Sejarah Perkembangan Tayub

Sejarah Perkembangan Tayub 
Banyak kisah yang menggambarkan tentang tayub. Hasil adonan dari mitos, dan tradisi mengantar kesenian rakyat ini menjadi legenda dan seni yang terus digandrungi warga masyarakat di pedesaan Jawa. Salah satunya menyatakan bahwa pada awal kelahirannya, tayub merupakan ritual untuk sesembahan demi kesuburan pertanian. Penyajian tayub diyakini memiliki kekuatan magic-simpatetis dan berpengaruh terhadap upacara sesembahan itu. Melalui upacara “bersih desa”, aparat desa mengajak warganya untuk melakukan tarian di sawah-sawah dengan harapan keberkatan itu muncul melalui prosesi yang mereka lakukan. Tanaman menjadi subur dan terhindar dari hama dan mara bahaya. Tayub, dengan demikian, menjadi pusat kekuatan penduduk desa seperti halnya slametan, atau bahkan sembahyang tahajut bagi kaum santri. ‘Sembahyang’ tayuban dipandang memiliki kekuatan gaib yang sangat berarti bagi warga desa, sehingga mereka tidak canggung-canggung melakukan tarian dalam suasana seperti apa pun. Bahkan konon semakin erotis tarian yang disajikan semakin menjanjikan keberkahan dan kesuburan hasil tanam. 


Sejarah Pertayuban Masa Lalu
Dalam buku Gendhing dan Tembang yang diterbitkan Yayasan Pakubuwono X disebutkan, tayub awalnya memang tarian rakyat jelata yang sudah dikenal sejak abad XI. Kemudian Raja Kediri menjadikan tayub sebagai tarian kerajaan dan mementaskannya untuk penyambutan tamu agung kerajaan. Pada abad XII, tayub digunakan untuk penobatan Raja Jenggala. Dia mewajibkan para permaisuri menari tayub saat menyambut kedatangan raja di pringgitan. Harmanto Bratasiswara dalam bukunya, Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, menjelaskan, tayuban adalah tarian yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. 

Tayub bermula dari cerita kadewatan (dewa-dewi), saat dewa-dewi mataya (berjoget berjajar) dengan gerak yang guyub (serasi). Pada zaman Wali Sanga, tayub digunakan untuk syiar agama Islam sehingga nilai-nilai agamis pun dimasukkan dalam tarian. Di masyarakat agraris yang masih kental dengan kultur animisme dinamisme, tayub adalah bentuk ritual ketika terjadi peristiwa penting, seperti panen dan menyembuhkan orang sakit. Filosofi dari tari berpasangan pria dan wanita adalah simbol kesuburan.

Sosok ngibing kemudian muncul kembali sejak hadirnya peradaban Barat dengan berkembangnya budaya perkebunan yang merekrut tenaga kuli-kuli kontrak serta perempuan buruh pribumi di perkebunan-perkebunan. Khusunya perkebunan kopi yang ditanam di tanah-tanah hutan yang dibuka di daerah Priangan yang ditetapkan VOC pada tahun 1707. Dengan adanya perkebunan di wilayah Indonesia yang merekrut para pekerja yang didatangkan dari Eropa yang pada umumnya masih perjaka, maka berkembang menjadi pelacuran, serta pertunjukan hiburan yang menyajikan Ronggeng. Pertunjukan Ronggeng di wilayah Batavia, rupanya telah menjadi hiburan primadona. Adanya pesta Ronggeng hingga ke pelosok-pelosok perkebunan sering menjadikan adanya keonaran, hingga penguasa Jawa maupun Belanda mengeluarkan peraturan untuk mencegah kekerasan yang sering terjadi selama pertunjukan Ronggeng berupa denda yang disebut ‘Nawala Pradata’. Ini merupakan peraturan yang ‘wajib’ dikenakan bagi pelaku kejahatan bila terjadi keonaran yang mengakibatkan korban luka atau terbunuh. 

Para pelaku kejahatan tersebut didenda berupa sejumlah uang dengan nilai yang tinggi bagi yang mampu, sedangkan bagi orang miskin dikenakan denda berupa pukulan ‘gebuk’. Kendatipun telah dikeluarkan peraturan dengan adanya denda Nawala Pradata, pihak penguasa sering menghadapi permasalahan keonaran pesta Ronggeng yang meresahkan masyarakat, kemudian melarang adanya pertunjukan sekitar daerah Batavia dan kabupaten Bogor, khususnya di tempat para kuli yang di mana mereka bekerja di perkebunan sebagai tenaga upahan yang selalu menghabiskan uangnya hanya untuk perempuan malam, minuman keras, berjudi, dan menghisap candu. Akibatnya pada tahun 1778 dikeluarkan ‘larangan pesta Ronggeng’ tanpa ada persetujuan dari pemilik kebun. Pada tahun 1880 sama sekali pertunjukan tersebut dilarang, dan pada tahun 1881 sebuah pengecualian bagi perkebunan tebu, karena pemilik perkebunan takut para buruhnya pergi meninggalkan pekerjaannya apabila tidak menikmati pertunjukan secara periodik. Namun demikian pada tahun berikutnya kemudian dikenakan peraturan baru, yaitu beberapa pengecualian yang diberikan kepada beberapa perkebunan untuk menghindari terjadinya para buruh yang meninggalkan areal perkebunan.

Ronggeng merupakan profesi yang menuntut banyak ketrampilan, selain menari dan menyanyi, juga masih melayani para tamu yang kebanyakan adalah kaum laki-laki yang mencari hiburan. Perempuan-perempuan yang tergabung dalam kelompok Ronggeng diantaranya, gadis-gadis desa, serta buruh perempuan yang ingin mendapat penghasilan tambahan. Mereka menari dan menyanyi di acara hajatan selamatan para petani, kaum ningrat, para petinggi daerah, masyarakat atau pada acara lainnya. Mereka disanjung oleh penduduk, tidak jarang pula penampilannya yang sangat memukau, di antara Ronggeng yang dipersunting oleh ‘kepala rendahan’. Hal ini membawa nasib baik bagi si Ronggeng. Dengan adanya pertunjukan yang menampilkan Ronggeng pada acara pesta atau hiburan, di Cirebon bahkan ada sebuah pertunjukan Ronggeng di bawah perlindungan Sultan.. Keterangan mengenai Sekolah Ronggeng tersebut digambarkan pula dalam Reglement van de Tandak of Ronggeng inhole te Cheribon yang oleh Yulianti Parani diterjemahkan menjadi “Sekolah Ronggeng di Keraton Cirebon”, merupakan sebuah catatan yang ditulis tangan oleh Middlellkoop.

Riwayat Penari
Di Jawa, wanita yang menari dan menyanyi dalam pertunjukan tayuban biasa disebut dengan waranggana. Kata waranggana dalam bahasa Kawi Jawa yang berarti wara (wanita) dan anggama (pilihan). Dalam dunia pendalangan dan atau karawitan saat ini, kata waranggana bisa juga disebut swarawati atau pesindhen. Baik saraswati maupun pesindhen dimaksudkan sebagai seorang penyanyi dalam karawitan yang umumnya dilakukan oleh seorang perempuan. Mengapa pelantun tembang disebut waranggana, karena sebagai anggana yang mempunyai suara merdu, yang berada di tengah-tengah niyaga yang umumnya dilakukan oleh para pria. Waranggana dalam pengertian umumnya adalah penyanyi / pesinden / swarawati pada kelompok atau paguyuban karawitan. Waranggana berasal dari kata wara yang artinya perempuan (orang pilihan) dan anggana yang berarti sendiri. Jadi waranggana dapat diartikan sebagai perempuan pilihan yang menghibur masyarakat seorang diri, yang pada perkembangannya dipakai untuk sebutan bagi penari tayub. Di Kabupaten Nganjuk ada kerancuan penggunaan istilah untuk penari tayub yang kiranya tidak terjadi di daerah lain, misalnya: di Yogyakarta atau di Surakarta dan daerah lain. Istilah waranggana semula adalah sebutan untuk pesindhen, yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah swarawati.

Dahulu penari tayub dikenal dengan sebutan ledhek dapat diartikan ngleledhek yang kurang lebih berarti menggoda, yang dimaksudkan agar semua penonton dan lebih-lebih para tamu yang diharapkan ngibing supaya tertarik. Adanya istilah tersebut tidak mengubah fungsi sebagai penari tayub. Sekarang ini, istilah ledhek diganti dengan waranggana yang diharapkan mampu mengangkat derajat penari tayub yang selama ini mendapat stigma dari masyarakat. Tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung, kemudian berlenggak-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas waranggana dalam pertunjukan tayub. Didalam prosesinya, para waranggana harus menari berpasangan dengan laki-laki. Para waranggana mempunyai daya tarik seksual yang dipancarkan melalui gerak-gerak tari atau suara, selain itu kostum yang dikenakan juga menonjolkan bagian tubuh mulai dada, pinggul, leher, lirikan mata yang semuanya memiliki potensi membangkitkan rangsangan bagi kaum laki-laki. Keberadaan tayub sendiri memegang peranan yang sangat penting sebagai salah satu bagian utama dari prosesi upacara ritual yang berkaitan dengan kesuburan tanah garapan yang dalam hal ini sawah yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

Berbicara mengenai kesenian kepada orang yang berkecimpung dengan dunia kesenian merupakan hal yang menarik untuk dianalisis lebih dalam. Hal ini yang mendasari peneliti untuk lebih jauh untuk mengetahui alasan waranggana masih melestarikan kesenian tayub. Seperti yang kita tahu, sampai sekarang kesenian ini masih mendapat stigma dari masyarakat karena dianggap menyimpang dari ajaran agama. Tetapi anggapan masyarakat ini tentu tidak dipikir terlalu dalam oleh informan yang sudah berprofesi sebagai waranggana sejak lama. Untuk selanjutnya adalah alasan waranggana masih melestarikan kesenian tayub dilihat dari segi sosial dan segi ekonominya. Pada penjelasan di bab sebelumnya, profesi sebagai seorang waranggana kebanyakan diminiati oleh sebagian besar perempuan yang ada di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Hal ini dikarenakan pengahasilan yang diperoleh oleh seorang waranggana dalam sekali pentas katakanlah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tayub memang identik sebagai hiburan untuk kaum laki-laki, karena hampir semua pecinta dan penikmt tayub rata-rata adalah kaum laki-laki. Hal tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran karena yang menjadi pusat perhatian di setiap pertunjukan tayub adalah waranggana. Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat yang ada di Dusun Ngrajek yang menganggap negatif seorang perempuan yang berprofesi menjadi waranggana. Hal ini tentu saja akibat image tayub yang terdahulu, di mana setiap perhelatan tayub selelu menimbulkan kerusuhan. Tetapi hal ini tidak berlaku pada para waranggana yang memang menekuni profesi ini karena ingin melestarikan budaya.


Unsur dari seni Pertunjukan Tayub
Tayub mempunyai tiga fungsi utama (primer), yaitu: sebagai sarana upacara (ritual), hiburan dan tontonan. Karenanya, pertunjukan tayub selalu terkait dengan pengumpulan anggota masyarakat yang menjadi pendukungnya dan memiliki fungsi sekunder yaitu sebagai legitimasi dari status sosial penyelenggara, integrasi sosial, dan terapi sosial bagi masyarakat. Pertunjukan ini masih sangat populer di Jawa Timur khusunya Dusun Ngrajek yang memang terkenal sebagai gudang tayub. Kesenian ini begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat dan berfungsi untuk berbagai acara terutama sebagai sarana upacara ritual.


Waranggana
Untuk menjadi warangganan bukanlah hal yang mudah yang dibayangkan oleh penikmat awam tayub. Kebanyakan penikmat ini hanya melihat saat waranggana itu tampil di kalangan tayub, yaitu tempat pertunjukan tayub digelar. Hal ini wajar, karena tempat atau lembaga yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Dikatakan demikian karena pendidikan ini tidak memastikan besaran biaya bagi calon waranggana yang hendak belajar. Secara umum para calon waranggana ini setelah selesai menguasai dasar-dasar tari dan vokal tembang-tembang, selanjutnya calon waranggana menngiringi waranggana senior untuk tampil dalam pagelaran. Kesempatan para calon waranggana ini masih dibatasi pada saat menari dan melantunkan tembang bersama pengibing. Dan semuanya itu hanya ada di satu tempat, yakni di Dusun Ngrajek, yang lebih tepatnya di Padepokan Langen Tayub Anjuk Ladang. Padepokan ini bisa dibilang satu-satunya tempat yang digunakan untuk berkumpulnya seluruh waranggana yang ada di Jawa Timur. Di tempat ini pula, wisuda untuk para calon waranggana dilaksanakan. Selain itu, jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat pasti diramaikan dengan kesenian tayub yang para waranggananya juga berasal dari dusun ini. Terlebih jika bulan syuro tiba, dusun tersebut akan ramai oleh para pendatang dari desa lain.

Sebelum waranggana diperbolehkan untuk manggung di acara pertunjukan tayub baik yang ada di Dusun Ngrajek, maupun di luar Dusun Ngrajek. Calon waranggana harus melalui serangkaian ritual sebelum ia benar-benar resmi menjadi waranggana. Calon waranggana tersebut ikut tinggal bersama waranggana yang sudah senior (magang). Setelah sekiranya cukup mandiri, barulah calon waranggana (waranggana junior) siap untuk mengikuti prosesi selanjutanya yaitu gembyangan waranggana yang diadakan tiap Jumat Pahing. Yang artinya semua waranggana pada Jumat Pahing (tidak terkecuali waranggana yang sudah senior), selalu berkumpul di punden makam Mbah Ageng yang ada di Dusun Ngrajek. Selain untuk memperoleh berkah, disini selalu diadakan prosesi gembyangan para calon waranggana yang ingin menjadi waranggana. Dimana dahulunya, prosesi ini lebih dikenal dengan wisuda waranggana, tetapi karena makna wisuda lebih kepada unsur akademis, maka oleh pihak dinas kebudayaan dan pariwisata setempat dikemas menjadi Gembyangan Waranggana yang diawali dengan pembacaan Tri Prasetya Waranggana (tiga janji perempuan sejati), dan diberikannya sampur (selendang untuk menari) yang diberikan langsung oleh Bupati Nganjuk sebagai simbol dari pemerintah daerah serta pengakuan berupa diberikannya nomor induk bagi waranggana.

Ritual ini terdiri dari meminum air suci yang diambil langsung dari air sumur Mbah Ageng dicampur dengan Air Terjun Sedudo, selanjutnya menyobek daun waru, dan menancapkan kembang kanthil di sanggul waranggana. Banyak makna yang terkandung pada serangkaian ritual ini, seperti calon waranggana yang meminum air suci yang diambil langsung dari sumur Mbah Ageng yang dicampur dengan air dari Air Terjun Sedudo, diharapkan calon waranggana akan selalu senantiasa awet muda, dan mendapat keberkahan. Daun waru digambarkan seperti hati manusia yang penuh dengan hawa nafsu, dengan disobeknya daun waru tersebut, diharapakan para calon waranggana mampu memerangi hawa nafsu. Karena seperti yang diketahui, citra waranggana dalam masyarakat masih dianggap negatif. Sedangkan prosesi menancapkan kembang kanthil yang secara supranatural diharapkan mampu memberikan daya tarik bagi penonton. Setelah prosesi ritual selesai, selanjutnya adalah memutari makam sebanyak 10 (sepuluh) kali dengan diiringi musik dari pengrawit. Selama proses memutari makam tersebut, para calon waranggana dan waranggana senior menyanyikan 10 (sepuluh) gendhing. Setelah semua prosesi dan ritual serta pengakuan dari pemerintah daerah berupa diberikannya sampur dan nomor induk bagi calon waranggana, barulah mereka resmi untuk unjuk kemampuan dalam pentas-pentas umum baik pertunjukan tayub yang ada di Dusun Ngrajek, maupun di luar dusun Ngrajek. Karena tanpa mengantongi surat ijin dan nomor induk yang diberikan oleh pemerintah, para calon waranggana tidak akan diperbolehkan untuk tampil dalam setiap pertunjukan tayub yang ada di Kabupaten Nganjuk.

Pramugari
Dalam tayub ada istilah pramugari, yaitu seseorang yang mempunyai tugas untuk mengatur dan memimpin pertunjukan tayub. Pramugari juga bisa dikatakan sebagai pranata acara (pembawa acara) yang mengatur jalannya pagelaran tayub. Jika terjadi perselisihan antar personal dalam pertunjukan maka menjadi kewajiban bagi pramugari untuk melerai dan menjaga keguyuban saat pertunjukan berlangsung. Seorang pramugari biasanya juga mempunyai keahlian untuk njoged, yang biasanya diperagakan di awal untuk memulai acara.

Pengrawit
Pengrawit adalah sekelompok orang yang mempunyai tugas untuk memainkan seperangkat alat musik gamelan. Jadi pengrawit mempunyai tugas untuk mengiringi waranggana menyanyi dan menari dengan bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh alat musik gamelan. 


Pengibing
Seni pertunjukan tayub merupakan jenis tarian jawa yang dikhususkan buat laki-laki. Penonton laki-laki yang ikut menari bersama waranggana disebut dengan pengibing. Untuk mencari seorang pengibing tidak sulit meskipun diawal-awal pertunjukan ada yang mengatur gerakan lebih luwes, selebihnya gerakan tayub cenderung bebas dan mudah, yang terpenting adalah pengibing bisa menyesuaikan gerakan dan irama gendhing yang mengiringi mereka menari. 

Unsur Instrumen musik seni tayub
Alat musik yang digunakan dalam seni pertunjukan tayub adalah seperangkat gamelan. Gamelan adalah instrumen musik yang menjadi ciri khas Jawa. Gamelan digunakan untuk mengiringi tembang-tembang saat tayub berlangsung. Sekaligus untuk mengiringi waranggana dan pengibing menari. Dan yang mempunyai tugas untuk memainkan gamelan adalah pengrawit.

Unsur Gendhing
Gendhing merupakan sebutan untuk lagu-lagu khas Jawa. Gendhing biasanya ditembangkan dengan menggunakan iringan musik gamelan. Didalam seni tayub, gendhing mempunyai fungsi untuk untuk mengiringi waranggana yang sedang menari dengan pengibing. Setidaknya ada 10 (sepuluh) gendhing yang biasanya dinyanyikan dalam pertunjukan maupun prosesi tayub, yaitu Eling-eling, Golekan, Bandingan, Teplek, Gonggo Mino, Astokoro, Ono Ini, Gondoriyo, ijo-ijo, dan Kembang Jeruk.


Segi sosial
Tayub memang identik sebagai hiburan untuk kaum laki-laki, karena hampir semua pecinta dan penikmt tayub rata-rata adalah kaum laki-laki. Hal tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran karena yang menjadi pusat perhatian di setiap pertunjukan tayub adalah waranggana. Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat yang ada di Dusun Ngrajek yang menganggap negatif seorang perempuan yang berprofesi menjadi waranggana. Hal ini tentu saja akibat image tayub yang terdahulu, di mana setiap perhelatan tayub selelu menimbulkan kerusuhan. Tetapi hal ini tidak berlaku pada para waranggana yang memang menekuni profesi ini karena ingin melestarikan budaya.

Segi ekonomi
Layaknya profesi pada umumnya, penghasilannya sebagai waranggana yang sudah digeluti oleh informan selama kurang lebih 15 tahun cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dapat dilihat dari kondisi ekonomi informan. Bisa dibilang informan memiliki kondisi ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan tetangga sekitarnya. Tetapi karena adanya pengalaman buruk yang menimpa teman sesama waranggananya, Informan tidak menyebutnya berapa nominal yang didapat dalam sekali pertunjukan tayub. Itu juga belum ditambah jumlah saweran.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson