Sejarah Pengendalian Hayati
Sejarah pengendalian hayati dimulai sejak Atkinson menemukan adanya keragaman keparahan penyakit layu Fusarium di tahun 1892, dan keragaman tersebut ternyata dipengaruhi oleh jenis tanah (Garret, 1965). Penelitian ke arah tersebut terus berlanjut, misalnya di awal tahun 1908, Potter menjumpai adanya penghambatan patogen tanaman oleh penumpukan hasil metabolitnya, kemudian tahun 1926, Sanford membuktikan bahwa pupuk hijau ternyata dapat digunakan untuk mengatasi penyakit kudis kentang. Pada tahun 1927, Millard dan Taylor menemukan bahwa penyakit kudis kentang (Streptomyces scabies) dapat dikendalikan dengan inokulasi S. praecox. G.B. Sanford dan W.C. Broadcast membuktikan keberadaan patogen Ophiobolus graminis dapat ditekan oleh kegiatan antagonis jamur dan bakteri, yang kemudian menerbitkan hasil penelitiannya tentang pengendalian hayati jamur penyebab “take-all” pada gandum, dalam Phytopathology tahun 1926; untuk pertama kalinya digunakan istilah “pengendalian hayati” dalam patologi tanaman. Pengaruh artikel Sanford dan Broadcast sangat besar pada dunia patologi tanaman, yaitu mulai berkembangnya cara pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroba antagonis. Penelitian ke arah pengendalian hayati patogen tanaman, terutama yang bersifat tular-tanah, mulai berkembang.
Pada tahun 1930, Fawcett, presiden Perhimpunan Fitopatologi Amerika, mempertajam adanya agensia pengendali hayati, yang disampaikan dalam pidatonya berjudul “the importance of investigations on the effect of known mixtures of organisms”. Di dalam waktu singkat, setelah pidato tersebut, seorang mahasiswa Fawcett, R. Weindling, menerbitkan seri artikel pertamanya tentang parasitisme Trichoderma viride terhadap jamur tanah lainnya. Sejak saat itulah, perhatian dunia terhadap pengendalian hayati makin terbuka lebar dan makin banyak penelitian bermunculan, khususnya ke arah produksi antibiotika di dalam tanah.
Penelitian tentang agensia pengendali hayati patogen tanaman terus berkembang dan berlanjut. Temuan demi temuan kaitannya tentang manfaat pengendalian hayati terus bermunculan, termasuk ke arah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia pengendali hayati. Jenis mikroba tanah yang berguna untuk mengendalikan patogen tanaman terus ditemukan dan teridentifikasi, misalnya penemuan toksin gliotoksin dan viridin yang dihasilkan oleh jamur Trichoderma viridae oleh masing-masing Wright pada tahun 1956 serta oleh Brian dan McGowan tahun 1945.
Penelitian ke arah antibiotika yang dihasilkan oleh agensia pengendali hayati di dalam tanah, merupakan topik yang selalu menarik perhatian ilmuwan untuk menelitinya. Sampai sekarang ini, penelitian ke arah pengendalian hayati tetap banyak dan telah berhasil mengungkat beragam agensia pengendali hayati beserta mekanismenya baik secara konvensional maupun secara bioteknologi. Bahkan pengembangan penelitian tentang antibiotika yang dihasilkan oleh bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, yaitu 2,4-diasetilfloroglusinol, telah sampai pada produksi antibiotika dalam skala industri.
Berdasarkan data pengalaman penelitian tentang pengendalian hayati yang telah saya uraikan dan pemanfaatan di dunia pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman, nampak jelas adanya peluang dan sekaligus tantangan dalam menggunakan agensia pengendali hayati untuk memecahkan masalah penyakit tanaman di masa yang akan datang. Pengetahuan akan peluang dan sekaligus tantangan tersebut diperlukan untuk memperkirakan tingkat keberhasilan penggunaan agensia pengendali hayati tersebut, khususnya dalam memenuhi salah satu syarat revolusi hijau lestari, untuk menunjang dan memperkokoh ketahanan pangan secara sinambung dan berkelanjutan.
