Peran Ilmu Penyakit Tanaman Dalam Menopang Ketahanan Pangan
Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas di dalam produksi tanaman pertanian. Akhir-akhir ini, bidang pertanian menjadi sangat penting karena merupakan sumber salah satu bahan baku untuk BBM etanol. Penyakit tanaman selalu ada di setiap musim tanam dan di setiap tanaman yang ditanam. Belum pernah terdengar berita sampai saat ini bahwa tanaman yang ditanam baik oleh petani atau pekebun terbebas dari penyakit tanaman. Hal ini diakui baik oleh para petani yang handal dalam dunia pertaniannya di pedesaan, pekebun yang ahli dalam mengolah lahan pekarangannya, maupun praktisi pertanian yang mengelola perkebunannya. Bahkan boleh dikatakan, selama kita masih memerlukan sandang, pangan, maupun papan, masalah penyakit tanaman, yang menimbulkan banyak masalah dan kerugian, selalu ada. Hal inilah yang menjadikan alasan sampai saat ini dunia pertanian, terutama kaitannya dengan masalah penyakit (dan hama) tanaman, masih memberikan peluang kesempatan kerja bagi para lulusan dan alumni Fakultas Pertanian, terutama yang menekuni bidang penyakit (dan hama) tanaman.
Penyakit tanaman sering disalah-artikan sama dengan hama tanaman, yang pada kenyataannya sangat jelas mempunyai perbedaan antar-keduanya. Bahkan para petani sering menyebut kerusakan karena patogen atau penyebab penyakit tanaman disebabkan oleh hama tanaman. Hal ini sangat keliru dan perlu diluruskan karena kondisi ini akan berkaitan erat dengan cara pengendalian yang akan diterapkan. Penyakit tanaman sangat berbeda dengan hama tanaman terutama dalam dua hal, yaitu bentuk kerusakan dan penyebab kerusakannya. Bentuk kerusakan tanaman karena penyakit tanaman berupa berubahnya warna dan sifat fisiologi tanaman, misalnya daun tanaman menjadi berbintik coklat atau kuning, tanaman nampak layu, dan biji yang dimakan terasa pahit; sedangkan kerusakan karena hama umumnya berupa berubahnya volume tanaman, misalnya daun berukuran tidak utuh karena hilang sebagian atau seluruhnya akibat digigit hama belalang atau ulat. Selain itu, penyebab penyakit tanaman, misalnya jamur, bakteri, dan virus, umumnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan harus dengan bantuan alat, seperti mikroskop; sedangkan penyebab hama tanaman dapat dilihat dengan mata telanjang, misalnya ulat, keong, afid, dan belalang.
Berbicara tentang ketahanan pangan tidaklah sama dengan berbicara tentang swasembada beras, dan ketersediaan pangan tidak identik dengan ketersediaan beras, meskipun ”soko guru” ketahanan pangan masih bertumpu pada swasembada beras (Adnyana, 2006). Meskipun demikian, pada umumnya telah terjadi peningkatan produksi beberapa bahan pangan buah penting di Indonesia, tetapi di lain pihak terjadi penurunan produksi kedelai dan gula, sehingga masih tingginya nilai ekspor kedua komoditas tersebut (BPS, 2008). Meskipun komoditas sawit meningkat, namun harga minyak goreng sawit dunia mengalami kemerosotan yang tajam di penghujung tahun 2008. Hal ini menyebabkan dampak negatif terhadap banyak hal, seperti penghentian produksi, pemutusan tenaga kerja, penurunan devisa negara, dan penghentian perluasan lahan sawit (Harian Bisnis Indonesia, 2008; Kompas, 2008; Sadiman, 2008).
Pencapaian ketahanan pangan yang kuat tidak lepas dari upaya pengembangan varietas unggul baru secara besar-besaran, yang dikenal dengan ”revolusi hijau”. Namun, sejarah membuktikan bahwa penggunaan varietas unggul juga tidak dapat berlanjut dalam jangka waktu lama. Selain hal ini disebabkan oleh adanya cekaman abiotik, juga yang paling penting adalah adanya cekaman biotik, yaitu adanya serangan hama dan patogen tanaman sekunder, yang sebelumnya tidak pernah terpikir ketika para pemulia tanaman meracik varietas unggul, meskipun ketahanan varietas tersebut terhadap hama atau patogen utama telah dikembangkan, sehingga ketahanan yang dimiliki oleh suatu varietas tanaman dapat patah. Selain itu, gen pada varietas unggul umumnya tidak dikaitkan dengan ketahanannya terhadap hama atau patogen tanaman, namun semuanya dikaitkan dengan produksi.
Oleh karenanya, konsep revolusi hijau menjadi kurang berhasil untuk mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan. Akibat dari hal itu, menurut Ghose (2004 dalam Adnyana, 2006), muncullah istilah ”revolusi hijau lestari”, dengan sasaran lebih luas, yang mencakup 1) ke seluruh aspek agroekosistem mulai dari hulu, petani, sampai kepada konsumen akhir, 2) pemanfaatan kemajuan informasi teknologi dan bioteknologi, 3) sistem irigasi yang efisien, pestisida yang ramah lingkungan, dan pertanian yang sahih, dan 4) pemasaran, agroindustri, dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Jadi, pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan merupakan salah satu cakupan revolusi hijau lestari, yang menunjang kepada tercapainya ketahanan pangan yang kokoh.
Cekaman biotik tetap menjadi salah satu kendala utama dalam dunia pertanian. Masalah penyakit (dan hama) tanaman sampai kapan pun akan tetap menjadi masalah penting, khususnya apabila didukung oleh lingkungan yang sesuai dan penggunaan tanaman yang rentan. Konsep segitiga penyakit, yaitu patogen yang virulen dan agresif, tanaman yang rentan, dan lingkungan yang sesuai dan mendukung, sangat menentukan berhasilnya pertumbuhan tanaman dan selamatnya produk tanaman sampai ke konsumen, yang akhirnya bermuara pada ketahanan pangan nasional.
Salah satu faktor yang memengaruhi penurunan produksi komoditas tanaman pangan, dan juga komoditas tanaman perkebunan, hortikultura, dan kehutanan, adalah penyakit tanaman. Keberadaan penyakit tanaman di lahan pertanian dan perkebunan, bahkan di areal kehutanan, selalu menimbulkan masalah dan menjadi kendala dalam upaya meningkatkan produksi tanaman. Penyakit tanaman akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan optimum, yang berakibat pada produksi karena tidak adanya pasokan fotosintat yang cukup. Kondisi ini apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius akan menyebabkan terganggunya keberlanjutan produksi tanaman, yang akhirnya dapat mengganggu ketahanan pangan. Oleh karenanya, faktor pembatas penyakit tanaman tersebut perlu dikenali lebih baik, yang kemudian perlu diambil beberapa tindakan untuk mengendalikan atau mengelolanya, bukan memberantasnya.