Pengertian Etika dan Akhlak

Pengertian Etika dan Akhlak 
Meskipun telah lama etika menjadi bidang kajian dalam filsafat, tetapi bagi kebanyakan orang – baik dari kalangan umum maupun para sarjana sekalipun – masih sering kacau menggunakan istilah etika, moral dan etiket. Demikian pula di kalangan kaum muslimin, istilah akhlak, adab dan adat. Lebih kacau lagi jika istilah-istilah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budi pekerti, sopan santun dan tata krama (ketiga istilah Indonesia ini sungguh mempersempit makna etika atau akhlak).

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan istilah moral dari kata mores juga berarti adat kebiasaan, hanya yang terakhir ini bukan berasal dari bahasa Yunani tetapi dari bahasa Latin. Karena secara etimologi mempunyai arti yang sama dan dalam kenyataan sering disamakan penggunaannya. Kedua istilah tersebut oleh sebagian ahli tidak dibedakan secara tegas. Mengikuti pendapat beberapa ahli, selanjutnya dapat dibedakan arti etika menjadi tiga :
1. Nilai-nilai dan norma-norma modal sebagai landasan perilaku.
2. Kumpulan azas atau nilai moral atau kode etik
3. Ilmu tentang baik buruk sebagai cabang filsafat

Etika merupakan ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran moral, sedangkan moral adalah rumusan sistematik terhadap anggapan-anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban-kewajiban manusia.

Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kenyataan tidak terlalu dapat dibedakan pengertian etika dan moral, tetapi menegaskan arti etika bisa berarti ilmu tentang baik buruk dan bisa juga norma, nilai serta ajaran moral itu sendiri. Adapun istilah etiket (etiquette) berarti tata cara suatu perbuatan yang bersifat teknis, relatif, dan lahiriyah, serta menyangkut hubungan pergaulan (tata krama). Misalnya, tata krama makan dalam pesta.

Lalu bagaimana istilah-istilah yang berlaku umum di atas disamakan dengan akhlak dan adab dalam Islam.

Kata akhlak berasal dari bentuk jama’ bahasa Arab Khuluq yang berarti budi pekerti atau perangai. Dalam kebanyakan literatur Islam, akhlak diartikan dalam dua macam: 
1. pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, tujuan perbuatan, seta pedoman yang harus diikuti
2. Pengetahuan yang menyelidiki perjalanan hidup manusia sebagai parameter perbuatan, perkataan serta ikhwal kehidupannya.
3. Suatu sifat permanen pada iri orang yang melahirkan perbuatan secara mudah tanpa membutuhkan proses berpikir
4. Sekumpulan nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku dan berbuat.

Dari definisi akhlak di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut :
1. Akhlak merupakan falsafah perbuatan yang membahas dasar-dasar baik buruk. Dengan pengertian ini, akhlak termasuk dalam kategori ilmu normatif.
2. Sebagai ilmu, akhlak mengadakan penelitian (deskripsi) tentang berbagai bentuk perilaku manusia untuk dijadikan landasan penilaian baik buruk atas dasar norma yang berkembang dalam tradisi Islam. Pada tataran ini, akhlak dapat dimasukkan dalam kategori ilmu positif seperti sosiologi.
3. Disisi lain akhlak berarti ilmu dan falsafah yang bersifat teoritis, tetapi juga bentuk-bentuk tindakannya lahir dari sebuah kesadaran nilai yang bersifat praktis.

Adapun istilah adab dapat disamakan dengan istilah etiket. Sementara itu istilah akhlak secara umum dapat disamakan (meski tidak sama persis) dengan istilah etika. Meskipun secara akademik telah dijelaskan demikian terperinci, namun arti akhlak dalam realitas digunakan secara fleksibel bahkan cenderung kacau.

Kegagalan etika bisnis bukan terletak pada ketidaktahuan atau keengganan para pelaku bisnis untuk menyelenggarakan bisnis secara etis 9faktor internal), melainkan terletak pada faktor eksternal. Hal ini disebabkan oleh dua hal berikut :
1. Pertama, konsep normatif yang kaku sarat dengan rambu-rambu moralitas, yang menjadi kendala bagi praktek bisnis di lapangan.
2. Kedua, lingkungan bisnis yang tak kondusif bagi berlakunya bisnis secara etis. Ini mudah dipahami, karena bisnis adalah kegiatan yang terfokus pada uang, efisiensi dan ekspansi. Karena itu demi eksistensi dan kemapanan, setiap, pelaku bisnis akan menghalalkan segala cara.

Manusia adalah makhluk berbudi, oleh karena itu segala kegiatan yang bebas nilai memerlukan budi nurani manusia yang disebut kata hati. Maka istilah etika bisnis mengandung arti memberi nilai pada kegiatan bisnis. Contohnya hasil produksi tertentu harus melalui perjalanan panjang sebelum sampai ke konsumen. Pada sistem ekonomi tradisional, perjalanan itu dibuat singkat karena ada hubungan langsung antara konsumen dan produsen.

Demikian pula, penjaja keliling dapat berhubungan langsung dengan pelanggan. Mereka berbisnis tanpa iklan, distributor, serta agen. Dalam skala yang lebih luas, muncul ekonomi pasar tradisional dengan transaksi yang sangat sederhana: cash and carry. Meskipun berlangsung unsur tipu menipu, kegiatan ekonomi ini dilakukan dengan sangat transparan karena yang berusaha menipu dan yang berkelit untuk tak ditipu mengetahui medan masing-masing. Tak jarang, “perang tanding hara” alias pelanggan. Hubungan langsung antara konsumen dan produsen itulah yang memberi nilai pada kualitas dagang dan akhirnya menentukan harga pasar.

Tipu menipu memang dipandang sebagai nilai yang menyimpang. Tetapi dalam konteks perdagangan tradisional, kegiatan tipu menipu menjadi lain sebab ada semacam kesepakatan tak tertulis bahwa “harga yang saya tawarkan” bukanlah harga yang sebenarnya. Karenanya, pedagang pun rela jika harga barangnya ditawar. Biasanya harga pasarlah yang paling menentukan. Keterbukaan inilah yang masih dapat ditoleransi oleh prinsip etika ekonomi terapan.

Apa yang terjadi dengan sistem ekonomi sekarang? Semua transaksi berujung pada pernyataan-pernyataan di atas kertas perjalanan panjang sebuah produk dari produsen ke konsumen harus melewati beberapa “terminal” yang memerlukan ongkos. Ketika barang sampai di tangan konsumen, harga menjadi dua kali lipat. Konsumen menjadi korban sistem. Uang bukan lagi sebagai alat tukar menukar, melainkan sebagai senjata ampuh untuk mengalahkan lawan dan tujuan hidup.

Tragedi ilmu ekonomi adalah: ia lahir untuk keadilan masyarakat, tetapi justru tumbuh dan berkembang untuk ketidakadilan. Persoalannya, apakah kita mampu melihat dan membiarkan proses ekonomi berjalan bukan saja bebas nilai, melainkan juga menjadi tak etis karena manusia mencampurinya dengan nilai yang tak manusiawi.

Untuk menjadi masyarakat abad ke-21, ada dua agenda yang harus kita lakukan. Pertama, mencair strategi penyebaran tindakan etis agar etika bisnis menjadi konsensus nasional. Kedua, merekayasa budaya etika bisnis Indonesia, yang mencakup kepentingan pengusaha, konsumen, pengguna jasa, pekerja, dan lingkungan demi masa depan yang cerah. Dengan demikian, etika bisnis perlu berperan sebagai mitos baru bukan sekedar rambu-rambu moralitas.

Bisnis merupakan ujung tombak pengembangan. Dengan sendirinya, bagi bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menghadapi tahun 2003, bisnis menjadi the flying carpet seperti dalam cerita 1001 malam yang diharapkan dapat membawa bangsa menuju abad 21. Oleh karena itu sosialisasi etika bisnis merupakan suatu keperluan yang tak dapat ditunda.

Semua unsur masyarakat perlu terlibat agar dapat berfungsi secara serentak sebagai kontrol sosial demi terselenggaranya praktek bisnis yang etis. Tanpa etika bisnis, kita akan terbawa oleh “permadani terbang” tersebut ke suatu tempat antah berantah dan bisa jadi kita akan berjatuhan. 

Sistem Etika
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia beribadah. Secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak secara tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogikan dengan ilmu pengetahuan yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota manusia. Tujuan dari etika sosial sendiri pada dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran kita akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala dimensinya.

Mitos Bisnis Amoral
Bisnis adalah bisnis, jangan dicampuradukkan dengan etika. Ungkapan di atas sering terdengar yang menggambarkan hubungan antar bisnis dan etika. Inilah ungkapan-ungkapan yang disebut mitos bisnis amoral. Ungkapan atau mitos ini menggambarkan dengan jelas paham atau kepercayaan orang bisnis sejauh mereka menerima mitos seperti itu tentang dirinya, kegiatannya, dan orang lain yang menjalin hubungan bisnis dengan mereka.

Kegiatan mereka adalah melakukan bisnis, maka yang menjadi perhatian mereka hanyalah memproduksi, mengedarkan, menjual serta membeli barang dan jasa dengan memperoleh keuntungan. Singkatnya yang menjadi pusat perhatian adalah bagaimana berusaha sekuat tenaga untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam kerangka bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai permainan Judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang, untuk memperoleh keuntungan. Dasar pemikirannya adalah sebagai berikut: pertama, bisnis adalah sebuah bentuk persaingan. Dan sebagai suatu bentuk persaingan, semua orang yang terlibat di dalamnya selalu berusaha dengan segala cara dan upaya yaitu menang. Kedua, dalam persaingan, aturan yang digunakan berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya. Maka aturan bisnis berbeda dari aturan sosial moral umumnya. Ketiga, orang yang mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang menghalalkan segala acara. Dengan kata lain, di tengah persaingan bisnis yang ketat orang masih mau memperhatikan norma-norma moral akan merugi dan tersingkir dengan sendirinya.

Jadi bisa dikatakan dari mitos bisnis amoral adalah bisnis dan etika merupakan dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Bisnis tidak bisa dinilai berdasarkan tolok ukur etika moralitas, karena pertimbangan-pertimbangan moral dan etika tidak tepat untuk bisnis. Konsekuensinya sudah sewajarnya bisnis tidak mempedulikan pertimbangan dan prinsip-prinsip etika. Singkatnya, berdasarkan uraian di atas bisnis tidak mengenal etika.

Namun disisi lain timbul banyak pertanyaan, apakah benar bahwa bisnis tidak mengenal etika dan tidak perlu memperhatikan etika? Apakah prinsip-prinsip dan aturan-aturan bisnis sedemikian berbeda dari prinsip-prinsip dan aturan moral?

Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, bisnis diibaratkan dengan Judi dalam arti tertentu karena dalam bisnis orang dituntut untuk berani mengambil resiko. Dalam bisnis ada nilai manusiawi yang dipertaruhkan, mau tidak mau cara untuk memperoleh keuntungan atau menang juga harus manusiawi. Bisnis perlu dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan etis. Dengan menggunakan pandangan ideal, bisnis tidak hanya bertujuan untuk untung melainkan juga untuk memperjuangkan nilai-nilai yang manusiawi. Kedua, tidak benar bahwa sebagai suatu permainan dunia bisnis mempunyai aturan-aturan sendiri yang berbeda dari aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya. Alasannya, karena bisnis adalah bagian dari aktivitas yang penting dari masyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Sebagai kegiatan antara manusia bisnis juga mengutuhkan etika sebagai pemberi pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu sama yang lainnya. Ketiga, bahwa dalam bisnis ada persaingan yang sangat hebat. Tidak ada orang yang menyangkal hal ini. Tetapi tidak benar bahwa orang yang mematuhi aturan modal akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan yaitu akan merugi, tersingkir dari persaingan. Jadi kalau mau berhasil dalam bisnis, kegiatan bisnisnya harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip etika. Dan orang bisnis yang bersaing dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justru akan menang karena tetap dipercaya masyarakat. Keempat, adanya situasi khusus atau pengecualian yang menyimpang dalam kegiatan bisnis dan dari segi etika dibenarkan, tidak dengan sendirinya membenarkan bahwa bisnis tidak mengenal etika. Dalam kenyataan kita sering menemukan adanya praktik dalam situasi khusus yang jelas menyimpang dari prinsip norma etika. Tetapi ini jangan diterima sebagai hal yang pantas diberlakukan secara universal. Dan praktik dalam situasi khusus dibenarkan karena alasan atau pertimbangan yang rasional. Maka dari pengecualian yang dibenarkan jangan dijadikan alasan untuk menilai bahwa bisnis tidak mengenal etika. Kelima, pemberian dan berbagai aksi protes yang terjadi dimana-mana untuk mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis yang tidak baik, ini menunjukkan bahwa masih banyak orang dan kelompok masyarakat menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma etika. Jadi pada dasarnya bisnis tetap mengenal etika atau dengan kata lain bisnis memang punya etika.

Sumbangan Etika Bisnis
Setelah melihat perlunya etika bisnis kita perlu meninjau lebih jauh mengenai etika bisnis serta sumbangan yang diberikan. Etika bisnis boleh dikatakan merupakan suatu bidang etika khusus (terapan) yang baru berkembang pada awal tahun 1980-an. Dan sampai sekarang kebanyakan telaah tentang etika bisnis berasal dari Amerika.

Dalam semua bidang etika bisnis membantu para pelaku bisnis untuk mendekati masalah-masalah bisnis dengan sentuhan moral. Etika bisnis membantu para manajer, pelaku bisnis lainnya untuk menangkap hal yang tidak bisa ditangkap dengan mata ekonomi manajemen murni dan memecahkan banyak persoalan dengan menggunakan pendekatan yang lebih dari sekedar pendekatan ekonomi manajemen.

Etika bisnis menggugah bahwa dalam melakukan bisnis, kita tetap bertindak dan berperilaku sebagai manusia yang mempunyai matra etis. Dalam konteks bisnis sebagai suatu profesi yang luhur, etika bisnis mengajak kita untuk berusaha mewujudkan citra bisnis dan manajemen yang baik (etis).

Sebagai bidang kegiatan dalam suatu masyarakat yang melibatkan hampir semua anggota masyarakat. Entah sebagai pengusaha, manajer, pekerjaan maupun konsumen bisnis yang baik mempunyai sumbangan besar bagi kehidupan masyarakat pada umumnya.

Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat.

Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip dalam etika bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya.

Prinsip-prinsip Etika dalam Perilaku Bisnis
Menurut pendapat Michael Josephson (1988) yang dikutip oleh Zimmerer secara universal, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu :
1. Kejujuran (Honesty), yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, blak-blakan, terus terang: tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, dan tidak berbohong.
2. Integritas (integrity), yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan penuh pendirian/keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat dan saling percaya.
3. Memelihara janji (promise keeping), yaitu selalu mentaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, jangan menginterpretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalistik dengan dalih ketidakrelaan.
4. Kesetiaan (Fidelity), yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman karyawan, dan negara; jangan menggunakan atau memperlihatkan informasi yang diperoleh dalam kerahasiaan; begitu juga dalam suatu konteks profesional, jaga/lindungi kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, hindari hal yang tidak pants dan konflik kepentingan.
5. Kewajaran/Keadilan (Fairness), yaitu berlaku adil dan berbudi luhur; bersedia untuk mengakui kesalahan; dan perlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaan, jangan bertindak melampaui bats atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
6. Suka Membantu Orang Lain (Caring for Others), yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan, tolong-menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
7. Hormat Kepada Orang lain (Respect for Others), menghormati martabat manusia, menghormati kebebasan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, jangan merencanakan diri seseorang, jangan mempermalukan seseorang dan jangan merendahkan martabat orang lain.
8. Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab (Responsibility Citizenship), yaitu selalu mentaati hukum/aturan, penuh kesadaran sosial, menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
9. Mengejar keunggulan (Pursuit of Excellence), yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam pertemuan personal maupun pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat dipercaya/diandalkan, rajin, getol, dan penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan yang terbaik berdasarkan kemampuan, mengembangkan dan mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
10. Dapat dipertanggungjawabkan (Accountability), yaitu memiliki tanggung jawab menerima tanggungjawab atas keputusan dan konsekuensinya, dan selalu memberi contoh.

Masalah yang Dihadapi Etika Bisnis
Di depan sudah dikatakan bahwa bisnis tetap mengenal etika, dari semua keterangan di atas kita juga perlu mengetahui masalah-masalah yang dihadapi etika bisnis. Dari sini kita perlu mengetahui hubungan-hubungan dalam etika bisnis.

a. Hubungan primer
Meliputi semua hubungan langsung yang diperlukan suatu perusahaan untuk melaksanakan fungsi dan misinya yang utama, yaitu memproduksi barang dan jasa dalam masyarakat.

b. Hubungan sekunder
Meliputi berbagai hubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan akibat dari pelaksana fungsi dan misi utama perusahaan.

Pada tingkat pertama Kita tahu bahwa etika menyangkut sikap dan pola hidup yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut seseorang di dalam seluruh hidupnya. Nilai-nilai ini melahirkan standar moral tertentu yang mempengaruhi sikap-sikap dan tingkah-laku setiap orang. Masalah yang dihadapi adalah bahwa standar modal para pelaku bisnis masih sangat lemah. Banyak diantaranya (pelaku bisnis) yang terjun di dunia bisnis hanya dengan motivasi dasar untuk mencari keuntungan dan memperoleh tingkat hidup yang mencakup material dan tidak memperhitungkan segi etika bisnis.

Pada tingkat perusahaan sering terjadi konflik kepentingan. Mereka menghadapi suatu konflik yang sulit antara nilai pribadi dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Bahkan mereka menghadapi konflik antara perusahaan dan masyarakat dan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu urusan bisnis. Kenyataan ini diperburuk lagi oleh tidak atau belum adanya organisasi profesi bisnis yang berfungsi menegakkan kode etik bisnis.

Pada tingkat masyarakat, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat sedang mengalami transisi, yaitu dari masyarakat berkembang menuju masyarakat maju. Dalam situasi demikian terjadilah transformasi dan perubahan besar-besaran dalam segala bidang kehidupan. Yang ditakutkan adalah kekhawatiran tercabutnya aturan-aturan budaya luhur kita, dan kita belum ada nilai baru yang kita pegang.

Bersamaan dengan itu situasi ekonomi dan politik belum stabil. Kita masih meraba-raba mencari format kebijakan ekonomi dan politik yang sangat tepat. Serta ikut terlibatnya birokrasi dalam dunia bisnis yang menimbulkan persoalan-persoalan pelik yang sulit diatasi, akibatnya keadilan sosial menjadi semakin sulit terjangkau.

Secara spesifik oleh karena etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Hal ini dapat dipandang sebagai etika pergaulan bisnis. Seperti hal manusia pribadi juga memiliki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan bisnis dengan masyarakat umum juga mempunyai atau memiliki etika pergaulan yaitu etika pergaulan bisnis. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa Hal antara lain adalah :

a. Hubungan antara bisnis dengan pelanggan/konsumen
Hubungan antara bisnis dengan pelanggannya merupakan hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulannya secara baik dalam hal ini. Adapun pergaulannya dengan pelanggan ini dapat disebutkan disini, misalnya sebagai berikut:
1. Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
2. Bungkus ataupun kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi di dalamnya, sehingga produsen perlu memberikan kejelasan tentang isi serta kandungan atau zat-zat yang terdapat di dalam produk itu.
3. Promosi terutama iklan merupakan gangguan etis yang paling utama. Oleh karena itulah maka sampai saat inipun TVRI masih melarang ditayangkan iklan dalam siarannya sejak awal 1980-an.
4. Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis. Sangatlah tidak etis suatu bisnis yang menjual produknya yang ternyata jelek (busuk) atau tak layak dipakai tetap saja tidak mau mengganti produknya tersebut kepada pembelinya.

b. Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya seringkali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yaitu: Penarikan (recruitment), Latihan (training), promosi atau kenaikan pangkat, transfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan/PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Di dalam menarik tenaga kerja haruslah dijaga adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil seleksi yang telah dijalankan. Seringkali terjadi hasil seleksi tidak diperhatikan akan tetapi yang diterima adalah peserta atau calon yang berasal dari anggota keluarga sendiri. Di samping itu tidak jarang seorang manajer yang mencoba menaikkan pangkat para karyawan dari generasi muda yang dianggapnya sangat potensial dalam rangka membawa organisasi menjadi lebih dinamis, tetapi hal tersebut mendapat protes keras dari karyawan golongan generasi tua. Masalah lain lagi dan yang paling rawan adalah masalah pengeluaran karyawan atau drop out (DO). Masalah DO atau PHK ini perlu mendapatkan perhatian ekstra dari para manajer karena Hal ini menyangkut masalah etika saja etik akan tetapi juga masalah kemanusiaan. Karyawan yang di PHK tentu saja akan kehilangan mata pencahariannya yang menjadi tumpuan hidup dia bersama keluarganya.

c. Hubungan antar bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan pesaingnya, dengan penyalurnya, dengan grosirnya, dengan pengecernya, agen tunggalnya maupun distributornya. Dalam kegiatan sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan kepentingan antar keduanya. Dalam hubungan itu tak jarang dituntut adanya etika pergaulan bisnis yang baik.

d. Hubungan dengan investor
Perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas dan terutama yang akan atau telah ‘go public” haruslah menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para investor atau calon investornya. Informasi yang tidak jujur akan menjerumuskan untuk mengambil keputusan yang keliru. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena dewasa ini di Indonesia sedang mengalami lonjakan kegiatan pasar modal. Banyak permintaan dari para pengusaha yang ingin menjadi emiten yang akan menjual sahamnya (mengemisi sahamnya) kepada masyarakat. Di pihak lain masyarakat juga sangat berkeinginan untuk menanamkan uangnya dalam bentuk pembelian saham ataupun surat-surat berharga yang lain yang diemisi o perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu masyarakat calon pemodal yang ingin membeli saham haruslah diberikan informasi secara lengkap dan benar mengenai prospek perusahaan yang go public tersebut. Janganlah sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi atas hal ini.

e. Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan
Hubungan dengan lembaga keuangan terutama Jawatan Pajak pada umumnya hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Hubungan ini merupakan hubungan yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi misalnya. Laporan finansial tersebut haruslah disusun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi kecenderungan ke arah penggelapan pajak misalnya. Keadaan tersebut merupakan etika pergaulan yang tidak baik tentunya.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson