karyawan, sehingga mereka menggunakan istilah ‘teori sumber daya manusia’ (human resource theory) untuk menggantikan istilah‘human relation’. Teori ini berkembang berkat serangkaian penelitian, yang menghasilkan sebuah daftar lengkap tentang perilaku atasan yang kondusif membuat karyawan termotivasi. Rangkaian penelitian tersebut dirintis oleh sekelompok ahli pada Survey Research Center di University of Michigan pimpinan Rensis Likert, yang menekuni persoalan pola-pola penyeliaan manajemen yang ‘berorientasi pada karyawan’ (employeecentered) dan ‘pada tugas’ (job centered). Tujuan utamanya adalah untuk menentukan faktor-faktor mana yang menunjang efektivitas berbagai manajer. Secara garis besarnya, Likert menemukan bahwa organisasi dan unit kerja yang menunjukkan tingkat produktivitas tinggi adalah yang para manajer penyelianya atasan langsung menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1. Mempunyai perhatian khusus pada segi manusiawi dalam menangani persoalan bawahan dan berusaha keras untuk mewujudkan kelompok kerja yang efektif dengan tujuan kinerja tinggi;
2. Melakukan komunikasi untuk menyebar luaskan antusiasme kerja dalam pencapaian tujuan dan kinerja tinggi dengan tanpa menekan bawahan secara sembarangan;
3. Memberikan ‘kelonggaran’ tanpa ‘standar ketat’ pada bawahan untuk menentukan sendiri tingkat kinerja tinggi;
4. Menunjukkan perhatian yang tulus pada segenap bawahan dan peduli terhadap persoalan-persoalan pribadi bawahan;
5. Mendorong bawahan agar ikut aktif melibatkan diri dalam pembuatan keputusan;
6. Memiliki kompetensi teknis tentang pekerjaanmya.
Pola perilaku atasan yang positif bagi pengembangan karyawan bawahan ini diberi sebutan Sistem 4: pola manajemen moderen yang mendorong partisipasi, yang merupakan kebalikan dari Sistem 1: pola manajemen tradisional yang mengandalkan kekuasaan tanpa menghiraukan bawahan. Secara operasional manajemen moderen (Sistem 4) dijabarkan menjadi butir-butir perilaku khusus dari atasan yang dapat mendorong partisipasi bawahan dalam penentuan cara kerja, tingkat pencapaian tujuan, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan. (Tabel).
Tabel Dimensi-dimensi Pola Manajemen Moderen (Sistem 4) menurut Likert
Paparan cukup rinci tentang kepemimpinan Sistem 4 dalam konsep Likert di atas sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa manajer tipe ini sangat terbuka dan mengutamakan komunikasi proses kepemimpinan, proses komunikasi, proses pengaruh, dan penentuan tujuan yang berlangasung secara partisipatif. Dengan kata lain, kepemimpinan dan komunikasi menunjukkan ’perilaku kooperatif dan suportif’ (cooperative and supportive behavior) yang mendorong bawahan untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab, bahkan ikut menentukan tingkat produktivitas tinggi yang hendak dicapai oleh kelompok karyawan sendiri.
Praktek sedemikian oleh Peter F. Drucker (1954 ) disebut dengan istilah Management by Objectives dan merupakan ciri khas lingkungan kerja yang dipimpin oleh manajer yang efektif. Perilaku kooperatif dan suportif disosialisasikan di kalangan karyawan sehingga menjadi perilaku normal yang mencerminkan semangat integrasi ke dalam kelompok kerja dan organisasi dalam upaya pencapaian tujuan organisasi.
Singkatnya, kepemimpinan partisipatif menurut Likert dapat membuat organisasi bekerja efektif karena di mata karyawan, atasan menunjukkan ’serangkaian perilaku suportif’ (supportive climate) dan ’terbuka’ (open climate). Tentang hal ini Likert memberi penjelasan khusus sebagai berikut:
... suportif, ramah, dan suka membantu bukan memusuhi.
Atasan bertindak baik hati tetapi tegas, tidak pernah mengancam. Ia memperlakukan karyawan secara bijak dan penuh kepekaan dengan secara tulus menunjukkan kepedulian pada kesejahteraan dan jerih payah bawahan. Ia adil, bahkan cenderung murah hati. Ia berusaha keras untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan karyawan maupun organisasi.
... keyakinan kuat tentang integritas, kemampuan, dan motivasi karyawan tidak bersikap curiga dan syak wasangka.
... dengan keyakinan kuat pada bawahan, atasan punya harapan yang tinggi tentang tingkat kinerja karyawan.
Dengan keyakinan tinggi itu ia percaya bahwa tidak akan dikecewakan, maka ia berharap banyak bukan sedikit dari karyawan Perilaku terbuka dan suportif dari atasan dilihat oleh karyawan sebagai iklim suportif yang bersumber pada kepercayaan, penghargaan, keyakinan, dan sekaligus pengharapan ataupun motivasi dari atasan pada mereka. Keterbukaan dan suportivitas atau dukungan dalam konsepsi Likert ini pada dasarnya adalah konsep komunikasi dan hanya terlaksana melalui komunikasi. Singkatnya sesuai dengan Sistem 4 yang dikemukakan oleh Likert ini, organisasi (1) menerima ’asas hubungan suportif’ (prnciple of supportive relationships), (2) menggunakan ’pembuatan keputusan kelompok bilamana sesuai’ (group decision making when appropriate), dan (3) menetapkan tujuan kinerja tinggi (set high performance goals).
Ternyata konsepsi Likert tentang ’iklim suportif’ ini juga mendapat peneguhan konseptual dari rangkaian penelitian Jack R. Gibb (1961:141-148) tentang ’komunikasi suportif’ dan ’komunikasi defensif’ yang terangkum di dalam sebuah artikel berjudul ’Defensive Communication’.
