Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (Csr) Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan
Perkembangan sektor industri sangat erat kaitannya dengan proses industrialisasi sebagai grand design pembangunan ekonomi di Indonesia. Industri manufaktur sebagai sektor industri yang paling dominan dan merupakan subsektor industri yang memberi kontribusi nilai tambah sangat besar terhadap sektor industri di Indonesia. Industri manufaktur mampu memberikan nilai tambah yang paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan tersebut juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional, yang dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun dari kinerja industri secara keseluruhan. (sumber: www.anneahira.com )
Perusahaan industri & manufaktur memiliki tiga sektor (Basic Industry and Chemical, Miscellaneous Industry, & Consumer Goods Industry) serta terdiri dari 22 subsektor. Salah satu subsektornya adalah Industri Kimia (chemical industry). Industri kimia (chemical industry) merujuk pada suatu industri yang terlibat dalam produksi zat kimia. Industri ini mencakup petrokimia, agrokimia, farmasi, polimer, cat, dan oleokimia. Industri ini menggunakan proses kimia, termasuk reaksi kimia untuk membentuk zat baru, pemisahan berdasarkan sifat-sifat kimianya seperti kelarutan atau muatan ion, distilasi, transformasi oleh panas, serta metode-metode lain. Industri kimia terlibat dalam pemrosesan bahan mentah yang diperoleh melalui penambangan, pertanian, dan sumber-sumber lain, menjadi material, zat kimia, serta senyawa kimia yang dapat berupa produk akhir atau produk antara yang akan digunakan di industri lain. (sumber: id.wikipedia.org)
Sektor basic industry and chemical tergolong ke dalam sektor sekunder, yang merupakan salah satu dari tiga sektor ekonomi (sektor primer, sekunder, dan tersier). Sektor sekunder yaitu salah satu sektor ekonomi yang berperan mengubah bahan baku menjadi suatu produk akhir. Sektor basic industry and chemical yang terdaftar di BEI dikelompokkan ke dalam delapan jenis Subsektor, yaitu Subsektor Cement, Subsektor Ceramics, Glass, Porcelain, Subsektor Metal & Allied Products, Subsektor Chemicals, Subsektor Plastics & Packaging, Subsektor Animal Feed, Subsektor Wood Industries, dan Subsektor Pulp & Paper.
Penelitian ini akan membahas pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Return on Assets (ROA). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari annual report (laporan tahunan) perusahaan-perusahaan manufaktur pada subsektor chemical industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menerbitkan laporan tahunannya secara konsisten pada tahun 2007-2010.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengungkapan CSR terhadap kinerja keuangan perusahaan. Sedangkan perusahaan industri/manufaktur dianggap perusahaan yang memiliki risiko paling besar terhadap kerusakan lingkungan, Maka berdasarkan pertimbangan tersebut dipilihlah perusahaan manufaktur dengan subsektor chemical industry sebagai sampel untuk penelitian ini.
Sejarah perkembangan Akuntansi yang berkembang pesat menyebabkan pelaporan Akuntansi lebih banyak digunakan sebagai alat pertanggungjawaban kepada pemilik modal sehingga mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik modal. Berpihaknya perusahaan kepada pemilik modal mengakibatkan perusahaan melakukan eksploitasi sumber-sumber alam dan masyarakat di lingkungan sekitarnya secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia. Para pemilik modal, yang hanya berorientasi pada laba yang bersifat material, telah merusak keseimbangan kehidupan dengan cara menstimulasi pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki manusia secara berlebihan yang tidak memberi kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka tetapi justru menjadikan mereka mengalami penurunan kondisi sosial [Galtung & Kada (1995) dan Rich (1996) dalam Anggraini (2006)].
Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi tuntutan tak terelakkan seiring dengan bermunculannya tuntutan komunitas terhadap korporat. Korporat sadar bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal melainkan juga oleh komunitas yang ada di sekelilingnya. Ini artinya, telah terjadi pergeseran hubungan antara korporat dan komunitas. Korporat yang semula memposisikan diri sebagai pemberi donasi melalui kegiatan charity, kini memposisikan komunitas sebagai mitra yang turut andil dalam kelangsungan eksistensi korporat (Reza Rahman, 2009 : 5)
Sehubungan dengan banyaknya perusahaan yang semakin berkembang, maka kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi, karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negatif ini. Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Sosial Responsibility (CSR). Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan (Erni, 2007 dalam Sutopoyudo, 2009).
Corporate Social Responsibility (CSR) tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga ada sosial dan lingkungan, karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Corporate Social Responsibility saat ini bukan lagi bersifat sukarela/ komitmen yang dilakukan perusahaan di dalam mempertanggungjawabkan kegiatan perusahaannya, melainkan bersifat wajib/menjadi kewajiban bagi beberapa perusahaan untuk melakukan atau menerapkannya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang disahkan pada 20 Juli 2007. Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). (2) TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (www.hukumonline.com). Dengan adanya ini, perusahaan khususnya perseroan terbatas yang bergerak di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam harus melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Sanksi pidana mengenai pelanggaran CSR pun terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan: “Barang siapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah”. Selanjutnya, Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah”.
Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dijalankan melalui tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Kegiatan yang dilakukan di dalamnya berupa community development yang kemudian dikembangkan untuk mencapai citra yang baik di mata para stakeholders perusahaan. Adanya beberapa pihak yang masih memandang pelaksanaan CSR dalam konteks profitabilitas perusahaan merupakan tantangan tersendiri, karena seyogyanya perusahaan juga harus memperhatikan orang dan lingkungan sekitarnya. Di sini kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan CSR.
Perusahaan yang mengedepankan konsep community development lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga dapat menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang – peluang sosial ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan. Selain itu akan tumbuh trust (rasa percaya) dan sense of belonging (rasa memiliki) akan terbentuk dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan adanya manfaat atas kehadiran perusahaan. (Pambudi, 2006 dalam Chandra dan Indrawati, 2008).
Kajian mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) semakin berkembang pesat seiring banyak kasus yang terjadi dimana perusahaan tidak memberikan kontribusi positif secara langsung kepada masyarakat, bahkan memberikan dampak negatif atas beroperasinya perusahaan. Keadaan seperti ini terjadi misalnya seperti pada contoh kasus PT Newmont Minahasa Raya.
PT Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Teluk Buyat, Kabupaten Bolaang Mongondouw, Sulawesi Utara. Masalah isu pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Newmont ini terjadi pada tahun 2004. Limbah tailing (sisa buangan tambang) yang dihasilkan perusahaan tambang emas itu disebut-sebut mengakibatkan lebih dari 100 warga di Teluk Buyat terkena penyakit Minamata. Penyakit Minamata yang selama ini menyerang syaraf dikenal sebagai penyakit yang muncul akibat terkontaminasi logam berat seperti arsenik dan merkuri. Sejumlah LSM seperti Walhi dan Jatam menyampaikan bahwa penyakit yang diderita masyarakat di sekitar Teluk Buyat diakibatkan karena kadar arsen dan merkuri di laut di tempat PT Newmont membuang limbahnya. (www.bisnis.com)
Menurut hasil survey Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) yang dilakukan bulan September 2004 di daerah Tonggo Sejorong, Benete, dan Lahar, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan sekitar 76% - 100% reponden nelayan menyatakan bahwa pendapatannya menurun setelah PT Newmont Nusa Tenggara membuang tailing ke teluk Senunu, yang besarnya pencemaran mencapai 120.000 ton per hari atau 60 kali besar tailing PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. PT Newmont membuang sedikitnya 5 milyar ton limbah ke sungai, danau, dan hutan-hutan hingga laut (Wisanggeni, 2010)
Selain bagi lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar Teluk Buyat, kasus pencemaran oleh PT Newmont Minahasa Raya ini berdampak pula bagi perusahaan. PT NMR sedang mengalami proses tuntutan sidang bahwa perusahaan bertanggung jawab dengan segala kerusakan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Teluk Buyat. Pada 16 Februari 2006 PT NMR akhirnya membayar ganti rugi 30 juta dollar kepada pemerintah Indonesia untuk mengakhiri gugatan pengrusakan lingkungan di Teluk Buyat, Sulawesi Utara.
