Kerugian Akibat Penyakit Tanaman
Keseimbangan ekosistem di lahan pertanian, perkebunan atau kehutanan perlu dijaga, bukannya menghilangkan atau memusnahkan salah satu pendukung ekosistem di lahan pertanian, perkebunan, atau kehutanan tersebut. Pemusnahan atau pemberantasan yang dilakukan akan menyebabkan timbulnya masalah lain, yang dapat mengakibatkan lebih parahnya kerusakan yang diakibatkannya dan lebih besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Penghilangan komponen ekosistem di lahan tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan bahan kimia sintetis yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengendalian atau pengelolaan penyakit tanaman merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan upaya menjaga atau mewujudkan keseimbangan ekosistem di lahan tersebut. Keseimbangan ekosistem yang terjaga dengan baik akan mendukung pertumbuhan tanaman dan memengaruhi produksi tanaman, yang nantinya akan mampu mempertahankan ketahanan pangan.
Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, maupun tanaman hutan, yang perlu dikenali dan dikelola dengan bijak (Soesanto, 1997; Pujiarto et al., 2001; Soesanto, 2005; Soesanto et al., 2005). Penyakit tanaman sejak dahulu kala telah banyak ditulis dan dibicarakan, khususnya dalam hal akibat yang ditimbulkannya. Seperti diketahui, penyakit tanaman dapat menimbulkan beragam kerugian, baik di tingkat tanaman, petani (lokal), regional, nasional, dan bahkan dunia. Beberapa kerugian akibat penyakit tanaman yang sempat dicatat (Stakman and Harrar, 1957; Mehrotra, 1983; Agrios, 1997; Bohmont, 1997), di antaranya 1) penurunan kuantitas produk tanaman, 2) penurunan kualitas produk tanaman, 3) pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut, 4) kegagalan panen, 5) penurunan pendapatan petani, 6) terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk, dan 7) pengubah kebijakan pemerintah.
1. Penurunan kuantitas produk tanaman. Tanaman pertanian yang dibudidayakan yang terkena penyakit tanaman akan tumbuh merana dan terhambat. Hal ini karena patogen tanaman menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tanaman, yang ditandai dengan perubahan warna, bentuk, bahkan fungsi jaringan tanaman akibat terhambatnya pasokan air dan hara dari akar ke bagian tanaman di atasnya. Adanya perubahan tersebut menyebabkan produksi fotosintat menjadi berkurang, yang akan berpengaruh pada berkurangnya hasil metabolismen tanaman yang disimpan baik pada buah, biji, bunga, atau umbi dan ubi. Hal ini akan mengurangi hasil tanaman yang akhirnya terjadi penurunan produksi tanaman. Kehilangan jumlah atau kuantitas produk tanaman beragam, dari rendah sampai tinggi (100%) dan kehilangan ini tidak saja terjadi ketika tanaman di lapangan, tetapi juga ketika di penyimpanan dan bahkan sampai ke konsumen. Misalnya, patogen karat yang menyerang pertanaman kopi, telah menurunkan produksi biji kopi. Penurunan kuantitas produksi tanaman berkaitan erat dengan pengurangan luas tanam. Misalnya, pada daerah sentra pisang, seperti di Propinsi Lampung, luas wilayah tanaman pisang berkurang dari sekitar 500 hektar menjadi 150 hektar akibat serangan jamur patogen Fusarium sp. (Kompas, 2003). Bahkan dilaporkan bahwa patogen layu Fusarium juga telah menyerang tanaman pisang kultivar Barangan di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur, sehingga dari luasan tanam tanaman pisang seluas 30.000 hektar, areal tanam yang terserang mencapai 11.000 hektar atau lebih dari 30% (Kompas, 2007). Akibat dari berkurangnya luas tanam tersebut adalah menurunnya produksi pisang per satuan luas. Di samping itu, secara langsung patogen tanaman mengakibatkan rusaknya produk tanaman, yang berlanjut kepada penurunan produksi.
2. Penurunan kualitas produk tanaman. Kehilangan tanaman akibat adanya penyakit tanaman dapat berakibat pada penurunan kualitas produk tanaman yang dihasilkan. Adanya noda atau bercak pada produk tanaman dapat mengurangi manfaat kualitas produk sehingga menurunkan daya jual dan akhirnya akan memengaruhi pendapatan petani. Bebuahan yang memar atau rusak selama dalam pengangkutan atau penyimpanan, serta sesayuran yang rusak akibat penyimpanan tidak sesuai, akan menurunkan nilai jualnya, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani buah dan sayur (Soesanto, 2006b). Bahkan pemanenan buah yang tidak tepat umur panen akan memengaruhi keparahan penyakit, karena pengaruh dari kandungan etilen di dalam buah (Soesanto et al., 1989). Selain itu, pada produk bebijian, adanya penyakit benih akan mengubah susunan hara di dalam benih, khususnya pada benih yang banyak mengandung lemak, protein, dan hara lain untuk manusia dan hewan (FAO, 1983; 1990). Akibatnya, pada benih tersebut patogen tanaman akan menghasilkan toksin, yang berbahaya bagi konsumen, selain mengurangi manfaat biji baik sebagai benih maupun sebagai bahan makanan. Oleh karenanya, penurunan kualitas produk tanaman tidak saja karena kenampakan produk yang cacat, tetapi juga adanya perubahan di dalam produk. Menurut Agarwal dan Sinclair (1987), perubahan dan kerusakan biokimia dalam kualitas hara biji merupakan salah satu kehilangan akibat patogen tular-benih. Beberapa jamur yang dapat menurunkan kualitas hara biji kedelai, adalah Phomopsis sp., Aspergillus flavus, Botryodiplodia sp., dan Cladosporium herbarum. Hal ini sering tidak disadari oleh manusia dengan tetap mengonsumsi biji yang sudah berubah bentuk dan warnanya akibat patogen tanaman. Jamur patogen benih dapat menghasilkan senyawa beracun, yang dikenal dengan mikotoksin. Manusia atau hewan yang mengonsumsinya akan dapat sakit baik di bagian dalam tubuh, berkaitan dengan sistem syaraf, atau lainnya dan bahkan dapat mengalami kematian. FAO (1990) melaporkan bahwa beragam jaringan dan bagian tubuh, seperti sistem hati, ginjal, syaraf, dan gastro-intestinal dapat dipengaruhi oleh mikotoksin. Bahkan mikotoksin dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, berperan dalam mutagen, karsinogen, dan teratogen. Beberapa jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin, di antaranya Aspergillus flavus, A. parasiticus, A. ochraceus, A. clavatus, A. versicolor, Claviceps purpurea, C. fusiformis, Fusarium graminearum, Penicillium citrinin, P. expansum, P. cyclopium, dan P. viridicatum.
3. Pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut. Penyakit tanaman dapat membatasi jenis tanaman yang tumbuh pada wilayah geografi yang luas. Hal ini karena tanah di wilayah tersebut mengandung begitu banyak inokulum atau bahan penyakit tanaman, yang menyebabkan penyakit tanaman selalu muncul di setiap musim tanam. Oleh karenanya, jenis tanaman tertentu tidak akan dapat ditanam lagi di daerah tersebut dan diganti dengan jenis tanaman lainnya. Sebagai contoh, kondisi tanah yang tercemar patogen tanaman yang terjadi di Kalimantan Timur, yaitu arealnya sudah terkontaminan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense, yang tidak dapat lagi ditanami pisang jenis ambon (Kompas, 2007), yang akan diganti dengan tanaman pisang kultivar kepok nir-jantung (budless kepok, Musa balbisiana) (Witjaksono, 2008. Komunikasi Pribadi). Selain itu, penyakit tanaman juga menentukan jenis industri berbasis pertanian di wilayah tersebut dan juga aras tenaga kerjanya, dengan cara memengaruhi jumlah dan jenis produk pertanian yang tersedia bagi pengalengan atau pemrosesan lokal. Industri berbasis pertanian atau dikenal dengan agroindustri akan tergantung pada pasokan produk pertanian yang ada. Apabila sudah tidak ada lagi produk yang mendukungnya, maka industri tersebut akan tutup atau beralih ke industri lain. Hal ini dialami oleh industri keripik pisang di Lampung; akibat makin sukarnya mencari bahan baku pisang, karena adanya penyakit layu Fusarium (Kompas, 2003). Di samping itu, adanya penyakit tanaman akan menciptakan industri baru yang ditujukan untuk mengendalikan penyakit tanaman, misalnya industri kimia, mesin, atau lainnya.
4. Kegagalan panen. Penyakit tanaman tidak saja dapat menurunkan produksi tanaman, tetapi juga dapat menggagalkan panen karena tanaman mati. Sekitar 90% tanaman pangan dunia dimulai dari biji, artinya, biji merupakan bagian tanaman terpenting untuk mengawali pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kehilangan tanaman di beberapa negara pertanian adalah beragam, dari sebesar 30% sampai mencapai 100% (Agarwal and Sinclair, 1987; Maude, 1996). Kematian tanaman akibat penyakit tanaman dapat terjadi sejak dari biji mulai berkecambah, pembibitan, tanaman muda, atau tanaman tua (berproduksi). Patogen tanaman dapat menyerang di setiap bagian kehidupan tanaman, dan di setiap bagian tanaman, yaitu mulai dari akar sampai buah atau biji. Serangan patogen tanaman sangat beragam ganasnya tergantung dari berbagai faktor yang memengaruhinya, terutama kelembapan udara yang tinggi dan tersedianya hara bagi patogen tanaman tersebut.
5. Penurunan pendapatan petani. Penyakit tanaman ternyata juga dapat menyebabkan pendapatan petani menurun. Penurunan pendapatan ini dapat pula disebabkan bertambahnya biaya produksi dan pascaproduksi, yang dapat berasal dari biaya pembelian saprodi, pembuatan gudang simpanan, pembuatan fasilitas pengeringan, pengemasan, dan bahkan pemasaran produk pertanian karena keterbatasan waktu yang ada antara waktu panen, perlakuan pascapanen, pengangkutan, sampai ke konsumen. Biaya lainnya sering tidak dapat diprakirakan karena penyebaran penyakit tanaman yang beragam dan penanganan penyakit tanaman yang lebih intensif. Sebagai contoh adalah serangan jamur patogen penyakit layu Fusarium pada pisang kultivar Cavendish di Lampung, yang telah menghentikan ekspor pisang kultivar Cavendish di tahun 2002 (Kompas, 2003). Hal tersebut berpengaruh terhadap pendapatan petani atau pekebun pisang, dan bahkan perusahaan yang bergerak di bidang budidaya tanaman pisang. Selain itu, keberadaan patogen sering tidak diketahui, mengingat penyebab penyakitnya berupa mikroba yang kasat mata. Hal ini sering menyebabkan kerugian bagi petani ketika produk tanamannya, yang ketika dipanen nampak mulus tanpa cacat, tetapi setelah dipasarkan nampak gejala, yang menyebabkan hasil panennya tidak laku dijual. Kondisi ini, misalnya, dialami sebuah perusahaan pisang di Lampung, ketika mengekspor pisang kultivar Cavendish ke Jepang harus mengalami kerugian sangat besar karena buah pisang sebanyak satu kontainer harus dimusnahkan oleh pihak karantina Jepang. Hal ini karena pada buah pisang yang nampak segar dan sehat ketika dibawa dari Lampung, ternyata membawa bakteri patogen penyakit darah, salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi tanaman pisang (Ir. R.A. Wardhana, Komunikasi pribadi, 2007). Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan swasta tersebut dengan adanya kejadian itu?
6. Terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk. Penyakit tanaman juga dapat menyebabkan terjadinya bencana kelaparan dan kematian manusia, serta terjadinya perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain. Hal ini dikarenakan kegagalan panen produk pertanian, khususnya produk pangan, akibat serangan patogen tanaman. Kasus terkenal dalam dunia penyakit tanaman adalah ketika penyakit lanas pada kentang, yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans, melanda di Irlandia pada masa waktu 1840 sampai 1847, yang menyebabkan kegagalan panen kentang, sebagai makanan utama mereka. Kejadian ini termasuk juga melanda di banyak negara pengonsumsi kentang di Eropa, Amerika, dan Kanada (Mehrotra, 1983). Kondisi ini menyebabkan bencana kelaparan yang hebat dan bahkan kematian dari sepertiga penduduknya, sedangkan lainnya bermigrasi ke negara lain. Banyak kasus kegagalan panen akibat serangan patogen tanaman pada tanaman pangan di beberapa negara, yang menyebabkan kelaparan dan juga kematian umat manusia, selain hewan.
7. Pengubah kebijakan pemerintah. Penyakit tanaman juga mampu membuat pemerintah mengubah kebijakannya dalam bidang pertanian. Hal ini terkait erat dengan besarnya kerugian yang diakibatkan oleh serangan patogen tanaman pada jenis tanaman tertentu. Keadaan ini dulu sekitar tahun 1880-an pernah terjadi di negara kita, dengan adanya serangan patogen karat pada tanaman kopi, yang waktu pertama kali ditanam adalah jenis kopi Arabica; dengan adanya penyakti karat kopi tersebut, pemerintah mengubah kebijakan penanaman kopi Arabica, diganti dengan kopi Liberia, dan akhirnya dengan kopi Robusta (Semangun, 1988). Perubahan kebijakan ini tentunya diikuti dengan berubahnya segala sesuatu yang berkaitan dengan perkopian, dan tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk mengubah kebijakan tersebut. Hal terbaru yaitu dengan adanya penyakit layu pada tanaman pisang di Kalimantan, yang terutama disebabkan oleh jamur patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense, hampir semua tanaman pisang jenis Barangan mati di sepanjang lintas trans-Kalimantan. Pemerintah setempat mengubah penanaman pisang jenis Barangan dengan jenis Musa balbisiana dalam jumlah besar (saat ini sedang memesan bibitnya sebanyak lebih kurang 50.000 bibit ke LIPI), yang membutuhkan dana besar. Belum termasuk biaya lainnya yang harus dikeluarkan pemerintah daerah dan pekebun pisang.