Manajemen Bantuan Keuangan Dan Pengendalian Penyaluran Dana Bantuan

Manajemen Bantuan Keuangan Dan Pengendalian Penyaluran Dana Bantuan 
Disesuaikan dengan kondisi yang ada, penyelenggaraan pembangunaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RR) telah memilih model pemberdayaan masyarakat. Dengan model ini di samping bertujuan untuk segera dapat menyediakan tempat tinggal para korban, juga diharapkan dapat memberi sumber pendapatan bagi para korban gempa. Berdasarkan model ini pula, otorisasi pengeluaran anggaran bersifat trust. Penggunaan anggaran tidak seperti biasanya, perlu terlebih dahulu berdasarkan prestasi fisik, melainkan berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu ditetapkan.

Artinya, RR berbeda dalam hal cara pembiayaan atau pencairan anggaran. Namun demikian, perlu diingat bahwa implikasi terhadap pengelolaan keuangan negara harus tetap sama yaitu harus dikendalikan sesuai dengan kaedah-kaedah pelaksanaan anggaran. Setidaknya ada dua hal yang kritis dalam pengendalian anggaran yaitu, dalam hal ketaatan atas prosedur pengelolaan anggaran dan dalam ketepatan penggunaan anggaran sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dikarenakan, meskipun dalam penyaluran anggaran untuk pembangunan rumah pada tahap RR ini bersifat bantuan, tidaklah berarti pelaksanaannya bebas kendali.

Konsep Trust dalam Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah
Sebagaimana telah ditetapkan dalam pedoman pelaksanaan RR, pembangunan rumah menerapkan pendekatan pemberdayaan masyarakat {trust). Terhadap pendekatan tersebut, terdapat beberapa prinsip dasar pembangunan RR Rumah, yaitu:

1) Prinsip Pemberdayaan Sejati untuk menumbuhkan kerelawanan dan perilaku pengorbanan/keikhlasan memberi dari masyarakat korban bencana kepada sesama korban bencana yang lebih menderita, lebih miskin dan lebih parah kondisinya.

2) Prinsip pengaturan didasarkan pada kesepakatan masyarakat sendiri dengan berlandaskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan nilai-nilai/kearifan lokal.

3) Prinsip hanya sebagai stimulans bagi lembaga pimpinan kolektif masyarakat (KERAP/BKM/TPK) dalam menggerakkan masyarakat untuk mulai bergotong royong menolong/membantu warga yang paling miskin dan paling parah terkena dampak bencana gempa di wilayahnya.

4) Prinsip sebagai proses pengalaman dan pembelajaran bagi masyarakat untuk mulai mengenal dan memahami:

· Mekanisme pembangunan rumah berbasis komunitas (masyarakat merencanakan, menetapkan dan melaksanakan sendiri), serta nilai-nilai luhur (memprioritaskan pada warga yang paling lemah dan menderita secara adil, kejujuran dan pengorbanan) 

· Mekanisme pembangunan rumah bertumpu pada bottom up (participatory development) dan terorganisir (community organizing).

5) Prinsip bukan sebagai Program Membangun Rumah, melainkan Program memperkuat dan membantu masyarakat agar mampu menangani kebutuhan daruratnya, dan juga mampu membangun rumah tahan gempa sesuai standar teknis yang ditetapkan Departemen PU, dengan bentuk ;erta kelengkapan atau aksesoris rumah ditetapkan sendiri oleh warga penerima bantuan

Pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut pada akhirnya melahirkan kesepakatan dalam penentuan objek pembangunan. Proses perencanaan bottom up tersebut berpatokan pada aturan-aturan tertentu, dan jika sudah dipastikan objek pembangunannya, maka anggaran dapat dicairkan dan digunakan pada kelompok-kelompok masyarakat.


"Konsep trust" di atas sangat berbeda jika dibandingkan dengan proyek. Dalam proyek, ukuran atau satuan fisik sudah sangat jelas seperti diatur dalam dokumen anggaran (RKA-KL) dan ketentuan-ketentuar pelaksanaan diatur rinci dalam kontrak. Untuk memperoleh anggaran seperti diatur dalam Keppres 42/2002, belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Bukti yang sah seperti diatur dalam Perdirjen Perbendaharaan No. PER-66/PB/2005 antara lain Berita Acara Serah Terima Pekerjaan.

3. Pengelolaan APBN Secara Umum
Pengelolaan keuangan negara secara umum telah diatur, antara lain dalar Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Secara spesifik, setiap tahun ditetapkan juga suatu undang-undang tentang pelaksanaan APBN. Untuk pelaksanaan APBN tahun 2007, misalnya, diatur dalam undang nomor 18 tahun 2006. Sebagai gabungan hasil proses perencanaan departemen/lembaga, APBN disusun berdasarkan target-target terukur. APBN dan target-target ini kemudian dituangkan dalam suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dikenal dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau DIPA.