Kasus Newmont utamanya berdampak pada anak perusahaannya, yaitu PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Laba bersih BRMS turun 21,4 persen menjadi Rp 556 miliar pada akhir kuartal III-2011 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 707,9 miliar. Pemicu dari turunnya kinerja keuangan perseroan adalah penurunan produksi tembaga dan emas di atas 40 persen dari perusahaan asosiasinya, PT Newmont Nusa Tenggara. Padahal, terjadi kenaikan harga jual produk komoditasnya dan penurunan beban bunga perusahaan. Pada sembilan bulan pertama 2011, kenaikan harga jual tembaga dan emas masing-masing sebesar 13 persen dan 30 persen. Dalam periode yang sama, beban bunga juga berhasil dikurangi sebesar 61 persen. Dimana pendapatan perseroan juga naik menjadi Rp 127,6 miliar dari sebelumnya Rp 105,9 miliar. Tapi, kontribusi dari Newmont turun hampir setengahnya menjadi hanya Rp 921 miliar dari periode sebelumnya yang sebesar Rp 1,7 triliun. (sumber: economy.okezone.com)
Untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi yang tinggi, perusahaan perlu mengungkapkan kinerja CSR dalam Laporan CSR. Melalui laporan ini akan terungkap apakah tingkat keterbukaan perusahaan sudah satu level dengan harapan masyarakat (Darwin, 2006). Hal tersebut sesuai dengan asumsi bahwa terdapat kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat, maka sudah seharusnya perusahaan mengungkapkan kinerja sosialnya kepada pihak eksternal sebagai informasi dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam hal prospek perusahaan.
Aktivitas CSR yang dilakukan oleh perusahaan terbukti memiliki dampak produktif yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perilaku etis perusahaan berupa tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitarnya memberikan dampak positif, yang dalam jangka panjang akan tercermin pada keuntungan perusahaan dan peningkatan kinerja keuangan (ROE). (Dahlia dan Veronica, 2008)
Hubungan CSR dengan kinerja telah diteliti oleh Goukasian dan Withney (2007) dalam Lindrawati (2008) yang menganalisis kinerja keuangan dan operasional perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dan etis. Kesimpulan dari penelitian Goukasian dan Withney mengindikasikan bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya untuk bertanggungjawab secara sosial dan etis tidak menyebabkan trade-off (pertukarannya) negatif dan tetap dapat menampilkan kinerja sebaik perusahaan lain yang tidak mengimplementasikan CSR. Selain itu Tsoutsoura (2004) dalam Lindrawati (2008) juga menemukan bahwa CSR berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Kinerja perusahaan dapat diukur menggunakan Return on Equity (ROE) yang merupakan salah satu indikator penting bagi investor untuk menilai prospek perusahaan di masa yang akan datang dengan melihat pertumbuhan profitabilitas perusahaan (Tandelilin, 2001:240 dalam Lindrawati, 2008). Dengan ROE, investor atau pemilik dapat melihat tingkat pengembalian atas investasi yang diukur dengan membandingkan laba bersih terhadap ekuitas saham biasa (Weston dan Brigham, 1993:305 dalam Lindrawati, 2008). Sebagai investor lebih baik melihat dari segi kinerja operasi perusahaan karena dapat diperoleh informasi laba yang dapat dijadikan dasar untuk menilai seberapa besar nilai kembalian investasi yang dilakukan atau dikenal dengan istilah Return on Investment (ROI). (Lindrawati, 2008)