Iklim Komunikasi Defensif
”Defensive Communication”karya Jack R. Gibb (1961) adalah artikel pendek yang sangat padat dan sekarang dianggap sebagai artikel klasik yang masih banyak dikutip dalam buku-buku komunikasi keorganisasian. Artikel ini merupakan sebuah rangkuman dari hasil serangkaian eksperimen dan pengalaman kerja konsultasi dengan pasien, manajer, administratur, dan karyawan perusahaan. Penulisan artikel ini dilandasi oleh pengertian bahwa ’komunikasi lisan tatap muka bukan saja proses bahasa melainkan dan bahkan terutama adalah proses perilaku. Oleh karena itu, ’kekisruhan komunikasi’ (communication ineffectiveness) yang terjadi di dalam komunikasi lisan tatap muka antara ’dua pihak’ (dyadic communication) sebagaimana terjadi dalam konseling, psikoterapi, atau Manajemen perlu dipahami sebagai ’perilaku timbal balik’ (reciprocal behavior) dari pada sebagai pertukaran kata dalam ’proses bahasa’ (langguage process). Penggunaan bahasa verbal dan non-verbal dalam komunikasi lisan tatap muka adalah perilaku yang tidak terpisahkan dari perasaan, motif, dan sikap. ’Komunikasi defensif’ (defensive communication) adalah ’perilaku bela diri’ (defensive behavior) yang ditunjukkan orang pada saat dirinya terancam ego, harga diri, atau status seseorang dalam keadaan bahaya oleh komunikasi orang lain. Pada saat terancam, orang ’secara defensif mendengarkan’ (defensive listening) sehingga ia mendistorsi pesan-pesan yang didengarnya, karena ia tidak mampu lagi menangkap secara tepat makna, motif, nilai, dan perasaan dari pengirim pesan. Dalam menanggapi komunikasi yang mengancam, ia akan lebih sibuk mencari cara-cara dan menyusun taktik-taktik terbaik untuk membela diri dari pada berusaha mengerti isi pesan komunikasi yang diterimanya. Maka komunikasi defensif akan kehilangan efektivitas dan efisiensi, karena ditandai oleh banyak distorsi salah pengertian, salah sasaran, bahkan rasa kecurigaan.
Komunikasi efektif dapat tercapai bila penerima pesan merasa tidak terancam, komunikasi tersebut dianggap tidak memojokkan, tidak mencemaskan, memprihatinkan, atau membahayakan. Dalam komunikasi efektif, penerima pesan merasa mendapat ’dukungan yang memberikan ketenangan’, sehingga ia menganggap komunikasi tersebut sebagai ’komunikasi suportif’ (supportive communication). Bila manajer perusahaan dan psikoterapis melakukan komunikasi suportif menurut Gibb mereka akan cenderung didengar dan dimengerti distorsi informasi sangat minimal karena perasaan dan hati penerima pesan tidak mengalami kecemasan ataupun ketakutan. Komunikasi suportif selain efektif dan efisien, juga memberi kepuasan. Dalam komunikasi lisan tatap muka, manajer dianggap menunjukkan perilaku komunikasi suportif, bila ia baik secara verbal maupun non-verbal mendudukkan diri setara duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan karyawannya.
Pada umumnya dalam komunikasi lisan tatap muka, penerima pesan akan merasa tidak enak, cemas, bahkan terancam bahaya, bilamana ia mengalami situasi sebagai berikut:
1. Evaluasi (evaluation). Pemeriksaan, kritikan, celaan atau kecaman; pujian yang berlebihan di depan orang lain juga dapat menimbulkan perasaan tidak enak; dipertanyakan alasan, motivasi, atau standar kerja oleh atasan;
2. Kontrol (control). Pengendalian, manipulasi, desakan, atau paksaan untuk mengubah pandangan, sikap, dan perilaku dapat membuat karyawan merasa diremehkan, dihina, atau dikendalikan;
3. Strategi (strategy). Siasat atau kiat yang membuat karyawan merasa dikelabuhi, disesatkan, atau terperangkap, seperti dijadikam kelinci percobaan, diberi kesan seolah-olah ia dapat membuat keputusan sendiri atau diberi hak berpartisipasi, pada hal pandangannya tidak dihiraukan;
4. Netralitas (neutrality). Atasan yang berdalih sikap netral, menjunjung prinsip keadilan, tidak pilih kasih, atau taat pada peraturan, atasan membuat karyawan merasa tidak dipedulikan, tidak diacuhkan, diperlakukan secara kejam-tanpa belas kasih dan dianggap sebagai objek pada saat ia membutuhkan pengertian dan bantuan;
5. Superioritas (superiority). Sikap dan tindakan atasan yang mengandalkan kekuasaan dan angkuh membuat karyawan merasa diremehkan, dianggap tidak ada apa-apanya, dipertanyakan kemampuan, status, atau harta miliknya: tidak layak disertakan dalam pembuatan keputusan atau pencarian solusi bersama;
6. Kepastian (certainty). Pembicara dokmatik, penuh keyakinan, nampak serba tahu, dan tidak dapat diganggu gugat membuat penerima pesan merasa dikhotbahi, dianggap bodoh dan harus diam saja. Keputusan sudah dibuat dan bersifat final, percuma saja mencoba kasih masukan.
Atasan yang mampu penciptakan iklim suportif, di dalam kegiatan komunikasi ia mampu manempatkan diri sejajar dengan karyawan, bicara terbuka, dan spontan, sehingga pesan-pesan evaluatif dalam komunikasi dapat diterima secara wajar, yakni sebagai permintaan informasi dan tidak menimbulkan sakit hati. Atasan dapat menciptakan iklim suportif, bila perilaku komunikasi terhadap bawahan diterima sebagai situasi-situasi di bawah ini:
1. Desripsi (description) bukan evaluasi dan tidak menghamikimi.
Pertanyaan diajukan dan diterima sebagai pencarian informasi bukan teguran mengenai perasaan, pandangan, dan peristiwa yang terjadi; permintaan informasi yang disertai perasaan yang jujur dapat mempermudah penerimaan isi pesan;
2. Orientasi pada masalah (problem orientation). Pembicara mengarahkan perhatian pada pokok persoalan atau masalah yang harus diatasi. Ia tampil jujur dan ingin bekerja sama untuk mencari tahu apa persoalan yang sebenarnya dan bagaimana solusinya, agar tujuan dapat tercapai tanpa mengkaitkan dengan sanksi, jabatan, peraturan, atau kebijakan yang mengekang; atasan tidak terkesan ’memaksakan’ solusi pada bawahan;
3. Spontanitas (spontaneity). Berbicara spontan dan terus terang dengan bahasa lugas dan langsung keluar dari hati tanpa tipu muslihat, tanpa kiat atau dibuat-buat, seperti menggunakan bahasa formal atau bahasa-bahasa berlebihan sebagai siasat untuk melumpuhkan hati pendengar;
4. Empati (empathy). Menunjukkan rasa peduli dan pengertian atas posisi bawahan baik dengan bahasa verbal maupun non-verbal. Raut muka dan gerakan anggota badan, seperti gerakan tangan secara spontan yang menyertai kata-kata ’penuh pengertian dan perasaan’ dapat menenangkan hati bawahan yang sedang mengalami kesulitan;
5. Kesetaraan (equality). Atasan juga dapat ’melupakan’ kekuasaan atau statusnya dengan sikap terbuka mengajak karyawannya ikut bicara atau minta pandangan, sehingga dapat menimbulkan kepecayaan dan rasa hormat dari karyawan, misalnya dengan menekankan bahwa kemampuan yang berbeda-beda dapat saling mengisi; tidak bersandar pada kedudukan, jabatan, dan kekuasaan manajerial;
6. Kesementaraan (provisionalism). Meskipun sudah bekerja keras, atasan menunjukkan bahwa ide atau keputusannya masih bersifat sementara, masih percobaan yang membutuhkan penyempurnaan, dan ia masih mencari masukan dan usulan perbaikan; perlu ditekankan ide atau keputusannya bukan untuk diperdebatkan maelainkan untuk disempurnakan, agar mencapai bentuk final yang memuaskan.
Singkatnya, gaya komunikasi manajer dapat dianggap negatif sebagai ancaman dan ditanggapi dengan penolakan dan perlawanan atau dipandang positif sebagai dukungan dan ditanggapi dengan penerimaan oleh bawahan. Maka gaya komunikasi dalam komunikasi ’dyadic’ itu oleh Gibb dibedakan ke dalam dua kategori, yakni sebagai komunikasi yang menciptakan ’iklim defensif’ dan komunikasi yang menciptakan ’iklim suportif’. (Lihat tabel)
Tabel Iklim Komunikasi Defensif dan Suportif dalam Kelompok Kecil
Perlu kiranya ditambahkan bahwa konsep komunikasi ’dyadic’ berpasangan antara dua pihak yang terlibat dalam komunikasi lisan menurut Gibb juga dapat berlaku dalam komunikasi kelompok kecil, misalnya satu manajer dengan beberapa orang bawahannya. Perbedaan tanggapan terhadap perilaku komunikasi manajer itu mempunyai dampak pada perilaku karyawan tidak saja dalam komunikasi yang berlangsung antara karyawan dan atasan tersebut tetapi juga perilaku di lingkungan kerja secara umum, baik antar karyawan maupun antara karyawan dengan atasan. Oleh karena itu, manajer harus peka terhadap perilaku komunikasi, termasuk bentuk-bentuk perilaku lain yang dapat menimbulkan penolakan mematikan motivasi. Atasan yang efektif mampu melakukan komunikasi suportif yang diperteguh dengan perilaku yang konsisten.
Dengan begitu, karyawan dapat mengerti pesan komunikasi dengan tepat komunikasi menjadi efektif dan efisien dan lebih penting lagi karyawan menjadi termotivasi.
’Iklim defensif’ dan ’iklim suportif’ sebagai hasil dari perilaku komunikasi manajer yang diperkenalkan oleh Gibb ini merupakan konsep kunci dalam pembicaraan tentang iklim organisasi selanjutnya. Di antara delapan dimensi iklim dalam Model Litwin-Stringer ’kehangatan dan dukungan’ artinya iklim suportif menurut Gibb merupakan faktor penting. Secara konseptual kehangatan dan dukungan terkait dengan ’kepercayaan’ yang selanjutnya terkait dengan pemberian ’tantangan dan tanggung jawab’ maupun ’resiko dan pengambilan resiko’. Dalam konsepsi Gibb perlu ditegaskan lagi bahwa ’iklim suportif’ lahir dari perilaku komunikasi manajer dan dipelihara melalui komunikasi yang diperteguh dengan perilaku-prilaku lain yang konsisten. Pemahaman Gibb tentang komunikasi sebagai perilaku kemudian juga mendapat peneguhan konseptual dari studi Lee Thayer, penulis buku teori komunikasi keorganisasian pertama yang komprehensif berjudul Communication and Communication Systems: in Organization, Management, and Interpersonal Relation (1968), yang kini dianggap klasik dan menjadi acuan dasar. Dikatakan bahwa ’iklim komunikasi’ tidak muncul dari ucapan, melainkan dari ’perlakuan dan tindakan terhadap satu sama lain’. Iklim dapat membantu mempererat atau menghambat menjauhkan hubungan. Iklim kondusif muncul dari sikap saling menghormati, motif dan perasaan: ’niatan hati dan rasa saling menghormati’. Lebih tepatnya, penjelasan Thayer (1968: 198) berbunyi sebagai berikut:Kebulatan seluruh perasaan hati, gejolak jiwa, dan nilai pandangan yang terdapat dalam hubungan antar pribadi.
...Iklim pada dasarnya tergantung pada tindakan-tindakan dan niatan-niatan hati bukan pada kata-kata ucapan.
Hubungan positif dan hangat tidak dapat dibangun melalui kata-kata atau prinsip-prinsip hubungan manusiawi. Intinya, hubungan tersebut bersumber pada perlakuan terhadap satu sama lain, dan dari bagaimana perilaku terhadap satu sama lain ditafsirkan dan dievaluasi. Iklim paling kondusif lahir dari niatan-niatan hati dan tindakan-tindakan antara satu dengan yang lain.
[Climate is] the total complex of feelings and sentiments and orientations ... of an interpersonal relationship. ... Climate depends largely upon actions and intentions, not upon words as such. A positif and advantageous relationlship cannot be built out of words or from the principles of human relations. It derives ultimately from the treatment each has at the hands of the other, and from the way their behavior toward each other is interpreted and evaluated by each. The most facilitating climate comes from the most mutually advantageous intentions and actions.
Singkatnya perilaku dianggap mencerminkan nilai, sikap, dan kepercayaan melebihi kata-kata. Hal ini masuk akal karena bobot dan makna ’kata-kata’ dapat diperjelas dengan umpan balik, sedangkan perilaku yang non-verbal adalah murni dari hati, sikap, dan perasaan. Selanjutnya kita akan meninjau bagaimana konsep ’iklim komunikasi defensif’ dari Gibb ini dalam kaitan dengan konsep ’iklim komunikasi suportif’ yang dikembangkan oleh W. Charles Redding yang tersohor itu.
Iklim Komunikasi Suportif
Pemahaman Gibb tentang komunikasi sebagai ’perilaku’ yang telah mendapat konfirmasi konseptual dari Thayer sebagaimana telah kita pelajari di atas dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang proses komunikasi. Kekuatan komunikasi tidak semata-mata tergantung pada bahasa pilihan gaya bahasa, pilihan kata, dan penyampaiannya secara lisan melainkan pada motif, sikap, dan perasaan yang timbul terhadap rangkaian perilaku verbal dan non-verbal. ’Perilaku komunikasi’ dalam konsepsi Gibb bukan sekedar pilihan gaya bahasa, pilihan dan penyampaian kata-kata, melainkan orientasi dan sikap dalam interaksi verbal dan non-verbal. ’Perilaku komunikasi defensif adalah komunikasi yang berorientasi pada kepentingan pembicara dan bersikap negatif terhadap penerima pesan komunikasi.’ Sebaliknya, perilaku komunikasi suportif’ adalah komunikasi yang berorientasi dan bersikap positif pada kepentingan penerima pesan komunikasi, secara khusus tercermin dalam ’komunikasi empatik’. Maka efektivitas komunikasi tidak hanya terkait dengan pengertian tetapi juga penciptaan dan pemeliharaan iklim motif, sikap saling menghormati, dan rasa saling mempercayai. Dengan pemahaman tentang konsepsi Gibb dan Thayer ini, kita dapat meninjau kembali kutipan Redding yang telah disajikan di muka.
Dalam kutipan yang tersohor itu pernyataan Redding (1972: 111) yang berbunyi: ”Untuk menciptakan organisasi yang efektif, iklim organisasi jauh lebih penting dari pada ketrampilan atau teknik-teknik komunikasi (bila dilihat secara terpisah)”
Konsep ’ketrampilan dan teknik-teknik komunikasi’ adalah keterlatihan orang dalam pengungkapan pesan dan cara-cara penyampaian pesan. Secara khusus, pilihan kata-kata dan saluran penyampaian pesan verbal dan non-verbal. Secara konseptual ’ketrampilan dan teknik-teknik komunikasi’ mempunyai pengertian yang lebih sempit dari ’kompetensi komunikasi’ (communication competence), yang selain meliput ketrampilan teknis juga meliput pengetahuan, kepekaan, dan nilai. Maka logislah bila ’ketrampilan komunikasi’ tersebut tidak terlalu penting sebagai alat pemotivasian karyawan untuk mencapai tujuan orgnisasi. Ketrampilan komunikasi terpusat pada pengungkapan ide, informasi, atau perintah yang menjadi pesan dan tidak mempedulikan hubungan interaksi verbal dan non-verbal di antara kedua belah pihak yang terlibat. Ketrampilan komunikasi hanya efektif bila sejalan dengan iklim organisasi.
Konsepsi Redding tentang ketrampilan dan teknik-teknik komunikasi ini dapat kita fahami secara lebih mendalam bila kita kaitkan dengan konsepsinya tentang ’iklim organisasi’. Menurut Redding ’iklim organisasi’ adalah ’suasana emosional dalam organisasi yang berkembang berdasarkan seberapa besar perasaan nyaman yang dinikmati oleh segenap anggota organisasi’. Perasaan nyaman di kalangan anggota tersebut muncul dari pola-pola perilaku dan kebijakan-kebijakan pimpinan organisasi maupun perilaku komunikasi segenap anggota organisasi sebagai tanggapan karyawan terhadap komunikasi internal organisasi.
Secara lebih khusus, iklim organisasi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh komunikasi manajerial, karena komunikasi internal organisasi merupakan manifestasi dari komunikasi manajerial. Setiap organisasi mempunyai iklim yang unik, khas, sebagaimana halnya setiap individu yang membentuk organisasi itu khas dan pola perilaku khusus sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang dianutnya.
Iklim organisasi sebagaimana telah kita pelajari sejak Model Likert(Human Resources), Model Litwin-Stringer ataupun Model Campbell, yang muncul sebelum karya Redding, lebih mencerminkan ’situasi interaksional dan sikap yang dialami oleh seseorang (karyawan) dan mengarahkan perilakunya di lingkungan kerja’. Selanjutnya kita juga belajar bahwa pengalaman interaksional dan sikap di lingkungan kerja merupakan hasil praktek manajemen yang bertindak atas nama organisasi. Dengan demikian pengalaman tersebut juga mengarahkan kegiatan-kegiatan komunikasi, karena komunikasi adalah perilaku yang paling penting dalam kehidupan kelompok. Bila pengalaman interaksi dan sikap bersifat positif, maka karyawan akan terbuka dan termotivasi, sebaliknya bila bersifat negatif ia akan tertutup dan menunjukkan penolakan atau resistensi. Tingkat keterbukaan dan motivasi karyawan tidak hanya ditunjukkan pada manajemen sebagai atasan tetapi juga pada sesama karyawan dalam bentuk kerjasama. Manajemen menurut Redding mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan ’situasi interaksional dan sikap positif’ yang dapat memotivasi karyawan tetapi juga meningkatkan kerjasama. Motivasi positif yang kuat dapat dibangkitkan dengan keterbukaan, yang mampu memberikan kepercayaan, dukungan, tantangan dan tanggung jawab pada diri karyawan sehingga mereka juga terbuka untuk membangun kerjasama antarsesama karyawan demi peningkatan prestasi pencapaian kinerja yang lebih tinggi.
Situasi interaksional dan sikap yang positif ini oleh Redding disebut sebagai ’iklim komunikasi keorganisasian suportif’ (supportive organizational communication). Meskipun konsepsi ini tidak dirumuskan menjadi definisi baku, Redding kemudian menjabarkan konsepsi tersebut dengan menggunakan hasil dari serangkaian penelitian empiris yang dilakukan oleh sekelompok ahli yang dipimpinnya di Purdue University tentang komunikasi manajerial yang efektif dalam pelaksanaan supervisi.
Hasil serangkaian penelitian yang dibahas di dalam buku monumental berjudul Communication within the Organization: An Interpretive Review of Theory and Research karya Redding (1972:453) itu menunjukkan bahwa bahwa komunikasi penyeliaan yang efektif mempunyai pola tertentu dengan ciri-ciri tertentu pula. Secara khusus, berdasarkan data ’penilaian’ (rating) dari para manajer atasan terhadap komunikasi para ’penyelia’ (supervisors) dengan ’karyawan’(subordinates), dapat disimpulkan bahwa komunikasi penyeliaan yang efektif terjadi dalam situasi sebagai berikut:
1. Para penyelia yang efektif cenderung ’peduli komunikasi’ (communication minded). Misalnya disebutkan bahwa para penyelia itu suka bicara dan bercakap di dalam pertermuan-pertemuan, mereka mampu menjelaskan instruksi, pedoman, dan kebijakan, bahkan senang bercakap-cakap dengan karyawan;
2. Para penyelia yang efektif adalah pendengar yang tulus dan penuh pengertian (willing and empathic listerners). Mereka rela mendengarkan pertanyaan-pertanyaan ’konyol’ (silly) dari karyawan dan menanggapinya dengan pengertian; mereka mau didekati, mau mendengarkan usulan dan keluhan dengan sikap adil dan menindak lanjutinya;
3. Para penyelia yang efektif lebih suka bertanya atau melakukan persuasi daripada ’menyuruh atau menuntut’ (telling or demanding). Dalam hal ini ada beberapa pengecualian, namun sangat sedikit;
4. Para penyelia yang efektif cenderung peka terhadap perasaan para karyawan. Misalnya, mereka melakukan teguran atau peringatan keras secara sendirian tidak di depan umum;
5. Para penyelia yang efektif cenderung lebih terbuka dalam menyampaikan informasi pada karyawan; mereka cenderung memberikan informasi sebelumnya terjadi perubahan dengan ’alasan-alasan penjelasan mengapa’ (reasons why) kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan itu dibuat.
Rangkaian studi dibawah pimpinan Redding tentang ’komunikasi para manajer’ di atas sebenarnya tidak secara eksplisit menunjukkan bagaimana ’dampak’ perilaku komunikasi para manajer itu pada kepuasan dan semangat kerja karyawan, namun jelas sekali bahwa ’nada’ penjelasan dan kesimpulan Redding sangat mirip dengan ’nada’ yang ditunjukkan oleh para perintis aliran human relations sebelumnya: Manajer membina kerukunan dan kepatuhan karyawan dengan mengangkat ’semangat kerja’ (morale) dan kepuasan. Morale dan kepuasan tergantung pada relasi antarpribadi yang efektif, yakni yang menunjukkan empati, kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial karyawan, pengertian, dan komunikasi dua arah, persis seperti yang dilakukan oleh para penyelia yang efektif di atas.
Dengan demikian, konsep ’iklim komunikasi’ harus dipahami dalam rangka ’iklim manajemen’ (management climate) yang terkait dengan prinsip dan praktek manajemen efektif sebagai kelanjutan ataupun keterikatan yang kuat dengan aliran ’human relations’ sebagaimana telah kita pelajari di atas. Singkatnya, iklim organisasi adalah alat manajemen untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan pengembangan iklim komunikasi sangat tergantung menjadi tanggung tanggung jawab dari manajemen organisasi.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa konsepi ’iklim komunikasi organisasi suportif’ (supportif organizational communication climate) yang dicetuskan oleh Redding merupakan konseptualisasi hasil kesimpulan dan penjelasan tentang praktek supervisi yang efektif. Secara khusus ’iklim komunikasi suportif’ digambarkan sebagai ciri khas dari lingkungan kerja yang terbuka terhadap arus ide-ide, informasi, dan pengaruh yang mengalir bebas di kalangan karyawan. Iklim komunikasi suportif memberikan pengalaman yang positif pada segenap karyawan yang terlibat, sehingga persepsi yang berkembang atas pengalaman tersebut berpengaruh pada perilaku individual mereka masing-masing sebagai karyawan organisasi. Artinya persepsi yang berkembang di antara segenap karyawan tentang kualitas hubungan dan komunikasi, termasuk keterlibatan mereka dalam pembuatan keputusan, mempunyai pengaruh pada semangat dan kepuasan kerja.
Konsepsi ’iklim komunikasi suportif’ menurut pemikiran Redding sebaiknya memuat lima dimensi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari komunikasi supervisi manajerial yang efektif yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Dukungan (supportiveness). Karyawan beranggapan bahwa komunikasi yang dilakukan dengan atasan dapat membangun kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi organisasi ia percaya kerjanya merupakan sumbangan yang berharga;
2. Pembuatan keputusan partisipatif (participative decision making).
Terdapat kesan dan sikap umum bahwa para karyawan bebas melakukan komunikasi dengan atasan dan komunikasi tersebut benar-benar ada pengaruhnya ide, pandangan, dan saran karyawan dipertimbangan dalam pembuatan keputusan;
3. Kepercayaan, keyakinan, dan kredbilitas (trust, confidence, credibility).
Dalam tingkatan tertentu sumber-sumber komunikasi dan peristiwa-peristiwa komunikasi dapat dipercayai dan diandalkan bebas dari manipulasi; hubungan antara atasan dan bawahan ditandai oleh sikap saling mempercayai;
4. Keterbukaan dan ketulusan (openness and candor). Komunikasi formal dan informal ditandai oleh keterbukaan dalam bicara maupun mendengarkan. Dalam hubungan komunikasi baik antara karyawan dengan pimpinan maupun antar karyawan, orang-orang dapat berbicara terus terang dan didengarkan secara tulus jujur tanpa pretensi untuk menyiasati;
5. Tujuan kinerja tinggi (high performance goals). Tujuan-tujuan kinerja dikomunikasikan secara jelas di dalam organisasi antar karyawan dan antara karyawan dengan atasan.
Konsep ’tujuan kinerja tinggi’ ini menunjukkan bahwa karyawan bekerja sesuai prinsip MBO (management by objectives), yang dicetuskan oleh Peter F. Drucker (1954) melalui buku klasik berjudul The Practice of Management. Dalam MBO sebagaimana dijelaskan oleh para penganjurnya tujuan bersama untuk setiap unit kerja dalam jenjang hierarkis ditentukan bersama-sama antara manajer dan bawahan. Wilayah tanggung jawab setiap orang ditentukan secara tegas sebagai tolok ukur kinerjanya sebagai karyawan secara individual. Swakarsa karyawan dalam penentuan tujuantujuan kerja atau setidaknya keterlibatannya dalam penentuan tujuantujuan bersama tersebut sangat menentukan kerelaan karyawan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama unit kerja. (Odiorne, 1965).
Dengan melaksanakan prinsip MBO, menurut hasil penelitian empiris oleh Stephen J. Carroll, Jr. dan Henry L. Tosi, Jr. (1968: 415-426), para manajer dan karyawan dari seluruh jenjang hierarkis makin terintegrasi dengan sasaran yang jelas dan ’komunikasi yang makin efektif antara setiap manajer dengan segenap karyawannya’. Maka kelima dimensi di atas dapat dianggap sebagai langkah-langkah strategis yang dianjurkan oleh Redding untuk mewujudkan ’the ideal managerial climate’(IMC) sebuah iklim manajerial yang ideal efektif. Rangkaian pertanyaan yang dikembangkan oleh Redding untuk meliput konsep ’iklim komunikasi’ dapat dilihat pada lampiran yang tercantum di belakang makalah ini.
Dari paparan di atas kita mengetahui bahwa Redding tidak merumuskan sebuah ’definisi formal’ tentang ’iklim komunikasi’ yang dicetuskannya itu, namun kita dapat memperoleh pengertian yang cukup jelas dan rinci dari kelima dimensi yang dikembangkannya. Kita dapat mengerti bahwa ’iklim komunikasi suportif’ itu sebenarnya merupakan perwujudan dari ’iklim organisasi’ yang oleh Redding telah dinyatakan sebagai ’jauh lebih penting dari ketrampilan dan teknik-teknik komunikasi’.
Dengan kata lain, Redding ingin menegaskan bahwa setiap manajer yang efektif selain menguasai ketrampilan dan teknik-teknik komunikasi, juga mampu menciptakan ’iklim komunikasi suportif’. Dalam konsepsi Redding ’iklim komunikasi suportif’ adalah ’the ideal managerial climate’ (IMC) alias ’iklim manajerial ideal (IMI) sebagaimana telah disebutkan di atas.
Definisi formal tentang ’iklim komunikasi’ yang kini banyak dikutip adalah hasil upaya formulasi yang dilakukan oleh Harry S. Dennis, salah seorang ’siswa’ yang secara aktif terlibat dalam serangkaian penelitian Redding.
Berdasarkan pemahamannya tentang hasil rangkaian penelitian selama lima belas tahun yang dipimpin Redding, Dennis (Goldhaber, 1993:66) mencoba membuat definisi tentang ’iklim komunikasi’ yang berbunyi sebagai berikut:
[Iklim komunikasi dapat didefinisikan] ... sebagai kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami secara pribadi oleh karyawan ... yang mencakup persepsi-persepsi segenap karyawan tentang pesan-pesan dan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan pesan yang terjadi di dalam organisasi.
Dari definisi di atas kita mengetahui bahwa konsep ’iklim komunikasi’ merupakan ramuan persepsi yang terdiri dari tiga komponen, yakni persepsi individu tentang ’lingkungan internal, pesan-pesan, dan peristiwa-peristiwa yang mengandung pesan’. ’Kualitas internal organisasi’ adalah sebuah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan situasi keseluruhan lingkungan kerja baik lingkungan fisik maupun sosial. Dalam persepsi para karyawan, misalnya, lingkungan internal organisasi adalah ramah, terbuka, birokratis, atau penuh kecurigaan.
’Pesan-pesan’ berarti makna dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal, jenis ’isi’ pesan maupun ’rasa’ dalam pesan (message content and mode) dan ’gaya’ pesan. Pesan-pesan dalam komunikasi di lingkungan kerja, misalnya, dipersepsikan sebagai informatif atau evaluatif, dan dalam nada membantu atau mengecam, dengan gaya sinis, menggurui, atau persaudaraan. ’Peristiwa-peristiwa yang terkait dengan pesan’ adalah kejadian tindakan, perlakuan, dan interaksi yang berbingkai tempat, waktu, dan situasi yang dianggap penting oleh karyawan, seperti ketika terjadi upacara, perayaan, perubahan, pembaharuan, kegagalan, atau konflik. Pimpinan tetap menghabiskan liburan pada saat terjadi kecelakaan di pabrik atau perusahaan memberikan rumah mewah di daerah elit sebagai kenang-kenangan kepada pimpinan yang pensiun, meskipun mengalami krisis ekonomi. Jadi kualitas ’pesan-pesan’ dan ’peristiwa-peristiwa yang terkait dengan pesan’ pada dasarnya berhubungan dengan ’kompetensi dan latar komunikasi’ (communication competence and context). Semuanya dianggap sebagai manifestasi dari perlakuan organisasi dan manajemen terhadap karyawan. Oleh karena itu, ketiga-tiganya dianggap mengandung makna penting bagi karyawan dan ditanggapi melalui pengertian, sikap, semangat, dan rasa puas karyawan, yang secara positif atau negatif mengarahkan kerja sama dengan atasan maupun antarsesama karyawan.
Dengan demikian, iklim komunikasi pada dasarnya menggambarkan kualitas hubungan-hubungan personal yang dialami karyawan di dalam lingkungan kerja. Secara singkat dapat dikatakan bahwa iklim komunikasi mencerminkan bagaimana pengalaman empiris karyawan tentang komunikasi dan perlakuan atasan terhadap dirinya dan segenap karyawan, maupun hubungan dan komunikasi, sikap, dan pengertian yang berkembang di antara sesama karyawan. Apakah pengalaman karyawan di lingkungan kerja menunjukkan kualitas positif yang dapat membuat karyawan merasa bermakna dan punya pengaruh melalui keterlibatannya dalam praktek kegiatan sehari-hari, ataukah sebaliknya makin terisolasi dan tidak berarti? Bila dikaitkan dengan konsep Gibb ini berarti karyawan akan merasa memperoleh perlakuan suportif sehingga merasa puas atau memperoleh ancaman sehingga harus bersikap defensif.
Definisi Dennis dapat dianggap cukup lengkap dan dapat mewakili konsepsi yang telah dicetuskan dan dijabarkan oleh Redding, sehingga banyak dikutip di dalam buku-buku teks. Definisi ini dikutip dengan penjelasan singkat di dalam buku teks program pascasarjana karya Gerald Goldhaber (1993:66) berjudul Organizational Communication, yang sudah mengalami cetak ulang ke-6, maupun buku berjudul sama karya Wayne Pace dan Don Faules (1994:100) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (1994). Dalam kutipannya Goldhaber menambahkan catatan bahwa dalam penjabaran konsep iklim komunikasi kemungkinan dimensi ’kepercayaan’ (trust) dapat diabaikan, karena menurut pengujian empiris oleh Dennis (dengan sampel sebesar 353 manajer penyelia) ternyata hanya empat dimensi, yakni dukungan, pembuatan keputusan partisipatif, keterbukaan, dan penetapan kinerja tinggi, yang berfungsi sebagai faktor penting. Hasil pengujian empiris ini menunjukkan bahwa di benak para responden diasumsikan bahwa pengertian ’kepercayaan’ telah diserap ke dalam dimensi-dimensi lain, khususnya dukungan, keterbukaan, dan pembuatan keputusan partisipatif. Atas dasar definisi Dennis itu Pace dan Faules (1994:100-101) mengajukan definisi operasional yang berbunyi sebagai berikut:
Iklim organisasi ... merupakan gabungan dari persepsipersepsi sebuah evaluasi makro tentang peristiwa komunikasi, perilaku manusia, respons antarsesama karyawan, harapan-harapan, konflik-konflik interpesonal, dan kesempatan bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi berbeda dengan iklim organisasi dalam artian iklim komunikasi meliputi persepsi-persepsi tentang pesan dan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan pesan yang terjadi di dalam organisasi. Iklim komunikasi adalah citra makro, abstrak, dan gabungan dari fenomena yang disebut komunikasi keorganisasian. ... Iklim dipandang sebagai kualitas yang dialami secara pribadi sebagai hasil dari persepsi-persepsi tentang ciri-ciri organisasi yang bertahan relatif lama. (Cetak tebal ditambahkan untuk memperjelas, A.H.).
Penjelasan Pace dan Faules tentang ’iklim komunikasi sebagai citra makro ... komunikasi keorganisasian’ perlu ditafsirkan secara luas sebagai sistem, yakni sistem yang terdiri dari komunikasi formal dan informal baik melalui media verbal maupun non-verbal.
Dengan mempertimbangkan pengertian-pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep ’iklim komunikasi’ dapat dirumuskan sebagai: ”persepsi-persepsi karyawan tentang kualitas hubungan dan komunikasi internal dan tingkat keterlibatan maupun pengaruh yang dimiliki oleh segenap karyawan. ”
’Hubungan dan komunikasi internal’ adalah jalinan komunikasi dan interaksi yang dikembangkan oleh atasan terhadap karyawan dalam lingkungan kerja organisasi. Lebih tegasnya, ’jalinan interaksi’ dan ’komunikasi’ yang dikembangkan oleh atasan terhadap bawahan tidak saja mempengaruhi pengertian, sikap, dan perilaku bawahan terhadap atasan melainkan juga terbentuknya jalinan hubungan di antara sesama karyawan. Tanggapan karyawan terhadap atasan maupun interaksi antarkaryawan membentuk situasi lingkungan kerja tertentu positif atau negatif terhadap efektivitas kerja. Sedangkan ’keterlibatan maupun pengaruh’ menunjukkan pengertian tentang ’keterbukaan atasan’ yang mau mendengar dan mempertimbangkan ide, perasaan, sikap, dan kepentingan bawahan dalam proses pembuatan keputusan, baik tentang penentuan tujuan maupun pemecahan masalah.
Secara garis besar, persepsi karyawan tentang situasi hubungan dan komunikasi di lingkungan kerja tersebut terkait dengan elemen-elemen sebagai berikut:
1. Persepsi tentang sumber informasi: kepuasan, kepercayaan, kepentingan, dan keterbukaan yang alami karyawan tentang berbagai sumber informasi atasan, sejawat, dan bawahan;
2. Persepsi tentang ketersediaan informasi bagi karyawan kencukupan, kemanfaatan, dan umpan balik, termasuk ketepatan waktu. Kesediaan informasi menunjukkan keterbukaan informasi yang membuat karyawan merasa dipercaya dan dihargai.
3. Persepsi tentang kebijakan organisasi keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan, penentuan tujuan, dan kejelasan uraian tentang tujuan. Kebijakan organisasi yang partisipatif membuat karyawan merasa penting dan ikut tanggung jawab atas kemajuan organisasi.
4. Persepsi tentang imbalan dan keadilan usaha karyawan secara terbuka memang didorong dan dihargai. Prinsip kesepadanan ini juga menunjukkan adanya ketulusan dan kejujuran manajemen terhadap karyawan.
5. Persepsi tentang komitmen karyawan sebagai konsekuensi dari keterlibatan dalam pembuatan keputusan dan dinyatakan dalam morale dan tekat berkinerja tinggi.
Bila dijabarkan lebih lanjut, iklim komunikasi dapat dipahami sebagai serangkaian persepsi tentang kebijakan organisasi dan perlakuan manajemen atas karyawan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, yang dapat dirinci sebagai berikut: 1) kejelasan tujuan organisasi; 2) kejelasan harapan organisasi terhadap karyawan, khususnya tugas karyawan; 3) pengertian tentang peran-peran dan kerjasama fungsifungsi karyawan-karyawan lain; 4) motivasi untuk berkomunikasi inisiatif komunikasi dengan atasan dihargai dan bermanfaat; 5) motivasi diam tidak mau berkomunikasi pada atasan karena tidak ada gunanya bahkan dapat merugikan, seperti dicela, dan terancam; 6) dukungan dan dorongan atasan; 7) kredibillitas, kepercayaan, keandalan, jujur; dan 8) terbuka untuk umpan balik dan ketulusan mendengarkan.
Setelah mempelajari perkembangan pengertian dan penjabaran iklim komunikasi dan fungsinya sebagai dimensi penting dari efektivitas manajemen, selanjutnya kita akan membahas secara khusus dampak iklim komunikasi dan proses bagaimana dampak itu terjadi.
Dampak Iklim Komunikasi
Sebagaimana jelas dari pernyataan tersohor Redding yang telah dikutip di atas iklim komunikasi memainkan peran yang besar dalam pengembangan organisasi yang efektif. Hasil rangkaian penelitian pimpinan Redding selama lima belas tahun dengan sangat jelas menunjukkan bahwa iklim komunikasi mempunyai hubungan yang positif dengan praktek manajemen efektif, yang pada gilirannya berpengaruh pada efektivitas organisasi kinerja tinggi organisasi. Kesimpulan ini kemudian mendapat peneguhan dari banyak penelitian selanjutnya, termasuk penelitian terpisah tidak terkait dengan rangkaian penelitian pimpinan Redding seperti yang dilakukan oleh Dale Level (1972) di kalangan 72 penyelia bisnis (business supervisors), George A. Sanborn pada sebuah ’perusahaan ritel’ (national retail sales organization). Hasil dari kedua penelitian itu menunjukkan bahwa ’kepuasan komunikasi’ mempunyai hubungan yang kuat dengan ’semangat kerja’ (morale). Selain itu, hasil dari serangkaian program riset pada US Navy yang dilakukan oleh Charles O’Reilly dan Karlene Roberts (1976) bahkan menunjukkan bahwa kuantitas maupun kualitas komunikasi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kinerja organisasi. Temuan ini memperteguh temuan mereka sebelumnya (O’Reilly dan Roberts, 1974), yakni sebuah penelitian eksperimen yang menggunakan 171 mahasiswa tingkat sarjana dan pascasarjana sebagai ’subjek’. Sejalan dengan itu, penelitian Paul Muchinsky (1977) menemukan hubungan kuat antara kepuasan komunisasi, khususnya kepercayaan dan pengaruh, dengan kepuasan kerja karyawan.
Namun bagaimana mekanisme kerja dari iklim komunikasi tersebut?
Dampak komunikasi secara konkret didefinisikan dan diperteguh oleh karyawan melalui interaksi. Interaksi-interaksi antarkaryawan yang berlanjut memberikan bukti tentang keberadaan jiwa saling mempercayai, saling mendukung, terbuka, memberi masukan, peduli, dan saling berterusterang. Dengan kata lain, dampak dapat berbeda-beda menurut bagaimana segenap karyawan terlibat dalam komunikasi dan interaksi. Perbedaan cara keterlibatan karyawan ini mempengaruhi tingkat keterlibatan mereka ke dalam jiwa, kepercayaan, dan sistem nilai organisasi yang selanjutnya terkait dengan pengakuan, penerimaan, dan pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pola bagaimana keterlibatan karyawan ini menciptakan iklim yang berbeda-beda di kalangan karyawan, seperti iklim partisipatif-acuh tak acuh, suportif-defensif, kekompakan-permusuhan, positif-negatif.
Iklim komunikasi yang tercipta di organisasi tersebut menurut penelitian Ruth Guzley (1992: 379-402) kemudian dijadikan acuan dan pedoman untuk pembuatan keputusan dan perilaku pribadi dan sosial di kalangan karyawan. Khususnya, ’keputusan untuk mengerjakan tugas secara efektif dan membangun tekad dan komitmen pada organisasi, mengejar peluang organisasi dengan penuh semangat, menolong sesama karyawan, menyelesaikan tugas secara kreatif, dan menyumbangkan ideide pembaharuan untuk perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi.’
Singkat kata, iklim organisasi merupakan salah satu faktor paling penting dalam peningkatan produktivitas organisasi, karena iklim komunikasi mempengaruhi tekad dan jerih payah anggota organisasi baik fisik maupun mental. Lagi pula, iklim komunikasi juga mempengaruhi pengakuan, penerimaan, dan realisasi tujuan-tujuan organisasi dan sistem kepercayaan dan nilai, yang mempunyai dampak pada ’pemeliharaan kebanggaan sebagai anggota organisasi’ niat untuk bertahan dan tidak keluar. Tentang dampak iklim komunikasi pada komitmen karyawan dijelaskan oleh Guzley (1992:397) sebagai berikut:
”Begitu rasa menguasai keadaan dan penerimaan [tujuan dan sistem nilai] terbangun, kebutuhan karyawan bahwa komunikasi mereka mempunyai pengaruh mencapai puncaknya.Bahkan senyatanya tanpa perasaan berpengaruh macam itu, mereka bisa menjadi tidak puas, kecewa, dan akhirnya keluar dari organisasi. Artinya, komitmen mereka pada organisasi menjadi terkikis.
Sebagai kesimpulan iklim komunikasi yang positif mempunyai dampak pada komitmen di kalangan karyawan sebagai tantangan, peluang, dorongan, dan dukungan usaha. Sesuai dengan hakekat komunikasi, kesehatan iklim komunikasi dapat dipelihara melalui program-program pelatihan kelompok yang interaktif dan partisipatif, pembentukan kelompok kerja yang otonom, dan ’pemberdayaan’ melalui MBO (management by objectives), karena kesemuanya ini mencerminkan jiwa saling mempercayai, kejujuran, dan saling belajar. Dengan demikian, ’iklim komunikasi’ secara konseptual dapat dilihat sebagai fungsi dari bagaimana kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalam organisasi menunjukkan ’jiwa saling mempercayai’ (trust) dan kebebasan untuk mengambil resiko; mendukung dan memberikan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas; secara terbuka menyediakan informasi yang akurat dan mencukupi tentang organisasi; dengan penuh perhatian mendengarkan dan memperoleh informasi yang jujur dan terandalkan dari segenap karyawan; mengumpulkan masukan, pandangan, dan pertimbangan dari karyawan sehingga menimbulkan perasaan bahwa keterlibatan karyawan cukup berpengaruh dalam pembuatan keputusan penting; menunjukkan kepedulian terhadap standar dan tantangan kerja.