Dari sudut manajemen keuangan, target dalam DIPA menjadi acuan atau standar, bukan hanya dalam pelaksanaan anggaran tetapi juga dalam pengendaliannya. Dengan pemikiran bahwa anggaran disusun berdasarkan satuan tertentu. maka target-target dalam DIPA itu berfungsi menjadi otorisasi pengeluaran anggaran. Pengendaliannya tampak sederhana, target dalam DIPA harus tercapai dengan dana yang tidak boleh melampaui anggaran.

Pada tahap pelaksanaan, pelaksana (Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK) adalah pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan pengendalian anggaran. PPK dan para pelaksana lainnya, secara terus nenerus wajib mereviu dokumen pelaksanaan anggaran untuk memastikan bahwa anggaran telah digunakan untuk menghasilkan output yang diinginkan atau yang ditetapkan dalam DIPA dan juga bahwa pelaksanaan anggaran telah sesuai dengan ketentuan yang ada. 

Untuk menjaga adanya "audit trail" atau bukti bahwa anggaran digunakan untuk mencapai target atau tujuan dan bahwa pelaksanaan anggaran sesuai atau tidak dengan ketentuan, diselenggarakan pembukuan atau akuntansi anggaran dalam suatu sistem akuntansi yang telah diatur, antara lain dengan Perdirjen Perbendaharaan nomor PER-24/PB/2006 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. Pencatatan tersebut harus pula mengikuti kaidah atau standar pengakuan dan pelaporan akuntansi sebagai mana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada akhirnya, penggunaan anggaran harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan Instansi (LKI).


Selain tentang keuangan, setiap instansi wajib pula membuat Laporan kinerja. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan keuangan dan Kinerja Pemerintah mewajibkan entitas pelaporan nempertanggungjawabkan bahwa pelaksanaan anggaran telah sesuai dengan kinerja yang ditetapkan DIPA atau dokumen anggaran lainnya. Target-target kinerja dimaksud selain mencakup target output dalam DIPA yang biasa terukur dengan pasti, juga mencakup outcome yang pengukurannya harus melalui prosedur formal lainnya seperti melalui evaluasi.


Dalam siklus terakhir dari pengelolaan keuangan negara, Laporan keuangan akan diperiksa sesuai dengan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara
Keuangan Negara menurut UU Nomor 17 tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Jadi uang, atau bantuan langsung masyarakat (BLM), yang dialokasikan untuk RR ini termasut dalam pengertian keuangan tersebut.

Sama halnya dalam pengelolaan keuangan negara atau APBN, mekanisme pengelolaan Dana BLM diselenggarkan melalui tahap-tahap: penyusunan. penetapan, pelaksanaan, perubahan, pertanggungjawaban, evaluasi program dan pemeriksaan pertanggungjawaban. Termasuk di dalamnya pengelolaan BMN, jika ada.


Dalam penyusunan APBN, beberapa prinsip umum yang harus terpenuhi adalah:
1) Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang wajib menyusun RKA-KL (UU NO 17/2003 Pasal 14 -1)
2) RKAKL disusun berdasarkan prestasi kerja / kinerja yang akan dicapai (UU NO 17/2003 Pasal 14-2)
3) Program dan kegiatan disusun dengan pendekatan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu (PP NO 20/2004 Pasal 3 -2).
4) RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan (PP NO 21/2004 Pasal 4):
- Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah; 
- Penganggaran Terpadu; 
- Penganggaran Berbasis Kinerja
5) Hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja (Pasal 12 (1)
6) Efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga/pemerintah daerah (pasal 12 (1))
7) Mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri (Pasal 12 (1));
8) Belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. (Pasal 12 (2));
9) Menyelenggarakan pembukuan atas uang yang dikelolanya dan penatausahaan barang yang dikuasainya, serta membuat laporan pertanggungjawaban mengenai pengelolaan uang dan barang yang dikuasainya kepada kepala instansi vertikal atasannya (Pasal 57 (1));
10) Pembayaran harus didasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan (Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas beban APBN);
11) Setiap Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan (a) Laporan Keuangan; dan (b) Laporan Kinerja. Entitas Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: (1) Pemerintah pusat; (2) Pemerintah daerah; (3) Kementerian Negara/Lembaga; dan (4) Bendahara Umum Negara. Laporan yang dibuat oleh entitas pelaporan merupakan kumpulan dari entitas akuntansi, di mana Setiap kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan suatu Kementerian Negara/Lembaga merupakan Entitas Akuntansi (pasal 2 dan 4 (1) PP 8 Tahun 2006)).
12) Terhadap Laporan pertanggungjawaban pada akhirnya akan dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dimaksud terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (UU Nomor 15 Tahun 2004)

Titik Kritis Pengendalian Penyaluran Bantuan
Beberapa titik kritis dalam penyaluran bantuan dalam tahap RR dan titik kritis ini berdasarkan hasil monitoring BPKP terhadap pelaksanaan RR, yaitu :

1) Data awal rumah dan RAB
Jika dilakukan dengan mekanisme normal, objek pembangunan yang harus dibiayai sudah melalui seleksi ketat melalui berbagai pembahasan. Satuan-satuan objek pembangunan teridentifikasi dengan jelas dalam dokumen anggaran (RKA-KL).

Dalam RR dengan prinsip trust, data awal yang digunakan adalah Rumah Rusak Berat atau Roboh. Data awal ini disusun sebelum tahap RR dimulai.

Hanya keluarga pemilik Rumah Rusak Berat atau Roboh yang diperbolehkan membentuk suatu Kelompok Swadaya Masyarakat Perumahan (KSM-P). KSMP inilah kemudian yang membuat suatu Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk membangun rumah bagi semua anggota KSM-Pnya. RAB dari KSM-P ini meniadi sumber otorisasi mengklaim anggaran Jika sudah tersedia anggota KSM-P sesuai data awal maka anggaran akan cair. Jadi, keberadaan data awal akan menjadi kritis, jika tidak dilakukan penanganan dengan sungguh-sungguh akan berpotensi adanya penyalahgunaan uang negara.

2) Convensating control terhadap Trust
Sebagai imbalan dari penerapan pendekatan trust, maka perlu pengendalian yang memadai dalam hal:
a. Pengendalian pembentukan kelompok termasuk sosialisasi mengingat anggota kelompok adalah merupakan pusat pengelolaan kegiatan, baik keuangan maupun kegiatan fisik; 
b. Pelaksanaan administrasi kegiatan. Bahwa para pelaksana bukan merupakan satker pemerintah, maka akan rentan terhadap tersedianya catatan atas pelaksanaan kegiatan. Buku catatan tentang kegiatan akan menjadi sumber utama dalam pengendalian oleh Pejabat Pembuat Komitmen;
c. Kejelasan tentang persyaratan-persyaratan yang diminta akan mempengaruhi kecepatan pelaksanaan kegiatan termasuk kriteria tentang rumah yang aman gempa.


Hasil Monev RR Rumah
Hasil Monev RR Rumah menghasil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Dengan penerapan konsep trust yang lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat dan participatory divelopment memerlukan proses demokratisasi. Namun, kenyataannya, dengan proses tersebut pembangunan rumah tidak dapat dilakukan dengan segera.
2) Progres pembangunan rumah rendah karena pemberdayaan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya, proses pembentukan KSM-P membutuhkan waktu dan salah rekrut.
3) Prinsip bottom up dihambat oleh penetapan persyaratan yang belum sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat.
4) Aspek pengendalian tidak berjalan baik. Tidak tersedia catatan yang memadai pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sehingga kegiatan tidak dapat dikendalikan secara memadai. Beberapa hal yang tidak sehubungan dengan kelemahan tersebut adalah:
· Terjadi penyaluran ganda yang tidak dapat diketahui dengan segera
· Peserta yang menjadi anggota lain tidak diketahui
· Data awal berubah-ubah
· Kelebihan pembayaran tidak terdeteksi
· Sasaran tidak tepat dan tidak terdeteksi
· Penerima dana tidak memiliki bukti punya rumah tidak terdeteksi


Rekomendasi BPKP
Berdasarkan bahasan di atas, agar kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pasca bencana gempa bumi di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 terlaksana sesuai target dan harapan masyarakat, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: 

1. Sebagai upaya percepatan capaian kinerja pembangunan rumah perlu langkah-langkah untuk mengatasi kelemahan dari implementasi prinsip dasar pelaksanaan RR Rumah adalah sebagai berikut:

1) Melakukan pelatihan yang cukup kepada anggota KSM-P sebagai tenaga tukang atau memfasilitasi pengundangan tenaga tukang secara sukarela dari daerah lain. 

2) Melakukan sosialisasi kepada KSM-P mengenai spesifikasi rumah tahan gempa yang menjadi ketentuan pemerintah, atau membuat alternatif spesifikasi rumah tahan gempa. 

3) Memfasilitasi kemudahan perolehan IMB bagi pembangunan rumah korban bencana. 

4) Memfasilitasi penempatan KK yang tidak memenuhi persyaratan untuk diikutkan dalam program RR Rumah ke program lain yang sejenis.

2. Sebagai upaya meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan RR Rumah perlu dilakukan:
1) Bimbingan teknis pengelolaan administrasi keuangan dan kegiatan dalam pelaksanaan kegiatan RR Rumah kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kabupaten/Kota, karena tanggung jawab akuntabilitas kegiatan RR rumah ada pada PPK Kabupaten/Kota. 
2) Mengundang fungsi audit untuk memastikan akibat dari penyelenggaraan administrasi yang kurang tertib termasuk memastikan keakuratan persyaratan (eligibilitas) anggota KSM-P.
3. Selain itu untuk tujuan perbaikan program selanjutnya perlu melakukan evaluasi tentang aspek sosial dan ekonomi yang kemungkinan dapat menjadi penghambat pelaksanaan kegiatan RR Rumah.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson