Pentingnya Komunikasi Keluarga
Menarik sekali melihat beberapa contoh kasus yang dimulai tahun 2001, tentang permintaan atau bahkan tuntutan berbagai kelompok perempuan terkait jabatan sebagai menteri dalam kabinet di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Kompas, 31 Juli 2001). Pada tahun 2004, banyak kelompok perempuan menjelang pemilu meminta dipenuhi jatah 30 persen kursi perwakilan perempuan dari masing-masing partai politik saat pengajuan daftar anggota calon legislatif di dewan perwakilan rakyat. Walaupun dalam kenyataannya, setelah hasil pemilu diumumkan, ternyata hanya sekitar 11 persen saja kaum perempuan dari 550 anggota dewan yang dipastikan menduduki anggota parlemen tingkat nasional tersebut. Fenomena-fenomena ini bisa dirasakan sebagai sebuah gerakan pembaharuan yang dulu pada rejim Soeharto tidaklah mungkin dapat terjadi.
Dirasakan atau tidak, sebenarnya gerakan berbagai kelompok perempuan ini termasuk dalam permasalahan gender sensitive. Tuntutan untuk menyetarakan kedudukan jender (laki-laki dan perempuan) telah menempati hati banyak kalangan kelompok lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Melihat fenomena ini, terdapat inti yang bisa diambil yaitu bahwa dalam setiap kasus mestinya “peran perempuan” haruslah menjadi agenda utama. Mohammad Sadli (dalam Istiyanto, 2002) menyimpulkan kaum perempuan sekarang ini bukanlah sekadar subsider atau warga kelas dua lagi. Kaum perempuan adalah sama kedudukannya sebagai warga negara dan masyarakat.
Dengan contoh-contoh kasus di atas, dimana aktifis gerakan perempuan meminta berbagai kalangan bahkan pemerintah untuk menyetarakan kedudukannya, terlihat sebagai sesuatu harapan yang “seolah-olah ironis”, bila dibandingkan dengan kondisi kekinian yang ada. Bukan tidak mendukung, justru dibanding dengan bermacam situasi dan realitas permasalahan perempuan di Indonesia yang ada pada masyarakat, rasanya gerakan ini masih mendapat banyak tantangan yang berat. Selain kondisi kultural masyarakat yang masih didominasi garis patrilineal atau garis dari jalur laki-laki yang melihat berbagai permasalahan dari sisi pandang laki-laki (yang selalu diuntungkan), faktor pendidikan masyarakat luas yang masih rendah juga sangat berpengaruh dalam persoalan ini, sehingga perempuan selalu diimajinasikan sebagai orang belakang (dalam istilah Jawa sering disebut konco wingking atau teman kasur, dapur dan sumur) atau sekunder dan ada bermacam norma pengekang sebagai batasan di masyarakat yang jarang menempatkan kaum perempuan sebagai penentu sebuah keputusan penting.
Belum lagi faktor eksternal yang terlihat menempatkan kaum perempuan sebagai “hanya sebuah objek” yang patut untuk terus dieksploitasi, seperti media massa baik elektronik dan cetak. Sebagai contoh, dalam memandang dan memperlakukan perempuan, televisi bahkan bersifat paradoks. Di satu pihak, media mempromosikan kemajuan-kemajuan dan prestasi-prestasi perempuan, misalnya memunculkannya sebagai tokoh atau sebagai “wanita karir” yang sukses dalam iklan dan program-program lainnya, namun pada saat yang sama, seperti contoh di banyak iklan, juga melemparkan mereka kembali pada keterbelakangan, dengan tetap menonjolkan keutamaan perempuan hanya sebagai makhluk yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya (Cassata dan Asante dalam Istiyanto, 2002). Misal, dalam iklan Ifa Cosmetic yang sekarang ini gencar menerpa pemirsa televisi. Atau Iklan pencipta badan dan buah dada indah di koran-koran nasional.
Dari tayangan-tayangan yang ada di televisi misalnya, terlihat bahwa banyak acara televisi khususnya iklan merupakan pengabadian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum perempuan. Pria dan perempuan digambarkan untuk selalu mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan hal-hal yang berbeda pula. Perempuan digambarkan sebagai manusia yang hanya selalu peduli dengan rumah tangga dan penampilan fisik mereka (yang berkulit dan bermuka putih, lembut, tidak gendut, tidak cerewet, rambut bagus dan tidak bau), sebaliknya kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis, urusan publik, olah raga, mobil, dsb. Ironisnya, banyak diantara kaum perempuan sendiri yang tidak menyadari adanya fenomena tersebut, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan “memang sudah seharusnya begitu”.
Tentu saja, pekerjaan gerakan kaum perempuan Indonesia untuk memberdayakan dirinya dan menyetarakan kedudukannya mendapatkan tantangan yang tidak ringan. Berbicara dengan media massa berarti juga berbicara tentang pengaruh. Karena setiap media massa pasti mempunyai pengaruh yang berbeda. Tinggal efektifitasnyalah yang menentukan apakah pengaruhnya bisa memberikan hanya sekadar dampak bagi tingkat kognitif pemirsa, afektif atau bahkan behavioral (menjadi tindakan).
Maka menjadi sangat menarik membandingkan kasus nyata yang terjadi dengan seorang aktifis feminisme yang semula getol berbicara tentang keharusan wanita untuk berkarir/bekerja bernama asli Chaerani (Anni Iwasaki) yang kemudian setelah menikah justru menyerukan wanita untuk bekerja di rumah saja. Bahkan dianjurkan agar para wanita yang bekerja di luar rumah, segera kembali menata rumahnya. Ini dibuktikan dari data penelitian di Jepang yang menyebutkan hampir sedikit wanita yang bekerja di luar mempunyai anak-anak yang lebih berkualitas baik secara intelektual dan kepribadian. Sebaliknya kemorosotan kualitas anak-anak justru terjadi bagi keluarga dimana kaum ibunya mengagungkan karir dengan bekerja di luar rumah seperti di Amerika (dalam Istiyanto, 2002)..
Maka dengan uraian di atas menunjukkan persoalan gender bisa berada dimana saja. Termasuk terkait dengan masalah ibu bekerja atau meniti karir yang sering disebut dengan wanita karir. Apakah hal tersebut mempengaruhi pola komunikasi keluarga atau bahkan mempengaruhi peningkatan prestasi belajar anak.