Konsep Petani dan Pertanian
Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam pada tanah pertanian. Definisi petani menurut Anwas (1992 :34) mengemukakan bahwa petani adalah orang yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu.
Pengertian petani yang dikemukakan tersebut di atas tidak terlepas dari pengertian pertanian. Anwas (1992 :34) mengemukakan bahwa pertanian adalah kegiatan manusia mengusahakan terus dengan maksud memperoleh hasil-hasil tanaman ataupun hasil hewan, tanpa mengakibatkan kerusakan alam.
Bertolak dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa antara petani dan pertanian tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu perbedaannya hanya terletak pada obyek saja.
Menurut Slamet (2000 18-19), petani asli adalah petani yang memiliki tanah sendiri, bukan penyakap maupun penyewa. Petani asli misalnya ya, saya punya lahan sendiri,dikerjakan sendiri. Kalau yang palsu kita cuma ketengan. Paling kita beli satu tahun, gitu. Sewa. Soalnya, bukan tanah sendiri. Misalnya itu, sudah satu tahu kan sudah habis. Kalau sudah nggak bisa bayar lagi ya orang lain. Ketika ditanya, jika seseorang yang memiliki tanah tetapi pengelolaannya dikerjakan oleh buruh tani, apakah masih bisa disebut petani asli, pak Slamet mengatakan,”ya bisa, itu namanya petani. Menurutnya, sekecil apapun tanah yang dimiliki seorang petani, dia tetap disebut petani asli jika dia memiliki tanah sendiri. Sebaliknya, meskipun seseorang mampu menguasai tanah luas, tetapi tanah yang dikuasainya itu bukan miliknya sendiri, dia tidak bisa disebut sebagai petani asli, melainkan petani ketengan. Menurutnya, seluas apapun tanah yang dikuasai oleh petani ketengan, dia belum bisa disebut orang kaya. Karena itu, tidak mengherankan jika seorang petani ketengan tidak dapat meningkatkan status sosialnya dalam struktur masyarakat desa bedasarkan penguasaan tanahnya.
Dari uraian pak Slamet, dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan petani asli adalah petani yang memiliki tanah sendiri-bukan penyewa maupun penyakap-terlepas dari apakah tanahnya itu digarap sendiri secara langsung maupun digarap oleh buruh tani.
Istilah petani asli dapat ditafsirkan sebagai konstruksi masyarakat desa paling tidak konstruksinya tentang sosok petani yang”sebenarnya”(the real peasant). Penambahan kata”asli”dalam kata”petani”menunjukkan, bahwa petani yang memiliki tanah sendiri adalah gambaran ideal sosok petani yang hidup dalam konstruksi persepsi masyarakat. Di sini kita tidak bisa mendikotomikan ”asli” dan ”palsu“, melainkan”citra ideal” dan ”kenyataan empiri”. Ideal dalam konteks ini tidak berarti hanya hidup dalam dunia ide dan harapan, karena bisa juga lahir dari sebuah kenyataan yang pernah ada. Itu artinya, persepsi tersebut lahir dari sebuah pandangan historis tentang petani yang pernah dikenal masyarakat di waktu lampau. Dengan kalimat lain, penambahan kata”asli” dalam kata”petani” menandakan bahwa secara historis apa yang disebut petani itu adalah orang yang menggarap dan mengelola tanah miliknya sendiri. Singkatnya, pengertian petani secara genuine adalah orang yang memiliki dan menggarap tanah miliknya sendiri (Slamet, 2000 :20)
Konseptualisasi petani asli menunjukkan, bahwa tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan petani. Poin pentingnya bukan hanya terlletak pada soal, bahwa tanah adalah alat produksi utama petani, melainkan bahwa alat produksi itu mutlak dimiliki petani. Implikasinya, petani yang tidak memiliki tanah sendiri tidak dianggap sebagai petani sejati atau asli. Implikasi politisnya, petani mutlak dan mempertahankan dan menjaga hak kepemilikannya atas tanah. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa konsep petani asli memiliki kaitan sosial-budaya-politik. (Sadikin M, 2001:31)
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, petani adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani. Oleh karena sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian secara menyeluruh. (Pantjar Simatupang, 2003:14-15)
Konsep pertanian tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma pertanian tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindung petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi”order” kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini”sangat rendah” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. (Moebyarto, 1997:28)
Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture bukan Departement of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livehood) atau mata pencaharian di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.