PELUANG PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN
Telah saya uraikan bahwa banyak kasus penyakit tanaman yang belum dapat diselesaikan sampai sekarang, selalu ada di setiap musim tanam, serta dijumpai di semua jenis tanaman. Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman juga beragam dan memengaruhi semua aspek kehidupan manusia; sedangkan pengendalian dengan pestisida kimia sintetis belum dapat berhasil memecahkan masalah penyakti tanaman. Oleh karena itu, munculnya pengendalian hayati perlu disambut dengan baik dan perlu dimasyarakatkan, untuk mendukung keseimbangan ekosistem pertanian dan dalam menunjang ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Dorongan untuk menerapkan pengendalian hayati, sebagai salah satu cara untuk mengendalikan patogen tanaman, berasal dari peluang yang ada dan sekaligus tantangan di dalam pengembangan cara tersebut.
Beberapa peluang yang diketahui dari penggunaan agensia pengendali hayati untuk mengatasi masalah penyakit tanaman, menurut Greathead (1995) dan Soesanto (2008), yaitu 1) kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman, 2) ketidak-mampuan fungisida sintetis, 3) kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan, 4) kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan, 5) biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah, 6) bertambahnya biaya produksi pertanian, 7) waktu penyiapan agensia hayati yang singkat, 8) ketersediaan agensia hayati melimpah di alam, dan 9) produksi metabolit sekunder.
1. Kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman
Masyarakat dunia saat ini sudah menyadari akan bahaya residu pestisida dan bahan kimia sintetis lainnya di dalam produk pertanian yang dikonsumsi. Kesadaran ini menyebabkan mereka berlomba untuk menyediakan produk pertanian yang sehat dan aman tersebut, baik yang diimport maupun yang dibudidayakan sendiri. Kondisi ini berdampak positif bagi kesehatan umat manusia, tetapi di sisi lain juga berdampak negatif bagi produsen atau pengekspor produk pertanian, terutama dari negara agraris, seperti Indonesia, yang belum mempertimbangkan masalah mutu produk dibandingkan dengan kuantitas produk pertanian. Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh negara pengimpor ketika didapati residu bahan kimia di dalam produk tersebut. Apalagi dengan diterapkannya SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan perdagangan bebas dunia atau Asia, serta pembakuan kualitas produk pertanian, maka akan sangat sukar bagi produk pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat regional atau internasional, jika masih mendasarkan pertanamannya dengan bahan kimia sintetis. Oleh sebab itu, untuk mengurangi dampak negatif tersebut, petani seharusnya sudah mulai bangkit untuk bertanam tanaman secara sehat atau organik, meskipun produk organik masih belum mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Di dalam menunjang ke arah produksi pertanian yang sehat dan aman tersebut, pengendalian hayati merupakan salah satu pemecahannya dan sangat mendukung ke arah tersebut. Hal ini karena apabila dibandingkan dengan penggunaan agensia kimia sintetis, agensia pengendali hayati jelas tidak beracun terhadap manusia atau hewan, khususnya apabila diterapkan pada saat panen atau pascapanen, karena metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia hayati akan mudah terurai oleh alam. Selain itu, metabolit sekunder yang dihasilkan tidak sesuai untuk manusia dan hewan. Produk pertanian juga tidak menyimpan residu agensia pengendali hayati di dalamnya, sehingga produk tersebut aman untuk dikonsumsi. Hal ini selaras dengan makin gencarnya konsumen dunia yang membutuhkan dan mengonsumsi produk pertanian yang sehat.
2. Ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis
Penggunaan fungisida kimia sintetis untuk mengendalikan penyakit tanaman tidak selamanya dapat diandalkan, misalnya oleh petani bawang merah, kentang, cabai, atau pekebun pisang. Hal ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya penggunaan fungisida tersebut, baik dalam konsentrasi atau keseringannya. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kalau para petani di dalam menggunakan fungisida kimia sintetis tidak dilakukan dengan jalan menyemprotkan fungisida ke tanaman mereka, tetapi justru menyiramkannya ke tanaman dan sekaligus ke tanah, apalagi kalau cuaca mendukung terhadap perkembangan penyakit, seperti pada saat musim hujan; bukan dengan satu jenis fungisida, tetapi menyampur beberapa jenis fungisida. Semua itu ditujukan untuk mengendalikan penyakit tanaman dengan cepat agar hasil panen dapat meningkat. Akan tetapi, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit tetap ada di pertanaman, bahkan dapat lebih parah lagi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini kemungkinan karena jamur patogen telah mengalami mutasi dan mampu beradaptasi dengan fungisida tersebut, ikut matinya mikroba tanah yang berguna, atau jamur patogen mampu membentuk struktur istirahat. Di sisi lain, ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis untuk menjangkau letak mikroba patogen di dalam tanah. Keberadaan mikroba tanah sangat beragam, bahkan dapat mencapai kedalaman di bawah 50 cm di dalam tanah, misalnya untuk jamur patogen Fusarium sp. (Domsch et al., 1993). Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati ternyata memberikan angin segar kepada para petani. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan, yang kesemuanya menunjukkan kemampuan agensia pengendali hayati dalam mengatasi masalah patogen tanaman, yang sebelumnya sukar dikendalikan dengan fungisida kimia sintetis. Misalnya, penggunaan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi jamur Fusarium oxysporum, penyebab penyakit moler pada bawang merah, di dalam tanah sampai sebesar 80,67% (Santoso et al., 2007), menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada kacang tanah lebih dari 50% (Soesanto, 2004), dan kepadatan populasi sklerotium akhir sebesar 86,3% (Soesanto et al., 2003a, 2003b); Trichoderma harzianum mampu menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium pada gladiol sebesar 56,83% (Soesanto et al., 2008), dan gabungan Gliocladium sp. dan Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi Fusarium oxysporum pada lahan cabai sebesar 88,07% (Maqqon et al., 2006). Agensia pengendali hayati juga dapat digunakan untuk mengatasi jamur patogen yang membentuk struktur istirahat. Hal ini mengingat bahwa keberadaan struktur istirahat pada patogen dapat menjadi salah satu kendala dalam keberhasilan penerapan semua agensia pengendali patogen tanaman. Hasil penelitian Soesanto et al. (2003) menunjukkan bahwa bakteri antagonis P. fluorescens P60 mampu menekan perkecambahan sklerotium in vitro sampai sebesar 92% dengan lama perendaman sklerotium paling efektif 10 menit (Gambar 1). Hasil penelitian ini memberikan peluang dan harapan bahwa bakteri angatonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu mengatasi jamur patogen yang membentuk struktur istirahat, meski baru secara in vitro. Penggunaan di lapang masih perlu pemikiran dan penelitian lebih lanjut. Agensia hayati juga dapat dipakai sebagai bahan untuk menyehatkan atau bio-remediation atas lahan pertanian yang sudah tercemar atau terkontaminan oleh patogen tanaman, yang ditandai oleh selalu munculnya penyakit tanaman di setiap musim tanam (Hidayanto, 2006).
Gambar Pengaruh lama perendaman sklerotium Sclerotium rolfsii di dalam larutan bakteri Pseudomonas fluorescens P60 konsentrasi 106 upk ml-1 larutan terhadap perkecambahan sklerotium. Keterangan: Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT 5% (Soesanto et al., 2003).
3. Kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan
Masalah lingkungan hidup menjadi penting dewasa ini ketika pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa salah satu penyebab terjadinya atau timbulnya bencana yang menimpa negeri ini adalah oleh ulah manusia itu sendiri. Di dunia pertanian juga memungkinkan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimia, baik pestisida maupun pupuk atau hormon, yang tidak bijaksana atau yang terus menerus. Hal ini akan menyebabkan berubahnya sifat hayati di dalam tanah, terutama karena musnahnya mikroba berguna di dalam tanah akibat penggunaan bahan kimia tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, kalau pemakaian bahan kimia banyak menimbulkan pencemaran, baik tanah, udara, maupun air, yang menyebabkan kerusakan ekologi khususnya di dalam tanah, salah satunya adalah terbunuhnya mikroba berguna di dalam tanah, yang berguna untuk mengendalikan mikroba patogen tanaman (Hassan, 1998). Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya patogen tular-tanah yang sukar dikendalikan, selain karena faktor genetika yaitu terjadinya mutasi akibat bahan kimia tersebut. Selain itu, agensia pengendali hayati yang diterapkan kepada bukan sasaran tidak akan menjadi kontaminan bagi organisme bukan sasaran, baik tanaman atau mikroba berguna. Hal ini karena agensia pengendali hayati mempunyai relung ekologi sendiri dan yang berbeda dengan relung ekologi mikroba atau organisme lain, sehingga agensia pengendali hayati memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan ekologi barunya. Apabila agensia pengendali hayati tidak mampu bertahan hidup dalam ekologi barunya, atau diterapkan pada ekologi yang berbeda dengan rentang keragamannya yang lebar, maka agensia pengendali hayati akan mati, yang menyebabkan pengendalian hayati tidak berhasil diterapkan di suatu wilayah. Hal ini yang menyebabkan agensia pengendali hayati sukar untuk menjadi kontaminan organisme atau mikroba berguna lainnya. Oleh karenanya, pengendalian hayati hadir untuk mengurangi dampak negatif tersebut dan untuk menjaga kelestarian ekologi di dalam tanah, serta untuk menjaga lingkungan tetap aman (Ayob and Mustaffa, 1998; Soesanto, 2000). Peluang inilah yang perlu disambut dengan mengurangi penggunaan pestisida atau bahan kimia sintetis, dan mulai menggiatkan penggunaan agensia hayati, khususnya untuk mengendalikan patogen tanaman, sehingga keberlanjutan proses produksi tanaman dapat terjaga dengan baik.
4. Kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan
Para petani sudah berpengalaman di dalam mengelola kebun dan tanamannya, khususnya di dalam menghadapi permasalahan penyakit tanaman, yaitu selalu dengan menggunakan fungisida kimia sintetis, dengan pertimbangan cepat diketahui hasilnya dan mudah penggunaannya. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengancam kesehatan mereka dan juga keluarganya yang membantu di lahan. Hal ini karena di dalam penerapan fungisida untuk pertanamannya, mereka tidak sama sekali menggunakan pengaman tubuh dan juga tidak menggunakannya dengan bijaksana. Telah dikemukakan bahwa petani kentang dan bawang merah, misalnya, menerapkan fungisida kimia dengan cara disiram ke tanaman, tidak disemprotkan. Kasus pencemaran bahan kimia dalam darah petani sudah banyak dikemukakan, belum lagi kasus lainnya yang menimpa ibu hamil dan ibu menyusui yang sehari-hari bekerja di lahan pertanamannya (Beaumont, 1998). Penerapan agensia pengendali hayati di tanaman tidak menyebabkan keracunan bagi pekerja, meskipun mereka tidak dilengkapi dengan peralatan penyemprotan yang lengkap. Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati akan mengurangi dampak tersebut dan sekaligus menyegah kerugian yang lebih parah.
5. Biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah
Biaya untuk mendapatkan satu agensia pengendali hayati atau proses sejak isolasi sampai ke formulasi agensia pengendali hayati sangat rendah, bila dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan satu senyawa kimia sintetis. Penelitian yang dilakukan terhadap agensia pengendali hayati tidak memerlukan biaya tinggi, jika dibandingkan dengan kimia sintetis. Begitu pula dalam penerapannya di lapang tidak memerlukan perijinan yang ketat, yang membutuhkan biaya banyak, jika dibandingkan dengan penerapan agensia kimia sintetis untuk mengendalikan patogen tanaman. Agensia kimia sintetis sebelum dipasarkan harus mengalami serangkaian pengujian yang memerlukan waktu lama, untuk menjamin kalau nantinya agensia tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan hidup (Bohmont, 1997; Dohmen, 1998). Keadaan ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Lisansky, 1984 dan Payne & Lynch. 1988 dalam Hokkanen et al., 1993). Pada Tabel 1 ditunjukkan perbedaan antara agensia kimia sintetis, agensia hayati, parasit dan predator, terutama pada ruas pembiayaannya. Pada tabel tersebut nampak bahwa biaya penelitian dan pengembangan untuk agensia kimia jauh lebih besar, yaitu hampir 3 kali lipat daripada biaya untuk penelitian dan pengembangan agensia pengendali hayati. Apabila dipertimbangkan penelitian dan upaya pencegahan dampak negatif yang akan muncul akibat penggunaan agensia kimia sintetis, maka biaya yang harus disediakan akan semakin besar.
Bertambahnya biaya produksi pertanian
Biaya produksi pertanian cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian saprodi, misalnya untuk pembelian pupuk dan pestisida. Meskipun harga pestisida (fungisida) dapat terjangkau oleh petani, tetapi bila diterapkan dalam luasan tanaman yang cukup luas, hal ini tetap akan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Apabila muncul penyakit tanaman pada tanaman mereka, petani akan segeramelakukan tindakan pengendalian dengan memakai fungisida kimia. Apalagi kalau tanaman yang dibudidayakan mempunyai nilai ekonomi tinggi dan ditanam dalam musim hujan, pengeluaran untuk fungisida kimia akan jauh lebih besar. Hal ini akan semakin meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan dan menurunkan pendapatan petani. Apabila tanaman diperlakukan dengan agensia hayati untuk mencegah timbulnya penyakit tanaman, baik diberikan sejak pesemaian, pembibitan, awal tanam, atau awal berbunga, maka masalah penyakit tanaman akan dapat dikurangi atau dicegah, khususnya bila diberikan pada tanaman yang ditanam pada tanah yang sudah tercemar oleh patogen tanaman.
6. Waktu penyiapan agensia hayati yang singkat
Waktu yang singkat ini tidak ditujukan untuk proses yang terjadi sejak agensia pengendali hayati diterapkan untuk mengendalikan patogen tanaman. Akan tetapi, waktu yang ditujukan untuk menyiapkan dan bahkan mendapatkan agensia pengendali hayati relatif singkat, jika dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh senyawa kimia pengendali patogen tanaman (Tabel 1). Senyawa kimia membutuhkan waktu lama dan panjang sejak penemuan sampai pengujiannya, dan bahkan sampai ke pemasaran. Akan tetapi, agensia pengendali hayati sebaliknya, hanya membutuhkan waktu singkat untuk dapat menemukan dan menerapkannya di lapang (Ayob and Mustaffa, 1998). Bahkan, begitu mendapatkan calon agensia hayati dari hasil isolasi dan setelah melalui uji laboratorium, calon agensia hayati tersebut dapat langsung digunakan di lahan pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman. Jadi, hanya membutuhkan waktu dalam hitungan hari saja. Selain itu, waktu yang singkat untuk agensia pengendali hayati juga ditujukan untuk pendaftaran dan pengujian di lapang sebelum agensia diformula untuk pemasaran, bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan bagi agensia kimia sintetis, yang membutuhkan waktu panjang dan rumit, sejak masih dalam bentuk kode rumus kimia sampai dihasilkannya pestisida berformula, bahkan sampai kepada pendaftaran di Komisi Pestisida sebelum dilepas ke pasar.
7. Ketersediaan agensia hayati melimpah di alam
Keberadaan agensia hayati atau antagonis di alam sangat banyak dan tersebar di banyak wilayah. Masing-masing daerah mempunyai kekhususan agensia hayati sendiri. Hal ini dibuktikan dengan sudah banyaknya peneliti yang bekerja dengan agensia hayati atau antagonis untuk mengendalikan penyakit tanaman di daerahnya. Hasilnya beragam karena bekerja dengan makhluk hidup, yaitu mikroba, sehingga membutuhkan kondisi ekologi dan iklim tersendiri. Hampir di setiap daerah ditemukan agensia pengendali hayati yang umumnya berdampak positif untuk daerah setempat. Ketersediaan di alam yang melimpah dan menyebar ini perlu digagas terbentuknya suatu Bank Agensia Hayati atau Pusat Penyimpanan Agensia Hayati secara nasional, yang bertujuan untuk menyimpan dan melestarikan agensia hayati tersebut. Selain itu, juga bertugas untuk mendata sebaran agensia hayati sejenis, menganalisis metabolit sekunder yang dihasilkannya, memasyarakatkan penggunaan agensia hayati, dan membangun jejaring antar-peneliti agensia hayati dengan saling tukar informasi dan tukar agensia hayati untuk diuji-cobakan secara multilokasi. Hal ini nampaknya masih jauh dari pemikiran kita semua, khususnya lembaga pemerintah yang berwewenang menjaga plasma nutfah khas Indonesia.
8. Produksi metabolit sekunder
Metabolit sekunder umumnya dihasilkan oleh sebagian besar antagonis dan merupakan “senjata” yang digunakan untuk mengendalikan patogen tanaman. Mekanisme penghambatan yang terjadi oleh adanya antagonis tersebut juga ditentukan oleh macam metabolit sekunder yang dihasilkan dan yang berperan. Semakin banyak macam dan jumlah metabolit sekunder yang dihasilkan atau yang berperan, semakin efektif antagonis tersebut di dalam mengendalikan patogen tanaman. Beberapa macam metabolit sekunder yang dihasilkan oleh antagonis, di antaranya antibiotika, toksin, enzim, siderofor, dan plant growth promoting rhizobacteria or rhizofungi (PGPR). Misalnya, jamur antagonis dari genus Trichoderma dan Gliocladium mampu menghasilkan beberapa metabolit sekunder, antara lain asam ferulat, asam 2-hidroksimalonat, asam glikoladat, trikodermen, trikodermol, dan masih banyak lagi yang lain (Sivasithamparam and Ghisalberti, 1998; Elad and Kapat, 1999). Pada bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, metabolit sekunder yang dihasilkan di antaranya asam fenazin-1-karboksilat dan 2,4-diasetilfloroglusinol (Raaijmakers et al., 1997; Duffy and Defago, 1999), polisakarida (Nakata et al., 2000), dan masih banyak lainnya (Oberhansli, 1991; Dowling and O’Gara, 1994; Maurhofer, 1994). Antibiotika 2,4-diasetilfloroglusinol telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen Fusarium oxysporum (Soesanto et al., 2004). Kemampuan agensia hayati di dalam menghasilkan metabolit sekunder tersebut dapat terus dikembangkan di kemudian hari, untuk dapat diproduksi dalam skala industri, baik yang berguna di bidang pertanian maupun di bidang industri, misalnya pada industri tekstil, plastik, kertas, dan makanan (Gandjar, 2006).
Dengan mengetahui peluang yang ada, maka kita akan dapat merencanakan tindakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian hayati patogen tanaman di masa yang akan datang. Selain itu, adanya peluang akan menumbuhkan dan memberikan semangat baru untuk terus memikirkan dan menggali metode baru pengendalian patogen tanaman secara hayati, sehingga produksi pertanian kita selain akan meningkat, juga menjadi aman dan sehat, yang akan mendukung ke arah ketahanan pangan kita secara berlanjut.